15 : Ombak :

nyaris 4k words :" kusedang nulis apa sebenernya

-;-


15

: o m b a k :

[ gerakan naik-turun air laut yang bergulung-gulung di permukaan laut ]


2010



Ketika pintu apartemen Hizraka terbuka, hal pertama yang Nolan lihat adalah sosok Hizraka tengah mengunyah dengan sebuah pisang yang sudah setengah habis di tangannya.

Tak memedulikan hal itu, Nolan membuka kotak bekal di tangannya yang berisi udang goreng tepung. "Ka, lo mau—"

"Mau."

Segera, Nolan menyerahkan kotak bekalnya kepada Hizraka, lantas masuk apartemen temannya itu tanpa basa-basi.

Hizraka tak langsung menyantap makanannya. Dia menatap lama ke arah Nolan yang segera duduk di sofa dan menyalakan televisi. "Kenapa lo?" tanya Hizraka.

"Nggak kenapa-kenapa." Nolan memindah saluran TV sesuai keinginan. Setelah tak menemukan saluran yang menghibur untuknya, Nolan pun berkata, "Lo nggak ada film atau apa gitu?"

"Laci nomor dua dari bufet kiri-atas."

Nolan beranjak ke arah laci yang disebut Hizraka. Membuka laci kemudian mengeluarkan kotak berisi DVD milik Hizraka. Kebanyakan adalah film action, thriller, atau gore. Nolan memilih salah satu DVD dan segera memasukkannya ke DVD player.

Sambil menunggu pembukaan filmnya selesai, Nolan pergi ke kulkas dan mengambil sekaleng soda. Dia kembali lagi ke sofa depan televisi. Hizraka sudah duduk tenang di sisi kiri sofa sambil mengunyah udang goreng tepung buatan Nolan. Nolan segera bergabung dan menyesap sodanya sambil menonton filmnya dengan tenang.

Namun, otak Nolan entah mengapa malah memutar kilasan ucapan Daniel kepadanya saat Nolan mendatangi Kartini tiga bulan lalu. Selama tiga bulan ini, dia hanya disibukkan oleh pekerjaan, pekerjaan, dan pekerjaan. Tak lagi dia mengirim BBM kepada Kartini. Dia bahkan hanya sempat bertanya kabar tentang Hizraka dan Bara lewat BBM. Baru hari ini, setelah tiga bulan lebih hanya bekerja tanpa hari libur, Nolan memilih menghabiskan waktu setelah kerjanya untuk mendatangi apartemen Hizraka sebelum kerja lagi esok pagi. Dia bosan dengan rutinitas tiap pekan tanpa hari liburnya. Dia butuh pengalih selain mengobrol dengan Kartini.

Ah, Kartini lagi.

Dia padahal berniat melupakan perempuan itu dengan menyibukkan diri pada pekerjaan. Namun, meskipun selama bekerja pikirannya memang teralih, ketika dia sudah selesai bekerja, ingatan tentang Kartini muncul lagi.

Nolan membaringkan tubuhnya di sofa, memasang posisi siap tidur. "Bangunin gue jam enam pagi, Ka," ujar Nolan sambil memejamkan mata.

Hizraka masih mengunyah udangnya. "Mau ngapain?"

"Kerjalah."

Hizraka berhenti mengunyah. "Kerja?"

"Hng."

"Lan," Hizraka menelan dulu makanannya sebelum melanjutkan, "besok itu Minggu."

"Hng."

"Lo hari Minggu juga kerja?"

"Hng."

"Kerja apa?"

"Tambahan," ujar Nolan singkat. Tidur untuk menyegarkan pikiran terdengar seperti ide yang tidak buruk untuknya.

Namun, rencananya agak terganggu dengan rasa penasaran Hizraka. "Serius?" tanya Hizraka. "Buat kuliah Nuri?"

Nolan menghela napas panjang. "Ya lo tahulah kuliah dan biaya hidup di sini mahal gila."

Hizraka terdiam sejenak. Mengenal Nolan sedari SD—meski mereka sempat terpisah sebelum masuk SMA—sudah cukup baginya untuk paham bahwa Nolan tak suka meminjam uang kecuali dalam situasi darurat. Hizraka mudah saja memberi atau meminjamkan uang. Tetapi, dia lebih dari tahu untuk tidak membuat Nolan merasa terbebani secara mental. Nolan pasti selalu keingat ibunya yang suka mintain duit mulu itu, pikir Hizraka. Lagi pula, uang yang Nolan butuhkan itu—walau tergolong penting—tidak untuk situasi darurat. Ini adalah uang yang memang bisa Nolan tabung dulu dalam waktu lama.

