#2

NUGI

Kulihat jam di tangan kananku sudah menunjukkan pukul 22:10.

Jalanan di malam hari terbilang sepi untuk daerah Kentingan kosku berada. Sangat sepi hingga bisa kebut-kebutan tanpa ada yang merasa risi. Hanya saja, aku lebih suka melewatkan malam ini dengan panjang.

Semilir angin malam yang kering menerpa wajah. Tidak menyejukkan saat angin bercampur debu dan polusi yang berterbangan dari siang mendarat di wajah. Biar begitu, aku tetap senang karena malam ini bisa bertemu bapak.

Mungkin sudah enam tahun kali ya terakhir aku bertemu bapak dan Andini.

"Kamu kerasa di sini, Gi?" tanya bapak di sela-sela perjalanan.

"Alhamdulillah, Pa."

"Syukurlah kalau begitu."

Bapak masih seperti dulu, tidak pandai berbicara. Hanya bertahan pada obrolan-obrolan singkat yang remeh temeh. Mungkin ini yang membuat ibu nggak betah.

"Bapak sehat?"

"Sehat, lah."

"Ha ha." jawabku sambil terkekeh. "London gimana kabar, Pa?"

London adalah kucing peliharaan keluarga kami sebelum bapak dan ibu pisah. Kucing liar biasa warna belang putih-cokelat-hitam. Terakhir kuingat, pas kelas 6 SD dulu, London sering main dengan kucing tetangga. Mungkin asyik-asyikan kawin atau sebagainya.

"London dibawa mamanya Razi, Gi."

"Mamanya Razi? Budhe Sari?"

"Iya. Nggak ada yang ngerawat, Gi. Akunya sibuk. Andini juga masih kecil waktu itu."

Aku cuma diam. Membayangkan sulitnya hidup bapak sepeninggal ibu. Harus terpisah 500 km jauhnya dengan kehidupan masing-masing, ternyata kami berdua sama-sama melarat. Bapak melarat dalam sisi emosional sementara ibu secara finansial.

"Ngomong-ngomong, Gi. Kamu udah kabarain ibumu soal Andini?"

"Sudah, Pa."

Aku berdusta, sebenarnya. Sebulan lalu saat bapak menelepon, aku sangat senang. Bahagia banget. Apalagi saat bapak bilang kalau Andini akan sekolah di sini, aku jadi tambah bahagia. Aku senang karena bisa bertemu dengan adikku satu-satunya itu. Tak akan kubiarkan ibu menghalangi kebahagiaanku dengan larangan hanya karena masalah lama.

"Syukurlah, Gi. Nanti takutnya ibumu pikir yang aneh-aneh kalau kamu nggak ngabarin."

"Tenang aja, Pa. Semua beres selama ada Nugi."

Bapak terkekeh. Kekeh yang mengingatkanku dengan masa-masa lalu yang begitu hangat menenangkan. Bapak yang pulang setiap sore sambil membawa pukis hangat untukku dan Andini. Lalu rebutan hebat pilih yang kejunya paling banyak.

Andai kebahagiaan itu bisa terulang.

"Gi." ucap bapak mengembalikanku dari lamunan. "Uang jajan cukup?"

"Cukup, Pa. Tumpah-tumpah malah. He he."

Bapak lagi-lagi diam. Entah paham dengan sandiwaraku atau mengapa. Bapak memang selalu begitu, diam seribu bahasa. Andai bapak tidak diam saat ibu membawaku pulang ke rumah kakek di Solo. Ah, aku terlalu banyak berandai.

Malam jadi ikut-ikutan diam membisu di sisa perjalanan.

****

Jam sebelasan malam aku telah sampai di kosan. Memasukkan motor ke dalam garasi perlahan agar Tante Silvi tidak terbangun, lalu menggrendel gembok yang mengunci garasi kosan. Tidak ada jam malam di kosan. Tapi sudah jadi kesepakatan anak-anak untuk mengunci gerbang selebih jam 10 malam.

Aku menaiki tangga satu-satu. Setelah melepas bapak di stasiun untuk kembali ke rutinitas padatnya, aku jadi teringat dengan permasalahan utama. Andini.

"Sudah enam tahun aku tidak bertemu dengannya, sebaiknya bahasa apa ya?"

Dengan langkah kaki dimantapkan aku berjalan menuju kamar 8. Di sana Andini duduk terkantuk-kantuk tak berpindah tempat.

"Bingung ya mau apa?" tanyaku bikin Andini kaget. "Nonton TV gitu?"

"Nggak suka nonton TV, Mas Nugi."

