5 : Hadal :

Sangat disarankan untuk baca part ini di saat senggang, bukan saat kalian lagi capek.

Kalau ada yang salah, CMIIW aja ya.

-;-;-;-

5

: h a d a l :

[ zona di palung lautan; diliputi kegelapan abadi ]



2009


Ponsel di meja itu terus-terusan diputar, tetapi jiwa sang pemilik ponsel seolah tengah mengembara ke tempat lain alih-alih berada di kamarnya.

Sudah dua hari berlalu dari terakhir Kartini meninggalkan apartemen Hizraka. Dan, selama itu pula Nolan menunggu balasan apa pun dari gadis itu. Nolan menatap nanar ponselnya. Mengangkatnya. Mengelus layarnya dengan ibu jari. Dia pun membuka kunci ponsel, menunggu layarnya hingga menyala. Dan, layarnya tak memberi notifikasi apa-apa.

Nolan mendengus, lantas menggelengkan kepala. Palingan kertas yang lo selipin di ransel itu nggak ditemuin sama dia, Lan.

Tersadar akan realisasi itu, akhirnya, Nolan duluan berinisiatif mengirim BBM kepada Kartini. Usai pesannya pun terkirim. Nolan menatap tanda 'D' di sebelah pesannya pada layar yang berarti delivered.


Nugroho NP

Kar.
Gue Nolan.
Yang dulu pernah diskusi
di apartemen Hizraka.


Segera, dia singkirkan ponsel agar jauh-jauh dari dirinya. Nolan pun memilih membuka buku panduan untuk training-nya menjadi MST. Handuk bekas mandi paginya yang masih tergantung di leher mulai membuatnya tak nyaman. Dia pun menjemur handuk ke kamar mandi sejenak. Sekembalinya dari sana, ponselnya berdering singkat, menyita perhatiannya seketika.

Dia menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Sekali lagi, dia menarik oksigen memasuki paru-parunya, berusaha tak berharap bahwa yang membuat ponselnya bunyi oleh notifikasi itu adalah Kartini.

Ingin mengenyahkan pertentangan batinnya, Nolan pun membuka lock-screen ponsel. Dia benar-benar berusaha mengabaikan rasa membuncah di dadanya begitu tahu bahwa memang Kartini-lah yang mengirimnya balasan pesan hingga muncul di notifikasi.


Kartini Widya

Eh, iya.
Masih inget kok.
Maaf ya, saya lupa buat
masukkin kamu ke grup
forum.
Banyak kerjaan buat nikahan
saudara jadi fokusnya
kemana-mana @_@

Nugroho NP

Hahaha. Gpp.
Eh, Kar.
Lo udh coba utak-atik
isi ransel lo?

Kartini Widya

Ransel yg mana?

Nugroho NP

Yg kemaren lo pake
pas ke rumah Zraka.

Kartini Widya

Oalah.
Hbs dr rumah Zraka saya
gak sempat utak-atik ransel.
Paling beresin baju dr koper.
Memang knp, Lan?

Nugroho NP

Ya udah, nanti kalo lo
lg senggang dicek
yak ranselnya

Kartini Widya

Eh, bentar.
Ada apa sih?
Jd penasaran.
Saya cek dulu ya.

Nugroho NP

Lah, Kar.
Kagak usah siah.
Nanti aja kalo
lu lg senggang.

Kartini Widya

Oh ya ampun.
Saya baru buka.
Ini, kan?


Nolan menelan ludah. Ia membuka gambar yang Kartini kirim via BBM. Dan ya, itu memang kertas berisi pesannya yang ia selipkan di ransel Kartini.


Kalau misal lo punya suami, dan suami lo setelah nikah baru ngaku bahwa dia pernah ML sama beberapa cewek sebelum ketemu lo. What will you do?

Sori nanya di kertas ini. Baru inget mau nanya itu pas lo udah mau pergi.

- Nolan



Nugroho NP

Iya, itu dr gue.

Kartini Widya

Maaf ya Lan baru
dibuka skrg.

Nugroho NP

Selow.
Kalau senggang, tolong
dijawab ya.

Kartini Widya

Skrg lg senggang kok.


Sebuah senyum merambat di bibir Nolan tanpa diperintah. Pemuda itu baru saja hendak mengetikkan balasan. Namun, sebuah panggilan mendadak membuat layar yang menampilkan BBM-nya dengan Kartini terhalangi. Rahang Nolan hampir terjatuh saat melihat nama Kartini terpampang sebagai peneleponnya.

Merasa speechless, Nolan pun tak tahu harus melakukan apa. Sebab, tak pernah dia sangka Kartini akan meneleponnya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menekan tombol di ponselnya. Kemudian, layar ponselnya justru menampilkan roomchat ia dan Kartini tadi.

Menyadari sesuatu, Nolan pun membeliakkan mata dengan lebar

INNALILAAHI NOLAN PRASETYA NUGROHO.

Kenapa telepon Kartini malah lo reject?

Dia buru-buru mengetik di ponselnya. Meminta maaf. Memberi penjelasan. Nolan sama sekali tak habis pikir dirinya bisa sebodoh itu sampai tak bisa membedakan mana tombol untuk menolak dan mana untuk menerima panggilan. Tapi, sungguh, panggilan dari Kartini itu sangat mengejutkan. Dipikir dia akan memprediksi hal ini akan terjadi?

