#9

ANDINI

Beruntungnya aku, Gesang tidak terlalu tanya banyak hal soal cintaku pada Mas Nugi tersayang. Dia cuma diem seakan mahfum. Lagian dia kan udah liat aku mandi pakai celananya Mas Nugi. Jadi kupikir wajar saja kalau Gesang enggak begitu terkejut.

"Kenapa kamu pikir Mas Nugi punya pacar?" kata Gesang kemudian.

Lalu, aku mulai menceritakan kejadian tadi pagi yang membuatku harus berangkat segasik ayam berkotek. Saat itu baru jam 6 pagi tapi aku sudah siap dengan seragam sekolah biar pas Mas Nugi nganterin jadi enggak perlu nunggu lama. Saat itulah tiba-tiba Mas Nugi datang dengan tiba-tiba ke kamarku. Aku grogi!

"Aku anterin temen dulu ya, baru habis itu kita berangkat bareng." kata Mas Nugi di balik pintu.

Kuralat, dia tidak benar-benar masuk ke kamar. Hanya di luar tepat di depan pintu, sambil ngomong melalui celah yang terbuka. Kalau Mas Nugi, mah... langsung masuk aja kali! Ke kamar atau ke tubuh ini.

Aku mau mengiyakan, namun tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas. Teman yang Mas Nugi maksud pasti lebih dari sekedar teman karena tak mungkin dia rela nganterin kalau cuma teman biasa. Meski Mas Nugi adalah manusia terbaik di alam semesta, aku yakin dia punya batasan-batasan.

Makanya aku curiga kalau itu pacarnya.

Itulah yang bikin aku membuntuti Mas Nugi saat turun kamar kosan. Di sana, meski Mas Nugi bilang mau nganterin teman, malah seakan si temanlah yang menunggu Mas Nugi. Si teman sudah ada di depan kosan, entah dari mana dia datang. Hal yang bikin kesel adalah si teman yang membonceng dengan tangan yang memeluk pinggang Mas Nugiku tercinta! Makanya... Makanya...

"Habis itu aku berangkat sendiri pakai angkot." kataku mengakhiri cerita. "Entar kalau Mas Nugi tanya, bilang aja aku berangkat bareng kamu ya, Gesang?"

"Kenapa aku mesti terlibat sandiwaramu."

"Aku bayar. 200 ribu, OK?"

"OK." jawabnya sigap.

"Nah, aku juga mau minta kamu cari tahu apakah si cewek tadi pacarnya Mas Nugi apa bukan."

"Si cewek?"

"Temennya itu, lho. Kamu dengerin aku enggak sih."

"Oh. Itu... ehm, kayaknya... eh, enggak tahu ding. Aku baru di sini udah setahun tapi enggak pernah lihat Mas Nugi nganterin cewek tuh. Kalaupun dia pacarnya, kayaknya baru-baru ini pacaran deh."

"Grghgh..."

Gesang diam memperhatikanku.

"Ndin, kamu bener-bener suka Mas Nugi?" tanyanya kemudian. "Kamu kan adiknya... mana bisa gitu?"

"Bisalah! Kan cinta enggak mengenal batas."

Gesang diam sebentar kelihatan sedang mikir.

"Iya juga sih." katanya.

Aku sebenernya lumayan kaget pas Gesang setuju dengan pendapatku. Entah karena dia yang mudah kebawa arus atau kehidupannya yang liar yang bikin dia mahfum dengan perasaan cintaku pada Mas Nugi.

"Makanya, Ge. Aku mau minta kamu selidiki apakah Mas Nugi udah punya pacar atau belum."

"Boleh, sih. Tapi enggak gratis."

"Tenang aja, soal duit entar bilang aja."

Dan, dengan begitu Gesang secara resmi menjadi tim sukses Andini-Nugi. Beberapa hari selanjutnya aku lebih sering main ke kamarnya Gesang buat curhat-curhat apa aja yang sudah terjadi antara aku dan Mas Nugi. Sebenarnya, Gesang lumayan asik buat cerita.

"Ndin, kamu tahu enggak? Sebenernya kamu populer di sekolah lho!"

"Emang pada cerita apa?"

"Yaa... semuanya, lah. Terus juga pada nanya-nanya alamat sama nomer HP-mu. Ada sih yang tahu kalau kamu sekosan sama aku terus ngotot mau main ke kosanku. Tapi aku cegah, Ndin. Aku enggak mau repot."

"Baguslah, Ge. Aku juga males repot. Lagian aku udah jadi miliknya Mas Nugi. Jiwa dan raga."

"Emang kamu suka Mas Nugi bagian mananya sih?" tanya Gesang, tanpa nada sewot.

"Dia baik, kelihatan seperti akan membantu siapa aja yang butuh."

"Kalau gitu pacaran sama Mahatma Gandhi aja lah!"

"Beda lah, Ge. Nggak ada chemistry-nya."

"Iya, sih. Gandhi juga botak."

****

Pada selasa di bulan Juli yang gerah seperti biasanya, saat itu senja masih bersiap-siap mengiblatkan matahari ke ufuk barat. Aku baru mandi dan sedang rebahan di kasur sambil mainan HP nggak jelas. Samar-samar, aku dengar suara nyanyian dari kamar sebelah. Itu suaranya Gesang yang lagi mandi. Kayaknya dia barusan pulang dari ekskul voli.

