10 : Estuari :
10
: estuari :
[ zona perantara perairan darat dengan perairan laut, merupakan tempat yang umumnya menjadi peralihan saat ikan bermigrasi ]
2009
Bara dan Hizraka tak absen memerhatikan Nolan sedari tadi.
Ada yang berbeda dari Nolan. Mereka menyadarinya di lima menit pertama setelah mereka bertemu di apartemen Hizraka. Wajah Nolan terlihat lebih cerah. Perangainya menunjukkan seolah dia sedang menahan diri agar tidak meledak oleh euforia. Awalnya, Bara dan Hizraka hanya diam saja, berpikir mungkin Nolan sedang bahagia karena dapat kabar baik tentang pekerjaannya. Tetapi, setelah melihat Nolan terus melakukan kesalahan saat diminta melakukan sesuatu—seakan pikirannya sedang tak ada di sini—dan setelah melihat Nolan sedang memerhatikan halaman yang sama di majalah selama lima menit tanpa membaliknya, ditambah dengan senyum-senyum sepanjang melihat halaman itu, Bara akhirnya menyerah diam dan memilih berkata, "Lan, lo kenapa?" Bara tetap bernada santai saat berbicara.
Seolah habis dikagetkan, Nolan lekas menengok ke arah Bara. Mereka sedang berada di toko buku. Hizraka ingin membeli beberapa alat tulis dan alat gambar yang diperlukan sebelum mereka pergi makan.
Nolan mengerjap, menatap Bara dan berdeham."Euh... nggak apa-apa. Ini... ini majalahnya bagus."
Bara terlihat skeptis. "Lo lagi cari kolor, Lan?"
"Hah? Kolor? Ngapain—" Nolan hendak lanjut protes ketika melihat Bara duluan mengetuk jarinya di atas halaman majalah yang terbuka di tangan Nolan.
Bara mengetuk jarinya sekali lagi. "Ini, halaman isinya kolor semua."
Wajah Nolan terlihat horor. Dia segera menutup majalah itu dan mengembalikkannya ke rak semula. Selama sepuluh detik penuh, mereka hanya berdiam diri. Tak berbicara.
"Lan," Bara memanggil sambil menyilangkan tangan. Nolan tak juga melepaskan pandangan dari lantai toko buku. "Lo kenapa? Dari tadi kayaknya nggak fokus."
"Ng-nggak apa-apa." Nolan berdeham beberapa kali, menormalkan suaranya, lalu memandang Bara sekilas. "Gue nggak apa-apa," tambahnya untuk meyakinkan.
Bara menatap Nolan sambil menyipit, membuat Nolan segera membuang mukanya. "Oh." Tatapan Bara penuh selidik. "I see." Dia mengangguk pelan. "Gue baru tahu lo punya fetish sama kolor cowok."
"Kagak, gila!" Nolan menyeru, seketika membuat beberapa orang di sekitarnya menoleh. Dia meminta maaf sambil menunduk, kemudian menatap Bara lagi. "Gue normal, Bar."
"I can see that."
"Don't do that sarcasm on me. Itu tadi nggak sengaja, Bar."
"Ngebuka halaman yang ada kolornya, maksud lo?"
"Iya, itu nggak sengaja."
"Jadi, lo senyam-senyum sambil ngelihatin kolor-kolor itu juga nggak sengaja?"
"Ya iyalah."
"Trus, lo senyam-senyum karena apa?"
Nolan terdiam. Sedetik kemudian, wajahnya memerah. "Bukan apa-apa."
"If I don't know you, I might think you're turning gay," ujar Bara dengan datar. Dia lalu mengangkat bahu, memilih untuk mengikuti Hizraka yang sudah selesai membeli keperluannya.
Nolan mengikuti di belakang kedua lelaki itu. Dia berjalan sambil menunduk dan memasukkan kedua tangan dalam saku jaket. Musim dingin sebentar lagi datang. Suhu semakin menurun hingga kadang membuatnya kedinginan bukan main.
Hari ini, Nolan berkumpul lagi bersama kedua temannya. Mereka berencana untuk makan bersama di luar setelah bertemu di apartemen Hizraka. Tempat makan yang hendak dituju adalah sebuah rumah orang Indonesia yang menjual masakan Indonesia pada akhir pekan. Bara berkata dia lumayan kenal pemiliknya dan berlangganan makan di tempat ini.