Setelah pesannya terkirim, balasan dari Kartini datang tak lama kemudian.


Kartini Widya

Oalah. Pantesan.
Tadi saya bingung knp
di-reject. Padahal kita
kan udah saling tukar kontak.
Jd saya asumsikan nama saya
udh tertera di kontak kamu
Maaf ya. Gak niat ngagetin
dg telepon kamu tiba2.
Soalnya saya biasa kyk gini.
Kalau mau jelasin sesuatu mending
face-to-face atau ngobrol di telepon.

Nugroho NP

Gpp. Gue aja yang norak gara2
udh lama gak ditelepon cewek.
Mau accept malah ketekan reject.

Kartini Widya

Hahahaha.
Jd gpp kan saya jelasin
lewat telepon?


Nolan tak menjawab. Dia memilih mencari nomor ponsel Kartini dan menekan opsi call untuk menelepon gadis itu.

Tiga kali deringan, panggilan lalu diangkat. "Halo, Lan. Assalamualaikum."

Nolan terdiam sejenak. "Halo, Kar. Gue mau bahas tentang yang tadi."

"Oh, iya." Nolan mendengar kresek-kresek dari seberang panggilan, seolah Kartini tengah menaruh barang. "Tadi, pertanyaannya tentang suami yang baru mengaku pernah ML dengan beberapa perempuan sebelum menikahi istrinya, ya."

Sebagai balasan, Nolan hanya bergumam.

"Oke." Kartini pun berdeham. "Kalau saya punya suami seperti itu, maka jawaban saya adalah: saya akan tetap menerima dia."

Nolan pun terdiam. Lama sekali. Begitu lama sampai-sampai Kartini mengecek apakah teleponnya dengan Nolan masih tersambung atau tidak. "Lan? Are you there?"

"Kenapa?" pertanyaan itulah yang spontan keluar dari bibirnya. "Kenapa masih diterima? Kan, dia bad boy."

"Eh? Bad boy?" Kartini bernada sangsi. Tak lama kemudian, dia terkekeh. "Lan, saya nggak akan langsung menganggap seorang cowok itu bad boy hanya karena dia pernah tidur dengan beberapa perempuan."

Nolan mengerjap. Menyatukan alis. Bingung. Pengertiannya tentang bad boy seolah sedang diputar-putar. Dia pikir, Kartini berbeda. Bukankah penjelasan perempuan itu mengenai seks dan standar masyarakat pada pertemuan lalu menunjukkan hal demikian? Namun, kenapa sekarang perempuan itu seolah berubah jadi pendukung 'Aku Menikahi Badboy Agar Dia Tobat Demi Aku'? "Tapi, kenapa lo mau terima, Kar? Dengan suami yang udah ML sama cewek-cewek lain, kan, menunjukkan bahwa dia nggak respek sama dirinya sendiri dan elo sebagai istrinya."

"Memang betul. Tapi, saya mikirnya gini, kalau misal dia sudah jadi suami saya, dan dia dulunya pernah melakukan kesalahan, maka saya pasti sudah yakin bahwa dia telah tobat betulan dan menyesal dengan perbuatannya sebelum menikahi saya. Pada dasarnya, saya nggak akan mau menikahi laki-laki yang masih 'nakal' dengan harapan dia akan berubah setelah menikah dengan saya. I'm not a God. Saya nggak akan bisa mengubah dia. Salah satu cara agar dia berubah ya, dengan kemauan dia sendiri."

Lagi, Nolan memberi jeda lama yang membuat Kartini bingung. Namun sebelum Kartini sempat bertanya, Nolan duluan merespons, "Gue butuh penjelasan lebih." Nolan menatap dinding kamarnya. Menimang sejenak sebelum melanjutkan, "Kar, lo lagi ada di mana sekarang? Udah di Virginia?"

"Iya, udah di Virginia."

"Sibuk?"

Ada jeda. "Enggak. Kenapa?"

"Bisa ketemu sekarang?"

Jeda yang kini diberikan lebih lama dari yang tadi. "Uhm, bisa." Jeda lagi. "Memang ada apa, Lan?"

"Gue mau diskusi langsung sama lo lebih jauh. Gue cabut sekarang. Lo ada kegiatan nggak, abis ini?"

"Nggak ada," balas Kartini. Namun, Nolan tak mendengar suara Kartini sesaat. "Tapi, kalau mau ketemu, ayo aja. Mumpung lagi luang juga," lanjut gadis itu.

"Bisa kirim posisi lo sekarang ke BBM gue?"

"Saya kirim alamat tempat kita ketemu nanti aja, ya."

"Oke."

"Ketemu jam 10.00?"

"Siap. Thanks ya, Kar."

Panggilan itu pun ditutup dengan salam dari Kartini. Setelah panggilan terputus, Nolan mengecek jam di dinding kamar. Sekarang pukul 8.30. Perjalanan dari tempatnya tinggal di Yorktown menuju kampus Kartini di Richmond bisa memakan waktu satu jam lebih. Bergegas, Nolan mengantongkan ponsel ke dalam saku celana, menyambar jaket terdekat, memasukkan barang-barang yang dia perlukan-dompet, lighter, rokok-ke dalam saku jaket, memasang sepatu, mengunci apartemen, kemudian berangkat menuju alamat yang dikirim Kartini.


