2 : Neritik :

a/n prepare your brain. tiati banyak kata kasar.

-;-;-;-


2

: n e r i t i k :

[ zona laut laut yang masih bisa ditembus cahaya ]


2009



"Do you stop watching porn or something?"

Pertanyaan itu segera meluncur dari bibir Nolan beberapa menit usai ia bertemu Bara. Bara sendiri hanya mengangkat alis kaget, kemudian membantu membawakan ransel Nolan. Mereka tengah berjalan keluar dari bandara Norfolk, Virginia. "Mau makan siang, nggak?"

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Bar."

"I don't." Bara melirik sekilas ke arah Nolan. "Kita bicarain ini sambil makan siang, kalau-kalau lo lapar."

"Gue nggak lapar." Nolan mendorong troli bandara berisi barang-barangnya. "Tapi gue bisa ikut ke resto dekat bandara kalau lo butuh tempat untuk diskusi."

"Jangan di sini. Mahal." Bara sempat berhenti saat ia tiba di dekat pintu utama. Di sana penuh manusia. Semua berbaris, menunggu giliran untuk keluar. Nolan merasakan wajahnya diterpa angin sejuk dan menggigil begitu ia keluar dari bandara Norfolk.

Musim gugur memberi rasa dingin dari seringnya angin bertiup. Daun-daun pepohonan berwarna oranye dan cokelat kemerahan terlihat cerah meski latar cuaca terlihat kelabu. Nolan merapatkan jaket agar tubuhnya tetap hangat. Ia menaikkan jembatan kacamata, lalu mengerling pada Bara. "Lo laper, Bar?" Nolan bertanya, memberi gaya lebih besar untuk mendorong troli barangnya menuju tempat mobil Bara diparkir, berusaha menyejajari langkah Bara yang cepat.. "Kalau enggak, langsung ke flat gue aja."

"Gue laper." Bara mengeluarkan kunci mobil dari saku jeans. Menekan tombol bergambar kunci terbuka, lalu membuka pintu bagasi mobilnya. Ia kemudian membantu Nolan untuk memasukkan tas dan koper ke dalam sana. "Tas lo banyak amat, Lan. Bawa apaan aja?"

"Alat diving," jawab Nolan singkat. "Kalau beli di sini mahal."

Bara terkekeh pelan. Usai semua beres, mereka pun naik ke jok depan. Baru saja Bara memakai safety belt, Nolan kembali berceletuk, "Can we discuss it in here?"

Butuh waktu sebentar sampai Bara selesai menyalakan mobil dan menjawab, "Sure."

Nolan mengisi paru-parunya dengan udara sebanyak mungkin. Mobil mulai melaju. Meninggalkan bandara Virginia menuju entah tempat makan mana yang dituju Bara. "So," mulai Nolan. "Lo berhenti nonton blue films or what?"

"Berhenti nonton." Bara mempercepat kecepatan mobilnya sejenak untuk menyalip kendaraan di depannya. "Udah dari lama kali gue berhentinya. Cuma mungkin pada nggak nyadar."

"Oh ya?" Nolan menyetel suhu penghangat udara agar lebih tinggi. "Berhenti dari kapan?"

"Dari gue kuliah apa ya." Bara membelokkan setir ke kiri. "Kenapa tiba-tiba nanyain?"

"Penasaran aja. Lo kayaknya paling tinggi self restraint-nya dibanding kita-kita. Makanya lo paling bisa tahan nafsu."

"Nggak juga." Bara terkekeh. "Kalau self restraint, Zraka sama Mahesa kan juga punya self restraint."

Nolan mendengus. "Zraka tuh diem-diem masih nyimpen majalah FHM di sela-sela lemari. Mahesa nggak tahu sih. Tapi kalau diajak diskusi tentang seks ya... mayan lah."

Kekehan Bara berubah jadi cengiran. "Gue juga masih bisa kali diajakin diskusi begituan."

"Tapi nggak akan seblak-blakan Mahesa dan yang lain." Nolan melirik temannya dari sudut mata. "Jadi, lo juga udah buang majalah pria dewasa?"

"Yeah."

"Kenapa?"

"You may believe it or not, tapi itu... bikin gue merasa 'nggak sehat', Lan."

