12 : Lamun :
12
: l a m u n :
[ tumbuhan air sejenis rumput yang hidup di dasar laut pada kedalaman yang dangkal; bersama mangrove dan terumbu karang berperan menjaga ekosistem laut ]
2009
Satu hal yang tak Nolan prediksi setelah pulang dari pertemuannya dengan Kartini adalah: dia jatuh sakit.
Cuaca makin dingin sebab waktu winter mulai datang. Suhu yang makin turun serta tubuhnya yang kurang fit dan agak basah jelas menambah kemungkinan dia terserang demam. Keesokan harinya, Nolan pun hanya berbaring di kasur sambil menahan rasa sakit. Dia tidak pernah suka sakit. Bahkan sejak dulu, kalau demamnya hanya demam biasa, dia pasti akan tetap berangkat kuliah atau sekolah. Dan sekarang, berhubung hari ini hari Minggu, otomatis Nolan tidak bekerja dan tak bisa beraktivitas ke luar rumah.
Hari Senin sampai Jumat dipakai Nolan untuk bekerja, sementara akhir pekan dimanfaatkan Nolan untuk bertemu dengan Kartini atau jalan keluar bersama teman-teman sejawatnya. James, orang yang akhirnya tinggal seapartemen dengannya, serta yang dulu pernah mengajak Nolan ke tempat night club pun juga tidak menyarankan Nolan untuk pergi. Demam Nolan cukup tinggi.
"Istirahatlah, mate. Mungkin kau diberi sakit karena itu memang waktumu untuk beristirahat," ujar James sebelum pergi. Nolan menekankan bahwa dia tak suka ke dokter, karena itulah James meninggalkan Nolan dengan beberapa vitamin, makanan, dan buah-buahan.
Terlepas dari prinsipnya dengan James yang bertentangan, Nolan tahu bahwa dia memiliki satu persamaan dengan James; sama-sama ingin berhemat karena butuh uang untuk membiayai keluarga. James memiliki keinginan untuk membiayai keluarganya di Ohio, sementara Nolan ingin membiayai hidup dan kuliah adiknya nanti. Karena inilah mereka menyewa apartemen untuk ditinggali bersama agar mereka bisa berbagi biaya sewa, sebab biaya sewa apartemen di sini sangatlah mahal. Belum lagi ditambah biaya makan, administrasi, dan keseharian. Meskipun gaji Nolan cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, jika Nolan tak berhemat, dia pasti akan kesulitan membiayai adiknya nanti. Begitu pula dengan James. Sehingga mereka sepakat untuk tinggal bersama meskipun banyak teman-teman mereka yang memilih tinggal di apartemen kelas menengah sendirian.
Nolan sudah berpikir bagaimana dia bisa memiliki uang cukup untuk menyewa apartemen untuk ditinggali bersama Nuri serta bagaimana membiayai kuliah adiknya itu. Dia sudah mengontak atasannya untuk memberikan pekerjaan tambahan di akhir pekan untuk mendapatkan gaji tambahan. Dia juga setengah berharap Nuri bisa mendapat beasiswa. Hanya saja, bersiap untuk kemungkinan terburuk, Nolan merasa harus memiliki rencana cadangan untuk membiayai dirinya dan sang adik. Nuri jelas harus kuliah. Abang macam apa gue kalau adik sendiri sampai nggak bisa kuliah cuma karena gue nggak ada duit? batin Nolan.
Bosan hanya berdiam diri, Nolan beranjak dari ranjang dan berjalan menuju ruang tamu. Dia menyalakan televisi, mencari-cari saluran yang sekiranya menghibur, kemudian mengambil buah-buahan dan air putih hangat. Dia menonton tayangan ulang pertandingan futbol sambil memakan apel. Saat itu, jam menunjukkan pukul sepuluh lewat. Nolan baru menikmati tayangan selama lima belas menit ketika mendengar bel pintunya berbunyi.
