14 : Isodepth :


Silakan baca di waktu santai, bukan pas lagi capek.

CMIIW ya. Gue rada gak pede dg chapter ini.

-;-;-


14

: i s o d e p t h :

[ dalam bidang kelautan, merupakan garis-garis kontur kedalaman laut; berupa titik-titik yang menunjukkan kedalaman yang sama, dan apabila satu titik dengan titik-titik lainnya ditarik garis, maka garis ini disebut isodepth ]


2009



Nolan memegangi lehernya, mengelus tato jangkar laut yang terukir di sana. Pikirannya kembali pada momen beberapa menit lalu ketika Daniel menawarinya untuk salat di kamar.

Sambil meletakkan kepala di puncak sofa, Nolan menegadahkan wajah menghadap langit-langit ruang tamu. Dia menarik napas sembali memejamkan mata.

Mau salat gimana dah, Niel? Gue masih tatoan gini, mana bisa diterima salatnya?

Nolan membuang napas dengan kasar. Bahkan, walaupun dia tak bertato, tetap saja dia takkan menerima tawaran itu. Nolan sudah lupa dengan bacaan salat. Dia juga sudah lupa kapan kali terakhir dia beribadah. Ngapus tato di sini mahal, siah.

Nolan mengusap wajah. Merasa ganjil merasuki benak. Tak lama, Kartini kembali ke ruang tamu dengan wajah lebih segar sehabis wudhu. Bibirnya menyunggingkan senyum. "Mau main lagu apa lagi?" tanya Kartini, lalu duduk di seberang Nolan sambil meraih gitarnya.

"Kalau udahan main lagunya, gimana?" tanya Nolan. Agak trauma dengan bernyanyi bersama Kartini. Sebab, dari dua lagu yang mereka mainkan saja sudah cukup untuk membuat perasaan nolan diobrak-abrik. Otak Nolan segera mencari-cari alasan untuk menghentikan permainan duet lagu ini. "Gue penasaran sama penelitian lo, Kar," ujar Nolan, berharap dalam hati agar dia tak menyesal sudah mengatakan hal itu. "Tadi, gue lihat ada beberapa jurnal di lemari kaca. Penelitian lo dimuat di situ?"

"Iya, itu jurnal yang ada penelitian saya. Kamu mau baca?" Kartini mengangkat alis dengan binar mata antusias. Bibirnya tersenyum lebih lebar dari sebelum-sebelumnya.

Nolan menarik napas. Kalau lo ngelihatin gue kayak gitu, masa sanggup gue nolak, Kar? "Boleh. Gue ambil sendiri jurnalnya di lemari, nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa. Ambil aja."

Nolan kembali duduk di sofa setelah mengambil bindex berisi jurnal-jurnal dengan label "Kartini's". Sejujurnya, Nolan tak paham-paham amat masalah penelitian yang terkait dengan biokimia. Mungkin kalau menyinggung kelautan, dia masih bisa "nyambung" dengan hasil penelitiannya. Tetapi, kalau misal yang dijadikan sampel berasal dari bahan terestrial.... "Lo tertarik bikin penelitian tentang apa emangnya?"

"Bakteri sih, Lan. Kayak hal-hal apa aja yang di dalam bakteri itu yang bisa dimanfaatkan. Semacam itulah."

"Bukannya itu masuknya ke ranah mikrobiologi, ya?" tanya Nolan dengan heran. Dia membaca daftar isi salah satu jurnal, lalu segera membalik halaman yang berisi artikel hasil penelitian Kartini dan rekan-rekannya.

"Biokimia itu luas, Lan. Bisa kemana-mana. Mau ke biologi oke, ke kimia juga oke."

"Oh, iya juga, ya." Nolan manggut-manggut, mulai membaca abstrak jurnal Kartini. Baru beberapa kalimat yang dia baca, wajahnya segera cemberut. "Exopolyssacharide? Itu apaan?"

"Ini, kan, ada penjelasannya," ujar Kartini menunjuk ke arah abstrak jurnal, tepat di kalimat yang menjelaskan mengenai eksopolisakarida. "Eksopolisakarida itu polisakarida yang berada di luar membran sel bakteri. Tahu polisakarida?"