***


Kala pintu keluar dia buka, Kartini membenarkan posisi tas di bahu, baru keluar dari kampusnya. Langkah kaki Kartini berjalan menuju kafe dekat kampus tempat dia akan bertemu Nolan. Di tengah jalan, Kartini mengirim BBM kepada pemuda itu, bertanya di mana lokasinya sekarang. Balasannya muncul tak lama kemudian.


Nugroho NP

Gue udh di dkt kafe.
Tp blm masuk.


Begitu sampai di depan kafe yang dimaksud, Kartini mencari sosok Nolan. Kafe dekat kampusnya ini berada di blok yang didominasi pertokoan. Terdapat gang sempit yang menjadi celah antara bangunan kafe itu dengan bangunan sebelahnya. Dinding-dinding gang itu banyak digunakan sebagai media mural. Berinisiatif, Kartini pun mencari Nolan dengan memasuki gang itu. Hari yang masih cerah membuatnya tidak takut melewati gang-gang sempit seperti ini.

Matanya menjelajah ke sekeliling untuk mencari sosok pria berkacamata yang mengajaknya diskusi. Dia berhasil menangkap sosok Nolan di balik tangga yang menempel pada bangunan sebelah kafe. Nolan sedang merokok di pojokan sana.

Kartini memanggil pemuda itu sambil melambaikan tangannya. Begitu mata mereka bertemu, Nolan segera mencabut rokok dari mulut dan mengembuskan asapnya ke arah berlawanan dari posisi gadis itu. Dia melempar rokoknya ke tanah, lalu menginjaknya hingga bara api rokok itu mati. Sesaat kemudian, dia mendekati Kartini sambil tersenyum. Lambaian Kartini pun tak lupa ia balas. "Hey there."

"Hey too." Kartini tersenyum. "Malah kamu yang nungguin, ya. Harusnya kan saya."

"Nggak apa-apa." Nolan tersenyum, santai. "Mau ngobrol di kafe ini?" Kepalanya mengedik ke kafe sebelahnya

Kartini mengangguk. "Iya. Yuk, masuk!"

Kafe yang mereka singgahi menjual kopi dan teh serta makanan ringan. Kartini dan Nolan memilih untuk duduk di lantai dua. Angin pagi musim gugur terasa cukup dingin untuk mereka. Beruntung di dalam ruangan terasa lebih hangat.

"Ke sini naik apa tadi?" Kartini bertanya seraya menggantungkan jaketnya di kepala kursi yang ia duduki.

"Naik taksi." Nolan mengimitasi lakuan Kartini. "Mau pesan makan dulu?"

Kartini menggeleng, tersenyum sopan. "Kamu aja. Saya paling cuma pesan minuman. Udah sarapan soalnya."

Nolan mengangguk. Ia memesan blueberry pancake dan segelas kopi sebagai menu sarapan. Usai itu, ia menarik napas sebelum memulai diskusinya. Dimulai dari basa-basi sejenak. "Lo ngapain ke kampus? Kuliah, atau ketemu dosen?"

"Cari referensi buat tugas. Hari ini kelas saya libur, sebenarnya." Mata Kartini pun melirik ke arah pelayan yang berjalan membawa pesanan. Dia tersenyum dan berterima kasih saat pelayan itu membawakan minuman pesanannya dan pesanan Nolan. Sambil mengaduk hot chocolate with marshmallow-nya, Kartini bertanya lagi, "Lan, sebenarnya kamu kerja apa, sih? Jadi pelaut?"

Tawa Nolan pecah. Kepalanya tergeleng menatap Kartini. Tangannya spontan menyentuh tato jangkar laut yang dikelilingi lengkungan ombak di lehernya. "Lo bisa menyimpulkan gue itu pelaut gara-gara tato ini?"

"Iya."

"Pelaut, ya." Nolan melingkarkan tangan di badan cangkir kopi, memandangi cairan gelapnya yang mengepulkan uap. "Istilah 'pelaut' tuh maknanya luas banget, Kar. Bisa jadi, nelayan. Bisa jadi, nahkoda. Bisa jadi, awak kapal. Bisa jadi macam-macam."

"Kamu yang mana?"

"Bukan semuanya." Nolan tersenyum. "Gue soon-to-be MST. Marine Science Technician, to be exact."

Kartini berkedip beberapa kali, terkesan menerima pengetahuan baru. "Kerjanya ngapain?"

"Di laut."

Karena Nolan tak melanjutkan, Kartini pun bersungut, "Ih, serius."

Nolan terkekeh. "Ini gue juga serius. Emang beneran di laut kerjanya."

"Ngapain aja? Cari ikan?"

"Itu mah job-desc nelayan." Nolan berhenti sejenak untuk menyesap kopinya. "MST kerjanya bisa buat ngurus limbah, inspeksi kargo, inspeksi kapal penangkapan ikan komersial, menjaga lingkungan laut, et cetera. Dalam kegiatan itu, nanti para kandidat bakal dilatih di Training Center buat tahu dasar-dasar monitoring pollution removal, identifying safety and pollutions violations. Trus juga dikasih pelatihan teknik kalau ketemu teroris. Teknik penanganan bahan-bahan yang mudah meledak juga diajari. Kalau udah advance banget, mungkin bisa ikut riset-riset oseanografi di macam-macam tempat, kayak di Arktik atau Atlantika."