Membalik tubuhnya agar bisa menatap layar TV, Nolan pun melirik sepintas ke arah Hizraka. "Lo belum tidur dari berapa lama, Ka?"

"Tiga hari." Ditanya seperti tadi, Hizraka pun langsung teringat kantuk. Dia menguap sebelum bertanya, "Jam berapa sekarang?"

"Sebelas."

"Sebelas apa?"

Sejenak, Nolan terdiam dulu sebelum memahami maksud Hizraka. "Sebelas malam, Ka. Lo nggak ngelihat langit gelap di jendela?"

"Jendelanya ketutup gorden." Hizraka memakan udang goreng tepungnya lagi.

Nolan menghela napas. Dia melirik meja di pojok ruangan, tempat maket gedung bertingkat tiga diletakkan. Dari kejauhan, maket itu terlihat seperti rumah semi-kantor. "Maket lo udah kelar?"

"Udah."

"Udah mandi?"

Hizraka hanya diam.

Nolan melotot, segera bangun dari sofa. Rasa kantuknya berganti dengan rasa kaget. "Demi Tuhan, Hizraka Bayuaji. Kalau Tante Hilmiya tahu—"

"Yailah, Lan. Kayak lo nggak pernah nggak mandi berhari-hari aja."

"Itu kalau emang kepepet! Kalau bisa mandi mah, gue mandi!"

"Itu dia, Lan. Gue kepepet. Maket gue harus kelar ASAP. Gue nggak bisa istirahat atau tenang kalau maket belum kelar."

Nolan terdiam. Dia sudah paham mengenai tempo kerja Hizraka sebagai mahasiswa arsitektur. Beberapa temannya yang merupakan mahasiswa arsitektur juga sering tidak mandi atau tidak tidur berhari-hari hanya demi maket. Dia hendak mengabaikan Hizraka. Namun, ketika melihat ada nyamuk mengerubungi rambut lelaki itu, Nolan nyaris menjerit. "Hizraka Bayuaji! Sumpah, itu ada nyamuk ngerubungin kepala lo dan lo masih mau nunda mandi?"

Hizraka tak menggubris. Masih asyik memakan udang gorengnya.

"Allahuakbar!" Nolan segera berdiri dan mengambil kotak bekal berisi udang goreng tepung itu.

Perbuatan tersebut segera dibalas dengan pelototan tajam oleh Hizraka. "Kembaliin."

"Ogah." Nolan tak gentar dipelototi Hizraka. "Mandi dulu, baru gue balikin udang gorengnya."

"Yailah. Tinggal dikit lagi itu, Lan."

"Nggak. Mandi dulu."

"You're not my mom."

"I'm not. Gue cuma seonggok teman yang kebetulan peduli sama temannya sendiri. Gue juga nggak mau tidur berdekatan sama mahkluk bau yang rambutnya dikerubungi nyamuk. Gila lagi kalau ntar nambah-nambah dikerubungin laler."

"Lebay lo."

"Bodo amat."

"Gue masih lapar, Lan. Kembaliin, dong."

"Jawab dulu. Lo walau nggak mandi, tetap ganti dalaman tiap hari, kan?"

Hizraka terdiam. "Cuma dalaman doang, Lan. Nggak harus—"

"Astagfirullah!" sergah Nolan, sangsi setengah mati. "Itu burung lo bisa jadi udah penyakitan sekarang! Kagak enak juga kalau di masa depan, lo nggak bisa ML cuma gara-gara lo malas ganti celana dalam."

Hizraka terdiam. "Ancaman lo nggak enak banget, sih."

"Makanya, mandi siah," ujar Nolan. "Mandi dulu aja, Ka. Gue masak sesuatu dari kulkas kalau lo masih lapar."

Mendengar penawaran itu, Hizraka pun tersenyum. "Kalau lo cewek, gue mending nikahin lo, Lan." Dia segera beranjak dari duduknya dan berjalan untuk mengambil baju ganti dan handuk.