"Nggak."

"Tahu polimer itu apa?"

"Nggak."

"Tahu monomer itu apa?"

"Nggak."

"Uhm... tahu molekul, kan?"

Pelan, Nolan mengangguk. "Maaf ya, Kar. Gue nggak jodoh sama biologi dan gitu-gituannya."

"Gitu-gituannya," ulang Kartini sambil tertawa. "Jadi, gini, Lan. Monomer itu molekul yang bisa diikat dengan molekul sejenisnya untuk membentuk polimer. Seperti arti katanya, poli berarti 'banyak'. Sehingga polimer berarti 'monomer yang banyak'. Contoh polimer salah satunya itu rantai karbon. Kan, bisa disebut rantai karbon karena itu sesama molekul karbon saling berikatan. Kata kuncinya adalah 'yang sesama saling berikatan'. Ngerti nggak, sampai sini?"

"Understood, Professor."

"Oke," Kartini berusaha menjelaskan lagi dengan pelan-pelan. "Jadi, polimer ini ada bermacam-macam contohnya, salah satunya polisakarida. Polisakarida adalah salah satu bentuk molekul karbohidrat. Polisakarida ini terbentuk dari monosakarida, yang merupakan monomer gula paling sederhana. Polisakarida bisa ditemukan di alam, salah satunya ada pada sel bakteri. Endopolisakarida adalah polisakarida yang ada di dalam dinding sel bakteri, sementara eksopolisakarida adalah polisakarida yang menempel di luar dinding sel bakteri. Bisa dipahami?"

"So... eksopolisakarida adalah karbohidrat yang nempel di luar dinding sel bakteri?"

"Hmm...," Kartini bergumam. "Karbohidrat itu tersusun dari molekul senyawa organik. Bentuk molekul karbohidrat itu ada yang sederhana dan ada yang kompleks. Yang sederhana disebut monosakarida, sementara yang kompleks disebut polisakarida. Jadi, kalau mau dibilang polisakarida itu karbohidrat, itu benar. Tapi, kalau mau dibilang bahwa eksopolisakarida itu karbohidrat yang menempel di luar dinding sel bakteri, itu juga benar, tapi polisakarida ini lebih spesifik untuk mendefinisikan bentuk karbohidrat yang kompleks."

"Anjay, kenapa harus pakai istilah njelimet gitu, sih?" keluh Nolan sambil melihat-lihat isi jurnal kembali. Kemudian, dia menghela napas. "Gue merasa bego banget kalau ngobrol sama lo."

"Loh, kenapa?" Kartini terlihat khawatir. "Lan, saya bicara sains buat saling berbagi ilmu, bukan buat bikin orang lain merasa bodoh. Saya minta maaf kalau kamu merasa tersudut."

"Bukan, Kar. Bukan kayak gitu," sanggah Nolan. Mengangkat satu tangannya. "Maksud gue, ini bukan salah lo. Ya... emang guenya aja yang ilmunya masih cetek. Ilmu lo nggak ketinggian, Kar. Gue juga nggak percaya kalau ada yang bilang ilmu seseorang itu ketinggian. Yang ada, kitanya yang emang ilmunya masih cetek."

"Nggaklah, Lan," Kartini menyanggah. "Kamu pasti juga punya ilmu yang nggak saya tahu. Saya nggak paham kalkulus, kok. Malah, ilmu saya buat hitung-hitungan itu sama dengan nol."

"Ah, lebay, ah. Lo kalau mau belajar kalkulus beneran mah, pasti bisa."

"Nah, itu kan, intinya?" Kartini menyengir, mengangkat alis. "Kalau mau belajar, pasti bisa. Kamu nggak suka biologi dan kimia, makanya kamu nggak belajar banyak tentang itu. Tapi, kamu suka hitung-hitungan, makanya kamu belajar banyak tentang hal itu. Ini cuma tentang interest kita terhadap ilmu pengetahuan itu spesifiknya di mana. Saya lebih suka biologi dan kimia, sementara kamu lebih suka hitung-hitungan kayak matematika dan fisika. Gitu, kan?"

