Chapter 3
Saat usiaku menginjak 14 tahun, tepatnya 3 tahun yang lalu. Ibu; Ratu dari semua Ratu, dan ia Istri dari Ayahku.
Pada malam yang dingin. Aku tahu jelas saat Ayah dan Ibu bertengkar di dalam kamarnya. Meski aku tidak bisa menerawang melewati dinding, pendengaran tajamku berfungsi cukup baik saat kulekatkan telingaku ke dinding kamar yang secara langsung menjadi pembatas antara kamarku juga mereka.
Aku tak tahu apa yang mereka ributkan, tetapi nama Elizabeth tercantum dipembicaraan itu. Dengan rasa keingintahuanku yang semakin mendalam tak pernah sedikit pun kuubah posisi semula, bahkan lebih kufokuskan pada perkataan mereka berdua.
"Aku tak tahu apa yang meracuni pikiranmu?!" Suara yang terlontar dari mulut Ibu.
"Cukup Lorea! Aku tidak mau memperdebatkan masalah ini denganmu."
"Kumohon, jangan bunuh anakmu sendiri!" Ibu berteriak memohon dengan suara seraknya, terdengar ia seperti menangis. Tapi apa maksud jangan bunuh anakmu sendiri, sedangkan aku adalah anak satu-satunya dari mereka. Apa benar yang dikatakan Ibu. Ayah ingin membunuhku. Apa salahku, sehingga Ayah ingin membunuhku?
Ketika aku mendengar kata-kata itu. Sungguh terasa menyesakkan di dada ini. Tak tersadarkan air kesedihanku mengalir dengan sendirinya jatuh dari sumber bak air terjun.
"Biarkan aku melakukan ini!" sergah Ayahku terdengar nyaring.
"Jangan! Hanya karena keegoisanmu kau ingin merenggut buah hati kita."
"Aku tak peduli, ini semua sudah ditakdirkan, Lorea. Jangan kau halangi diriku untuk tidak membunuhnya!"
"Tidak! Aku tak akan memberimu sedikit jalan saja untuk membunuh anak kita. Ingat saat kita membuat janji dulu, untuk selalu menyayanginya," teriak Ibu menyeruak di kedua telingaku.
"Ingat juga, aku sekarang bukanlah seorang Raja Obero yang dulu terkenal dengan kebijaksanaannya. Aku dengan seluruh keabadian serta kekuatan yang luar biasa ini, tak akan kubiarkan seorang pun menghancurkannya. Terkecuali jika Elizabeth kita bunuh!" Apa yang kudengar sungguh membuat hati ini bagaikan ditikam seribu perunggu hingga hancur menjadi serpihan.
"Kau sungguh tamak. Hanya karena keabadian dan kekuatan konyolmu itu, lebih ingin membunuh anak serta cucu lelaki yang akan dikandungnya." Ibu terus-terusan membelaku, tapi apa maksud dari cucu lelaki itu? "kau tidak akan bisa mengubah takdir, itulah takdirmu mati di tangannya!"
"Cukup Lorea!" bentak Ayah.
Sing! Tar!
Suara desing itu, memecahkan suatu benda yang terdengar nyaring sampai ke dalam kamarku.
Seketika itu pun aku langsung keluar kamar dan berniat masuk ke kamar mereka. Kudobrak pintu yang terkunci dari dalam itu dengan sekali dorongan kuat. "Ibu!" teriakku di ambang pintu. Ia dengan perunggu tajam yang menikam jantungnya terpojok di dinding serta ayah yang masih memegang perunggu itu. Secara bersamaan mereka bersemuka denganku.
"La--lari, Eliz!" Suara ibu tersendat karena tikaman itu.
Aku tidak ingin meninggalkannya, air mata ini terus berkucur. "Ayah apa yang kau lakukan? Kau membunuh Ibuku!"
"Pengawal!" teriak Ayah, "kurung Eliz di dalam kastil," suruhnya.
Aku dengan keadaan berlutut di ambang pintu, pandangan yang masih menyaksikan kejadian tragis itu. Raut wajah ayah yang tak merasa bersalah ataupun kasihan pada ibu, dengan mencabut perunggu itu dari dadanya hingga setengah perunggu itu terbalut penuh dengan cairan merah segar. Tubuh ibu pun melemah dan terjatuh ke lantai, matanya yang mulai mengatup.
Apalah dayaku yang masih terus terdiam dengan dua pengawal yang sudah menarik paksa kedua lenganku.
"Putri Eliz, apa kau baik-baik saja? Putri...Putri...."
Seketika itu suara El membuyarkan lamunanku akan masa lalu yang kelam. "Iya, aku baik-baik saja!" balasku dengan beralih menatap wajahnya.
"Kita harus terus berjalan, mungkin sekitar satu jam lagi sampai di kota!" kata Orad melirik ke arah kami berdua. "Baik," jawab El sembari mengangguk.