Tak lama kemudian, Gesang datang. Dia pakai kemeja warna putih gading dan celana pendek selutut. Rambutnya yang ikal masih basah. Aku bisa samar-samar mencium bau wangi dari tubuhnya. Wangi sabun. Beberapa hari mengenal Gesang membuatku sadar dia tidak pernah pakai parfum. Tapi anehnya, Gesang tidak bau. Mungkin karena dia sering olahraga atau apa makanya keringatnya tidak bau seperti orang gendut.

Seketika, dia menggapai kedua kakiku.

"Ada apa nih?" tanyaku panik saat kedua pergelangan kakiku dipegang Gesang erat. Pasalnya, Gesang ini termasuk atletis jadi aku tidak yakin bisa melawan jika ia berbuat yang tidak-tidak.

"Cuma pijit." jawabnya.

Benar juga. Dia mulai mengurut telapak dan pergelangan kaki. Enak, tapi agak geli. Tangannya sangat terampil, pasti karena dia anak ekskul voli. Aku yang meringis kegelian seakan jadi hiburan buat Gesang. Dia kelihatan puas banget bisa bikin aku kegelian gini. Awas kau ya, Gesang. Akan kubalas nanti!

Beberapa saat setelah ia memijitku, Gesang lalu bilang, "Mas Nugi udah punya pacar."

Oh... jadi begini akhirnya. Kupandangi Gesang, dia masih mengurut telapak kaki tak berani memandang wajahku. Aku lalu rebahan dari posisi semula duduk di tepi kasur. Memandangi langit-langit kamar dengan nanar. Lalu, kutangkupkan bantal ke wajah sambil berteriak sekeras-kerasnya.

Mas Nugi udah punya pacar? Aku... kalah. Apa ini akhirnya? Padahal aku belum memulai apa-apa tapi rasanya sudah terkalahkan. Rasa sudah kalah sebelum memulai perang. Dadaku terasa berat, seakan ada berton-ton material yang tertumpuk di sana.

Gesang membuka bantal yang menutupi wajahku. Badannya seakan seperti menindih tubuhku, namun sama sekali tidak ada kontak tubuh karena Gesang menahannya dengan lengan sebelum dadaku menempel pada dadanya.

Dia melihat hujan yang turun di pelupuk mataku. Ini sangat tidak keren, sebenarnya. Tapi aku tidak bisa menahan hujaman perasaan ini.

"Aku mau tidur." kataku pada Gesang.

"Makan dulu, yuk." katanya tak berpaling dari posisinya di atasku. "Aku yang traktir."

Aku mengangguk pelan. Malam ini aku memang perlu hiburan dari sekedar tidur. Setelah berganti pakaian, aku membonceng di motornya Gesang. Dia bercanda soal aku yang katanya seperti ninja karena sering melakukan gerakan tanpa mengeluarkan suara. Aku tertawa kecil.

Malam itu, Gesang bohong. Memang sih dia ngajak aku makan sate di pinggiran jalan. Tapi malemnya, aku diajak muter-muter di jalanan Surakarta. Enggak ada tujuan, cuma muter-muter di jalanan tanpa ada tujuan. Parahnya, sekitar jam 11-an malam dia ngajakin aku ke daerah SMA 1. Awalnya aku enggak mudeng, tapi pas lihat ada deretan bencong di sana, otakku mulai berpikir.

"Buat dia, Mbak." kata Gesang pada bencong yang menornya minta ampun! "Habis putus sama pacarnya. Kasian. Perlu dihibur."

Aku mencubit pinggang Gesang dengan ganas, lalu berbisik lirih. "Apaan sih, Ge?"

"Tenang aja, aku yang traktir."

"Ih... nggak mau!"

"Maunya sama aku? Tapi tarifnya mahal."

"Enggak mau juga."

Gesang ketawa keras. Dia lalu bilang ke si bencong. "Enggak mau katanya, Mbak."

"Ya udah sama Masnya aja." sahut si bencong kecentilan.

"Enak aja."

"Emang enak."

Keduanya lalu tertawa bersama-sama. Gesang lalu ambil dompet dan ngasih beberapa uang 50 ribuan ke bencong tadi sambil berkata, "Buat beli es."

Si bencong kelihatan bahagia banget, lalu mengecup pipi Gesang. Gesangnya sendiri malah cuma ketawa digituin sama mbak/mas bencong. Kalau aku sih udah kugampar si bencong. Setelahnya, kita berdua balik ke kosan.

"Udah seneng?" tanya Gesang saat kami masih melaju di daerah RS Moewardi.

"Udah." kataku masih menyisakan tawa karena Gesang dicium bencong.

Malam ini aku berterima kasih banyak pada Gesang yang sudah bikin aku senyum lagi. Ini semua lebih baik daripada tidur di kosan dan berlarut-larut dalam kesedihan. Gesang bikin aku bangkit, setidaknya bikin pikiranku jernih.

"Makasih, Ge, buat malam ini." ucapku bercampur kelebat angin dari motor yang melaju cepat.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top