Nolan terdiam. Perlahan, dia mengembangkan senyum. "Thanks for making me feel better, lady."

"You're welcome." Kartini ikut tersenyum. Kemudian, dia terpikirkan sesuatu. "Lan, kamu kayaknya tertarik sama isu sosial. Kayak Kenapa nggak masuk jurusan yang ranahnya social science aja?"

Nolan mengangkat kepala sembari berpikir. "Eung... kayaknya, karena gue cuma tertarik sama beberapa isu sosial aja," jawab Nolan. "Kenapa emangnya?"

"Nggak apa-apa. Cuma, selama ini saya lihat, kamu diskusi sama saya topiknya dari ranah social science semua. Ya, memang ada yang akhirnya menyinggung natural science, tapi nggak sebanyak topik dengan isu sosial."

Bibir Nolan membentuk bulatan. "Iya juga, ya." Nolan manggut-manggut. "Tapi, lo juga bisa jawab pertanyaan-pertanyaan gue yang ranahnya dari ilmu sosial. Itu karena lo suka atau gimana?"

"Karena penasaran, sih." Kartini meraih mug hot chocolate-nya yang tinggal tersisa sedikit. "Untuk penelitian, saya lebih tertarik dengan biokimia. Tapi kalau buat ngobrol dan pengetahuan keseharian, saya juga tertarik sama isu sosial. Lagian, bukannya kita hidup juga nggak mungkin terhindar dari isu sosial, ya?"

"Hm, betul." Lagi, Nolan manggut-manggut. "Itulah kenapa gue tertarik sama isu sosial di sekitar gue."

"Kayak bad boy?"

"And porns, and girls, and many else. But, mostly bad boys, I guess."

"Why?"

"Because I used to be one of them?" Nolan bertanya dengan nada tak yakin. "Tapi, lo waktu itu pernah bilang kalau gue bukan bad boy."

"Saya memang nggak pernah menganggap kamu bad boy."

"Exactly. Balik lagi ke pengertian bad boy dari tiap orang, kan? Lo nganggep sekadar tatoan, ngerokok, narkoba, bahkan yang free sex aja juga nggak bisa seketika langsung lo sebut bad boy. Sementara, ada juga orang yang menganggap orang-orang yang tatoan mah udah bad boy, atau anak sekolah yang suka bolos dan ngerokok udah bad boy. Tapi, pengertian lo buat bad boy itu beda gitu. Itu pengertian yang gue setujui juga. I can relate. Cowok yang bangsatnya bukan main dan nggak bisa menghargai perempuan serta sesamanya itu bad boy, atau evil, dan mereka nggak akan tobat. Ya intinya jahatlah. I shouldn't label them, though. Tapi, orang-orang kayak gitu emang ada, Kar. Gue pernah nemu. Dan mereka kayak nggak pernah menyesal gitu dengan perbuatan buruk yang pernah mereka perbuat." Nolan pun menatap Kartini. "Dan yang bikin gue penasaran, how can you came up with such a conclusion about bad boy, though?"

Kartini menatap Nolan dengan pandangan tak terbaca. Bibir perempuan itu tersenyum, tetapi Nolan tahu ada sesuatu yang disembunyikan dari tatapan Kartini. "I'll tell you a tale." Sang perempuan meletakkan mug-nya. Nolan siap mendengarkan. Namun, perasaannya tidak enak, entah kenapa.

Wajah Kartini terlihat tenang. Perempuan itu menarik napas, lalu berdeham sebelum memulai kisahnya. "Pada suatu hari, ada seorang gadis penurut yang jarang melakukan tindakan menyimpang," mulainya dengan nada seperti mendongeng. Nolan sedikit mengernyit, tetapi tetap tenang dan pasang telinga lebih tajam. "Gadis ini tahu apa konsekuensi dari tindakan menyimpang dan merasa akan dirugikan apabila dia melakukan penyimpangan. Hidupnya lurus, yang dibilang orang cenderung membosankan karena dia tak pernah mencoba sedikit pun untuk jadi nakal. Namun, sang gadis tak merasa demikian. Dia bahagia dengan hidupnya, dia berteman dengan banyak orang, tapi tetap menjaga diri agar tidak terkena pergaulan bebas. Kehidupannya berlangsung damai. Sang gadis pun tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa berkarier bagus, cerdas, dan membanggakan. Namun, suatu hari, perempuan ini dijodohkan oleh orangtuanya dengan lelaki yang tak pernah dia kenal.

