11 : Mangrove :


11

: m a n g r o v e :

[ tumbuhan yang hidup di kawasan estuari; penyeimbang ekosistem laut bersama lamun dan terumbu karang; penahan abrasi ]


2009



Sejujurnya, Nolan mulai memikirkan suatu hal ketika Bara mengkonfrontasinya tentang Kartini.

Pikiran itu bercokol dalam otaknya selama beberapa hari, dan Nolan menahan pertanyaannya dilontarkan kepada Kartini di hari-hari dia bekerja. Dia hanya meminta Kartini bertemu lagi dengannya Sabtu ini untuk mendiskusikan sesuatu.

Dengan adanya alat elektronik canggih seperti ponsel, semua akses untuk menelepon atau berkirim kabar ke orang yang disayang jelas lebih mudah dan murah. Untuk diskusi pun juga Nolan suka-suka saja diskusi di grup forum bersama Claudia Jung, Autumn, dan yang lainnya. Tetapi dengan Kartini, Nolan tak segera menanyakan keresahannya via BBM atau surel. Dia lebih suka bertemu langsung untuk berdiskusi.

Pada hari Sabtu cerah, mereka akhirnya kembali bertemu untuk berdiskusi. Kartini memilih makan di restoran ricebowl halal yang saat itu pernah mereka datangi. Nolan sudah menunggu duluan di dalam ketika Kartini masuk restorannya.

Lagi, seperti saat dia melihat Kartini di minggu lalu, Nolan merasa detak jantungnya berhenti sesaat ketika matanya menangkap sosok kecil perempuan itu. Kartini datang mengenakan pakaian dengan warna pastel hari ini; hijab merah muda, sweter putih, serta rok vintage senada dengan warna hijabnya. Nolan menyadari, Kartini memang bukan tipe yang stylish, serta bukan pula tipe yang selalu mengenakan pakaian monoton. Pakaian dan aksesoris yang dipilihnya sederhana dan tidak terlalu mencolok, tetapi enak dilihat. Yah, seenggaknya, buat gue emang enak dilihat, batin Nolan.

Senyum Nolan otomatis mengembang. DIa melambaikan tangan saat Kartini mencari-cari. Usai perempuan itu duduk, mereka memesan makanan terlebih dahulu.

"Jadi," ujar Kartini setelah pelayan membawa pesanan mereka ke kasir, "kamu nggak mention apa pun terkait apa yang mau didiskusikan di BBM. Kamu mau diskusi apa emangnya?"

"Tentang suami-istri, Kar." Berdeham, Nolan kemudian meralat, "Tentang jodoh."

Kartini mengangkat kedua alisnya. "Oh." Dia terkekeh pelan. "Well, that's unexpected coming from you. But it's okay. Carry on."

"Jadi gini." Nolan menelan ludah. "Gue pernah lihat suami-istri, yang suaminya itu bejat, tapi istrinya perempuan baik-baik yang taat agama. Atau justru sebaliknya, istrinya bejat, sementara suaminya yang baik. But, they get along well, udah punya anak dan sampai sekarang masih harmonis aja. Menurut lo, apa mereka itu... jodoh?"

Kartini mengangkat bahu. "Saya nggak bisa menentukan sepasang suami istri itu sudah pasti berjodoh atau enggak, Lan. Nggak ada ilmu pasti untuk mengetahuinya."

"Oke, anggaplah mereka berjodoh," Nolan melanjutkan. "Tapi, bukannya aneh? Kan, ketetapan jodoh itu, orang baik untuk orang baik, dan orang keji untuk orang keji. Kalau misalnya orang keji akhirnya malah nikah sama orang baik and they get along well, menurut lo, gimana?"

"Asumsi saya, mungkin aja orang yang kamu anggap baik, aslinya memiliki keburukan yang tidak kamu ketahui hingga dia dipasangkan dengan orang keji, atau, si orang yang kamu anggap keji ini aslinya memiliki sifat-sifat mulia yang tidak kamu tahu, sehingga dia dipasangkan dengan orang baik," jawab Kartini dengan lugas.