"Ohh." Kartini manggut-manggut. "Kukira kayak anak tambang gitu."

"Nope. Anak tambang ngurus pertambangannya. MST ngurus lautnya, di mana beberapa areanya biasa dipakai untuk pertambangan minyak. MST ngurus penanggulangan gimana biar lautnya nggak tercemar, ada juga yang kayak BMKG gitu kerjanya di HQ*. Tapi kalau kerja di lapang, gue bakal ngerasain semuanya, sih. Nggak bisa pilih mau kerja di bagian mana. Setahu gue kalo di MST itu, lo harus ngerti cara kerja semua bagian, jadi somekind of jack-of-all-trades, baru bisa pilih unit mana yang mau lo masuki."

"Hmm...." Kartini manggut-manggut. "Menarik, ya."

"Asal nggak pusing pas ketemu kalkulus aja." Nolan pun tertawa. Dia menyesap kopinya lagi. "Eh, sori ya gue minta ketemunya mendadak."

"Nggak apa-apa. Kebetulan saya hari ini luang. Lagian, saya suka diskusi, kok." Kartini tersenyum, menyendok marshmallow yang mengapung di dalam gelas hot chocolate lalu mengunyahnya. "Eh, jadi gimana diskusi kita? Mau ngomongin soal yang tadi?"

"Yep, still about bad boy." Nolan mengelus cangkir kopinya. "Tadi lo bilang, lo bakal tetap menerima suami yang ngaku bahwa dia pernah ML dengan beberapa perempuan di masa lalu. Pertanyaan gue, emang lo nggak mikir, seandainya suami lo ini cuma ngeles doang dan aslinya masih pengin 'jajan' di luar?"

Kartini menatapnya dengan tatapan tak gentar. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Menurut saya, setiap manusia berhak mendapat kesempatan kedua untuk berubah. Hanya karena seseorang pernah melakukan kesalahan di masa lalu, bukan berarti selamanya dia akan terus seperti itu. Saya tadi di telepon jelasin, bahwa kalau saya sudah meyakini seorang lelaki bisa jadi suami saya, maka saya sudah yakin pula bahwa lelaki ini telah berubah dan menyesal dengan kesalahan-kesalahan dia."

"Jadi, lo pendukung 'Aku Menikah dengan Harapan Suamiku Nanti Akan Tobat Demi Aku', gitu?"

"Enggak." Tegas, Kartini menggeleng. "Yang namanya tobat harus dari diri sendiri. Saya nggak bisa paksain seseorang buat berubah kalau dianya sendiri nggak mau berubah, bukan? Intinya, sebelum lelaki ini jadi suami saya, dia pasti sudah tobat duluan. Dan, alasan tobatnya jelas bukan karena saya, tapi karena dia mau memperbaiki dirinya sendiri."

"Kenapa lo nggak mikir cowok-cowok yang doyan lempar sempak itu bad boy?" Nolan bertanya, makin penasaran. "They are a jerk, you know."

"Every people have their own jerk side, I think." Kartini mengangkat bahu. "Including girls, whether they admit it or not."

"Kar," Nolan berkata dengan hati-hati, "lo kan cewek juga."

"Including me, Nolan." Kartini menyengir. Mengunyah marshmallow-nya sesaat. "Saya bukan berkata everyone is jerk karena menganggap semua orang itu sama aja-yah, not literally. Intinya, saya nggak berpikir bahwa semua manusia saking brengseknya, maka nggak ada yang bisa dipercaya. Nope, that's really wrong. Saya justru berpikir, karena kita semua manusia, kita pasti punya kekurangan dan melakukan kesalahan. Manusia pernah menyakiti orang lain baik itu secara sengaja ataupun enggak. Dan, itulah yang kusebut sebagai 'everyone has their own jerk side'."

Nolan mengernyit, berpikir keras. "Tapi, maaf nih, ya. Gue kurang setuju sama pemikiran lo," pemuda itu berkata. "Kalau lo menganggap everyone is a jerk because they are a human being, itu kan bisa membuat orang berpikir jadi brengsek itu wajar karena mereka manusia, pasti melakukan kebrengsekan. Hal itu bisa mereka gunakan sebagai alibi."

"It's okay." Kartini terkekeh. "Saya juga berpikir begitu. Tapi, hanya karena saya berpikir 'everyone has their own jerk side', bukan lantas itu bisa dipakai untuk alibi 'saya melakukan hal brengsek karena saya manusia'. Saya menggunakan pemikiran itu untuk semacam... let's say, self-defense mechanism. Agar lebih mudah memaafkan orang-orang yang melakukan hal-hal buruk kepada saya. They did that because they are a human. It's not okay, but it should and could be forgiven. And I should forgive them so I can release myself from their shadows."

Nolan mengerjap. Terdiam. Kemudian, kata-kata yang keluar dari bibirnya adalah, "Subhanallah ya ukhti."

Kontan, Kartini terbahak. Dia mengambil waktu beberapa saat untuk tertawa puas. Kepalanya geleng-geleng sambil memandang Nolan. "Kalau kamu yang ngomong begitu jadi lucu."

Nolan hanya tersenyum. Dia lalu melempar pandangan ke arah lain sambil menarik napas panjang. Berpikir. "What do you think about bad boys, though?" Nolan kembali menatap Kartini. "Menurut lo, kenapa cewek-cewek banyak yang bangga kalau mereka bisa membuat bad boy tobat karena mereka?"