Beberapa meter dari toko buku yang tadi mereka tinggalkan, Bara dan Hizraka tiba-tiba berhenti melangkah. Nolan yang berada di belakang mereka pun segera mengangkat kepala. Tubuh Bara yang tinggi dan bongsor agak menghalangi pandangannya.
Nolan mendengar suara seorang lelaki yang memanggil nama kedua teman di depannya. Saat melihat siapa yang memanggil, alisnya seketika meninggi.
"Eh, Kak Daniel! Kebetulan banget ketemu di sini!" seru Bara, berjalan ke arah Daniel bersama Hizraka.
"Iya, Bar. Kalian mau pada ke mana?" tanya Daniel. Dia membawa sebuah kantung plastik. Tercetak sebuah logo supermarket di depannya.
"Mau makan, Kak. Sekalian kumpul-kumpul," jawab Hizraka. "Kak Daniel mau ngapain?"
"Ini, lagi nungguin kakak saya ambil uang di bank." Daniel pun tertawa, tak awas bahwa ucapannya tadi seketika mengirimkan desiran ke dalam dada Nolan.
Nolan melirik ke jalanan sekitar, mencari-cari. Detak jantungnya kian cepat seiring antisipasi meningkat. Daniel ada di sini bersama Kartini. Mungkin dalam hitungan detik....
Seorang gadis datang dari belakang Daniel. Dia menepuk pundak lelaki itu, kemudian tersenyum dan bercakap sedikit dengan Hizraka dan Bara.
Sepanjang itu terjadi, Nolan seperti melihat semuanya dalam gerakan lambat; bibir Kartini yang membentuk senyum, matanya yang berkedip, suaranya yang terdengar ringan, serta angin yang mengembuskan ujung-ujung syal yang dia pakai....
Dia bahkan tidak sadar bahwa dia sudah menahan napasnya saat melihat Kartini.
Kemudian, gadis itu menyadari keberadaannya. Matanya berlabuh di sosok Nolan. Dia memaku pandangannya sejenak, lalu terkekeh dan berkata, "Nolan, kamu ngapain sembunyi di belakang badan Bara?"
Saat itulah, jantungnya berdegup kencang sekali dan Nolan makin tak bisa mengontrolnya. Wajahnya terasa panas kendati cuaca dingin. Dia menggigit bagian dalam bibirnya, berusaha menormalkan rasa gugup yang mendadak melanda. Dia butuh waktu beberapa detik sebelum bisa berkata, "G-gue nggak sembunyi."
"Tapi, ketutupan," Kartini terkekeh. "Eh, iya, kalian mau pada makan di mana?"
"Di rumah kenalan saya, Mbak," ujar Bara. Kemudian, obrolan pun berlanjut seiring Kartini dan Daniel yang memutuskan untuk ikut makan malam di tempat kenalan Bara itu. Sekalian lepas kangen dengan masakan Indonesia, kata mereka.
Mereka berjalan menuju tempat makan masakan Indonesia langganan Bara. Nolan memilih untuk berjalan di posisi paling belakang. Kartini berada tepat di depannya, berjalan berisisan dengan Daniel. Sementara Bara dan Hizraka memandu di posisi terdepan.
Nolan hanya menimbrungi obrolan sesekali, dan ini bukan karena dia adalah orang yang pendiam. Semesta juga tahu bahwa dia jauh dari kata pendiam. Hanya saja hari ini, malam ini, dia ingin lebih banyak diam agar bisa lebih banyak mendengarkan. Terkadang, cukup jadi pengamat tanpa perlu jadi peran utama tidaklah buruk.
Dia mengamati sosok kecil Kartini dari belakang. Hijabnya berwarna zaitun, sementara syalnya berwarna putih. Angin berembus membelai kulitnya. Kemudian, gadis itu menoleh ke belakang dan berkata, "Tumben diam aja."
Kendati jantungnya berdegup lebih kencang, Nolan lebih pandai mengontrol dirinya sendiri kali ini. "Lapar. Jadi malas ngomong," dia membalas.
"Kata Bara, sebentar lagi sampai, kok." Kartini tersenyum lalu kembali menatap ke depan, sesekali menimpali obrolan dari ketiga lelaki lainnya.