Mata Nolan setengah memicing. "How?"

"Itu semua semu. Gue juga udah berhenti nonton BF juga karena gue sadar bahwa itu semu. Rasanya tuh kayak... kayak diperbudak gitu sama sesuatu yang bukan elo. Tahu khilaf, kan? Manusia itu bisa khilaf kalau mereka udah lost control. Nah, simpelnya sih, gue itu nggak mau lost control. Gue nggak mau melakukan sesuatu yang sebenarnya bukan kehendak gue, tapi cuma kehendak nafsu."

"Oh." Nolan menjentikkan jari. "Itu berhubungan sama Sigmund Freud, kan? Ego, id, dan superego?"

"Nah, anak pintar!" seru Bara. Ia fokus sejenak untuk menyetir, baru setelah jalanan lengang, ia kembali bersuara, "Kita review sebentar. Lo masih ingat apa itu id, ego, dan superego?"

"Bentar. Gue ingat-ingat dulu." Nolan mengangkat satu telunjuknya, memejamkan mata dengan tautan alis sambil berpikir. "Id itu bagian yang impulsif, yang memuat kebutuhan-kebutuhan manusia kayak libido, lapar, haus, dan lain-lain. Kita lagi jalan di mall trus nemu barang bagus, mau beli tapi sebenernya kita nggak butuh-butuh amat sama barang tersebut, itu juga dikendalikan sama id. Sementara ego itu bagian diri kita yang masuk akal, yang technical dan rasional. Jadi kalau butuh makan, terus cara mendapatkan makanannya dengan ambil makanan di dapur kita, ya itu dikendalikan ego. Sementara superego itu... moral bukan sih?"

"Iya, moral. Lebih tepatnya sih, bagian yang memuat nilai-nilai moral, adat, dan lainnya yang dijunjung dari lingkungan kita. Misal kalau kita makan di Eropa, adab lingkungannya itu makan steak harus pakai pisau dan garpu, jadi kalau orang Eropa lihat orang lain makan pakai tangan, mereka bisa mikir itu nggak sopan atau jorok. Ya semacam itulah."

"Oke, berarti gue udah ingat semua. Silakan lanjutkan, Bang Bara."

"Uh." Bara memarkirkan mobil di sebelah resto. Kemudian tersenyum minta maaf pada Nolan. "Gue mau makan, Lan. Nanti udah masuk baru dilanjut."

"Oke." Nolan membuka safety belt-nya. "Gue kayaknya butuh minuman hangat. It's so chilly in here."

"Bear yourself. Ini baru musim gugur, belom kena musim dingin." Bara menyengir. "Turun duluan aja, Lan."

Nolan pun turun dari mobil, menunggu temannya itu selesai mengunci mobil baru memasuki resto, duduk, dan segera memesan makanan pada pelayan. Usai sang pelayan pergi membawa kertas pesanan mereka, Nolan pun meletakkan tangan di atas meja. Menyilangkan jemari-jemarinya. Menatap Bara. "So?"

"So." Bara meletakkan kunci mobil di atas meja. "Sampai mana kita tadi?"

"Sigmund Freud. Dan alasan lo berhenti nonton blue films."

Bara menatapi meja, terlihat berpikir, agak lama. "Gini sih, Lan." Ia berdeham. Mengangkat tangannya sedikit, bergestur ingin menjelaskan. "Manusia kalau khilaf kan selalu merasa bahwa yang melakukan kekhilafan itu bukan diri mereka, seakan mereka 'kesurupan'. Padahal sebenernya, yang melakukan kekhilafan itu ya tetap manusia itu sendiri. Tapi di saat manusia khilaf, ego mereka menyerah pada id dalam diri mereka, dan setelah id memuaskan nafsunya lalu ego kembali mengontrol kesadaran, superego akan hadir sebagai pemberi 'hukuman' seperti rasa bersalah dan semacamnya pada diri manusia. Nah, gue nggak mau sampai ada kejadian gue khilaf di kehidupan gue. Gue juga nggak mau hidup gue dikontrol cuma sama id doang. Gue mau id, ego, dan superego gue berdampingan dengan harmonis. Kalau gue hidup cuma menuruti id, misal, id gue mau ngeseks trus ego gue memilih untuk mengabaikan superego yang memperingati tentang norma dan prinsip hidup segala macam, jadinya setelah si ego sudah memberi cara agar gue bisa mendapatkan apa yang gue mau, misal dengan gue langsung ke club malam dan cari cewek buat ditidurin, rasanya kayak... apa bedanya gue sama hewan? Sama anjing? Sama monyet, babi, segala macam? Gue nggak suka dikontrol nafsu, karena harus gue sendirilah yang jadi tuan atas tubuh gue sendiri."