Kartini tertawa panjang. "You like bad boy's discussion very much, don't you?"

"Penasaran aja."

Kartini menyeruput hot chocolate-nya sebelum melanjutkan, "Oke, atas pertanyaan kamu, jawaban saya seperti ini." Gadis itu berdeham. Nolan menegapkan punggung, siap menyimak. "Menurut saya, wajar jika banyak perempuan yang merasa bangga apabila punya cowok bad boy yang 'tobat' karena dirinya. Sebab, kalau seorang bisa membuat seseorang yang tadinya buruk menjadi baik karena dirinya, maka dia akan merasa dia punya kuasa akan sesuatu. I think that is one of human's needs, to feel like they can control something so they won't look pathetic. Tapi, yah... bad boys will always be bad boys. Tobatnya mereka ya bukan yang bener-bener tobat."

"Tapi, Kar," Nolan menyela dengan hati-hati. "Bukannya pemikiran itu agak jahat? Rasanya nggak adil kalau lo menilai semua bad boy itu jahat dan nggak punya hati."

Kartini melihatnya, lantas terkekeh kecil. "Oh, sebentar, sebentar." Dia berdeham. "Kayaknya kita belum sepaham untuk definisi 'bad boy'. Sekarang, saya mau tahu dulu. Menurutmu, Lan, bad boy itu kayak apa, sih? Yang ngerokok, clubbing, tatoan, minum-minum gitu 'kah?"

Kernyitan halus menghias kening Nolan. "Uh, ya... iya. Emang apa lagi?"

"So, you think yourself as a bad boy?" Kartini menahan tawa.

"Gue nggak mau dianggap bad boy, though," sejurus kemudian, Nolan melanjutkan, "but, society used to call somebody like me a bad boy."

Kartini tersenyum sopan, lalu mengunyah marshmallow-nya lagi. "Oke, berarti pemahaman kita memang beda. Biar saya luruskan dulu." Sang gadis menarik napasnya. "Menurut saya, bad boy bukanlah cowok dengan traits yang kamu sebutkan barusan. Hanya karena seorang cowok itu tatoan, tindikan, ngerokok, minum-minum, clubbing, atau suka ngomong kasar, bukan berarti saya menganggap dia bad boy." Kemudian, Kartini pun tersenyum. "Itulah kenapa saya juga nggak pernah nganggep kamu bad boy, Nolan."

Mengerjap, Nolan pun tercenung. Bergeming. Ada sesuatu di dalam dirinya yang berdesir.

"Yang saya garis bawahi sampai saya bisa berkata seorang lelaki itu bad boy adalah apabila lelaki ini merusak hidup orang lain," Kartini melanjutkan. "Bad boy sebenarnya cuma 'label' yang saya pakai untuk mendefinisikan lelaki yang... apa ya, padanan kata yang tepat? Lelaki yang merusak hidup orang, tidak peduli dengan hal itu, intinya dia jadi parasit, mengambil hati orang hanya untuk keuntungan pribadinya aja. Seorang bad boy itu biasanya dicintai banyak orang. Pandai bicara, pandai merayu, pandai mengambil simpati orang, makanya dia juga bisa jadi seorang heartbreaker kelas kakap dan dia tidak akan memedulikan hati orang-orang yang dia patahkan. Hati yang saya maksud ini bukan cuma milik perempuan-perempuan yang mencintai dia, melainkan juga hati keluarga dan teman dia. Tapi, bukan berarti saya menganggap bad boy itu jahat seutuhnya. Saya yakin kok, sejahat-jahatnya manusia, dia pasti punya kebaikan meski sedikit." Kartini tersenyum dengan mata menerawang, lalu bola matanya berlabuh ke sosok Nolan. "Jadi, gimana? Bisa disamakan persepsi tentang bad boy-nya dulu?"

Nolan terdiam sebentar untuk mencerna, lalu manggut-manggut. "Tapi, gimana dengan ucapan lo tadi yang ngecap 'bad boys will always be bad boys'? Itu juga pengecapan nggak baik, kan? Kesannya, bad boy itu manusia hina parah yang nggak layak dapat kesempatan kedua buat tobat. Kalau kayak gitu, jadinya kan, malah nggak adil. Sejahat-jahatnya manusia, bukankah sebaiknya dia bisa dapat kesempatan untuk berubah jadi lebih baik? Kalau langsung melakukan labeling kayak tadi, bisa jadi keinginan si bad boy buat tobat malah hilang karena dia udah dilabel 'bad boy nggak layak dapat kesempatan buat berubah'."

Kartini menatapnya dengan alis terpaut. Bukan terlihat tersinggung, tapi binar matanya seperti penuh rasa penasaran. Bibirnya pun melengkungkan senyum. "Oke, teori labeling, ya." Dia berbalik sejenak. Membuka tas selempangnya untuk mengeluarkan pulpen dan buku catatan. Bersamaan dengan itu, pancake pesanan Nolan datang.

Nolan tak langsung menyantapnya, masih ingin mengetahui penjelasan Kartini.