Nolan terdiam selama beberapa saat mencerna hal itu. "Oke, case closed."

Kartini tertawa. Dia memandangi Nolan dengan geli. "Serius, mau tanya itu aja?"

"Gue kira penjelasannya bakal panjang," balas Nolan dengan kecut. Sungguh, jika pertanyaannya sudah terjawab, Nolan bingung bagaimana harus memperpanjang obrolan agar bisa berlama-lama dengan Kartini. Akhirnya, dia berkta, "Tapi, lucu juga kalau dipikir-pikir."

"Lucu apanya?"

"Di medsos itu, gue pernah beberapa kali nemu orang-orang yang berpendapat sebrengsek-brengseknya cowok, pada akhirnya, dia pasti bakal cari cewek baik-baik buat jadi istri dia," ujar Nolan. "Dan gue pikir itu emang masuk akal. Di mana-mana mah, kita pasti cari yang terbaik. Masalahnya kan, si cewek baik-baik ini mau apa kagak sama si cowok jahat."

"Terus?"

"Itu tergantung, kan?"

"Sama apa?"

"Tergantung si cewek baik-baik ini bego apa enggak," ujar Nolan, santai. "Kalau dia baik-baik tapi bego kan, ya udah pasti oke-oke aja sama si cowok jahat. Itu adalah penjelasan paling masuk akal buat gue yang suka nggak paham kenapa cewek baik-baik mau sama cowok bangsat yang suka nebar benih sana-sini. Cewek baik-baik itu udah value themselves, jaga diri, tapi malah mau aja sama cowok murahan atas nama cinta. Ternyata, penjelasannya emang segampang itu. Si cewek baik-baik ini bego. Makanya gampang dibego-begoin."

Mendadak, tubuh Kartini pun menegang. Dia tak merespons selama beberapa saat, membuat Nolan curiga.

"Kar?" panggil Nolan. "Are you okay?"

"I'm fine," ujar Kartini cepat. Kemudian, dia tersenyum. "And your conclusion is?"

"Ya... lucu aja," Nolan kembali mengingat jejak pembicaraan mereka. "Lucu ngeliat betapa gampangnya sebagan orang menarik kesimpulan dari variabel-variabel yang sebenernya belum diproses sampai ketemu hasil, tapi mereka nggak sadar bahwa mereka cuma menginteprerasi kasus secara mentah."

"Translation, please?"

Nolan terkekeh. "Ya... jadi kan, yang cewek atau cowok baik justru nikah sama orang jahat. Dan karena realitas itu, sebagian orang lantas menyimpulkan bahwa orang baik bukan untuk orang baik. Mereka menganggap kalau orang baik dipasangkan dengan orang baik, terus yang memperbaiki orang jahat, siapa? Nah, karena itulah sebagian orang berpikir bahwa orang baik sebaiknya dipasangkan sama orang jahat, biar si orang baik bisa 'meluruskan' si orang jahat ini."

Kartini terdiam, lalu mendengus. "You're right. It's funny."

"Iya, kan? Lucu bagaimana sebagian manusia bisa seenteng itu memutarbalikkan ucapan Tuhan hanya dari memahami realitas dengan proses yang mentah. Gue cuma mikir... isn't that funny? Mereka mengharapkan diri orang keji diperbaiki oleh orang baik? Like, seriously? Padahal kan, kayak yang tadi lo bilang. Bisa jadi, si cowok yang kita anggap bejat ini aslinya punya sisi baik, sampai-sampai Tuhan menganggapnya layak untuk mendapatkan cewek baik-baik. Gitu."

Senyum Kartini merambat. Bersamaan dengan itu, pesanan mereka pun datang. Dan seperti waktu lalu, Kartini memesan hot chocolate dengan marshmallow di dalamnya, sementara Nolan memesan milk moccacinno.

Nolan sudah meletakkan sedotan ke dalam mulut saat melihat Kartini menutup mata sambil menengadahkan tangan di atas meja. Bibirnya seperti merapalkan sesuatu. Kemudian, Nolan baru sadar bahwa Kartini sedang berdoa.

