Chapter 4

Setelah semua tenagaku terkumpul seperti sediakala, aku bergegas untuk berdiri dari sandaran pohon di belakang dengan bantuan tangan kanan El yang menarik kuat lengan serta tubuhku. Tak lupa untuk kuraih busur juga wadah anak panah milikku. "Biar aku bawa saja!" tawar El sembari mengulurkan tangannya.

"Tidak, aku bisa membawanya sendiri!" balasku tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya dan berlalu mengikuti Orad dari belakang.

Kini, matahari sudah mulai menampakkan diri. Cahayanya merasuk ke dalam hutan menembus celah dedaunan yang berkerumunan. Sedikit kubuka tudung jubah milikku, lalu mendongak ke arah depan dimana sinar yang memancar itu memberi sebuah penerangan, kehangatan serta kekuatan bagi mereka yang hidup di bumi ini.

Namun, tidak untukku ataupun ras kami. Terkecuali ayah dengan seluruh kekuatannya, ia mampu bertahan berjam-jam di bawah teriknya yang sewaktu-waktu bisa saja melumatkan kulit pucat pasinya. Tanpa mengenakan jubah seperti yang kupakai saat ini.

Bagiku itu hal yang luar biasa, tetapi hal yang kubilang luar biasa itulah yang membuat ayahku semakin tamak. Waktu yang terus digerus bersamaan hari yang terus berlanjut, bulan yang terus berlalu akhirnya tahun pun ikut melebur.

Dengan sedikit kuembuskan napas, menikmati udara yang menyelubungi lingkaran kehidupan ini. Tepat di atas bukit hutan kematian ini aku berpijak, terlihat di depan sebuah kota ... atap-atap rumah itu yang terbilang sungguh menarik perhatianku.... Dari usiaku yang cukup dewasa sampai sekarang ini, belum pernah kulihat pemukiman dengan masyarakatnya yang berpakaian unik, terbuat dari kulit domba ataupun hewan peliharaan mereka.

Dengan menggunakan penglihatan tajamku mereka terlihat berlalu lalang kesana-kemari tanpa arah dan tujuan yang jelas. Kupikir di kota itu terdapat sebuah pasar. Bukan layaknya pasar yang berdagang bahan pangan ataupun sandang, melainkan sebuah tempat berdagang berbagai jenis: pedang, panah, tombak, dan beberapa belati yang memancar silau ke arahku karena sinar matahari.

"Kita sudah sampai, itulah para budak yang berhasil melarikan diri dari istana Raja Obero!" Mendengar kata-kata itu langsung dari mulut Orad, rasanya hatiku terasa diiris belati runcing. "Sekitar dua kilometer lagi kita sampai di sana!" tambahnya lalu bergegas melangkah ke depan diikuti ketiga kawannya dari belakang. El pun ikut menjangkah dengan santai, sedangkan aku yang masih mematung di tempat dengan memandang bahu sejajar milik manusia di depanku itu.

"Apa kau hanya ingin terus berdiam diri di sana?!" teriak El sembari membalikkan badan lalu berjalan mundur ke arah de---

"Sayang, apa yang kau lakukan di situ?" tanya wanita paruh baya itu, berdiri di ambang pintu. Aku dengan kecepatan tangan super segera menutup buku yang sedari tadi kubaca, tanpa bertuliskan judul ataupun gambar pada covernya. Terlihat memang sudah sangat usang dengan terbalut tebal debu hingga memperlihatkan warna coklatnya.

Buku ini cukup tebal, belum sempat aku menyelesaikannya dan hanya sampai pada halaman tengahnya. "Ah, tidak Bu. Aku hanya ingin membereskan beberapa buku yang usang di sini!" bohongku santai padanya. Semoga ibu tidak mengetahui jika buku diary miliknya aku sembunyikan di belakang punggungku, tepatnya sekarang aku sedang duduk bersila sembari bersandar di depan tembok dengan beberapa tumpuk buku yang berserakan di sekitar.

Ah ... tidak. Jangan melangkah kemari!

Aku pun segera berpura-pura dengan memilah buku yang terlihat masih layak pakai, dan tiba-tiba ibu berkata, "Apa kau sudah membacanya?" Spontan aku langsung membelalak serta mengernyit ke arahnya.

"Membaca apa, Bu?"

"Dasar, anak Ibu yang pandai menyembunyikan sesuatu," balasnya seraya mengambil buku diarynya dari balik punggungku.

"Tapi, aku belum selesai ba---"

"Cukup! Sampai sini saja, kau pasti sudah tahu banyak tentang buku ini." Senyum itu tersungging manis di bibir merahnya. Segera ibu pun berdiri lalu berbalik dan melangkah keluar dari gudang ini. "Oh iya, sudah cepat selesaikan alasanmu untuk memilih buku itu dan segeralah bantu Ayahmu!" suruh Ibuku yang sudah berada di ambang pintu dengan mengubah senyum itu menjadi tawa yang aneh. Mungkin, karena ibu melihat kelakuanku yang seperti kenakak-kanakan itu. Sungguh sangat memalukan, diusiaku yang tinggal satu minggu lagi sudah cukup dewasa.

Tanpa banyak alasan lagi, aku pun segera beranjak berdiri meninggalkan gudang serta beberapa tumpuk buku yang berserakan itu, begitu saja. Tidak atau tanpa memungutnya sesuai perkataanku lebih tepatnya alasanku terhadap ibuku tadi. Itulah diriku yang terkadang aneh jika kupikirkan. Sudahlah. Aku tidak ingin memikirkan diriku yang aneh ini.