"Merasa tak ada salahnya berkenalan, perempuan itu menerima perkenalan dengan lelaki yang dijodohkan dengannya. Tapi, beberapa hari sebelum bertemu dengan sang lelaki, sang perempuan mendengar gosip tidak enak mengenai lelaki ini. Banyak orang berkata bahwa lelaki ini bad boy, suka gonta-ganti teman tidur, sering clubbing, dan suka minum alkohol. Sang perempuan pun bimbang. Ketika dia berkenalan dengan lelaki itu pun, ternyata lelaki ini memang seperti apa yang dikatakan orang-orang; tampan, liar, nakal, seru dan penuh tantangan. Sang gadis baik merasa waswas. Tapi, dalam beberapa minggu, sang gadis justru merasa cocok dengan sang lelaki, seakan mereka adalah magnet yang bertolak belakang sekaligus saling tarik-menarik. The bad boy and the good girl, opposites attract, people said.

"Teman-teman sang gadis ada beberapa yang tak setuju, tapi ada juga yang justru mendukung. Teman-teman yang mendukung berkata bahwa karena lelaki ini adalah bad boy yang suka gonta-ganti pacar, maka jika dia menyetujui perjodohan dengan sang perempuan, berarti lelaki ini memang serius. Mereka juga berpendapat bahwa sang gadis adalah perempuan yang beruntung, karena si bad boy terlihat bisa memiliki perempuan manapun yang bad boy inginkan, namun bad boy itu justru memilih si perempuan baik tersebut untuk dinikahi. Lagi pula, meski lelaki ini bad boy, dengan segala kebaikan yang si perempuan miliki, pasti si bad boy akan tobat juga, bukan? Seperti batu yang ditetesi air, perlahan-lahan pasti akan luluh. Akhirnya, dengan tekad ingin mengubah lelaki itu jadi lebih baik, sang perempuan setuju dijodohkan dengan bad boy. Pertimbangan lain perempuan itu adalah karena orangtuanya yang merestui perjodohan tersebut. Dia berpikir, kalau Ibu dan Bapak mau aku nikah sama dia, aku ikhlas. Akhirnya, tak lama, menikahlah the bad boy and the good girl atas restu keluarga.

"Pada bulan pertama pernikahan, semua terasa manis. The bad boy bekerja dengan baik, memberi kasih sayang yang utuh, dan untuk urusan ranjang memang seperti apa yang teman-teman si gadis katakan, yakni 'sangat berpengalaman'. The good girl bahagia. Sebab, the bad boy benar-benar berubah setelah menikah. Ternyata, benar apa kata orang-orang yang bilang bahwa biasanya bad boy akan tobat setelah punya istri. The good girl pun merasa bangga karena bisa membuat bad boy berubah jadi lebih baik. Kehidupan pernikahannya memang ada naik-turunnya, tak selalu terasa manis seperti di novel-novel romansa tentang bad boy tobat yang kadang dia baca. Tapi, semua berjalan baik-baik saja sampai akhirnya, the bad boy ketahuan selingkuh.

"Sebagai istri, the good girl pun marah. Dia mengajukan gugatan cerai, tapi akhirnya selalu kembali kepada the bad boy dengan beragam alasan. The bad boy selalu minta maaf, terlihat menyesal. Alasan kenapa dia melakukan itu sungguh klasik; khilaf. Tapi, pada akhirnya setelah dirayu dan dibujuk oleh the bad boy dengan sangat manis, the good girl pun memaafkan. Karena, tiap manusia berhak mendapat kesempatan kedua, bukan?