Nolan mengernyitkan alis. "Apa bedanya itu dengan suami yang berhubungan seksual sama istrinya? Si suami kan juga akhirnya menyerah pada id dia untuk memuaskan nafsu seksualnya. The same thing happened to 'manusia khilaf' kan?"

"Enggak, Lan. Itu beda. Anggaplah suami-istri itu normal. Jadi kalau suami-istri melakukan hubungan seksual nggak dilarang sama negara dan agama. Superego pun tidak akan memberi mereka 'hukuman' karena yang suami-istri lakukan tidak melanggar norma dan adab lingkungan setempat—tapi ini terlepas dari perilaku seks menyimpang, kinks dan segala macam, ya. Lagian, nikah itu sepaket sama tanggung jawab. Beda sama babi atau anjing yang kalau abis kawin ya udah, yang bertanggung jawab cuma yang nyadar aja. Nggak ada komitmen yang bisa mengikat dua orangtua anak."

"Oke, Bar. Anggap juga gue orang liberal yang pro dengan seks bebas. Manusia kan emang bukan hewan, ya. Kita punya akal. Kalau mau ngeseks, yaudah mereka have sex dengan dasar mau sama mau. Nggak pakai pemaksaan. Mereka punya akal, jadi pasti mereka juga udah tahu konsekuensinya, dong? Sehingga tanggung jawab bukannya balik ke dua orang yang ngelakuin seks itu?"

Bara mengangguk tegas. "That's the point, Lan. Tanggung jawab. Lo pikir semua manusia akan mau bertanggung jawab dengan apa yang mereka perbuat?" Bara mengangkat alis sebab Nolan tak membalas pertanyaan retoris itu. "See? Nggak semua manusia mau bertanggung jawab, Lan. Untuk menyeleksi manusia yang mau bertanggung jawab itulah diciptakan suatu 'jenjang berkomitmen' bernama pernikahan."

"Tapi kan untuk membentuk manusia yang bertanggung jawab, caranya nggak cuma dengan nikah aja. Ada leadership, ada juga pelatihan-pelatihan untuk membentuk kepribadian yang bertanggung jawab segala macam. Kenapa seakan parameternya adalah menikah?"

"Karena nikah itu tanggung jawabnya besar, Lan. Lo kalau nikah dan mau menghasilkan keturunan, otomatis kan elo harus menciptakan generasi penerus yang lebih baik dari generasi lo. Kalau dua orang have sex tanpa komitmen dari awal, trus mereka punya anak, siapa yang bisa menjamin bahwa anaknya—si generasi penerus ini—bakal dipertanggungjawabkan oleh kedua orang tuanya? Bisa jadi bapaknya justru kabur, kan? Atau ibunya justru nggak mau ngerawat anak itu? Dan karena dua orang tuanya nggak menikah, hukum-hukum dan hak-hak yang harusnya bisa didapatkan si anak jadi nggak ada."

"Kalau dua orang yang mau have sex ini berkomitmen untuk menikah tapi nggak mau punya anak?"

"Sensitive topic," ujar Bara spontan. "Tapi at least, karena mereka udah nikah, semisal nanti mereka 'kebobolan' dapat anak ya, hak-hak yang seharusnya didapat seorang anak bisa kena gitu."

Bungkam, Nolan pun termenung dengan dahi terlipat. Pandangannya ia lempar menuju jendela. Dan tak lama, pesanan mereka datang. Bara segera meraih cheese burger, membuka bungkusnya lalu lekas makan dengan lahap. Nolan hanya melingkarkan tangan pada dinding cangkir caffè latte yang masih panas. Bola matanya bergerak-gerak mengikuti arah kendaraan yang melaju dari balik jendela.