Udara dingin, setiap harinya menyapa tubuh yang terbalut pakaian berbahan kulit domba ini. Kupandang langit yang begitu biru. Namun, birunya langit masih terkalahkan oleh kabut yang terus berkelabut kesana-kemari. Beberapa hembus angin pun ikut menyapu dengan sepoi yang tak begitu kuat.

Sesekali aku mendekap tubuh ini dengan beberapa kali kuusap kedua lenganku yang tanpa perlindungan. Bisa dibilang pakaian yang kukenakan hanya menutupi bagian tubuh sensitif saja, serta setiap kali aku berbicara khususnya di luar rumah, asap yang kukeluarkan dari mulut itu terus menerobos keluar bak asap rokok yang baru saja ditiup.

Di sini memang sulit menemukan cahaya kehangatan. Semua masyarakat yang tinggal di sini pun tidak kaget akan hal itu, jika hampir selama kurang lebih 2 bulan matahari enggan menyongsong diri, menggunakan cahaya kuning keemasan yang hangat menggantikan butir putih yang dingin ini.

Seperti yang kurasakan sekarang, aku sudah kebal terhadap cuaca di sini. Sudah hampir tujuh belas tahun aku tinggal di kota yang pernah dijuluki sebagai kota kegelapan, yakni: Kota Barrow. Namaku AbidAgam, dalam artian terdapat dua kata; Abid yang berarti abadi serta Agam yang berarti gagah. Aku sangat suka tentang sebuah arti pada namaku tersebut, yang merupakan pemberian dari Ibu juga Ayahku.

Elizabeth, Ibuku yang memiliki darah vampir serta Eliardo, Ayahku yang memiliki darah manusia. Jadi terdapat 2 darah yang berbeda mengalir di seluruh urat tubuhku. Aku bisa merasakannya ... mereka menjulur santai ke organ vitalku....

Akhirnya sampai di depan rumah, lebih tepatnya sebuah rumah yang menampung berbagai jenis senjata hasil karya tangan ayahku. Ia bekerja sebagai pengrajin perunggu sama halnya dengan pandai besi, tetapi perbedaannya hanya pada bahan utama yang dibuatnya yaitu perunggu dengan sedikit campuran besi agar lebih kuat.

Ceklek!!

Aku suka. Suasana di dalam yang begitu hangat, meski sekarang aku masih berada di ambang pintu. Mampu mengalirkan darah yang semula beku kembali teratur pada jalurnya. Kudapati ayah dengan pedang yang ada di tangan kanannya serta tungku yang terdapat bara api di hadapannya. Merah itu menyala jelas pada pandanganku, ayah dengan sangat kuat menempa perunggu itu dengan palu yang berukuran lumayan besar. Terlihat peluhnya yang mulai menetes dari ujung pelipis jatuh ke atas perunggu yang menyala terang itu, hingga terjadi penyerapan yang begitu cepat. Ia memang terlihat begitu sangat letih, tetapi aku bisa merasakan rasa antusiasnya yang terus membara.

Jejeran mata panah serta tombak yang masih berserakan di sekitar tanpa ia ragukan, tetapi jika ia lelah dan tak sengaja menginjaknya. Darah merah pun bisa bercucuran keluar dari pembuluhnya. Aku pun segera melangkah mendekat ke arahnya dan mencoba membereskan semua yang ada di sekitarnya. "Ayah, biar aku saja!" ucapku lembut sembari mengulurkan tangan kananku, mencoba mengambil alih kerjaannya.

Seketika itu ayah menoleh ke arahku, sebelum ia menyodorkan gepengan perunggu itu padaku. Senyum yang sangat aku harapkan itu pun secara bersamaan menyapaku dengan penuh keikhlasan dan berkata, "Terima kasih nak, tapi Ayah masih bisa melakukannya!" Itulah kata yang berulang kali ia lontarkan padaku, tetapi aku tidak begitu saja pergi meninggalkannya yang keletihan seperti itu.

"Sudahlah! Tadi Ibu memanggil, Ayah," sahutku lembut lalu mendekat ke arahnya.

"Benarkah?!" Ayah melirik ke arahku dengan pandangan tajamnya. Aku pun hanya membalasnya dengan anggukan dan sedikit senyum samar.

"Kau pasti berbohong lagi," ujar ayah lalu kembali fokus menempa perunggu itu.

"El... Eliardo!" Tiba-tiba suara serak itu terdengar nyaring pada kedua telingaku, mungkin ayah tidak bisa mendengar kata-kata itu, tetapi aku bisa mendengar jelas dengan jarak radius maksimal 1 kilometer. Namun, ini hanya beberapa meter saja tepatnya dari luar.

Gubrak!

Pintu itu terdorong kuat dari arah depan, seketika itu aku dan ayah pun menoleh secara bersamaan tepat ke bawah pintu itu.




A/N

Maaf ya buat kalian yang nunggu lama ceritaku Up lagii, nih aku udah Up buat kalian^^

Wkwk kalo ada yang nunggu.

Oh iya, aku mau tanya nih. Gimana kalian paham gak tentang alur yang kubuat ini? Tolong kasih tahu ya, mungkin aku bisa menjelaskan bagi kalian yg blum paham.

Dan jangan lupa untuk coment+vote cerita ini, aku masih butuh bnyk kritsar dari kalian. Apalah aku yang kadang jadi author somplak😂 gaje dan gitulah.

Terus tunggu chapter selanjutnya ya^^ kalo ada sih😅 Bye😘

LyliaFena

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top