"Namun, si bad boy bukan mencari kesempatan kedua. Dia mencari ratusan kesempatan agar tak perlu menceraikan istrinya. Sebab, dia mau tetap memiliki the good girl yang bisa dimanfaatkan, tetapi masih bisa 'jajan dan main' di luar. The bad boy berpikir, lelaki waras mana yang bisa menolak godaan deretan perempuan seksi nyaris tanpa busana di kelab malam? Atau menolak para karyawati yang memang terang-terangan menggodanya untuk memuaskan diri mereka di ranjang? Atau menolak tawaran uang yang mengalir deras cukup dengan manipulasi data sana-sini? Selama tidak ketahuan, dia pasti aman. Dan, kalaupun ketahuan, dia tinggal minta maaf dan berusaha berubah, berkata bahwa dia tobat demi istrinya. Gali-tutup lubang. Easy job, dan dia masih bisa bersenang-senang.

"Dua tahun kemudian, akhirnya, bisnis gelap si bad boy pun ketahuan oleh pihak berwenang. Dia dipenjara, meninggalkan istri yang baru mengangdung anak mereka bersama lilitan utang. The good girl yang mengalami perubahan hidup mendadak itu pun nyaris gila. Tak ada pangeran yang menyelamatkan the good girl, tak ada pula bad boy full of charm yang menolong mereka. Akhirnya, the good girl pun menyadari bahwa selama ini dia salah. Dia takkan bisa mengubah seseorang jika pada dasarnya orang tersebut tak mau berubah. If she needed a hero, she should became one. If she needed someone to keep her strong, she should became one. Berbekal keinginan untuk kehidupan anak dalam kandungannya yang lebih baik, the good girl pun bekerja keras untuk melunasi utang itu. The bad boy dia ceraikan saat si lelaki masih di penjara. Dan, akhirnya, utang itu lunas. Setahun kemudian, dia menemukan lelaki baru yang benar-benar baik, menerima dirinya dan bernasib sama juga dengan the good girl; diselingkuhi pasangan. Lelaki ini diselingkuhi oleh istrinya. Tak lama, mereka pun menikah, dikarunai anak lelaki, dan bersama-sama dengan anak hasil pernikahan dengan mantan suaminya, mereka menjalani kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya." Kartini menarik napas panjang, melihat wajah serius Nolan yang menyimak kisahnya.

Nolan ikut menarik napas. Tak sadar dia menahan napasnya selama beberapa detik saat menyimak kisah tadi. "Dan, anak dari the good girl and the bad boy ini...."

"Adalah saya," ujar Kartini melanjutkan ucapan Nolan. "Ibu saya baru bercerita setelah saya sudah dianggap cukup dewasa untuk paham. Sebelumnya, saya juga udah dikasih tahu sama saudara-saudara dari ibu saya. Cerita dari saudara-saudara malah lebih mengerikan dibanding cerita dari ibu saya sendiri. Mereka selalu memperingatkan saya untuk jangan terlalu memercayai ayah saya. Saya pun juga baru tahu bahwa ternyata ayah saya—bapaknya Daniel—selama ini bukan ayah kandung saya pas saya SMP. Diperingati sama saudara-saudara tentang keburukan ayah kandung saya justru malah bikin saya penasaran mau kenal gimana ayah saya sebenarnya."

Nolan mengerjap. Penasaran, tetapi juga tidak ingin menekan lebih lanjut. "Dan... hasilnya?"

"He hate me." Kartini mengangkat bahu. "Waktu SMA, saya pernah nekat mau ketemu ayah kandung saya. Saya datangi rumahnya, bilang kalau saya adalah anak dia. Hasilnya? Dia justru nyaris menampar saya karena ibu saya meninggalkan dia di penjara bahkan menceraikan dia ketika dia masih jadi tahanan. Kalau saat itu nggak ada teman ayah saya yang menolong, mungkin saya bakal kena pukul ayah kandung saya. Teman ayah saya ini laki-laki, tatoan dan perokok. Tapi, dia baik. Dia bahkan pinjemin saya jaket, kasih saya makan siang dan nganter saya pulang ke rumah." Kartini menatap Nolan. "Dia juga nggak macam-macam sama saya, Lan. Murni mau menolong aja. Dan beberapa waktu kemudian, saya mikir kalau apa yang selama ini saya lihat, belum tentu jadi kebenarannya. Semakin saya dewasa juga saya bertemu beragam orang dan, yah, cuma karena seorang manusia melakukan beberapa tindakan menyimpang, bukan berarti dia orang jahat. Contohnya, Mike dan Autumn, mereka penganut free sex, tapi mereka menghargai orang-orang lain yang nggak sepemahaman sama mereka. Lantas, kenapa saya harus menutup pemikiran saya dan nggak bisa menghargai mereka juga? Menghargai kan, bukan berarti kita sependapat sama mereka."