Aku lalu selonjoran di atas karpet yang dibentangkan di kamar. Menyalakan TV yang acaranya jayus dan bikin keki. Tapi hanya itu cara buat mematahkan kikuk antara kita berdua.

"Masuk sekolah kapan, Ndin?"

"Lusa tanggal 14 Juli, Mas. Kan bareng juga."

"Ah iya. Ahehe."

Lalu kami berdua mengalihkan pandangan ke layar TV. Demi menampilkan film Taiwan tahun 90-an yang jadul dan entah sudah berapa kali ditayangkan di layar kaca.

"Kalau mau tidur duluan boleh, Ndin." ucapku sambil menolehkan kepala ke arah ranjang tempat Andini duduk. Cuma, betapa kagetnya saat tahu-tahu dia sudah duduk di sampingku. Entah sejak kapan, sangat sunyi sampai aku tidak bisa mendengarkan pergerakannya.

"Ini film apa, Mas?"

"Lupa judulnya, Ndin."

"Oh..."

Lalu hanya diam. Tidak bapak pun Andini, keduanya benar-benar payah dalam percakapan.

"Yang betah lho, Ndin. Udah jauh-jauh harus kerasan."

"Iya, Mas Nugi. Pasti kerasan. Kan ada Mas Nugi juga."

"Yo i. Kalau ada apa-apa bilang aja ke abangmu ini."

"Hi hi hi."

Perlahan, meski samar, aku bisa merasakan tubuh Andini yang mulai mendekatiku. Merapatkan pinggangnya pada pinggangku tak peduli jika udara malam ini sangat gerah. Andini, adikku yang aneh.

"Ndin... geser dikit coba."

"Ke sini?" tanya Andini malah semakin mendekatkan tubuhnya padaku.

"Aih... kok malah tambah mepet gini?"

"Hi hi."

Karena risi, aku bangkit. Berdiri di hadapan Andini yang duduk bersimpuh di tepian kasur.

"Mas Nugi mau ke mana?"

"Mau ke kamar mandi, ganti celana. Mau ikut?"

Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi di pojok ruangan. Memasukinya, lagi-lagi aku terkejut dengan sosok Andini yang sedari tadi membuntutiku tanpa mengeluarkan decit suara selirih apapun.

"Ndin, ngapain kamu ke sini?"

"Tadi kan Mas Nugi yang ajakin buat ke kamar mandi."

"Itu cuma bercanda..."

"Oh..."

Aku cuma bisa ketawa saat Andini menampakkan wajah kecewa. Entah karena lugu atau polos, Andini di hadapanku tetaplah Andini yang sama seperti kelas 4 SD dulu. Pendiam, penurut, dan lucu dengan tingkah laku yang sering di luar kewajaran.

Tak mempedulikan Andini yang kecewa, kututup pintu kamar mandi.

Di kamar mandi aku terdiam. Menatap menerawang pada cermin yang terpasang selurus jarak pandang. Aku senang bisa bertemu kembali dengan Andini, sungguh. Cuma, seperti layaknya semua orang, aku pun juga punya rahasia yang tak boleh diketahui seorang pun. Terutama keluargaku, bapak dan juga Andini.

"Hhh..." menghela napas panjang tak membuatku lebih tenang. "Dipikir nanti sajalah."

Kemudian kulepaskan jeans yang kukenakan, berniat menggantinya dengan boxer merah yang tadi kupakai. Anehnya, boxer yang tadi kugantungkan di kamar mandi tidak ada. Ingin keluar mengambil celana di lemari, teringat jika ada Andini. Mana bisa keluar cuma pakai celana dalam begini.

"Ndin... Andini?" ucapku dari dalam kamar mandi.

"Iya, Mas Nugi?"

"Ambilin celana dong, di lemari."

"Mas Nugi bocor, ya?"

"Ha ha. Enggak. Cuma mau ganti celana pendek aja. Kan, risi kalau mau tidur pakainya jeans"

Dari luar, terdengar gemerusuk saat Andini mengambil celana dari lemari. Tak lama kemudian, terdengar pintu kamar yang diketuk.

"Ini, Mas."

Kubuka pintu untuk membuat celah yang kecil. Di sana Andini telah menunggu dengan celana abu-abu di tangan. Aku mengambilnya dengan segera, dan susah payah menutup kembali pintu karena ditahan tangan Andini.

"Pintunya jangan dipegangi terus dong, Andini. Kan mau ditutup."

"He he."

Akhirnya pintu dapat tertutup.

Tapi, masalah muncul di saat yang tak tepat. Celana yang Andini bawa bukan celana boxer selutut. Tapi brief warna abu-abu dengan gambar Pusheen Cat di bagian selangkangan.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top