Nolan menelan ludah. Sebenarnya, ini bukan pertama kali Nolan melihat Kartini ataupun orang lain berdoa. Hanya saja selepas diskusinya mengenai Tuhan dua minggu lalu, Nolan merasa ada sesuatu yang berubah dari cara pandangnya terhadap dunia, terhadap suatu masalah. Dia tak lagi menganggap doa itu penting sejak berpikir bahwa Tuhan itu tidak adil. Tetapi, setelah diskusi dengan Kartini, dia merasa pikirannya lebih terbuka. Barangkali, selama ini pikirannya mengenai doa itu keliru. Barangkali, Nolan tak sadar bahwa selama ini, dia berdoa dengan menuntut Tuhan untuk memberinya kemudahan dan kebahagiaan.

Pada akhirnya, Nolan memilih untuk menundukkan kepala dan memejamkan mata. Dia menengadahkan tangan dan berdoa dalam hati agar makanan dan minuman yang dia konsumsi aman dan membawa berkah.

Saat sedang makan, Nolan berpikir keras ingin berdiskusi apa lagi. Sebab sungguh, dia sudah kehabisan wacana. Barangkali, otaknya tak bisa bekerja dengan maksimal jika sedang gugup.

Nolan makan sambil memerhatikan Kartini dari sudut yang lebih tinggi, sebab tubuh Nolan memang lebih tinggi daripada perempuan itu. Kartini sedikit menunduk saat sedang makan. Bulu matanya bergerak ketika sedang berkedip. Nolan pun berhenti mengunyah, memerhatikan bulu mata Kartini yang terlihat tebal dan lentik sekali, sampai-sampai Nolan bisa melihat ada bayangan bulu mata terbentuk di bagian atas pipi Kartini. Nolan memerhatikan lagi. Kedipan pertama, kedua, ketiga, lalu.... "Bulu mata lo kayak bulu mata onta ya, Kar."

Spontan, Kartini berhenti mengunyah. Matanya melirik ke arah Nolan dibarengi dengan kernyitan heran.

Seketika, Nolan merasa suara jantungnya makin berisik dan tak beraturan. Dia takut salah bicara. "E-eh, maksudnya... bulu mata onta itu, kan, lentik gitu...."

Kartini menelan makanannya dahulu. Kemudian, dia terkekeh. Lambat laun, kekehannya berubah jadi tawa. "Nolan, Nolan," Kartini geleng-geleng kepala, tersenyum geli dengan mata berbinar. "Kamu tuh selera humornya receh, ya?"

Nolan menelan ludah. "Eung... ya... iya, kayaknya."

Kartini tertawa lagi. "Coba saya terjemahin," dia berdeham. "Jadi, dari ucapanmu tadi, sebenarnya kamu cuma mau bilang kalau bulu mata saya itu lentik?"

Nolan menggigit bagian dalam pipinya, merasakan panas menjalar dari leher ke wajahnya. Dia mengalihkan pandangannya ke jendela. Jantungnya berdegup kencang karena diperhatikan Kartini. "Ya... gitu kurang lebih."

Senyum Kartini terkembang. "Makasih atas pujiannya."

"You deserve it."

Kartini terdiam, menundukkan kepala untuk fokus lagi pada makanannya. Senyumnya masih belum pudar. "Thank you."

Mereka kembali makan dengan tenang. Namun, di tengah hal itu, sang lelaki pun membatin, aduh, ngapain lagi ini? Masa iya, datang trus cuma diskusi gini doang? Sayang banget. Perjalanan buat ketemu aja satu jam lebih. Masa ngehabisin waktunya cuma sejam juga?

Nolan berdeham, terpikirkan sesuatu untuk memperpanjang waktu. "Kar, hobi lo apa?" tanya Nolan dengan gaya sekasual mungkin.

Kartini menelan makanannya. "Saya suka baca buku, koleksi novel, nonton film."

"Hm... suka nonton film genre apa?"