Nolan terdiam sejenak. "Jadi, anggapan lo tentang bad boy itu...."

"Kuncinya di 'menghargai', Lan." Kartini memejamkan mata dan menarik napas. "Bukan tentang apa aja tindakan menyimpang yang mereka lakukan. Melainkan, tentang bagaimana mereka menghargai orang lain dan diri mereka sendiri. Ayah saya nggak tatoan dan nggak narkoba, tapi dia nggak bisa menghargai perempuan dan anak. Ayah saya dan Mike sama-sama melakukan seks sebelum menikah, tapi Mike bisa menghargai perempuan sementara ayah saya tidak demikian. Jadi, hanya karena saya seperti ini," Kartini menunjuk jilbab dan bajunya, kemudian menatap Nolan, "belum tentu saya adalah orang yang lebih baik dari kamu."

Suasana hening meraja.

Nolan menatap Kartini dengan pandangan berbeda, lebih kagum, lebih terkesima. Ingin sekali dia jujur mengatakan apa yang ada di otaknya seperti, Kartini Widya Azzahra, gimana caranya gue nggak jatuh cinta sejatuh-jatuhnya sama perempuan kayak lo? Namun, hal itu tentu dia urungkan, dan alih-alih, dia justru berkata, "You deserve better."

Kartini terkekeh. "Why?"

"You're such a good person with positive vibes."

"You're a good person yourself."

Nolan tertawa. "Not as good as you."

Kemudian, suasana kembali sunyi.

Nolan berdeham, merasakan kecanggungan kembali. Dia tidak menyangka Kartini akan bercerita mengenai masa lalunya seperti ini, tak menyangka Kartini akan membuka diri kepadanya. Masalahnya, apa tujuan Kartini membuka diri untuknya? Agar hubungan pertemanan mereka lebih erat.

Nolan pun tersenyum miris saat kata 'pertemanan' tadi melintas.

"Eh, iya! Syal kamu!" seru Kartini tiba-tiba. "Bentar, ya. Saya ambil dulu di kamar."

"Oh, iya, iya." Nolan memandang Kartini yang setengah berlari ke arah kamarnya. "Santai aja, Kar! Gue masih punya syal lain!" serunya dengan suara lebih keras agar Kartini bisa mendengar.

Teringat syal, Nolan juga jadi teringat dengan kotak bekal Kartini yang ingin dia kembalikan. Dia lalu menepuk keningnya saat sadar bahwa dia lupa untuk membawa kotak bekal itu. Ah, padahal udah gue taruh di meja makan tadi pagi, keluh Nolan dalam hati.

Kartini kembali dengan syal hijau Nolan yang dia kembalikan. "Makasih ya, syalnya."

"No probs." Nolan mengambil syal itu dan memasukkannya ke kantung jaket. "Malah gue yang lupa balikin kotak bekal lo."

"Ah, santai. Bisa lain waktu. Kamu tinggal di Amerika masih lama juga, kan?"

"Masih, tapi...." Nolan menatap ke arah selain Kartini. "Gue... kayaknya bakal nggak ikut diskusi lagi dalam waktu lama."

Kartini mengerjap. "Loh, kenapa?"

"Gue kerja tambahan." Mata Nolan melirik Kartini sekilas. "Kerja tambahan di hari weekend."

"Nggak ada hari libur?" Alis Kartini meninggi saat melihat Nolan menggeleng. "Sama sekali?"

"Ya... ada, beberapa jam paling. Bukan fulltime libur seharian di weekend kayak dulu."

"Itu namanya bukannya libur...." Kartini mengernyit. "Kamu... beneran nggak apa-apa tenaga kamu di-force kayak gini?"

"I'm bursting with energy," ujar Nolan, santai. "Hasilnya sepadan, kok."