Usai mengambil buku catatan dari tas, sang gadis berkata, "Sebelum diskusi ini berlanjut, saya mau kita sepakat akan beberapa persepsi. Saya butuh waktu buat catat beberapa hal. Jadi, kamu bisa makan dulu." Kartini lalu membuka ponselnya. Membuka browser dan googling beberapa hal lantas mencatatnya. Nolan memperhatikan perempuan itu dalam diam sambil menyantap pancake. Dia tidak terlalu peduli makanannya. Kopi dan pancake itu hanya dia pesan untuk formalitas belaka. Tadi pagi dia sudah sarapan.

Nolan makan sambil memandangi gadis di depannya, mengamati wajah Timur Tengah milik Kartini. Kulit putih, bibir merah muda, alis hitam tebal, serta bulu mata yang panjang dan lentik. Itu kalau lagi ngedip, bulu mata yang atas sama yang bawah kagak nyangkut apa, ya.

Pancake di lidah Nolan terasa manis. Dia segera menetralkannya dengan minum kopi sambil melihat Kartini mencatat sesuatu dari ponselnya. Nolan tak berniat mencuri pandang tulisan Kartini. Dia yakin Kartini akan menunjukkannya nanti.

"Nah, sudah selesai," ujar Kartini puas, seketika membuat Nolan tergugu.

Nolan bahkan lupa untuk menyelesaikan makanannya karena sibuk memandangi Kartini.

Edan lo, Lan, pria itu memperingati diri sendiri. Kalau Bara tahu, lo bisa kena ceramah ntar.

Kartini mengangkat buku catatannya untuk ditunjukkan kepada Nolan. "Ini adalah beberapa hal yang sebaiknya kita samakan persepsinya dulu. Jadi, nanti kalau mau debat, ada yang bisa kita jadikan pegangan. Biar nggak kayak tadi, di mana persepsi saya dan kamu tentang bad boy beda dan akhirnya menimbulkan salah paham."

Nolan membaca isi catatan Kartini itu dengan teliti. Matanya spontan melotot saat membaca bagian bawah catatan itu. "Astaga, Kar. Pakai sitasi dan daftar pustaka banget?"

Seruan itu dibalas kekehan oleh Kartini. "Nggak semuanya, kok. Kebetulan aja ada beberapa yang dapat pakai sitasi. Biar lebih valid datanya. Lagi pula, menurut saya sih, memang sebaiknya seperti ini. Buat apa ilmu pengetahuan susah-susah dikaji kalau pada akhirnya tidak dimanfaatkan oleh orang-orang?"

Mengangguk setuju, Nolan pun kembali membaca catatan Kartini dan memahami pengertian-pengertian yang gadis itu tulis.


1. Tindakan Sosial

Cara bagaimana individu dan grup sosial membuat kehidupan sosialnya menjadi seperti yang diinginkannya. (Calhoun et al. 1994)

2. Perilaku manusia (behaviour)

Tindakan manusia untuk merespons dari interaksi antara individu dengan lingkungannya (Robbins dan Judge 2006). Bersifat kuantitatif.

3. Sikap (attitude)

Penilaian evaluatif berkaitan dengan obyek, orang, atau suatu peristiwa (Robbins dan Judge 2006). Bersifat kualitatif (e.g. bad attitudes, good attitudes).

3. Teori Labelling

Pengecapan yang diberikan dari masyarakat kepada seseorang dan akan menjadi identitas diri orang tersebut (e.g: seorang anak kecil yang miskin, kelaparan, lalu dia mencuri makanan sekali. Dia ketahuan, lalu orang-orang melabeli dia 'pencuri'. Dari label itu, si anak bisa berpikir bahwa dia memang pencuri, lantas si anak merasa karena dia adalah pencuri, maka wajar saja apabila dia mencuri terus).


Daftar Pustaka:

Calhoun C, Light D, Keller S. 1994. Sociology 6th Edition. Los Angeles (US): Alfred Publishing Co.

Robbins SP dan Judge TA. 2006. Perilaku Organisasi . Jakarta (ID): PT. Indeks Kelompok Gramedia.


"Teori labeling nggak bisa menjelaskan semua perilaku menyimpang," ujar Kartini di saat Nolan sudah selesai membaca, "tapi, sebagian perilaku menyimpang bisa terjadi karena labeling."

"And what you did is exactly that, huh?" Nolan mengembalikan buku catatan Kartini kepada sang pemilik. Lanjut pancake-nya yang tinggal beberapa suap lagi habis. "Lo melabeli seorang cowok bad boy, and that is what he become."

Kartini menghela napas. Bibirnya yang biasa tersenyum membentuk garis lurus. Tatapannya pada Nolan terlihat sedikit menyesal. "Saya nggak suka di-judge secepat itu, Nolan."

Tubuh Nolan membeku. Matanya berkedip beberapa kali. "Gue nggak...." Bibirnya terkatup. "Maaf, Kar. Nggak bermaksud."

"It's okay." Gadis itu tersenyum tipis. "Kamu tadi protes karena merasa saya terlalu memojokkan bad boy, ya?" ujar Kartini, mengalihkan perhatian. "Saya tadi bilang, hanya karena seseorang itu tatoan, tindikan, merokok, minum alkohol, atau ML sama beberapa perempuan, bukan berarti saya langsung mencap mereka 'bad boy', tapi, bukan berarti saya bilang mereka good boy juga."

"Trus, bad boy itu apa?"