"Ntar lo pasti dapat yang sesuai kok, Ka," ujar Nolan agak keras sambil berjalan ke arah dapur. Apartemen Hizraka memang tak terlalu besar, tetapi cukup untuk ditempati satu orang dengan leluasa. "Santai aja, Ka! Gue doain dapet bini yang jago masak, cantik, memahami lo, dan menerima lo apa adanya!"

"Doa yang kencang, Lan! Terutama di bagian jago masak!" seru Hizraka sebelum memasuki kamar mandi. Nolan bisa mendengar tawa lelaki itu sebelum pintu kamar mandi tertutup.

Memindai dapur, Nolan mencari bahan-bahan yang sekiranya bisa dimasak olehnya. Di kulkas hanya ada telur, sayuran, kentang goreng. Sementara di meja makan hanya ada saus-saus instan. Akhirnya, dia hanya menggoreng kentang, merebus telur dan sayuran, lalu menumisnya dengan saus barbeque.

Tak lama, karena terangsang oleh aroma masakan yang baru jadi, Hizraka keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Dia sudah berganti pakaian dan mengeringkan rambutnya dengan handuk saat memasuki dapur. "Benar kan, Lan," ujar Hizraka. "Emang nggak salah kalau gue pilih lo jadi bini gue."

"Sori-sori aja ya, Ka. Kalaupun gue cewek, gue ogah punya suami kayak lo." Nolan menuangkan tumis telur rebus dan saus barbeque-nya ke piring yang sudah ada kentang goreng.

"Loh, kenapa?" tanya Hizraka, heran. "Hidup sama gue pasti terjamin tahu, Lan."

"Mau lo sekaya Bill Gates pun, Ka. Gue tetap ogah nikah sama orang yang bau, jarang mandi, dan malas ganti dalaman sampai berhari-hari kayak lo." Nolan meletakkan piring berisi masakannya di atas meja makan. "Ntar, bisa-bisa gue penyakitan lagi pas ML sama lo. Hidih!"

"Enak aja penyakitan," semprot Hizraka. Dia pun pergi ke ruang tamu untuk mengambil ponselnya. Dia mengecek ponsel di meja makan selagi menunggu makanannya tak terlalu panas. Dibacanya beberapa pesan yang dikirimkan kepadanya.

"Rencana lo besok ngapain, Ka?" tanya Nolan, duduk bersebelahan dengan Hizraka sambil menopang dagu. Di meja telah tersedia segelas air putih untuk dirinya.

"Habis maketnya diambil, gue mau tidur seharian." Kemudian, Hizraka menutup ponsel cepat dan meletakkannya di meja. "Lo kenapa malah ke apartemen gue, Lan? Besok kan, lo kerja."

"Bosan aing. Mending ketemu orang, terus nginep di sini dan balik ke Yorktown besok pagi."

"Kenapa ke apartemen gue? Kenapa bukan ke Bara?"

"Bara mau ujian."

"Kenapa nggak ke rumah teman kerja lo yang lain?"

"They are not what I need right now." Nolan menghela napas panjang.

Alis Hizraka terangkat. Dia mulai mengunyah kentang goreng selagi menunggu tumis telur rebusnya tak terlalu panas. "Ewangwa wo wagi vutuh afha?"

"Telan dulu, Mas." Nolan ikut mencomot kentang goreng, lalu mencocolnya di saus barbeque yang masih panas.

"Emangnya lo lagi butuh apa?" tanya Hizraka setelah menelan makanannya.

Nolan menelan ludah. Mendadak, dia teringat lagi dengan perkataan Daniel di kali terakhir mereka bertemu. Perkataan itulah yang membuatnya tidak mendekati Kartini lagi—setidaknya sampai Nolan sudah tahu hal apa yang ingin dia lakukan kepada Kartini. Daniel benar. Dia selama ini tidak serius. Lagian, gimana gue bisa serius? Kalau serius pun, gue nggak ada duit buat nafkahin dia, dan gue juga masih belum layak dapetin dia buat jadi istri.

Nolan mendesah. Hatinya mendadak terasa dicengkram. Dia menyesap air putihnya. Setelah menimang-nimang, Nolan berkata, "Gue naksir cewek yang nggak seharusnya gue taksir, Ka."

Hizraka yang tengah mengunyah kentang pun terdiam dari kegiatannya. Setelah kembali mengunyah, dia menatap Nolan, lalu menelan kunyahannya. "Lo naksir bini orang?"