"Macam-macam. Film action suka, fantasi suka, animasi suka. Kalau romance malah nggak suka, sih. Saya lebih suka baca novel aja kalau romance."

"Oh, kenapa?"

"Soalnya kalau di film, kadang jatuhnya lebih cheesy gitu. Saya suka geli sendiri kalau nonton. Jadi kalau romance tuh... saya lebih suka kalau dicampur sama genre lain gitu. Jadi, nggak fokus di romance-nya aja."

"Ah, I see." Nolan manggut-manggut. "Kalau novel, cuma suka romance?"

"Kebanyakan romance, sih. Tapi, saya suka yang ngasah otak juga, kayak novel-novel thriller Agatha Christie, atau Lima Sekawan-nya Enid Blyton."

"Lima Sekawan itu khas anak 90-an abis."

"Iya, kan? Kadang saya suka baca-baca ulang, sih. Asik aja gitu bacain novel yang dulu pas kecil suka dibaca." Lalu, Kartini yang bertanya, "Kalau kamu, Lan? Suka baca novel atau nonton film juga?"

"Nonton film, udah pasti. Kalau baca novel... hng...." Nolan menatap langit-langit, seolah mengingat masa lalu. "Kayaknya, gue nggak jodoh baca novel, dah. Tiap kali nyoba baca novel, baru lima halaman udah bobo."

Kartini tertawa. "Kamu kurang suka berimajinasi, ya?"

"Hng, I guess so? Gue nggak terlalu suka ngebayangin gitu-gitu, sih. Mending dikasih gambarnya langsung, atau gue langsung turun lapang buat praktek. Gue emang lebih suka langsung praktek ketimbang belajar teori."

"Ah, I see." Kartini menaik-turunkan kepala. "Itu menjelaskan kenapa kamu kerja lapang."

"Ya... makanya juga, gue lebih suka nonton film." Nolan mengangkat bahu. "Gue nggak bisa baca novel, sih. Makanya kalau ada novel yang mau dijadiin film, gue mending nunggu filmnya keluar. Bodo amat seisi dunia bilang novel yang difilmin itu biasanya bagusan novelnya daripada filmnya."

"Ah, tipe visual," cetus Kartini. Kemudian, dia menambahi, "dan ekstrovert tingkat dewa."

Nolan terbahak. "That obvious?"

"Jelas banget." Kartini mengunyah makanannya dulu. Setelah menelannya, dia baru melanjutkan, "Tipe yang bosan kalau sepi. Maunya ketemu orang, pokoknya nggak suka sendirian di rumah. Mendingan keluar trus datengin rumah teman yang agak jauh daripada harus mati bosan di rumah sendirian dalam waktu lama. Makanya kalau weekend nggak pernah di rumah aja kecuali kalau terpaksa."

"WHOA," Nolan mengangkat kedua tangannya. "Gue nggak pernah cerita hal itu ke lo. Lo tahu dari mana? Bisa baca pikiran?"

"Enggak, Lan. Saya cuma analisis aja."

"Etdah," Nolan menggelengkan kepala. "Lo... yah, gue nggak bisa kayak gitu, sih. Gue kalau kenalan ya... kenalan aja. Nggak ribet-ribet analisis."

"Tapi, kamu mikirin logika-logika dari banyak hal. Saya pikir, kamu suka menganalisis gitu."

Nolan menggeleng. "Gue cuma rada kritis untuk hal-hal yang bikin gue penasaran. Kalau untuk kenalan ya... ribet kalau pakai analisis segala."

"Hm... nggak juga, sih. Analisis kepribadian orang itu bisa bikin kita tahu bagaimana kita harus berlaku dan berbicara ke dia."

"Ah, ribet," Nolan menyeruput milk moccacinno-nya. "Lo suka animasi apa?"

"Saya suka hampir semua film animasi, sih. Tapi, saya lebih suka tema film animasi yang nggak jauh dari kekeluargaan dan persahabatan gitu. Saya suka cerita yang dekat dengan kehidupan." Kartini menyendok makanannya, lalu bertanya, "Kalau kamu, Lan?"

"Gue apa?"