Nolan berjalan ke arah pintu dengan malas. Dia ingin tidur. Matanya terasa agak berat saat tadi nonton televisi. Dia pikir, barangkali James pulang lebih awal untuk mengambil sesuatu kemudian pergi lagi. Atau mungkin, ada teman sejawatnya yang mengunjungi untuk suatu urusan. Nolan meraih tisu saat merasa hidungnya terasa agak geli dan hangat. Dia mengeluarkan ingusnya dulu sebelum membuka pintu apartemen.
Ketika dia membuka pintu, hidungnya terasa hangat lagi. Nolan meletakkan tisu di bawah hidungnya dahulu, baru mendengak dan melihat Kartini menatapnya dengan terkejut.
Mata Nolan membola. Kaget bukan main.
Mereka terdiam selama beberapa detik. Nolan masih sangsi sosok di depannya ini benar Kartini atau bukan. Atau, apa mungkin gue lagi berhalusinasi?
Mengerjap beberapa saat, Nolan menutup pintunya dulu. Benar-benar berpikir dia demam terlalu tinggi sampai berhalusinasi Kartini mendatangi apartemennya. Setelah lima detik meyakinkan diri, Nolan kembali membuka pintunya hanya untuk menemukan bahwa sosok mungil Kartini masih berada di depan sana.
Kartini mengernyit bingung. Dia lalu memiringkan kepala. "Uhm... Lan? Kamu kenapa?"
Sontak, Nolan pun terkesiap dan melangkah mundur. "LAH, KARTINI BENERAN?" serunya tak percaya. "Gue pikir halusinasi siah!"
"Kok, halusinasi?" Kartini memiringkan kepala. Kernyitan di dahinya makin kentara. "Kamu... sakit, Lan?"
"Hah? Enggak, ya... nggak... nggak kayak yang lo pikir...."
"Uhm, Nolan?"
"Kenapa?"
"Itu...," Kartini mengernyit, menatap seperti meminta maaf, "ingusmu...."
Kontan saja, Nolan melarikan jarinya ke bawah hidung. Kemudian, dia merutuk. Aduh, anjir, ingus. Nggak tahu diri banget pakai acara keluar di saat kayak gini.
Dia segera berbalik dari Kartini dan menyeka ingusnya dahulu. Melihat tangannya juga basah oleh ingus, dia pun seketika jijik sendiri. Meskipun ingusnya masih seperti air dan transparan, tetap saja rasanya menjijikan. Menatap Kartini, Nolan pun berkata, "Eung... masuk aja, Kar. Gue cuci tangan dulu."
"Saya cuma mau kasih ini, kok." Kartini mengangkat sebuah paperbag. "Ini, jaket yang kamu pinjamin kemarin."
Nolan mengerjap, teringat apa yang dia lakukan kepada Kartini kemarin di bus. "Oh, itu." Dia hendak mengambil paperbag yang diangkat Kartini, tetapi tangannya membeku saat dia mengingat ingusnya. "Kar, masuk aja, dah. Tangan gue banyak ingusnya. Mau cuci tangan dulu."
Kepala Kartini melongok ke dalam. "Ada orang, nggak?"
"Cuma gue doang."
"Mm... saya nunggu di luar aja, ya."
Nolan mengernyit. "Dingin lho, Kar."
"Nggak apa-apa. Saya kan, pakai mantel hari ini."
Nolan akhirnya mengangkat bahu. "Suit yourself."
Usai itu, Nolan pergi ke kamar mandi sejenak untuk membuang ingus dan mencuci tangan. Dia mengenakan syal dan jaket tebalnya serta membawa satu syal lain ke teras apartemen.
Kartini duduk sambil memandangi jalanan. Melihat Kartini masih terdiam, Nolan segera melilitkan syal yang dibawanya ke leher Kartini, membuat perempuan itu mendengak saat merasakan lehernya tiba-tiba dilingkari oleh sesuatu yang lembut. Kartini mendapati Nolan yang terlihat tak sehat. Khawatir, dia pun berkata, "Nggak usah repot-repot, Lan. Saya cuma sebentar, kok."
"Hidung lo merah," ujar Nolan, membenarkan posisi syal yang melingkari leher Kartini. "Ntar, kalau lo tambah kedinginan, takutnya lo ketularan gue juga."