Mereka berempat berjalan di depan, sedangkan aku bersama El jauh tertinggal di belakang. Jalanan setapak ini sungguh menyempitkan bagiku, tanah masih basah akibat air hujan yang mengguyur tadi. Sisi kanan juga kiri yang ditumbuhi pepohonan hutan menjulang serasa mengapit siapa saja yang melewatinya. Daun-daun yang saling berkerumunan satu sama lain, hingga menutup. Bagaikan langit berwarnakan biru seketika berubah menjadi hijau.
Kemungkinan fajar akan datang menyongsong dirinya untuk menggantikan malam. Suara riuh burung penghuni hutan ini mulai bersahut-sahutan seakan ia berbicara pada seseorang yang melewati kawasannya.
Terasa lemas pada tubuh ini untuk terus berjalan, kaki yang semakin memberat untuk menjangkah seperti suatu bongkahan besi yang kuat merantainya. Kini, langkahku pun semakin lambat dan pandangan yang mulai kabur. Terakhir kali kulihat hanya wajah El yang begitu dekat denganku selanjutnya hanya hitam yang terlihat.
Namun, suara itu. Iya, suara El yang terdengar di pendengaranku tak terlalu jelas. Tapi aku bisa mendengarnya dengan beberapa kali aku mencoba mengerjapkan mata, ia berada di hadapanku sembari terus mengguncang tubuh serta pipiku. "Putri Eliz ... putri, bangunlah!" kata-kata itu yang selalu diulang olehnya sewaktu aku tak sadarkan diri, "kau tidak apa kan?"
Dengan keadaanku yang sepenuhnya belum tersadarkan, aku tak menggubris perkataannya sama sekali. "Kita sudah sampai?" tanyaku sembari membenarkan posisi bersandar pada pohon di belakangku. Ia menggelengkan kepala.
Mereka bertiga berdiri di samping El, kulirik ke arah Orad, ia menghampiriku dengan membawa sesuatu di tangan kanannya. Tepat itu; Rusa Neris salah satu penghuni hutan kematian ini ia adalah kantong darah favoritku. "Apa yang kau bawa?"
"Ini untukmu, semoga itu cukup untuk membangkitkan tenagamu!" jawabnya sembari melemparkan hewan itu begitu saja di hadapanku.
Ia begitu tak menyukaiku terlihat sungguh pada perlakuannya terhadap diriku. Itu sangat tidak sopan, apalagi terhadap seorang putri kerajaan. Sebagai manusia ia sungguh sangat sombong, apa yang dibanggakan dari dirinya dengan pakaian yang kotor akibat tersungkur di tanah dengan penuh genangan air, serta lumpur yang menempel pada pakaiannya ditambah lagi kelakuannya yang sungguh membuatku muak.
Tetapi setidaknya ia masih peduli terhadapku, peduli akan keadaanku yang melemah. Memang kemarin aku belum sempat berburu untuk memuaskan rasa laparku. Seketika kucabut anak panah yang menikam perutnya lalu segera kuangkat tubuh hewan itu mendekat ke wajahku. Rasanya dua ruas gigi lancipku ingin terus keluar ... dan rasa lapar yang terus memaksaku untuk menghisap darahnya sampai pada titik penghabisan....
Darah yang kuhisap dari urat lehernya merasuk ke dalam mulutku, begitu masih segar terasa sedikit lengket serta hangat dan turun dengan lembut melewati kerongkongan menyebar ke seluruh organ vitalku. Kini terasa kekuatanku kembali tumbuh dan segera kubuka mata yang sedari tadi mengatup. Tetapi setelahnya, mereka berlima yang sudah berada tepat di hadapanku dengan posisi berjongkok menatap lekat mataku.
Aku pun terkaget dan segera kubuang kantong darah yang sudah habis itu ke sembarang arah, lalu pandangan mereka pun mengikuti arah tanganku yang berayun melempar rusa itu dengan sangat heran dan kembali menatap mataku. "Apa yang kalian lakukan?!" ketusku.
Tiba-tiba mereka segera berdiri dan berbalik dengan posisi yang berbeda-beda; mengelus pedang, bersiul sembari mendongak ke atas, dan menggaruk tengkuknya. Sedangkan El bersama Orad masih terus bersemuka denganku tanpa sekalipun mereka mengerjapkan mata. Dan seketika itu pula tak kusadari masing-masing tangan kanan mereka menjulur ke arahku tepatnya ke sisi kanan serta kiri mulutku dan mengusapkan tetesan di ujung bibirku dengan jempolnya.
Aku dengan keadaan mengernyitkan dahi, merasa aneh dengan kelakuan mereka berdua. "Ada sisa darah!" kata-kata yang terlontar dari mulut mereka secara bersamaan, lalu mereka pun saling bertatap muka dan tak lama setelah itu Orad berdiri serta berbalik membelakangiku. Aneh!
"Bagaimana keadaanmu?" tanya El.
"Ayo kita lanjutkan perjalanannya!" ucap Orad seketika mengalihkan pandanganku padanya, sebelum kujawab pertanyaan El.
Bersambung!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top