"Kamu hobinya apa?"

"Oh." Nolan menelan ludah. Tak menyangka bahwa dia akan ditanya balik. "Gue suka diving, obviously. Kalau lagi melancong ke mana gitu yang ada pantainya, kalau ada kesempatan pasti cobain diving sama temen-temen gue, sih. Gue suka nonton film action atau thriller. Trus... apa, ya. Kayaknya gue bathroom singer gitu, dah."

Hal itu menerbitkan senyum di bibir Kartini. "Suka nyanyi?"

"Tapi, ya gitu suaranya." Nolan menggaruk-garuk kepala.

"Nggak masalah. Kita bisa duet," ujar Kartini. "Saya bisa main gitar buat mengiringi."

Nolan mengangkat alis. "Oh, lo bisa main gitar juga?"

"Bisa. Kamu main gitar juga?"

"Iya! Kapan-kapan main bareng, yuk!"

"Ayo aja. Mau kapan?"

"Besok?"

"Semangat banget," Kartini tertawa. "Minggu depan aja, gimana."

"Oke. Gue yang ke tempat lo aja, ya. Lo tinggal di apartemen bareng orang lain, kan?"

"Iya. Saya sebenarnya tinggal bareng Daniel sama istrinya."

"Oh, oke. Ntar kabar-kabarin aja."

Dan, dari situ, Nolan mengobrolkan hal-hal ringan dengan Kartini. Mereka terus mengobrol hingga Nolan melihat langit mendadak berubah kelabu. Jaga-jaga jika saja terjadi hujan, dia pun akhirnya meminta tagihan kepada pelayan dan meminta Kartini untuk menyudahi pertemuan mereka hari itu.

"Ah, hujan, ya," ujar Kartini saat melihat langit makin mendung. Mereka pun keluar dari restoran dan melangkah menuju halte bus.

Nolan melihat Kartini yang berjalan di belakangnya. Kepalanya mengedik ke arah halte. "Cepetan, Kar. Ntar lo kehujanan."

"Iya." Kartini mempercepat langkahnya. Bus dengan rute yang melewati tempat tinggal Kartini pun datang tak lama kemudian. Perempuan itu menunggu orang lain masuk duluan, sehingga dia yang terakhir memasuki bus. Kala Kartini baru saja berada di tangga kedua bus itu, dia merasakan ada suatu bahan yang menimpa pundaknya.

Spontan, dia memegang bahan itu. Sebuah jaket. Dia segera menoleh dan menemukan Nolan di belakangnya.

Pria itu lalu mundur selangkah saat pintu bus hendak tertutup. "Hati-hati, Kar."

Kartini baru sempat mencerna apa yang lelaki itu lakukan setelah pintu bus tertutup rapat. Bus pun melaju, meninggalkan Nolan di halte yang memandangi kepergian bus itu.

Kartini menempelkan telapak tangannya di kaca bus, melihat Nolan yang semakin jauh. Dia hanya mengenakan kaus lengan panjang di balik jaket tadi. Cuaca sedang tak bersahabat. Kartini yakin sebentar lagi hujan. Akhirnya, Kartini mengambil ponselnya dan mengirim BBM kepada lelaki itu.


Kartini Widya

You don't really
need to do that.
Tapi, makasih :D
Hati2 ya Lan.


Di sisi lain, Nolan merasakan getaran pada ponselnya, kemudian segera membaca BBM dari Kartini itu. Ketika dan setelah membacanya, bibir Nolan tak absen tersenyum bahagia. Dia memasukkan kembali ponselnya ke saku celana dan menatap bus yang sudah hampir tak terlihat membawa Kartini. Dia memang menyayangkan waktunya bersama Kartini yang berakhir begitu cepat. Tetapi, mendapat perhatian seperti itu jelas membuat dadanya terasa sesak oleh kebahagiaan. Dia suka diperhatikan seperti ini. Rasanya, dia tidak masalah harus kehujanan tiap hari jika pada akhirnya ada yang memberi perhatian begini.

Eh, nggak juga, sih, batin Nolan. Tergantung sama siapa yang kasih perhatian juga.