Tempat makan yang dituju memang berbentuk seperti rumah pada umumnya. Tetapi Bara, yang mengaku kenal pemiliknya, berkata bahwa pemiliknya itu punya stok rempah-rempah Indonesia yang banyak, jadi di akhir pekan, dia akan menyulap halaman rumahnya menjadi tempat makan dan menjamu pengunjungnya dengan masakan rumahan Indonesia.
Mereka segera dihela ke halaman belakang begitu sang pemilik rumah membuka pintu. Pemilik rumah itu adalah sepasang suami-istri Indonesia dengan seorang anak perempuan.
Nolan duduk di pojok bangku yang berseberangan dengan Kartini, tepat di depan perempuan itu. Kartini duduk di pojok, dan di sebelahnya ada Daniel. Bara dan Hizraka sendiri duduk di sebelah Nolan.
Membaca menunya sekilas, Nolan lalu bertanya, "Ada sate ayam, nggak?"
"Wah, hari ini nggak ada menu itu, Mas. Adanya pecel sayur," ujar sang pemilik rumah. "Gimana? Mau?"
Nolan menggaruk kepalanya. Mana bisa sate digantiin pecel sayur cuma karena sama-sama pakai bumbu kacang? "Nggak usah, Mbak. Saya pesan empal sama telur balado aja."
Setelah memesan makanan, mereka mulai membicarakan tentang kegiatan mereka. Daniel berkata dia sebentar lagi akan punya anak. Istrinya dinyatakan hamil minggu lalu. Hizraka akan menyelesaikan internship-nya tahun depan dan akan lanjut studi S2 di Amerika, sementara Bara akan pulang ke Indonesia setelah student exchange-nya usai tahun depan. Nolan sendiri akan tinggal di Virginia dalam waktu lama karena pekerjaan menuntutnya untuk tinggal di sini.
Daniel pun bertanya, "Kamu kenapa langsung kerja di Amrik, Lan? Emangnya di Indonesia nggak ada pekerjaan sejenis pekerjaanmu sekarang?"
Nolan mengangkat bahu. "Mungkin ada. Tapi, gue butuh gaji lebih besar sih, Kak. Makanya milih kerja di sini. Lagian, Indonesia belum terlalu concern sama kelautannya," ujar Nolan, kemudian mendengus. "Trus, ntar kalau wilayah kelautannya diambil negara lain, let's say misal diambil Malaysia atau Singapura, baru deh ntar Indonesia kebakaran jenggot. Ironis, sih. Di saat wilayah laut itu dikuasai Indonesia, malah kurang dijaga. Tapi, gue malah yakin kalau dikuasai negara lain, wilayah laut itu bakal lebih terjaga dan pemanfaatannya lebih maksimal."
"Wah, masalah klasik itu, Lan," ujar Daniel. "Sayang juga, sih. Padahal, gimanapun juga orang-orang pintar kayak pakar ahli itu kan, butuh kesejahteraan juga."
Nolan mendesah lelah. "Ya mau gimana. Gue juga bukan orang yang punya wewenang. Makanya gue kerja di sini, karena gue butuh uang."
Setelah itu, Kartini melihat sang pemilik rumah membawa makanan ke arah mereka. "Eh, makanannya udah datang," ujar Kartini, memecah obrolan mereka sejenak. Usai pesanan mereka tersaji, mereka pun makan dengan tenang.
Melihat Nolan makan dengan daging empal dan telur balado, Kartini menawarkan bumbu kacang dari mangkuk yang diberikan untuk bumbu pecel sayurnya. "Nih, Lan. Makan pakai bumbu kacang, trus dikasih ke daging empal buat substitusi sate," ujarnya menawarkan.
Nolan mengerjap, lalu mengernyit heran. "Kenapa sate?"
"Loh, kamu bukannya suka sate?"
"Tahu dari mana?"
"Kan, kamu pernah cerita. Tadi juga kamu nyari menu sate."
Nolan terdiam, mengerjap beberapa saat, lalu menunduk dan terkekeh dengan kaku untuk menghilangkan rasa gugup dan berdesir di dadanya. Matanya memandang terus ke piring saat berkata, "Rada maksa, sih. Cuma, ya bolehlah."