"Kagak, edan." Nolan memutar bola mata. Dia memosisikan punggung dan kepalanya agar bersender di kursi dengan nyaman. "It's Kartini. And she's just... she's kinda out of my reach, I think."

Hizraka mendengus. "Tumben pesimis."

"Bukan pesimis," sanggah Nolan. "Gue habis dibilangin sama Daniel. Dia minta gue buat jauhin kakaknya."

"Trus?"

"Ya... gue ikutin kemauan dia."

"Hasilnya?"

"Daniel bener." Dengan berat hati, Nolan mengakui, "Gue emang nggak serius. Gue cuma deketin karena emang gue mau terus dekat sama Kartini, bukan karena mau seriusin hubungan gue sama dia."

"Ah, masa?"

"Anjay. Ya beneranlah!" Kemudian, melihat Hizraka yang menatapnya dengan sangsi, Nolan pun menambahi, "Ya... gue mau serius sama Kartini, tapi bukan dalam waktu dekat, Ka. Sekarang gue mau fokus buat cari duit buat Nuri. Dan, gue nggak mau pikiran tentang Kartini malah bikin gue hilang fokus. Jadi, gue niat seriusnya nanti aja setelah semua stabil."

"Good point, though." Hizraka lanjut makan sambil berpikir. "Tapi, Lan, lo pernah mikirin perasaannya Mbak Kartini nggak, sih?"

"Mikirin kayak gimana?"

"Mikir, mungkin Mbak Kartini udah taruh harapan ke elo."

Nolan bergeming, lalu tertawa. "Gelo, siah. Nggak mungkin itu."

"Bisa jadi, kan?"

"Kagaklah, edan. Masa yang model Kartini taruh harapan ke cowok kayak gue? Kayak nggak ada cowok lain yang jauh lebih baik aja."

"Kalau ternyata dia beneran taruh harapan, gimana?" tanya Hizraka. "Penekanan gue di 'seandainya', Lan."

Sembari memikirkan jawabannya, Nolan menyeruput air putihnya sampai habis. "No. She deserves better."

"Kalau ternyata dia mikir lo udah cukup baik buat dia?"

"Still no." Nolan menggeleng tegas. "Kartini lebih cerdas dari itu."

Hizraka mengunyah makanannya yang tinggal tersisa tiga perempat piring. "If you say so."

Nolan mengisi gelas kosongnya dengan air mineral lagi. Ketika dia kembali ke meja makan, Hizraka sedang mengunyah sisa kentang gorengnya sambil membaca sesuatu di ponsel. Pemuda itu berdecak jengkel, lalu menutup ponselnya di meja.

Nolan duduk di kursinya semula. "Kenapa, Ka?"

"Lan, cewek tuh... bego, ya?" Hizraka bertanya sambil duduk di belakang meja makan. Tangannya mengambil garpu dan sendok terlebih dahulu.

Nolan mengernyit, merasa tidak terima dengan pernyataan berkedok pertanyaan Hizraka itu. "Ya kagaklah. Nggak semua. Kenapa lo bisa mikir kayak gitu?"

"Habisnya...," Hizraka mengaduk-aduk makanannya. "Cewek-cewek yang deketin gue itu cuma ngedeketin karena... yah, materi."

"Karena lo dari keluarga berada dan lo dianggap—" Nolan membuat tanda kutip dengan jarinya, "—oh-so-cool-dan-ganteng-abis?"

"Something like that, I guess." Hizraka menyetujui. "Yah, bukan cuma gue, sih. Cewek-cewek itu pada ngejar cowok yang sempurna secara materi. Maksudnya, asal si cowok ganteng dan mapan, kalau si cowok ngelamar, dia langsung terima-terima aja gitu. Nerimanya gampangan lagi."

"Ah, sama, kali. Cowok juga gitu kalau ngejar cewek. Nyarinya cewek yang perfect."

"Bara nggak gitu," kilah Hizraka. "Nggak semua cowok ngejar cewek perfect. Bara malah naksir cewek biasa-biasa aja."

"Iya juga, sih." Nolan menggaruk kepalanya.

"Nah, yang gue herankan itu, Lan, nggak ada satu pun dari cewek-cewek itu yang mau sama Bara. Kenapa? Ya tadi itu gue bilang, Lan. Mereka cari cowok perfect. Minimal tajir atau gantenglah. Mana ada dari mereka yang cari cowok kayak Bara."