Dia lalu menerima BBM lagi dari Nuri, adiknya. UN akan dijalani adiknya itu tahun depan. Dan selama Nuri masih sekolah, Nolan bisa menabung dulu untuk membiayai hidup adiknya di sini. Dia juga ingin membiayai kuliah Nuri. Yang penting, harus keluar dari jeratan Mama, pikir Nolan.

Hujan sudah turun saat bus dengan rute ke tempat tinggalnya datang. Nolan segera memasuki bus dan menjaga ponselnya agar tak kebasahan. Dia sadar, dia masih punya banyak hal yang perlu dikerjakan. Perasaannya kepada Kartini memang tak dia duga, tetapi dia akan menindaklanjutinya nanti, setelah semua masalah pribadinya beres. Nuri lulus sekolah, pindah ke Amerika, kuliah di sini dan tinggal bersamanya, baru Nolan akan memikirkan lagi mengenai Kartini.

Untuk sekarang, dia hanya perlu fokus dengan apa yang menjadi tujuannya dulu.

[ ].




-;-;-

Back to basic, ya. 'cowok jahat' di sini konotasinya bukan sekadar dia suka 'tebar benih' sana-sini dsb, melainkan balik ke definisi bad boy versi Kartini. Sebenernya dari definisi bad boy versi Kartini ini, saya tarik asumsi bahwa si bad boy versi dia punya kecenderungan jadi sosiopat. Kubilang 'bad boy' versi Kartini karena emang definisi tiap orang mengenai siapa yang disebut 'bad boy' itu beda-beda. Barangkali anak SMA nganggep bad boy itu cowok nakal yang nggak taat aturan sekolah, suka ngerokok dan cabut kelas. Sementara di usia yang lebih dewasa, barangkali pengertian 'bad boy' itu adalah cowok nakal yang suka bobo-bobo lucu sama cewek (IYKWIM) dan nggak taat aturan.

Untuk para pembaca, saya cuma mau mengingatkan, saya penulis, dan saya tidak bekerja dengan menerima request kecuali jika saya sedang memintanya. Kalau kalian tertarik sama politik, mau tahu makna nasionalisme lebih dalam dsb, saranku kalian cari tahu sendiri, jangan request ke saya buat membahasnya di sini. Soalnya, saya menulis apa yang ingin saya baca. Bukan berarti saya mengecilkan topik-topik yang di-request. Cuma, ya... saya nulis apa yang mau saya baca, termasuk apa yang bikin saya kepo saat ini aja.

Iya, saya paham, barangkali kamu mau melihat perspektif lain dengan bahasan yang mendetail atas topik yang bikin kamu kepo. Cuma, logikanya gini. Seandainya saya nggak ada, apa iya kamu mau bergantung sama orang lain terus untuk mengkaji suatu topik yang bikin kamu penasaran?

Uh... sebenernya saya kurang suka sih di sini kesannya seolah saya mendewakan diri saya gitu. Kalau kalian berpikir demikian, nggak gitu maksud saya. Jadi tuh maksudnya... biar kalian nggak request-request aja gitu wkwk. Soalnya hal-hal kayak politik atau nasionalisme gitu memang menarik buat saya, tapi itu bukanlah topik yang sedang ingin saya bahas di sini. Mungkin akan dibahas, tapi mungkin juga bukan di cerita ini, dan mungkin juga bukan dalam waktu dekat.

Jadi, kalau kepo sama sesuatu hal, saran saya, kalian cari tahu dan kaji sendiri aja, jangan nungguin orang lain mengkajinya untuk kalian. Search deeper, search further, use your logic and common sense. Kalian nggak perlu menjadi mahasiswa untuk memahami teks-teks yang 'berat'. Yang kalian perlukan cuma kemauan untuk belajar dan membiasakan diri dengan bacaan-bacaan yang menurut kalian sulit dipahami. Saya dulu pas baca jurnal, baru baca judulnya aja udah pusing wkwk. Tapi karena terbiasa, lama-lama ya biasa aja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top