#14

MAI

"Kamu masih ada urusan apa?" tanya Gesang sepeninggal Andini dan lainnya.

"Ada deh, kepo banget nih."

"Iya, nih. Kepo. Kepompong."

Demi mendengar lawakan segaring gabah padi itu, refleks membuatku menusuk pinggang Gesang dengan telunjuk. Aku sempat kaget dengan apa yang kulakukan, tapi Gesangnya malah adem-adem aja. Jadilah kubuat gerakan ulat dengan telunjukku bermaksud mengelitiknya.

"Kok nggak geli, Ge?"

"Nggak gelian emang, akunya."

"Katanya kalau cowok nggak gelian, entar istrinya nggak cantik lho!"

"Nggak papa, yang penting baek."

Dia memandangku dengan mata berkilat seperi cowok nakal! Senyum mengembang tipis dan sedikit miring itu seperti sedang menggodaku. Meski aku sadar jika Gesang memiliki wajah yang berkesan jail, entah mengapa aku suka raut muka yang seperti itu. Gesang memang nggak ganteng, tapi dilihat lama-lama nggak ngebosenin. Mungkin itu yang bikin dia terkenal sama anak-anak.

"Iya, ya. Nggak geli," kataku sambil menusuk-nusuk pinggangnya dengan telunjukku.

Awalnya hanya telunjuk, lalu semakin lama aku menusuk pinggang Gesang, semakin pula aku hanyut. Kini aku mulai menggaruk pinggang kanannya lembut menggunakan kelima jariku. Gesang justru berdecak pinggang merasa bangga dirinya sama sekali tak merasa geli. Itu... semakin membuatku berani. Kugunakan kedua tanganku untuk menggelitiki Gesang. Dimulai dari pinggang, pada bagian melengkungnya lalu turun ke pinggul dan dengan gerakan brutal kuteruskan sampai bagian di bawah ketiak. Tidak benar-benar sampai ketiak. Hanya pada bagian yang pada orang normal akan langsung meliuk hanya dengan sekali sentuh.

"Be.. neran... nggak geli..." racauku tak menentu. Tak ambil peduli pada tatapan orang di sekitar. Lagian pula mall sudah sepi jam segini. Lagian lagi, ini kesempatan bagus untuk menikmati tubuh Gesang. Sensasi menggerayangi tubuh Gesang begitu menyenangkan. Aku tak menyangka tubuhnya terasa liat dan lebih besar dari kelihatannya.

Gerakanku tertahan oleh Gesang sebelum aku menyadari apa yang sedang kulakukan.

"Apaan, Ge?" tanyaku.

"Jangan gitu. Kayak orang mesum," protes Gesang saat aku hendak menaikkan kaosnya. Aku seperti linglung. Mabuk. Tak kusangka menyentuh tubuh lawan jenis bisa membuatku seperti kehilangan akal hingga nyaris melampau batas kewajaran.

"Iya," jawabku seperti terperdaya olehnya.

"Ya udah balik, kuy! Sama aku aja dari pada nggak jelas gitu."

"Iya." Lagi-lagi aku menjawabnya tanpa berpikir panjang.

****

Semilir angin yang berkelebat tak elak membuat tubuhku meremang. Biar sudah akrab dengan angin malam yang menelisik seperti setiap kali aku berada di gedung kosong depan minimarket, untuk suatu alasan aku merasa malam ini terasa lain. Seakan ada rasa yang menuntun pada gigil.

"Nggak dingin kamu, Ge?" tanyaku di sela-sela angin.

"Nggak! Gerah gini juga."

"Sorry. Pasti gara-gara aku pegangan sama kamu," kataku sambil melepas rangkulan. Tadi aku sempat sungkan, tapi Gesang bersikeras agar aku memeluk pinggangnya biar lebih enak pas jalan. Aku sih percaya aja. Dia bukan tipe cowok yang memanfaatkan keadaan.

"Jangan dilepasin, Mai. Jadi susah kalau pas belok-belok buat nyalip," ucap Gesang bertanding dengan kelebat angin.

Perlahan, seumpama kucing yang hendak mencuri lauk di meja makan, kupeluk tubuhnya. Gerakanku yang seumpama gerayangan ini sudah pasti akan membuat siapapun geli, kecuali pada Gesang. Stimulusku tak berhasil.

"Tubuhmu gede juga ya, Ge?" kataku sambil melendehkan pipi di punggunya.

"Gendut, gitu?"

"Bukan... tapi, ehm... kelihatan lebih besar dari kelihatannya. Lebih... bidang."