"Nih sebenarnya lo ada masalah apa, sih?" tanya Nolan. "Kok, lo bisa langsung main tarik kesimpulan gini?"

Hizraka menenggak minumnya. "Masalahnya itu dari temen-temen gue." Wajah Hizraka terlihat mengeruh, seperti mengingat adegan yang buruk di benaknya. "Gue dengar banyak cerita tentang cewek yang mereka taksir atau yang ngejar-ngejar mereka. Satu kesimpulan yang gue tarik adalah: cewek itu bego."

"'Bego'nya cewek ini bego yang gimana maksud lo? Secara akademis nilainya di bawah rata-rata?"

"Bukan." Hizraka menggeleng tegas. "Cewek bego itu ya... yang murahan. Cowok cukup modal mapan dan ganteng, mereka langsung terima aja gitu."

Nolan mengerjap. Luar biasa bingung dengan pendapat temannya. "Loh, bukannya itu wajar?"

"Wajar itu apa, sih? Kalau sudah dimaklumi sama society, apa itu disebut wajar?" tanya Hizraka balik, membuat Nolan agak terperangah.

Yailah Zraka, lo kagak tidur berhari-hari tapi otaknya malah mikir yang berat-berat. "Bentar, gue cek definisinya di KBBI dulu," ujar Nolan, membuka ponsel dan mencari definisi kata yang dimaksud di KBBI web. "Wajar berarti 'biasa sebagaimana adanya tanpa tambahan apa pun', atau 'sebagaimana mestinya'. Kalau dari pertanyaan lo tadi, menurut gue, apa yang kita sebut wajar dengan apa yang orang lain sebut wajar bisa berbeda."

"Ya udah. Menurut lo, cewek yang ngejar cowok ganteng dan tajir itu wajar. Menurut gue, enggak."

Alis Nolan meninggi. Dia menyimpan ponselnya lagi. "Kok, bisa gitu?

"Soalnya, mereka benar-benar nggak mikir jangka panjang," jawab Hizraka. "Mereka cuma mikir, selama punya suami ganteng dan tajir, itu cukup untuk mempertahankan sebuah pernikahan. Yang bener aja."

Nolan menggaruk-garuk kepalanya. "Emang iya, ya?"

"Ini lo lagi nanyain apanya? Lagi nanya apa ada cewek yang kayak gitu, atau lagi nanya apa dalam pernikahan, ketampanan dan kekayaan aja udah cukup?"

"Yang cewek."

"Banyak yang kayak gitu tahu, Lan. Gue sampai muak sendiri." Hizraka memejamkan mata dan menghela napas panjang. "Mereka tuh bego gitu loh. Menganggap pernikahan itu gampangan. Menganggap menikah itu solusi dari semua masalah hidup. Mereka mikirnya, kalau capek kerja, capek kuliah, capek sekolah, capek hidup, ya udah nikah aja biar bahagia. Ya mungkin karena ini sih, jadinya banyak cewek di sekitar gue yang mikir cukup dengan ditawari cowok ganteng nan mapan yang langsung ngajak nikah, dia langsung ngeiyain aja. Gue sih cuma heran. Cewek-cewek ini mikir jangka panjang nggak, sih? Kalau belum kenal baik sama kepribadian si cowok, trus main langsung terima aja cuma karena si cowok mapan, bukannya itu namanya cewek bego, Lan?"

"Whoa, whoa, sabar, sabar," Nolan memperingati sambil mengangkat tangannya. "Ini maksud lo, cewek bego itu cewek yang dengan mudahnya menerima atau mengejar-ngejar cowok cuma dengan alasan ganteng dan mapan?"

"Iya!" Hizraka mengangguk dengan antusias. "Mereka nggak mikir apa, seandainya si cowok ini aslinya penjahat kelamin? Atau misal si cowok ini bawa-bawa penyakit menular seksual? Atau si cowok diam-diam suka mukulin perempuan? Atau bisa jadi si cowok ini posesif gila? Atau psikopat? Atau apalah gitu. Mereka cuma mikirin mapan dan ganteng doang. Apa nggak bego cewek-cewek yang berpikiran pendek kayak gitu?"

"Ya, oke. Sabar, Ka. Gue setuju tentang orang—bukan cuma cewek—yang berpikiran kayak gitu itu pemikirannya pendek," ujar Nolan. "Tapi, nggak semua cewek bego, Ka. Teman-teman kampus gue dulu yang cewek nggak semuanya menghamba cinta gitu, kok. Ya mungkin emang lingkungan kita aja yang beda kali ya, Ka. Maksudnya, dari kuliah kan, lo banyak fansnya."