Dengan hati-hati, lelaki itu menyendok bumbu kacang dalam mangkuk Kartini, lalu menuangkannya di atas empal di piring Nolan. Dia tak menatap Kartini sama sekali sepanjang melakukan hal itu. Pipinya terasa panas dan duduk tepat di depan Kartini jelas tak bisa membantu menormalkan deru jantungnya.
Semua makan dengan tenang. Di tengah itu, Kartini mulai membuka percakapan lagi. "Jadi, selain Nolan, Hizraka sama Bara bakal kerja di Indonesia?" tanya Kartini.
Karena Hizraka hanya mengangguk dan fokus di makanannya, Bara pun mendesah dan menjawab. "Iya, kami bakal kerja di sana. Kalau Mbak Kartini sendiri?"
"Iya, saya juga bakal balik ke Indonesia. Enakan kerja di tempat yang dekat sama keluarga juga." Kemudian, Kartini melirik Nolan. "Kalau kamu, Lan? Nggak ada keluarga yang dikangenin kalau stay di sini?"
Nolan menyendok makanannya sejenak. "Gue mau bawa keluarga gue ke sini nanti."
Bibir Kartini membentuk bulatan. Dia dan yang lainnya kembali makan dengan tenang hingga Hizraka yang duluan selesai makan memutuskan untuk bertanya, "Mbak Kartini sama Nolan udah kenalan lebih jauh? Udah pernah ketemuan lagi setelah kenalan di apartemen saya?"
Sejenak, tubuh Nolan terasa tegang. Kartini lalu menjawab, "Iya, saya sama Nolan pernah ketemu beberapa kali buat berdiskusi."
"Diskusi apa?"
"Macam-macam. Mungkin contohnya kayak kita yang pas di apartemenmu ngobrolin tentang seks itu. Cuma, diskusi kami topiknya lain lagi gitu."
"Ohh." Hizraka manggut-manggut.
Lalu, giliran Bara yang bertanya, "Emang Nolan nanya apa aja, Mbak?"
Kartini melirik Nolan sejenak, seperti meminta izin. Melihat Nolan tak memberi respons apa-apa dan justru kembali makan, Kartini pun dengan sopan berkata, "Kalau kalian mau tahu, tanya Nolan langsung aja, ya."
Bara pun mengangguk. Dia dan Hizraka memesan makanan lagi karena satu piring belum berhasil membuat mereka kenyang.
Nolan geleng-geleng kepala. "Dikontrol makannya, Bar. Kalau tambah bulet, ngegelinding lo ntar," ujarnya, sebetulnya untuk mengingatkan juga agar temannya tak lapar mata.
Bara menghela napas, mengelus perutnya yang buncit. "Hizraka makan nggak dikontrol, tapi tetep aja kurus."
"Hizraka rajin olahraga, Bar," ujar Nolan. "Dan dia tadi pesan buah-buahan, bukan makan makanan berat lagi."
"Masih lapar, Lan. Badan gue kan, gede. Butuh asupan energi yang gede juga."
Nolan mendengus tertawa, kemudian menarik satu sudut bibirnya. "Nice try on lying to yourself, Bar."
"Shut up, man. Makanan gue udah datang." Mata Bara fokus pada sang pemilik rumah yang membawakan makanan Bara. Dia makan diselingi obrolan lagi.
Usai mereka selesai makan, mereka membayar tagihan masing-masing. Kendati Nolan tahu dia akan berpisah di jalan dengan Kartini, dia tak bisa memungkiri ada rasa aneh yang menyambar, yang menginginkan Kartini di sisinya, mengobrolkan hal apa pun, dan dia selalu berada di sisi Nolan sampai Nolan pulang, sampai dia tertidur dan ketika bangun keesokan harinya, Kartini masih ada di sisinya. Dia ingin menghabiskan waktu bersama gadis itu. Tak peduli meskipun mereka hanya berdiam diri, meskipun sudah tak tahu harus mengobrol atau berdiskusi apa, dia ingin Kartini terus ada di sisinya. Dan kalau tidak bisa, dialah yang ingin terus berada di sisi Kartini.
Nolan tidak awam dengan perasaan ini. Dia sudah cukup dewasa untuk mengidentifikasinya.
