#7
MAI
Aku selalu suka jalanan.
Tempat di mana segala kesibukan bersitegang. Di mana semua orang terlihat memiliki tujuan untuk bergerak, sebuah tempat untuk dituju. Melihat mereka membangkitkan kesenangan. Setidaknya, masih banyak orang yang memiliki tempat untuk dituju. Tak sepertiku yang seperti kucing liar yang malam jam 11 masih di luar mengenakan seragam sekolah.
Aku menghela napas dengan rasa tak enak yang menggelayut di pikiran. Hari terakhir MOS ini membuat badanku berkeringat. Aku ingin segera mandi, namun saat kulihat jam di tangan yang masih menunjukkan pukul 23:15 membuatku enggan untuk pulang.
Aku sedang menunggu bapak pulang. Ah, maaf. Pemilihan katanya membuatnya seakan aku sedang menunggu bapak pulang dalam artian kangen atau sebagainya. Bukan, aku menunggu bapak pulang sehingga aku tak perlu bertatap muka dengannya. Biasanya bapak pulang jam setengah dua belas malam. Jadi setidaknya baru jam 12 malam aku bisa masuk ke rumah. Aku sangat-sangat tidak ingin bertemu bapak selama di rumah.
Kulihat jam di tangan, 23:17. Malam terasa begitu panjang.
****
Selain jalanan, aku juga suka sekolah. Bertemu dengan orang banyak di mana pria dewasanya hanyalah guru-guru yang berpendidikan membuatku tenang. Hari itu, Sabtu jam 6 pagi aku sudah sampai di ruang kelasku berada. Aroma debu dan kayu tua yang menyeruak begitu menenangkan.
Di kelas X 8, orang pertama yang datang setelahku adalah cewek yang rambutnya dicepol sehingga memperlihatkan tengkuknya yang jenjang. Menurutku, dia lumayan cantik. Hanya menunggu waktu sampai dia jadi obrolan anak-anak. Dan satu lagi, teteknya besar.
"Hei." sapaku kepada cewek itu dan hanya dibalas dengan anggukan kecil.
Ini aneh. Mungkin, dia cewek yang pemalu. Habis... menganggukkan kepala hanya kepada orang yang lebih tua, bukan? Kenapa dia membalas sapaanku dengan anggukan kepala? Apa aku terlihat seperti nenek-nenek tua di pinggir jalan? Meski aku hanya tidur dari jam 12 sampai 4 pagi, aku sangat yakin wajahku tak setua itu.
"Kenalan dong." lanjutku. "Namaku Mai. Kamu?"
"Andini." jawab cewek itu tak menurunkan kadar kesopanannya.
"Oh... Duduk bareng, yuk?"
Andini sedikit terlihat kaget saat aku menawarkan bangku sebelahku kepadanya. Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu memikirkannya. Aku hanya... hanya ingin duduk dengan cewek yang tak jauh beda denganku. Andini yang berangkat sangat gasik pasti punya alasannya sendiri. Jadi, kupikir aku bisa akrab dengannya. Sama-sama pecinta berangkat gasik, gitu.
Dan, secara mengejutkan Andini menyetujuinya.
Kami berdua duduk sebangku. Meski begitu, Andini lebih sering dengan HP-nya di sisa-sisa waktu. Mungkin perlu waktu sampai kita berdua bisa akrab. Jadi, untuk sementara, kubiarkan Andini puas dengan HP miliknya terlebih dulu.
Semakin waktu beranjak, satu per satu siswa lain memasuki ruangan kelas. Aku berkenalan dengan sebagian besar dari mereka. Sampai jam 7 pagi, bangku-bangku mulai terisi penuh. Barulah setelah bel berbunyi, terlihat dua cowok tergopoh-gopoh memasuki ruangan kelas. Nyaris terlambat pelajaran Bahasa Indonesia punya Bu Sanhastuti.
Cowok yang pertama masuk mirip sekali dengan Ringgo Agus Rahman. Kulitnya yang putih dan rambut keriting itu sangat khas, aku nyaris bisa melihat bagaimana wajahnya kelak di masa depan. Jelas akan persis seperti Ringgo. Belakangan, kuketahui nama cowok itu Adam.
Cowok kedua yang datang memiliki warna kulit lebih cokelat. Badannya tegap dan kekar seperti para atlit. Seragam OSIS tak mampu menutupi bentuk badannya yang aku berani taruhan terpahat six pack di baliknya. Aku tahu cowok itu.
"Gesang!" teriakku memanggil namanya, mengalihkan perhatian seluruh anak di ruangan.
"Hei..." balas Gesang sambil mendekatiku. "... kamu, ehm... Mai, kan?"