"Nggak juga."

"Banyak sih, Ka. Cuma pada takut aja sama lo. Soalnya, lo kalau ngomong benar-benar nyelekit."

"I'm just talking the truth." Hizraka mengangkat bahu. "Yah, cewek-cewek yang dikenalin teman-teman gue buat PDKT pada kayak gitu, sih. Cuma silau sama tampang, harta, dan gengsi. Mau deketin gue karena gue bakal jadi arsitek, gue anak orang punya, dan kata mereka gue ganteng. Itu apa namanya kalau bukan murahan?"

"Buset, Zraka, mulut lo." Nolan geleng-geleng tak percaya. "Dijaga, Ka. Kalau ada cewek beneran yang dengar, sakit hati mereka."

"Bodo. Biar pada sadar."

"Ka, wajar aja cewek itu cari cowok mapan. Logika aja. Kalau lo jadi cewek, emangnya lo mau, nikah sama cowok yang nggak jelas penghasilannya? Yang kalau nikah sama dia, hidup lo justru malah makin susah bukannya makin bahagia?"

Hizraka menyipitkan mata. "Emangnya lo mau nikah sama cewek yang cuma terima lo karena lo ganteng dan kaya raya?"

"Ya kagak. Cuma, menurut gue, cewek yang cari cowok mapan itu wajar. Lo nggak bisa kasih makan anak-istri lo cuma pakai daun. Harus pakai duit."

"Betul. Tapi, begini, Lan. Cewek-cewek yang ada di sekitar gue itu ya kayak gitu. Ada teman gue yang naksir cewek, tapi si cewek malah ngejar cowok yang lebih tajir dan populer dibanding teman gue ini. Ada juga senior gue yang ganteng, aktif, berprestasi, masa depan terjaminlah. Dan, cewek-cewek pada ngejar dia, sampai-sampai agenda cewek-cewek itu cuma cari tahu gimana caranya ngedapetin senior gue ini buat jadi pacar. Mungkin buat lo, itu wajar. Tapi buat gue, itu namanya cewek murahan. Kayak nggak ada kehidupan aja kerjaannya cuma ngejar-ngejar cowok. Dan, ini nggak ada hubungannya sama feminisme, ya. Cewek mau nembak cowok duluan mah, gue fine-fine aja. Tapi, gue nggak respek aja sama cewek yang ngejar-ngejar cowok seolah si cowok ini sumber kehidupan dia."

Nolan terdiam, mencerna pelan-pelan maksud Hizraka. "I see." Dia mengangguk. "Gue setuju. Cuma, menurut gue sih, sebaiknya lo nggak terlalu generalisir bahwa semua cewek kayak gitu. Soalnya, yang lo sebut "bego" ini nggak cuma cewek, Ka. Ada juga cowok yang ngejar-ngejar cewek sampai bego seolah cewek itu adalah sumber kehidupan dia. Plus, nggak semua cewek dan cowok itu penghamba cinta kayak yang lo sebut. Makanya, gue sarankan lo jangan mukul sesuatu sama rata."

Kini, Hizraka yang terdiam untuk mencerna ucapan Nolan. "Kay. You're right. Mungkin, ya emang di sekitar gue cewek-cewek pada kayak gitu. Jadinya gue mikir semua cewek bego."

"Kagaklah. Masa, lo mau mikir Kartini bego juga?"

Hizraka terdiam, segenap realisasi terbangun dan terlihat dari matanya. "Oh, iya," dia menyetujui. "Kenapa gue nggak kepikiran buat deketin Mbak Kartini aja, ya?"

Sontak, suara tersedak keluar dari Nolan. Hizraka lalu teringat lagi. "Eh, sori, Lan. Gue lupa lo naksir sama Mbak Kartini."

Nolan mengalihkan pandangan, lalu menelan air mineral dalam gelasnya. "Ya... nggak apa-apa, sih. Toh juga Kartini bukan bini gue. Gue nggak ada hak buat ngelarang-larang orang lain yang mau menjalin hubungan sama dia."

Alis Hizraka meninggi disusul dengan kekehan. "Yakin nih, nggak apa-apa seandainya gue jadian sama Mbak Kartini?"