Namun, ketika akhirnya dia berpisah dengan Kartini dan Daniel di tengah jalan, Nolan terkejut bukan main saat Bara menjegatnya. Wajah lelaki itu terlihat serius saat berkata, "You like her?"
Jantung Nolan nyaris berhenti. Otaknya jelas langsung memberi gambaran sosok Kartini. Dia lalu menyipitkan mata, berusaha melepas cegatan Bara. "Ngomong apaan, sih."
"Lan, lihat gue," ujar Bara, melihat Nolan tepat di mata. "Lo beneran suka sama Mbak Kartini?"
Nolan mempertahankan diri agar tidak menoleh atau mengalihkan pandangan. Hizraka di belakang mereka hanya terdiam, menunggu dan mengantisipasi seandainya hal buruk terjadi. Jalanan tidak ramai.
Nolan pun menatap Bara tepat di mata dan berkata, "Kalau suka, kenapa? Dan kalau enggak, kenapa?"
Bara menurunkan tangan yang mencegat gerak Nolan. Pandangannya turun ke jalanan. "Nothing, just... are you serious?"
"Lo belum jawab pertanyaan gue." Nolan menatap dingin. "Kalau gue suka, kenapa? Dan kalau enggak, kenapa?"
"Lan, kalau lo cemburu, gue kasih tahu aja kalau gue nggak naksir Mbak Kartini," ujar Bara dengan tenang. "It's just... hard for me to swallow it, okay? Nggak setiap hari juga gue ngelihat cowok yang mengagungkan rokok dan bertato tiba-tiba naksir ukhti berhijab syar'i."
"What's wrong with that?" Nolan bertanya, heran. Egonya merasa terusik. "Salah gitu, kalau mahkluk hina kayak gue naksir cewek kayak Kartini? Cuma karena gue bertato dan ngerokok? Cuma karena gue punya pikiran yang rebel? Itu salah?"
"Nggak salah, Lan," lagi, Bara berusaha berbicara dengan tenang. "I told you. It's just hard for me to swallow that."
"Kenapa susah?" tanya Nolan, sengit. "Susah karena lo pikir orang kayak gue nggak seharusnya deketin cewek kayak Kartini?"
"Bukan gitu, Lan. Here, listen." Bara menarik napas, menatap Nolan dengan yakin. "You are not a bad person. Dan gue juga nggak pernah berpikir kalau lo orang jahat. Gue cuma... khawatir untuk apa yang terjadi nanti antara lo dan Mbak Kartini."
"Then stop worrying my ass," Nolan setengah berbisik. "Biar gue sendiri yang ngurus diri gue. Gue juga nggak akan ngajak-ngajak Kartini buat jadi kayak gue."
Bara menatapnya agak lama sebelum akhirnya memejamkan mata dan menghela napas panjang. "Okay." Dia menatap Nolan. "Just, please, Lan. Jangan jadi kayak adik gue."
Nolan terdiam. Tahu apa maksud dari Bara. Tahu apa kata-kata yang tersimpan di balik kalimat terakhirnya. Jangan ajak-ajak orang lain buat bikin kerusakan terhadap diri mereka sendiri. "Gue nggak akan jadi kayak Aksel," ujar Nolan dengan tegas.
Akhirnya, Bara mengangguk dan mulai berjalan lagi untuk pulang bersama Nolan dan Hizraka. Bara duluan berpisah karena tempat tinggalnya beda arah. Meninggalkan Nolan dan Hizraka berdua berjalan menelusuri malam.
Karena penasaran, Nolan pun bertanya sebelum Hizraka berbelok ke jalan menuju apartemennya, "Bara tahu dari mana sih, kalau gue naksir Kartini?"
Sebelum menjawab, Hizraka mengernyit dan menatap Nolan dengan senyum geli. "You looked at her as if she controlled every teardrop of ocean in the world," ujarnya sebelum berlalu, berjalan menjauhi Nolan dan menuju apartemen di belokan pertama.
[ ].
-;-;-
Btw, ini setting-nya 2009, jadi Bu Susi belum jadi menteri, makanya si Nolan berani ngomong tentang kelautan kayak tadi. Kalau sekarang kan, ya, you know-lah gaung berita tentang kelautan dan perikanan Indonesia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top