Kartini terdiam. Merasa hatinya menghangat. Dia tersenyum dan berterima kasih kepada Nolan setelah pemuda itu selesai melingkari syal di lehernya.
Nolan langsung duduk di kursi sebelah Kartini dan mengambil paperbag di meja. "Makasih udah nganterin jaket gue."
"Sama-sama." Kartini pun berdeham. "Kamu masuk gih, Lan. Nanti kamu tambah sakit kalau di luar terus."
Nolan terkekeh. "By the way, lo tahu alamat apartemen gue dari siapa?"
"Saya nanya ke Bara. Kata dia, kamu tinggal di sini."
"Ini... lo datang dari rumah lo langsung apa gimana?"
"Saya mau pergi ke rumah alumnus kampus saya yang tempatnya dekat Virginia Beach. Jadi, sekalian lewat aja."
"Oh, I see." Meski demikian, Nolan merasa sedikit kecewa. Mungkin karena dia berharap Kartini benar-benar datang hanya untuknya. Dia pun menahan dengusan keluar. Naksir orang itu bahaya kalau udah berharap ketinggian, batinnya mengingatkan.
Dia meraba paperbag-nya, merasakan ada sesuatu berbentuk balok dari dalam paperbag itu. Penasaran, dia membuka dan melihat isi di dalamnya. Alis Nolan segera menyatu kala melihat isi paperbag tersebut. "Kar," dia mengeluarkan kotak bekal hello kitty yang terletak di atas jaketnya dalam paperbag, "ini punya lo?"
"Oh, itu." Kartini berdiri, merapikan mantel yang dia kenakan. "Itu buat kamu, Lan."
Bibir Nolan terbuka. Dia mengerjap beberapa kali. Pandangannya turun pada kotak bekal hello kitty di tangannya. Kotak bekal itu masih terasa sedikit hangat setelah bagian bawahnya dia sentuh.
Nolan membuka tutup bekal tersebut. Dan, napasnya tercekat sesaat ketika melihat isinya.
Seisi hatinya terasa campur-aduk. Dia merasakan gejolak emosi yang sulit sekali didefinisi. Antara rasa kaget, terharu, bersyukur, bahagia, semua melebur jadi satu. Dalam beberapa saat pun dia tak mampu berbicara, hanya memandangi potongan lontong dan sate dalam kotak bekal itu.
Mendapati Nolan hanya terdiam, Kartini pun berkata, "Katanya... kamu suka sate, kan? Itu juga bukan saya yang bikin, sih. Tapi...," melihat Nolan masih saja bergeming, Kartini bertanya, "apa... kamu nggak suka?"
Nolan segera mendengak, menatap Kartini dengan menunjukkan mata penuh pergolakan emosi yang tak bisa dia bendung. Dia sendiri tak mengerti. Dia tak pernah mengerti dengan perasaan seperti ini. Sebab, tak pernah ada yang memperlakukannya sepeduli ini sebelumnya. Bahkan tidak dengan para sahabatnya seperti Bara, Hizraka, Aksel, dan Mahesa. Namun, kenapa pula dia berharap para sahabat-sahabatnya itu bisa merasakan sensitivitas yang sama dengannya? Mereka dekat dengan Nolan dalam bentuk kedekatan yang berbeda dengan kedekatannya dengan Kartini. Bagaimana mereka memahami Nolan berbeda dengan bagaimana Kartini memahaminya.
Nolan menelan ludah, merasa hatinya porak-poranda sebab dia jadi ingat rumah, ingat kampung halaman, ingat keluarga, ingat ayahnya yang sudah tiada, ingat obrolan-obrolan masa kecilnya dengan nasihat sang ayah untuk terus belajar, hingga dia teringat bahwa dia sudah sampai di titik ini. Tak ada jalan kembali. Dia menggunakan sisa tabungan Wafi yang diwariskan kepadanya untuk pergi ke sini dan membiayai dirinya sendiri sampai dia mendapat gaji pertamanya. Semua rencana sudah dia susun meski mungkin akan ada yang berubah di masa depan.