Nolan tersenyum kecut. "I don't feel okay. Tapi, kalau Kartini sendiri menerima lo ya, apa hak gue ngelarang-larang dia?"

"Anjir." Hizraka tertawa. "Hopeless romantic parah! Nolan kalau dimabuk cinta sampai kayak gini ternyata?"

"Eh, si Kampret. Gue serius tauk!"

Hizraka kembali tertawa. "Santai, Lan. Gue nggak niat ngembat Mbak Kartini dari lo. She's smart and amazing, but I'm not really into her." Dia mengangkat bahu lagi. "Lagian, ini gue cuma refleksi aja. Meyakinkan diri bahwa gue nggak mau punya bini yang bego dan murahan kayak kebanyakan cewek di sekitar gue."

Nolan mendesah seraya geleng-geleng kepala dan mengelus dadanya. "Astagfirullah, ya akhi. Kalau ngomong itu ya mbok di-filter gitu."

"Ya... gimana. Gue tuh nggak bisa sugar-coating omongan gue, Lan. Kalau menurut gue bego ya, bego."

"Ah, sama aja lo kayak Bara. Nggak pernah ada hati kalau mau ngehina-hina orang."

"Because we talk facts, Lan." Hizraka mengangkat bahu. "Dimasukkin ke hati atau enggak, itu urusan mereka."

"Huh, I can see that." Nolan menatap ke arah lain. "Dan itulah kenapa cewek-cewek pada takut buat deketin lo, Ka. Kalau Bara, sih, mungkin karena fisik dia yang gendut dan item. Tapi kalau lo, pasti karena lo nggak ada hati kalau udah urusan ngehina orang."

"Baguslah. Gue juga nggak mau didekatin cewek bego." Hizraka menandas makanannya. Dia menenggak air putih, lalu bertanya lagi, "By the way, Lan. Lo udah lama nggak kontak Mbak Kartini, ya?"

"Iya. Kenapa?"

Hizraka sedikit menautkan alis, menatap Nolan agak lama. Dia menumpuk piring dan gelas bekas minumnya di meja. "Lo tahu nggak, kalau dia bentar lagi seminar hasil penelitian dia?"

"Hah? Serius?" tanya Nolan tak percaya. "Cepat amat!"

Hizraka membawa tumpukan piring dan gelas kotornya ke kitchen sink, kemudian berkata, "Lo udah berapa lama nggak kontak dia?"

"Udah tiga bulan lebih, sih. Tapi, waktu itu sempat nanya kabar."

"Lo kasih tahu kenapa lo nggak kontak dia?"

"Gue cuma bilang kalau gue bakal sibuk kerja. Dan, Kartini juga cuma nanya kabar gue sekali, habis itu nggak ada kontak lagi."

Hizraka bergumam. Keran air bak cuci dinyalakan oleh Hizraka. Piring bekas makannya mulai dia sabuni. "Habis wisuda, dia mau cepat balik ke Indonesia kata Kak Daniel."

Nolan terdiam lama. Hanya ada suara kucuran air selama beberapa detik. "Oh." Dia menelan ludah. "Ya baguslah kalau gitu. Targetnya terpenuhi; lulus tepat waktu, trus ntar lanjut penelitian-penelitian di Indonesia."

Hizraka selesai mencuci piring dan gelasnya, kemudian meletakkannya di rak cuci piring. Dia memandangi Nolan yang terlihat sedang berpikir sambil menatapi gelas air putih. "Walau kayak gitu, Lan," ujar Hizraka, "menurut gue, Mbak Kartini layak mendapatkan kejelasan tentang hubungan kalian."

Lagi, Nolan terdiam. Hizraka berlalu menuju kamar dengan pesan bahwa Nolan dipersilakan tidur di sofa panjang ruang tamu. Sofa apartemen Hizraka memang panjang, empuk, dan tidak ada armrest, sehingga yang tidur di situ tidak akan merasa pegal.

Bergerak untuk menenggak air mineralnya untuk diisi lagi, Nolan lalu pergi ke sofa ruang tamu dan membuka ponsel. Matanya meneliti BBM terakhirnya Kartini dua bulan lalu.


Kartini Widya

Assalamualaikum.
Hai, Lan. Gmn kbrnya?

Nugroho NP

Kabar gue baik.

Kartini Widya

Alhamdulillah.
Gmn kerjaannya?
Bnr2 ga prnh muncul lgi
di grup forum, nih?