Gesang tak menjawab, tapi hanya berdehem kecil dengan suaranya yang berat. Aku tak seharusnya melakukan ini, tapi dengan gerakan pelan seperti kucing hendak mencuri, kuselipkan tanganku pada kaosnya. Maka, tersentuhlah kulit perutnya oleh ujung jemariku.

"Mai?"

"Ya?"

"Kamu nggak lagi grepe-grepe, kan?"

"Nggak. Cuma dingin aja, Ge," jawabku hati-hati. "Geli, ya?"

"Nggak sih, cuma-"

"Oh, kirain geli," selaku dengan cepat sebelum Gesang berspekulasi macam-macam.

Kurasa, strategiku sedikit berhasil. Dia tak lagi mempersoalkan tanganku yang menggerayangi perut dari balik kaosnya. Maka, kugunakan kesempatan ini dengan sebaiknya. Pelan, kusandarkan kepalaku pada punggungnya yang bidang sementara kedua tangan masih tak lepas dari kulit perut. Kupejamkan mata, berusaha memfokuskan pikiran pada indra peraba pada ujung jemariku. Ada sensasi bulu-bulu halus yang bisa kurasakan saat menelusuri gundukan-gundukan otot di perut. Ada kenikmatan saat ketulusuri kontur perutnya berbentuk. Apakah tubuh cowok selalu seliat ini? Atau hanya milik Gesang. Sungguh aku terbuai. Seakan diriku telah menjadi abdi atas raga yang ia punya.

Malam ini telah kuikrarkan sebagai malam terbaik sepanjang hidupku.

****

Atau mungkin tidak.

Saat telah sampai di depan rumahku, aku mulai memakai kepalaku dengan lebih baik. Tak lagi terbuai nafsu akan tubuh Gesang; pada otot perut yang liat, dada yang bidang, punggung yang lebar, serta aroma tubuhnya yang begitu khas. Tidak, sudah bukan persoalan itu lagi sebab Gesang di hadapanku kini terlihat berbeda. Dia terlihat... risi.

Seharusnya aku bisa menerka. Siapapun pasti akan risi tatkala tubuhnya digerayangi orang lain. Tidak siapapun, tidak Gesang, tidak juga aku oleh bapakku pada malam-malam yang lalu.

"M-maaf, Ge." Pada akhirnya hanya itu yang dapat kukatakan pada Gesang. Aku tidak benar-benar tahu bagaimana harus menghadapinya. Kurasa, apa yang sudah kulakukan diluar toleransinya. Buktinya, aku telah membuat Gesang yang supel dan periang itu jadi sediam langit tanpa bintang.

Gesang hanya mengangguk kecil, dan itu membuatku hancur. Aku selalu ingin melihat senyumannya yang naif itu. Sementara yang kudapatkan adalah siluet punggungnya yang menjauh ditelan malam.

Pada saat-saat seperti ini, aku menjadi sangat iri dengan Andini. Pasti enak bisa tinggal sekosan dengan Gesang. Jauh dari pengawasan orangtua. Bisa melakukan apa saja. Tak sepertiku yang terbayang-bayang bapak.

Segera kutepis pemikiran itu jauh-jauh. Tinggal seatap bersama Gesang? Sepertinya kucing liar ini terlalu banyak tidur siang! Aku bergegas menuju rumah, berlari secepat mungkin ke kamar, lalu menutup pintunya rapat-rapat. Kukarungkan tubuhku dengan selimut tebal selain untuk menghalau hawa dingin yang datang semena-mena juga sebagai pertahananku pada bapak yang sebentar lagi datang. Aku harus jauh-jauh dari bapak.

****

Suara pintu yang digedor keras membangunkanku. Aku memang selalu mudah bangun, tapi gedoran kali ini sangat keras untuk membangunkan siapapun. Itu bapak. Sudah jelas sekali itu bapak. Ah, bapak... andai kamu tahu apa yang sudah kujalani seharian ini. Setidaknya, untuk malam ini, aku ingin sendiri.

Tapi aku sangat yakin itu mustahil. Maka, sebelum kubuat bapak naik pitam karena gedoran pintunya kuindahkan, kubuka pintu kayu bercat putih itu. Kulihat sosok bapak yang besar; perutnya yang liat, dadanya yang bidang, punggung yang lebar, serta aroma ciu pada tubuhnya yang khas. Aku sempat berkhayal sosok di balik pintu adalah Gesang, tapi akhir-akhir ini kucing liar ini terlalu banyak berkhayal.

Oleh sebab aku yang pulang terlalu cepat, mau tak mau aku harus tidur bersama bapak.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top