Chapter 1
Aku tidak tega, meski harus melihat pengawal itu dengan tanpa kepalanya.
Darah mengalir melewati celah lantai, sehingga membentuk sebuah aliran sungai kecil merah yang merambat di depan matanya. Budak itu, masih saja menunduk tanpa menoleh sedikit pun ke arah dimana seseorang telah melakukan keangkaraan itu.
Ia yang masih memegang erat pedang perunggunya, seraya mendekatkan pedang itu tepat pada penciumannya.
Apa kalian tahu yang dilakukan seekor anjing, setelah mendapatkan sebuah tulang?
Ia terus mencium aroma cairan merah segar yang membalut tajam perunggu itu. Dengan menjulurkan lidahnya tepat di atas ketajamannya, menarik ulur lidah itu seperti seekor ular yang mendesis.
Cuih!
Meludahkan salivanya tepat di depan budak itu, dan seraya menyodorkan pedang itu di bagian bawah dagunya. Hingga budak itu merasa kesulitan untuk tidak menatapnya.
Bagaimana mungkin ujung pedang yang tajamnya melebihi mata tombak menyentuh urat leher. Sedikit goresan saja bisa membahayakan!
Tanpa rasa takut budak itu membalas tatapan tajamnya, tawa miring
tersungging di bibirnya. Seolah ia tak merasa takut atas perbuatan yang telah dilakukannya.
"Apa yang kau lakukan itu sungguh bengis!" kata-kata yang baru saja terlontar dari mulut budak itu.
Ia terus menatap budak itu tanpa mengubah sedikit pun ekspresinya. Hanya saja terlihat pada tangan kanan yang memegang perunggu itu menegang, dan terus menekannya.
Betapa mengerikannya itu?
Budak itu tetap pada pendiriannya. Terus bertahan dan menatapnya lekat-lekat, tanpa memutar bola mata ke arah mana pun.
Aku bisa merasakan aura apinya yang membara membakar seluruh ketakutan, menumbuhkan gejolak pada jiwanya.
Itu yang membuatku merasa kagum akan dirinya.
Mungkin budak itu bisa saja menghancurkan angkara murka yang ada di hadapannya!
Tepat ia adalah; Raja dari semua Raja, terkuat dari yang kuat, terkejam dari yang kejam. Dan satu lagi yang tidak aku terima ia adalah Ayah.
Suatu bencana bagiku, karena telah memiliki ayah yang layaknya bukan seorang ayah terhadap anaknya. Bukan hanya kejam terhadap para budak, tapi lebih sadis ia terhadapku.
Aku tidak merasa heran apa yang telah dilakukannya kepada pengawal atau pun para budak, ia lakukan berkali-kali di depan mataku meski tanpa ia menyadari tempat persembunyian ini.
Seperti yang aku lakukan di balik cagak kastel ini. Dengan caraku yang mencagak, kuatur napas sebaik mungkin agar tidak terengah-engah dan didapatinya.
Kulihat budak itu yang masih saja terus terdiam, menahan terkaman perunggu milik ayahku. Terdengar jelas pada pendengaran tajamku, ia merintih pelan. Rasa sakit yang terus merambat melalui urat, menjulur ke seluruh tubuhnya.
Kini kutegapkan badanku dari balik cagak kastel, sengaja untuk membidik ayah dengan mata panah milikku. Tangan yang sudah menarik tali busur hingga menegang di ujung jariku.
Kutahan napas, dengan sangat baik kuatur bidikanku tepat sasaran yaitu kepalanya. Dan segera kulepaskan jari dari tali busur yang menariknya, sekejap kubiarkan mata panahku melesat menembus otak miliknya.
Sectt!
Yang benar saja....
Kali ini aku tidak berhasil melakukannya. Ayah dengan tangkas menggenggam anak panahku tepat di tangan kirinya, lalu seketika menoleh ke arah cagak persembunyianku.
Napasku yang kini sudah mulai terengah-engah.
Klak!
Ia mematahkan anak panahku hanya dengan tangan kirinya, lalu melangkahkan kaki mendekat menuju tempat persembunyianku.
Aku tidak akan takut lagi padanya! batinku dan segera keluar dari persembunyian ini.
Ia tertegun, setelah mendapati anak satu-satunya yang mencoba ingin membunuh ayahnya sendiri, meski memang ia hidup dalam keadaan yang sudah mati.