Nugroho NP

Sori bgt. Gue sibuk.

Kartini Widya

Oh, oke.
Ya udh, jaga kesehatan
ya. Jgn terlalu di-
force
tenaganya.

Nugroho NP

Thanks.


Nolan menggigit bibir. Seisi dadanya terasa mengerat. Tuhan, betapa dia ingin bicara lebih banyak dan bertanya balik tentang kabar perempuan itu. Dia ingin tahu bagaimana keadaan Kartini sekarang. Dia bahkan tidak tahu bahwa Kartini sudah seminar disertasi penelitian S3-nya. Sampai kapan dia harus terus menjauhi Kartini? Sampai kapan dia harus menjaga jarak? Sampai Kartini sudah wisuda dan kembali ke Indonesia?

Nolan mengeluarkan napas panjang sambil memejamkan mata. Dia berbaring di sofa. Otaknya berpikir ulang tentang rencananya ini.

Bahkan sampai sekarang, uang untuk biaya kuliah Nuri masih kurang dari target. Dia pun masih harus kerja lebih untuk menafkahi adiknya itu. Nolan menggigit bibir keras. Nggak. Gue nggak bisa ngurusin Kartini kalau urusan buat adik gue sendiri aja belum kelar.

Meski demikian, Nolan tahu di lubuk hatinya, dia membenarkan perkataan Hizraka. Kendati Kartini tak merasakan hal lebih dari teman kepadanya, Nolan tahu sebaiknya dia memperjelas sesuatu di antara dirinya dan Kartini. Ini juga demi kebaikannya sendiri.

[ ].



-;-

Siapa yang baca cerita ini, usianya di bawah 15 tahun?

Gue cuma mau menghimbau. Dulu pas gue 15 tahun, pemikiran gue belum bisa menerima sesuatu seterbuka ini, sih. Makanya kalau kalian masih remaja dan bisa bertahan untuk memahami ceritanya sampai sini ya, wow. Dan sekali lagi gue ingatkan untuk jangan terima cerita ini mentah-mentah. Di-filter dulu. Filter pemahaman itu penting parah, bray. Karena nggak semua hal di cerita ini adalah hal yang jadi pemikiran gue. Ada pemikiran orang lain yang nggak gue setujui tapi tetap gue sisipkan di sini, dan gue buat seolah-olah pemikiran itu logis. Makanya... hati-hati bacanya.


Ini gapenting2 amat sih. Tapi, gue bisa bayangin seandainya gue kerja sama bareng anak-anak Jomblo Raos, gue mungkin bisa kerja sama Bara atau Hizraka, tapi buat kerja pertama, mending jangan sama mereka haha. Mereka soalnya tipe no-nonsense guys dan nggak bisa selalu sabar buat membimbing junior-junior mereka, dan nggak akan sugar-coating orang yang emang secara skill nggak mampu gitu, jadi buat mereka kalau secara skill orang itu bego ya bego, bodoh ya bodoh. Bedanya, Zraka bakal langsung ngomong, sementara Bara mungkin lebih ke menganggap orang "unskilled" ini tidak ada. Makanya, mereka kalau ngomong nyelekit. Kejam, sih. Cuma, ya gimana dong manusia kayak gitu emang ada di dunia :"" Gue mah mendingan kerja sama Nolan atau Mahesa. Apalagi Mahesa, enak banget pasti. Soalnya dia tipe motivator dan anaknya considerate banget sama orang-orang yang belum skillful. Jadi jangan heran kalau dari zaman kuliah, Mahesa banyak fansnya walau dia nggak seganteng Hizraka atau Aksel. Nolan juga anaknya considerate sama junior-junior gitu walau dia nggak bisa jadi tipe motivator kayak Mahesa. Makanya Mahesa sama Nolan itu lebih suka kupanggil "Abang" karena mereka itu punya ciri khas kayak beberapa kakak tingkat cowok di kampusku yang considerate sama junior-juniornya yang belum skillful tapi mau untuk belajar.

p.s.

Judul "Eksistensi" jadinya mau kupakai buat cerita Mahesa. Mahesa ntar ceritanya tentang politik. Wkwkwk. Jadi, kulagi cari2 judul pengganti yang pas buat cerita Bara nanti. Cerita dia tentang pernikahan (tapi konfliknya beda sama Konstruksi). Ada saran?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top