Dibalas seperti itu tetap tak membuat kernyitan Kartini hilang. "Butuh uang banget, Lan?"

"Banget, tapi nggak urgent. Jadi, yah... gue nabung beberapa bulan dari sekarang. Biaya kuliah dan kehidupan di sini mahal parah. Nggak paham lagi."

"Ada beasiswa, kan?"

"I know. Tapi, jaga-jaga aja semisal adik gue nggak bisa keterima beasiswanya."

Kartini menarik napas. Tatapannya terlihat khawatir. "Jaga diri ya, Lan."

"You too." Nolan melirik jam tangannya. Berpikir bahwa jika dia tinggal lebih lama, kemungkinan perasaannya akan makin menggila, Nolan akhirnya memutuskan, "I think I'd better go home right now."

Kartini melirik jam dinding di ruang tamu. Sekarang sudah pukul tiga sore. "Oh, oke. Lain waktu aja kembaliin kotak bekalnya."

"Pasti gue balikin, kok." Nolan memasukkan gitarnya ke dalam tas, kemudian mencanglongnya di pundak. "Gue pulang dulu, ya."

"Ehm, Lan," cegat Kartini ketika Nolan hendak berjalan ke arah pintu keluar. Nolan menoleh. Kartini mengerjap. Bibirnya membentuk garis lurus. "Kamu nggak merasa kasihan kan, sama saya?"

"Nggak. Emangnya ada hal dari lo yang harus gue kasihanin?"

Perlahan, senyum kecil merambat di bibir Kartini. "Nggak ada." Senyum Kartini melebar. "Thanks for understanding."

Sebuah pemikiran melintasi otak Nolan. "Oh, maksud lo tadi tentang bokap lo...." Nolan menggaruk pipinya. Tak yakin ingin bertanya. Takut justru membuat Kartini tak nyaman. "Gue nggak kasihan sama lo. But, Kar, are you okay right now?"

"Way much better."

"Trus, bokap kandung lo sekarang... gimana?"

"Dia udah meninggal," balas Kartini. "Kenapa?"

Santai banget, batin Nolan. Terlalu santai. Dan, harusnya gue yang nanya dia kenapa. "Nggak apa-apa."

Mereka berjalan ke arah pintu, berpamitan, dan akhirnya pintu ditutup setelah Nolan berbalik untuk berjalan ke arah jalan raya. Beberapa langkah dari apartemen Kartini dan Daniel, pintu masuk kembali dibuka, membuat Nolan menoleh saat mendengar suara kenop terputar.

Daniel keluar dari sana, berjalan mendekati Nolan yang sudah sampai trotoar. Tatapannya terlihat serius dan intens saat berkata, "Nolan, saya minta tolong."

Kedua alis Nolan meninggi. "Minta tolong apa?"

"Tolong jangan terlalu... mendekati kakak saya kalau pada akhirnya kamu nggak serius sama dia."

Kepala Nolan otomatis tertarik mundur ke belakang. Menatap dengan tatapan tak percaya.

"Saya paham. Barangkali kamu nggak bermaksud menyakiti hati kakak saya," lanjut Daniel. "Tapi, saya cuma minta, kalau kamu memang nggak serius, tolong jangan main-main sama kakak saya. Saya kasih tahu kayak gini karena kita sama-sama lelaki dan saya tahu kamu nggak beneran serius sama kakak saya."

Bibir Nolan terbuka. Merasa tersinggung. "Daniel, gue—"

"Kamu mau serius sama kakak saya?" tembak Daniel. "Saya nggak masalah kalau kamu memang mau serius. Tapi, kalau mau serius, buktiin. Jangan cuma mendekati kakak saya, flirting-flirting, tapi nggak ada langkah tegas buat berhubungan serius sama kakak saya."

Nolan merasa tertampar.

Dia ingin menelan ludah pun, rasanya berat sekali. Seolah ada batu mengganjal di kerongkongannya.

"Saya juga nggak masalah kalau kamu mau berteman dengan kakak saya," ujar Daniel. "Tapi, tolong benar-benar ditegaskan batas antara pertemanan dan flirting. Jangan buat hubunganmu dengan Mbak Kartini semakin blur begini."