"Elizabeth...." Suara itu keluar dari mulut bengisnya dan membelalak tepat di hadapanku.
"Apa yang kau lakukan, sayang?" sergahnya mencoba terus mendekatiku.
Dengan posisiku yang masih terus membidiknya menggunakan mata panah milikku, hingga ujung jariku sungguh menegang. Kulangkahkan kaki satu demi satu, berjalan condong dengan memutarinya.
Tepat sekarang aku berada di depan budak itu, tanpa ayah menyadarinya ia sudah berada di posisi awalku.
"Jadi kamu berniat untuk menolong budak keparat itu?!" tukas Ayah.
"Cukup! Aku tidak akan takut lagi padamu. Kau sangat keparat melebihi budak ini," sergahku menentangnya tanpa rasa takut.
"Rupanya, sekarang anakku sudah berani." Terlihat di mulut bengisnya senyum miring itu dilontarkan padaku dan terus melangkah maju mendekatiku.
Aku yang masih memegang erat tali busur dan terus melangkah mundur, menjauh darinya.
"Pengawal!" perintahnya kepada pengawal untuk menangkapku.
Brakkk!!!
Namun, usahanya pun gagal. Pengawal itu tersungkur jauh ke lantai, karena budak itu telah mendorong dengan menggunakan bahu kekarnya.
"Ayo, tuan putri," bisik budak itu terdengar jelas.
Seketika itu, aku terus berjalan mundur satu demi satu kotak lantai terlewati dengan budak itu yang berada di sampingku yang masih dalam keadaan terborgol.
Tak sengaja aku memutar bola mata tepat di atasku. Sebuah lampu besar, jari yang masih terus menarik tali busur seketika kuganti arah bidikan tepat ke arah lampu besar itu.
Krak! Tarr!
Kaca lampu itu berhasil kubidik tepat sasaran dan ... ayahku tidak berhasil menghindarinya, ia pun tertimpa beberapa pecahan itu.
"Ayo," seru budak itu dan aku menoleh ke arahnya.
"Baik!" Kuanggukkan kepala.
Tetapi sebelum aku pergi meninggalkannya yang dalam keadaan tergeletak di lantai, dengan ditemani kaca tajam di sekitar tubuhnya. "Maafkan aku, Ayah." Dan berbalik, kulangkahkan kaki menjauh darinya. Sebelum aku benar-benar keluar dari istana itu, ayahku dengan suara seraknya berteriak, "kejar mereka!"
Aku bersama budak itu terus berlari tanpa menolehnya, tak lupa kuraih kunci borgol yang terdapat di atas meja istana. Dengan segera kulepaskan borgol yang mengikat tangannya itu.
"Terima kasih, tuan putri."
"Iya, sekarang pergilah dari sini!" suruhku menatap tajam ke arahnya.
"Tidak. Aku, tidak akan meninggalkan, tuan putri!"
"Apa?! Kau sungguh keras kepala!"
Kami pun berlari mencoba keluar dari kastel sesak ini.
"Tuan putri, bawalah ini!" Suara itu seketika menghentikan langkahku yang sudah berujung di depan gerbang, ia adalah pelayan setiaku yang sudah kuanggap layaknya seorang ibu ... dengan menyerahkan sebuah jubah hitam milikku.
"Terima kasih, kalau ada sesuatu kabari aku!" pintaku sembari meraih jubah itu dan mengenakannya.
"Baik. Hati-hati, tuan putri," serunya menatapku nanar.
Aku tak memedulikannya dan segera berlari menuju budak itu, yang sudah menunggangi kuda milik kerajaan. Kuraih tangannya untuk menaiki kuda itu, ia pun menarik tanganku dengan sangat kuat. Kini aku yang sudah terduduk di atas hewan berkaki empat ini.
Untuk pertama kali dan akan menjadi selamanya aku meninggalkan kerajaanku sendiri, juga seorang ayah yang angkara murka!
Malam itu hujan masih mengguyur bersamaan kilat yang terus saja menggelegar di atas kepala kami. Hanya kuda ini yang terus meringkik membawa kami pergi menjauh dari sarang Raja drakula. Dengan terus menembus butir air yang turun juga kegelapan di depan mata, melewati sebuah hutan kematian yang penuh dengan Ogre--sejenis Troll, tapi lebih kejam dan menyeramkan.