"Bad boy menurut saya, ya. Entah gimana menurut orang lain." Kartini mencoret-coret sesuatu di buku catatannya. "Menurut saya, bad boy adalah label yang ditujukan kepada lelaki yang bersikap buruk dan melakukan tindakan menyimpang berkali-kali, diberi kesempatan buat tobat tapi dia memang nggak mau tobat. Seseorang yang melakukan tindakan menyimpang tapi pada akhirnya memilih untuk tobat, berarti dia bukan bad boy. Seseorang yang melakukan tindakan menyimpang, belum tentu brengsek. Seseorang yang brengsek, belum tentu bad boy."

"Dan, seseorang yang terlihat baik, belum tentu sungguhan baik," lanjut Nolan dengan alis menyatu di tengah kening. "Munafik, ya?"

Mata Kartini sedikit menyipit saat dia tersenyum. Nolan memandangi bulu mata Kartini yang mempertegas bentuk mata sang gadis. "Ada beberapa studi yang menyatakan bahwa bisa jadi, seluruh manusia di muka bumi ini adalah hipokrit." Kartini mengibas tangannya. "Tapi, itu out of topic. Balik lagi ke definisi bad boy. Kamu udah ngerti kan, omongan saya tadi?"

"Ngerti. Tapi...." Nolan mengulum bibirnya ke dalam selagi mengamati cairan kopinya. "Yang gue tangkap, bad boy menurut lo adalah cowok dengan strata paling brengsek yang pernah ada. Dia nggak akan tobat karena dia emang nggak mau tobat. Tapi, tadi kata lo manusia layak diberi kesempatan untuk berubah. Kenapa rasanya kontradiktif dengan pengertian lo tentang bad boy, ya?"

"Hmm...." Kartini menyeruput hot chocolate-nya dahulu. "Layak diberi kesempatan kedua, Nolan. Mungkin, dalam beberapa kasus, ada yang merasa kesempatan ketiga dan seterusnya juga layak diberi. Tapi, kenapa saya bisa bilang seorang lelaki bad boy adalah kalau dia bilang mau berubah, lalu diberi kesempatan, tapi pada akhirnya dia nggak berubah-berubah juga. Orang-orang seperti itu cuma bikin capek. Mending dihindari aja, karena mereka nggak akan berubah. Dan, yah, orang-orang yang nggak mau tobat seperti itu memang ada di dunia ini dari zaman baheula. Abu Lahab, contohnya? Like I said, bad boy will always be bad boy." Sesaat kemudian, Kartini menambahi, "Bad boys is just a 'name', though. Saya bisa menamainya 'bad man' atau 'bad dude' tapi pengertiannya tetap sama."

Nolan tercenung, lalu mengamati lagi cairan kopinya yang tinggal seperempat cangkir. Dia lanjut memakan pancake-nya, mengingat-ingat lagi apa yang perlu didiskusikan. "Tadi lo catat pengertian tindakan, perilaku, sama sikap. Buat apa, Kar?"

"Oh, itu seandainya kita salah paham lagi." Kartini menyesap hot chocolate-nya sampai habis. "Contohnya begini. Salah satu cara masyarakat menilai sikap baik atau buruk seorang lelaki bisa dari bagaimana perilaku lelaki itu terhadap perempuan. Apabila lelaki itu sering bertindak kasar kepada perempuan dan memukuli mereka, maka sikapnya dinilai sangat buruk. Semacam itu."

"I see." Nolan mengangguk. "Dan, hubungannya dengan bad boy? Kalau lelaki yang sikapnya buruk itu belum tentu bisa disebut bad boy?"

"Iya. Tapi, sikap buruk inilah yang bisa menyebabkan seseorang dilabeli oleh masyarakat."

"Society is so fucking complicated," keluh Nolan sambil memutar bola mata. Dia pun menatap pancake-nya yang sudah habis. "Eh, iya. Jadi, itu tadi alasan kenapa lo masih mau terima suami lo seandainya dia ngaku udah pernah ML beberapa kali sama cewek sebelum ketemu lo?"

Kartini menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Terima, sih. Cuma... ya... buat saya mending jangan punya suami begitu. Soalnya, kalau kami misal lagi berhubungan suami-istri, saya pasti kebayang gimana dia melakukan hal itu bersama cewek-cewek lain. And that's a turn-off, no question asked. Mungkin agak beda rasanya kalau yang udah nikah itu sama-sama udah pernah ML sama orang lain. Tapi, masih ada sebagian cewek yang menganggap lelaki yang sering ML itu udah 'berpengalaman memuaskan hasrat seksual cewek' and it can be a turn-on for some of them. Balik lagi aja ke diri masing-masing."

Tersenyum, Nolan lalu merilekskan tubuh sembari bersandar di kepala kursi. "Thanks for today, Kar."

"Sama-sama." Kartini ikut tersenyum. "Udah puas buat diskusi hari ini?"

"Untuk sekarang, udah." Nolan menopang dagu di atas meja. "Lain kali, kita bisa diskusi lagi kayak gini, nggak?"

Kepala Kartini terangguk. "Bisa aja, asal kita berdua ada waktu. Tapi, dari deskripsi pekerjaanmu, kayaknya kamu bakal sibuk, deh."

Nolan terkekeh. "Relax, I'll make time for discussion like this."

"Oke, jadi... masih ada yang mau didiskusikan sekarang?"