"Iya. Ini aku, Mai. Nggak nyangka kita satu kelas. Ha ha."
Gesang ikutan tertawa, memperlihatkan deretan gigi yang tersusun rapi seakan tuhan sendiri yang menyusunnya. Kemudian, tawanya terhenti saat dia melihat Andini di sampingku. Matanya menatap Andini cukup lama seakan ingin mengatakan sesuatu, namun tak Gesang lakukan. Dia hanya duduk di belakang kami, berjejeran dengan Adam.
****
Sekitar jam 10, bel istirahat berbunyi.
"Ke kantin bareng, yuk!" selorohku pada Gesang dan Adam di belakang.
"Hayuk. Laper juga aku ini." kata Adam, sudah beranjak dan sedang merapikan baju agar tak berantakan.
"Yuk ah, buru. Sebelum kantin ramai." balas Gesang juga sudah berdiri, tapi tak ikut merapikan baju yang berantakan. Malah, baru kusadari jika penampilan Gesang sedikit... nakal. Bajunya dikeluarkan dan tak memakai kaus dalam. Aku bisa samar-sama melihat warna kulit di balik seragam putih yang tak begitu tebal. Bertolak belakang dengan Adam yang rapi ibarat anak baik-baik.
"Yuk, Ndin." ajakku pada Andini sambil berdiri.
"Aku sini aja."
"Andini enggak laper?" tanya Adam.
"Enggak."
"Mau nitip sesuatu? Gratisannya Gesang nih."
"Enak aja!"
"Emang enak!"
Aku cuma bisa ketawa melihat kelakuan Adam dan Gesang, sementara Andini masih terpaku pada layar HP. Dua cowok itu mulai berjalan menuju kantin, tak peduli dengan Andini yang merajuk. Untuk terakhir kalinya, aku menanyakan pada Andini.
"Beneran enggak ikut, Ndin?"
Andini menjawabnya dengan gelengan kepala lemah. Jadi, setelah itu aku gabung dengan Gesang dan Adam ke kantin. Di sana, kupikir kami akan bertiga. Nyatanya berberlasan karena aku mengajak Dwi dan Rani yang satu kelas X 8 sementara Gesang mengajak banyak teman yang entah di mana dia kenal.
Di kantin, Gesang kewalahan melahap bakso yang sambalnya terlalu banyak. Bibirnya memerah. Terlihat berkilat dan merona. Bibirnya sangat... ah, aku malu mengungkapkannya.
Sebagai catatan, Adam secara mengejutkan doyan pedas. Dia terlihat cool menyantap kuah bakso yang merah pekat. Beda dengan Gesang yang heboh sendiri dan jadi bahan tertawaan teman-teman. Salahnya sendiri, sih, nantangin Adam soal makanan pedas.
"Terlalu cepat 10 tahun buat nantangin aku." kata Adam angkuh.
"Hmpfh hmpfh hmpfh..."
Gesang kelihatan tersiksa banget. Apalagi temannya pada nakalin dengan nenggak abis es teh punyanya. Terus es teh milik mereka masing-masing diumpetin di balik punggung, jauh-jauh dari Gesang. Meski agak menyenangkan lihat Gesang begitu, aku kasihan juga.
"Minum, Ge." ucapku menawarkan es jeruk manis ke Gesang.
Gesang menenggaknya sampai habis. Diminum cepat sampai airnya netes di leher dan dadanya. Berantakan sekali, begitu khas.
"Makasih, Mia. Kamu emang cewek paling pengertian. Hff."
Gesang lalu mulai mengemut irisan jeruk. Dia pikir itu bisa mengurangi sensasi terbakar di lidahnya.
"Kamu lucu banget sih, Ge!" seru Rani masih ketawa melihat kelakuan Gesang.
"Iya tuh... sampai dilihatin yang lain." timpal Dwi.
"Kalau Kak Santini sih udah ngelihatin kamu dari kita duduk di sini." balasku.
Kak Santini adalah salah satu anggota Steering Comite saat MOS. Dia yang paling galak, makanya gampang diingat. Aku ingat dia yang paling sering marahin Gesang selama MOS. Entah kenapa, Gesang sangat sering dimarahi selama MOS. Mungkin itu sebabnya dia langsung punya banyak teman.
"Ah, dia ke sini." ucap Rani saat melihat Kak Santini menghampiri kami.
Saat itu, dengan gesa Gesang meninggalkan tempat duduk. Langsung lari mengibrit seperti maling dikejar anjing. Padahal, saat itu tidak ada maling. Hanya Kak Santini yang jalan santai menghampiri.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top