Sama halnya Troll. Hanya saja terdapat; sepasang tanduk yang menjulang di atas kepala, mata menyipit karena beberapa bagian pipinya yang membengkak sehingga terdapat gumpalan-gumpalan pada wajah yang mengelupas keluar, hidung yang besar seperti kepalan tangan manusia menonjol ke bawah, dengan dua gigi lancip yang menjulang ke atas, sehingga memperlihatkan gigi itu keluar dari mulutnya. Satu lagi, ia adalah makhluk pemakan manusia.
Namun, ras Ogre sungguh sangat patuh kepada Ayahku serta ras vampirku. Karena memang sudah terdapat kesepakatan bersama antar ras Ogre untuk menjaga kerajaan Ayah, dari balik hutan kematian ini. Dan imbalannya bagi ras Ogre yaitu budak manusia untuk dijadikan pemuas rasa laparnya.
Pernah sekali aku mengikuti pengawal itu, tanpa sepengetahuan mereka. Setiap malam, mereka mengirim 5 orang budak ke hutan ini dengan keadaan yang diborgol berantai, berjalan dengan berbaris. Tak lupa dengan memakai penutup mata mereka, menggunakan kain hitam. Hanya agar para budak tidak tahu makhluk seperti apakah Ogre itu.
Seketika itu jerit-jerit pilu pun menyeruak di sepasang telingaku. Mendengarnya saja sungguh sangat miris, apalagi bertemu langsung dengan ras Ogre.
"Tuan putri." Suara budak itu seketika mengalihkan pandanganku padanya.
"Iya," balasku singkat.
"Apa kita tidak berhenti dulu? Kini hujan sudah mulai reda," seru budak itu menolehkan pandangannya ke samping, hingga terlihat jelas hidung lancipnya.
"Kita turun saja di depan," sahutku menunjuk ke arah pohon yang menjulang hingga akarnya pun keluar dari permukaan tanah.
"Baik." Ia menganggukkan kepala.
Akhirnya kami turun tepat di bawah pohon besar ini, aku yang langsung terduduk di dekat akar-akarnya.
Sedangkan ia yang masih menuntun kuda kerajaan, untuk mengaitkan tali kuda itu pada pohon di depannya agar tidak lari.
Kutolehkan pandangan ke kiri dan kanan, melihat situasi kali ini apakah benar-benar aman atau malah sebaliknya. Malam yang dingin menyelimuti tubuh yang terbalut jubah hitam ini, sedikit tanganku dengan kusedekapkan.
Budak itu pun menyusulku untuk duduk di samping, terlihat sungguh pada pakaian yang ia kenakan sudah tidak layak pakai. Sobek dan sangat lusut, entah ... hingga berapa minggu ia tidak menggantinya. Namun, itu masih berguna untuk melindungi kulitnya dari sengatan sinar matahari meski sangat minim dari udara dingin.
"Apa tuan putri benar-benar ingin meninggalkan kerajaan?" tanya budak itu menatap ke arahku.
Seketika itu aku yang memandang, tepat pada pakaiannya beralih ke raut wajahnya. "Iya," singkatku menoleh ke arah hutan.
"Tapi, bagaimana dengan kerajaanmu?" Ia menelengkan kepalanya tepat di hadapanku.
"Itu bukan urusanku. Masih ada raja di sana!" jawabku datar.
"Tapi, tuan put---"
"Panggil saja Eliz." Aku memotong perkataannya seraya menoleh ke arahnya.
"Baik putri Eliz."
"Bukan, maksudku Eliz saja!" jelasku padanya.
Senyum manis pun tersungging di bibirnya. "Namamu siapa?"
"Eliardo."
"Maafkan aku El, maafkan semua atas keangkaraan ayahku selama ini," ucapku merasa bersalah di hadapannya.
"Kenapa put---maksudku Eliz, kau tak bersalah untuk hal ini!"
"Seharusnya aku sebagai putri dari kerajaanku bisa menumbuhkan kebajikan, bukan menyebar keangkaraan ayahku sendiri." Aku menatap lekat matanya.
"Tidak, ini bukan salahmu! Aku percaya kau bukan seperti ayahmu." Ia menatap ke arah kuda.
"Tunggu ... ada sesuatu," lanjutnya menggenggam lengan kananku.
Bersambung!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top