Lagi, Nolan tak bisa berkata apa-apa. Rasa tertekan di dalam dada dan dalam lehernya tak juga sirna. Dia hanya bisa menunduk, merasa bersalah.

"Tolong dipikirkan lagi," Daniel melanjutkan. "Ini buat kebaikanmu juga, Lan. Biar kamu lebih bertanggung jawab dengan perbuatanmu."

Akhirnya, setelah jeda beberapa saat, meski Nolan masih belum mampu berbicara, Nolan mengangguk paham. Raut lega terlihat sepintas dari wajah Daniel. Lelaki itu berterima kasih atas pengertian Nolan, kemudian berbalik dan mulai berjalan kembali menuju apartemennya.

Detik selanjutnya, Nolan menatap punggung lelaki itu. "Daniel!" seru Nolan, membuat kepala Daniel tertoleh. Dia berjalan agar lebih dekat dengan Daniel. "Lo tahu dari mana tentang hal ini?"

"Tentang perasaan kamu ke kakak saya?" tanya Daniel sambil mengangkat alis.

Setelah menelan ludah, Nolan mengangguk.

"It's so obvious, Lan." Daniel membalas dengan tawa. "Kamu ngelihat Mbak Kartini seolah kamu lagi nahan-nahan diri buat nggak memuja dia siang dan malam."

Dan dengan itu, Daniel pamit dan kembali berjalan menuju apartemennya. Dia menutup pintu, meninggalkan Nolan sendirian di trotoar di tengah musim gugur menuju musim dingin bulan Desember.

[ ].



-;-

Daftar Pustaka:

Nichols CM, Guezennec J, Bowman JP. 2005. Bacterial exopolysaccharides from extreme marine environments with special consideration of the southern ocean, sea ice, and deep-sea hydrothermal vents: a review. Marine Biotechnology. 7(4): 253-271.

-;-;-

ABOUT SCIENCES

Social science: IPS (sosiologi, psikologi, ekonomi, komunikasi, sejarah, bahasa, politik, dll)

Natural science: IPA (kedokteran, fisika, matematika, kimia, biologi, komputer, statistika, dll)

Mungkin ada yang beropini, "Lah, psikologi mah IPA, soalnya kan ada juga PTN yang kalau kita mau pilih jurusan Psikologi, harus dari jurusan IPA." Kalau kata gue, harus dari jurusan IPA/IPS/boleh keduanya itu mah kebijakan masing-masing kampus. Psikologi ranahnya tetep social science kalau dari yang gue baca-baca. Yang natural science itu psikiatri (ilmu kesehatan jiwa) yang dipelajari kalau lo mau jadi dokter SpKJ (spesialis kedokteran jiwa).

ABOUT BIOCHEMISTRY

Emang luas banget ini bidang ilmunya. Kayak, kakak tingkat gue itu dari biokimia bisa jadi asprak mikrobiologi, bisa jadi asprak biologi, bisa jadi asprak kimia. Maksudnya, luas gitu cakupannya. Intinya kan biokimia itu belajar biologi dan proses kimia yang menyertainya. Kalau biokimia molekular itu tentang biokimia pada tingkat molekul (yaiyalah). Nanti bisa nyambung juga ke genetika molekuler. Gue belajar biokimia, sih. Sampai ada dua mata kuliah terkait biokimia, malah. Cuma, emang gue nggak suka kimia ya... yaudah. Maboque aing belajar biokimia.

ABOUT TATTOOS

Sebenernya tato itu nggak diperbolehkan dalam Islam karena termasuk haram. Tapi, kalau misalnya mau tobat ya tobat aja. Yang penting berusaha ngapus tato itu. Kalau udah ada uang buat ngapus ya dihapus. Tapi kalau belum ya, salat aja dulu. Diterima atau enggak itu urusan Tuhan. Pokoknya yang penting usaha buat tobat dulu. Nah, si Nolan nggak tahu hal ini, makanya doi mikir "Mending nggak usah salat karena percuma, pasti nggak diterima." Gitu.

p.s.

Asli sih gue gak sabar nge-share part anak-anak Republik Jomblo Raos reuni. Tapi masih lama sih yasudala.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top