Perlahan, Nolan menggeleng. Dia lalu mengecek jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 12.11. Rasanya aneh kalau dia menempuh perjalanan satu jam hanya untuk mengobrol dua jam. "Lo abis ini mau ngapain, Kar?"

"Mau pulang." Kartini memasukkan lagi buku catatan dan pulpennya ke dalam tas selempang. "Kamu nggak pulang, Lan?"

"Pulang, kok." Nolan sedikit mengernyit. Sopan tidak ya, apabila dia mau berkunjung ke tempat Kartini? Tapi, siapalah dia ini? Dia dan Kartini saja baru bertemu dua kali. "Well, then... I guess you wanna go home."

"Kamu di mana sih tinggalnya? Training Center kamu di mana?" Kartini lalu memanggil pelayan untuk meminta bill.

"Di Yorktown," jawab Nolan.

"Yorktown?" Kartini membeo. "Lumayan dong perjalanannya. Saya kira, kamu tinggal dekat-dekat sini kayak Zraka."

"Zraka kan, emang kuliah dekat sini, Kar." Mata Nolan melirik pelayan yang membawa bill mereka. Dia dan Kartini membayar dahulu tagihan mereka.

"Jadi, kamu waktu itu di apartemen Zraka cuma singgah aja, ya? Bukan ikut tinggal di sana?" Kartini mulai berdiri. Merapikan baju dan hijabnya lalu menatap Nolan.

Dengan berat hati, Nolan ikut berdiri juga. "Iya, Kar."

"Eh, mau nanya dong." Kartini perlahan berjalan menuju pintu keluar. Aneh. Rasanya Nolan ingin mencegat gadis itu agar tetap duduk saja di kursi yang mereka tempati tadi. "Saya bukannya gila hormat atau gimana. Tapi, saya penasaran aja. Zraka sama Bara panggil saya pakai embel-embel 'mbak'. Kamu kenapa nggak kayak gitu juga? Udah terbiasa 'kah?"

"Lo mau gue panggil 'mbak' juga?" Nolan justru bertanya balik.

"Jawab dulu pertanyaan saya." Kartini membuka salah satu daun pintu ganda kafe, mempersilakan Nolan keluar duluan dengan gestur tangan ala gentleman. Nolan mendengus, lantas membuka daun pintu sebelahnya dan mempersilakan Kartini keluar duluan. Gantian Kartini yang mendengus. "Eh, jawab pertanyaan saya dulu, Lan," lanjut Kartini seraya berjalan keluar kafe.

Nolan menutup pintu di kafe, lalu berdiri saja di depan pintu. Oksigen di sekitarnya dia hirup sejenak sebelum menjelaskan, "Gue panggil lo nggak pakai 'mbak' karena gue mau dilihat setara oleh orang yang gue hormati. Itu aja, sih."

Kartini terperangah. Tidak menyangka jawaban Nolan akan seperti itu. "Kamu...." Sang gadis mengatup bibirnya. Mengetahui bahwa dirinya dihormati adalah hal yang baik, namun mendengar dari mulut orang lain bahwa orang itu menghormati dirinya adalah hal yang rasanya berbeda. Dia merasa dihargai dan didengarkan. "Makasih ya, Lan."

"Aneh." Nolan melirik sekilas ke arah jalan raya. "Padahal, gue nggak ngelakuin apa-apa buat lo. Ngapain terima kasih?"

"Terima kasih karena sudah respek sama saya." Kartini tersenyum tulus. "Terima kasih juga buat diskusi hari ini."

"Nggak, Kar. Gue yang harusnya bilang makasih." Nolan membalas senyum itu. "Thanks udah mau meluangkan waktu lo buat diskusi gue yang dadakan."

"It's okay, I enjoy it." Kartini memerhatikan jalan raya, menoleh ke kiri-kanan untuk mencari taksi. "Saya bantuin kamu cari taksi, ya."

Mengangguk, Nolan akhirnya mencari taksi untuk kembali ke apartemennya yang terletak dekat dengan Training Center. Dan, pertemuan mereka hati itu ditutup dengan ucapan Nolan yang ingin berdiskusi tatap muka lagi.

[ ].





-;-;-;-

Koreksi aja kalau ada pemahaman tentang tindakan, sikap, perilaku, dan teori dalam social science yang salah di sini.

HQ: Headquarter

Hiporit: munafik

e.g singkatan dari Exempli gratia (Latin) yang artinya: sebagai contoh.

Kalian jangan nungguin cerita ini ya, karena update-nya nggak menentu. Menunggu sesuatu yang tidak pasti kan gaenak. Jadi remove aja dulu cerita ini dari library.

Btw, itu daftar pustaka yang ditulis Kartini beneran ada, ya. Bukan dapus gaib. Saya udah nyari sendiri sebelum chapter ini dibikin. Untuk penulisan dapus dan sumber acuan, saya nulisnya pakai gaya penulisan dapus standar dari IPB (gaya CSE dan sistem Harvard). Sumber penulisan dari PPKI IPB Edisi III. Saya nulis begini karena waktu dulu pernah ada yang komen penulisan daftar pustaka salah di Wattpad, sementara setahu saya gaya penulisan dapus antarinstitusi (bahkan antarmata kuliah) kadang bisa beda-beda. Semua punya pedoman sendiri.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top