Nolan merasa dadanya menyempit saat mengingat nasihat sang ayah. Dia mengerjapkan mata, menatap wajah Kartini yang khawatir. Bibirnya membentuk senyum yang sangat tulus. "Makasih banyak, Kar."
Wajah Kartini perlahan berganti dengan raut kelegaan. Dia membalas senyum Nolan dengan lembut. "Sama-sama. Saya pulang dulu, ya."
Nolan manggut-manggut. Dia menghentikan Kartini saat gadis itu hendak melepas syal yang dipinjamkan Nolan, "Bawa aja syalnya. Minggu depan gue ambil di apartemen lo. Sekalian ketemu lagi."
"Oh... oke." Kartini melilitkan syal Nolan di lehernya kembali. "Jaga diri ya, Lan. Jangan lupa makan buah, minum vitamin juga kalau perlu."
Nolan menyengir kuda. "Iya, Kar." Pipinya berkedut karena tersenyum. Dia bahagia sekali kendati hidungnya terasa hangat dan ingin mengeluarkan ingus. Walau ingus merusak suasana, aing rela sakit kalau diperhatiinnya kayak gini. "Hati-hati di jalan, Kartini."
Kartini melambaikan tangan. "Hati-hati juga, Lan."
Mata Nolan tak lepas dari sosok Kartini hingga perempuan itu menghilang ditelan jarak dan jalanan. Kotak bekal yang Kartini berikan masih terasa hangat di tangannya. Nolan tersenyum, merasa bahagia. Jika memang benar hati bisa berbunga-bunga, seisi dadanya kini mungkin sudah membentuk taman bunganya sendiri.
Kemudian, Nolan kembali masuk dan mengunci pintu. Dia meletakkan paperbag Kartini di meja, lalu mengambil ponselnya. Meski tengah diliputi kebahagiaan, Nolan ingat bahwa dia masih punya tanggung jawab yang harus segera dipenuhi.
Nugroho NP
Ri.
Udh tes IELTS?
Nuri Bunga
Blm, bang.
Adanya thn dpn.
Mahal sih biaya
ujiannya.
Nugroho NP
Gpp. Yg penting lo aman.
Dan lo bs kuliah dsni.
Nuri Bunga
Dsna apa2 mahal ya?
Nugroho NP
Iya. Makanya hrs hemat
dan kerja keras.
Nuri Bunga
Iya, bang.
Tiati dsna
Nugroho NP
Lo juga hati2.
Kalo ada yg ngapa2in
lo, kasih tau gue aja.
Nuri Bunga
Always, Bang.
Always.
Nolan tersenyum, lalu menutup ponselnya. Dia melabuhkan pandangannya ke paperbag Kartini dan seketika teringat wajah perempuan itu.
Belum waktunya, Lan.
Ya, belum waktunya dia bersenang-senang. Minggu depan akan dia jadikan minggu terakhir bersama Kartini sebelum dia mulai bekerja tambahan di akhir pekan, kerja Senin sampai Minggu hingga tak ada waktu libur.
[ ].
-;-;-
Dikit sih. Tapi yaudalaya. Kusudah bikin outline, dan mungkin cerita ini akan tamat di chapter 25.
Penghimbauan aja. Kalau kalian suka sama cerita saya, suka ilustrasi buatan saya, dan mau nge-post itu di media sosial, tolong sertakan caption bahwa cerita dan ilustrasi dibuat oleh @crowdstroia. Kalau kalian post di IG, tag akun Instagram @crowdstroia atau @crowdstroia.illustration juga, ya. Terima kasih.
Btw, setelah Aberasi nanti memang akan ada cerita tentang Bara. Judulnya "Eksistensi". Mohon maaf buat adek-adek, cerita ini nanti aku kasih rating mature karena emang bahasannya dewasa. Nggak ada adegan seks, sih. Tapi, saya cuma ngeri kalian belum bisa nge-filter trus ntar malah salah persepsi. Karena, back to basic, saya nulis Seri Disiden bukan buat jadi acuan kalian hidup, tapi buat kasih perspektif lain atas bagaimana sebagian orang menyikapi suatu masalah. Yang baik dan yang buruk itu nanti kalian sendiri yang filter.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top