"So?" kini pertanyaan berbalik ditutur Bara yang baru selesai mengunyah. "Gimana?"

"Penjelasan lo masuk akal." Nolan menarik napas, lalu mendecak. "Anjir, kenapa gue nggak diskusi hal ini ke lo dari dulu, ya? Kenapa pakai dengerin omongan si sutet segala. Sesat tuh bocah."

Bara menyengir. "Sutet itu siapa? Aksel?"

"Siapa lagi?" Nolan terkekeh. Menyeruput caffè latte-nya. "Parah tuh anak. Bangsatnya bukan main kalau udah urusan perempuan."

Cengiran Bara kontan berubah menjadi senyum terkulum. Pria itu menarik napas dalam-dalam, kembali melanjutkan makan.

"Lo juga mau keep virgin until married, Bar?" Nolan segera mengalihkan topik. Sadar bahwa kelakuan Aksel adalah topik sensitif untuk sahabatnya.

"Yep." Bara mengangguk singkat. "I respect myself. And I respect my future wife. Nggak adil rasanya kalau cuma cewek yang dituntut buat menjaga keperawanannya, sementara kebanyakan cowok malah dibiarin aja kalau mereka tebar benih di mana-mana. Bahkan di beberapa tempat, cowok malah dianggap cupu kalau masih perjaka, kan?"

"Oh, wait." Nolan memegangi kepala dengan dua tangan. "This is exciting." Kemudian ditatapnya Bara dengan mata berbinar. "Gue bisa break the stereotypes kalau jadi perjaka dengan tampilan berandal gini."

"Lah." Tawa Bara muncul. "Jadi lo mau keep virgin cuma buat excitement karena berhasil jadi anomali masyarakat?"

"Kagaklah. Itu cuma salah satu faktor pendukung aja," balas Nolan, santai. "Tapi, bener juga sih. Apalagi di USA sini. Mau cewek ataupun cowok kalau masih virgin malah di-bully, kan?"

"Yah." Bara mengangkat bahu. "Udah jadi kebiasaan. Susah diubahnya. Tinggal gimana kitanya kuat-kuatin diri aja sih dari cibiran kalau mereka sampai tahu kita masih perjaka."

Nolan mengangguk, melepas jaketnya begitu merasa suhu dalam ruangan jadi lebih hangat. Bara yang melanjutkan makan menatap sejenak ke arah lengan kiri Nolan yang tertutupi kaus kelabu sepanjang siku. "Baru, Lan?"

"Hah?" Nolan menyampirkan jaket di kepala kursi. "Apanya yang baru?"

"Tato."

"Oh." Spontan, Nolan mengelus lengan kirinya. Tato yang berupa tulisan berhuruf sambung yang dibentuk spiral dari pangkal lengan hingga pergelangan tangan hanya terlihat sebagian. Ada gambar jangkar laut dan trisula Neptunus yang dikelilingi ombak pada bagian dalam lengan bawahnya. "Nggak baru-baru amat, sih. Baru... tiga bulan lalu gue bikin."

Ada jeda. "Lagi ada masalah?"

Dan, spontan lagi, Nolan terbahak. "Kenapa bikin tato sering dikonotasikan dengan punya masalah?" Kepalanya menggeleng-geleng. Tawanya mereda dan sunyi pun menyusup. Beberapa detik kemudian, Nolan menjatuhkan sudut-sudut bibir dan lantas menyilangkan tangan. Bibirnya membentuk satu garis lurus. "Iya, gue lagi ada masalah."

"Kenapa nggak cerita?"

"Too private."

Hening lagi.

Cheese burger di piring Bara sudah habis. Tinggal sisa kentang goreng yang masih banyak. "Okay. Suit yourself, Lan. Semoga masalahnya cepat selesai."

"Makasih, Bar." Nolan menaikkan sudut bibir, tersenyum tulus.

Bara mengangguk, lalu menunjuk lengan Nolan dengan kentang gorengnya yang baru ia celupi saus tomat. "Itu tato lo tulisannya apa?"

"Hng." Nolan melirik sedetik ke arah lengan kirinya. "Jalesveva jayamahe."

"Artinya?"

"Di lautan kita jaya." Nolan meneguk caffè latte-nya lagi hingga tersisa hanya seperempat gelas, tak berniat membahas tatonya lagi. Namun mata Bara yang terlihat seperti menunggu penjelasan pun akhirnya membuat Nolan menerangkan, "Jalesveva jayamahe itu semboyannya Angkatan Laut Indonesia dan dijadikan salah satu kalimat semboyan buat fakultas gue juga. Tapi kalau semboyan fakultas gue, kata-katanya ditambahin."

"Ditambahin jadi?"

"Di laut kita jaya, di darat kita juara," jawab Nolan dengan bangga. "By the way, Bar. Zraka masih kuliah di Virginia, ya?"

"Udah kagak. Tapi dia masih stay di sini buat internship."

"Internship apaan?"

"Semacam kualifikasi supaya dia bisa dapetin lisensi sebagai arsitek resmi gitu." Lima potong kentang langsung Bara ambil dalam satu tangan. "Kenapa? Mau nyamperin?"

Praktis saja Nolan manggut-manggut. "Lo tahu alamatnya? Mau ikut, nggak?"

"Tahu dan mau." Bara mencocol kentangnya ke saus tomat. "Mau kapan ke flat Zraka?"

"Gue ngikut lo aja dah. Kan di sini yang lagi kuliah elo. Gue mah free sebelum masuk ke Training Center minggu depan."

"Kalau hari ini juga, gimana?" usul Bara usai menelan kentang terakhirnya. "Malam ini kita nginep aja di rumah Zraka."

"Bisa, bisa. Ntar kita langsung ke flat Zraka, kan?"

"Yep." Bara menutup makan siangnya dengan meneguk air mineral. Ia lalu mengetik pesan BBM kepada Hizraka untuk memberi tahu tentang rencananya dengan Nolan. Setelah diberi respons positif, pria itu pun memanggil pelayan untuk membayar bill, kemudian berlalu dari sana bersama Nolan untuk bertandang ke rumah Hizraka.

"Eh, Bar," panggil Nolan setelah mereka masuk ke dalam mobil. "Zraka ikutan masuk ke Laskar Perjaka bareng elo?"

Bara yang tadi ingin memasukkan kunci mobil ke dalam slot pun berhenti untuk terbahak-bahak. "Laskar Perjaka banget, Lan?" Dan volume tawanya pun meninggi.

"Kan biar keren, Bar. Kayak Laskar Pelangi. They are The Rainbow Troop. And we, The Virgins Troop."

"Semerdeka lo aja dah." Bara hanya geleng-geleng, lalu menyalakan mesin mobil. "Gue nggak tahu sih masalah itu. Ntar aja lo tanya sendiri sama anaknya."

Nolan hanya bergumam sebagai respons.

Dalam sepanjang waktu perjalanan, Nolan tak banyak bicara. Percakapannya dengan Bara pagi ini menembakkan ingatannya menuju masa empat tahun lalu. Dan kedatangannya ke Virginia membuat ia mendadak jadi memikirkan hal-hal yang selama ini ia hindari.

Keluarga. Kampung halaman.

Serta dirinya yang memilih untuk lari daripada menghadapi.

[ ].




-;-;-;-;-

WEGILE GUE BISA APDET ASTOGEH PADAHAL GUE KULIAH/PRAKTIKUM/FIELDTRIP/NGERJAIN TUGAS OSPEK JURUSAN ATAU KOMBINASI KEEMPATNYA DARI SENIN SAMPAI MINGGU (Yha, saya ga punya hari libur). Cuma 2k kata sih. Yasudala. Ini aja rasanya mau tumpengan.

Pembaca sekalian, fakultas saya emang sama kayak Nolan (coba tebak sendirilah fakultas apa), tapi bisa jadi ada kesalahan terkait info yang saya beri. Kalau kalian lebih tahu, nggak apa-apa silakan koreksi. Dan kalau kalian punya pemikiran lain atas topik yang saya angkat, silakan kasih pendapat (dengan bahasa sopan ya). I like to discuss something, walau balesnya mungkin agak lama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top