#1
ANDINI
Bagian paling sulit dalam setiap hubungan bukan soal cinta yang terpisah jarak, terbatas adat, atau terhambat usia, melainkan cinta yang tak terbalas. Apapun yang menghalangi, selama ada cinta mah semua akan baik-baik saja.
Bandung Bandowoso saja kuat menyanggupi permintaan mustahil Roro Jonggrong untuk membangun 1000 candi dalam semalam. Meski banyak yang bilang kegilaan Bandung karena dia punya kekuatan sakti buat manggil bala setan, menurutku itu cuma persoalan teknisnya saja. Sejak awal, kalau bukan karena cinta mana mau Bandung bangunin candi sebiji sekalipun.
Cintalah yang memungkinkan hal-hal mustahil.
Karena cinta pula aku nekad melanjutkan SMA 500 kilometer jauhnya dari kampung halaman. Mengambil resiko bertemu budaya baru, orang-orang baru, dan semua hal-hal baru yang nggak selalu baik buat kesehatan mental juga pikiran. Tapi aku tetap nekad. Orang namanya juga cinta.
"Andini masih pusing?" tanya bapak dari kursi samping sopir.
"Nggak, Pa."
"Kok diem aja?"
"Nggak. Cuma pusing dikit."
"Lha itu pusing. Pakai minyak angin, gih."
"Nggak, ah. Malah jadi dingin."
"Biar mendingan."
"Iya deh, Pak."
Kuambil minyak angin yang diiklanin Agnes Mo itu dari dalam tas kecil di pangkuan. Kuoleskan ke pelipis dengan sedikit mengambang agar tak terlalu banyak yang terkena. Aku tidak suka bau minyak angin.
Meski kuakui Solo di malam hari lebih gerah dari yang kampung halaman. Meski banyak pohon di tepian jalan, entah kenapa masih terasa gerah. Padahal di dalam taksi pula! Mungkin karena 5 jam perjalanan menggunakan kereta yang tak elak membuat pantatku sedikit pegal. Tapi semua kutahan, demi bisa ketemui pria tercinta.
Kulendehkan kepala pada kaca samping taksi warna biru muda yang melintasi Jalan Ahmad Yani. Pijar lampu motor yang pecah begitu dilihat dari dalam taksi membuat efek menenangkan. Seperti kunang-kunang yang meremang. Tiba-tiba aku jadi teringat dengan video klip musik. Kau tahu, adegan ketika aktor wanitanya melendehkan kepala di kaca mobil sembari lirik yang catchy berbunyi? Kira-kira seperti itu kondisi hatiku saat ini.
18 menit perjalanan dari Stasiun Balapan sampai kami tiba di kos kecil daerah Kentingan.
Kosan tempatku akan tinggal selama 3 tahun SMA bercat coklat muda. Bagian yang menghadap jalan kurang lebih memiliki lebar 15 meter dengan pagar setinggi leher orang dewasa. Aku keluar dari taksi, mengulet kuat-kuat meredamkan lelah.
"Andini, kan?" ucap seorang pria.
Pria di depanku berdiri dengan senyum mengembang. Senyum yang nyaris sama seperti bapak dalam foto pernikahan. Kecuali kumis yang lebat, sebenarnya wajah pria itu 100% dari cetakan yang sama dengan bapak. Memakai kaos putih, celana boxer merah yang tak sampai menutupi dengkul, dan sandal jepit bertali hijau.
"He eh." jawabku pelan sambil menundukkan kepala, entah kenapa.
"Udah gede kamu, ya?!"
"He he. Iya, Mas Nugi."
Mas Nugi lalu merangkulku di bagian leher dengan lengannya. Mengacak-acak rambut yang mati-matian kutata di toilet stasiun agar terlihat sesempurna saat berangkat.
Puas bikin aku berantakan, Mas Nugi lalu menyalami bapak. Menurunkan beberapa tas dan koper dari bagasi taksi, lalu membawanya ke dalam.
"Ayo, Ndin." ajak Mas Nugi.
Dengan sungkan, aku mengikuti Mas Nugi memasuki rumah kosan. Meninggalkan bapak dengan urusan argo taksi di luar. Kosan ini memiliki dua lantai dengan 5 kamar di setiap lantainya. Berjalan menapaki setiap anak tangga satu per satu sampai kami berdua tiba di kamar nomor 8.
Mas Nugi membuka pintunya dengan kaki karena kedua tangannya penuh berisikan tas milikku.
"Ini kamarku, Ndin." ucap Mas Nugi menunjukkan kamar ukuran 3 m x 3 m dengan cat warna krem seperti dinding luar. "Karena udah malem, untuk sementara barangnya taruh di sini dulu. Baru besok minta kunci kamarmu ke Pak Kos."
Biar begitu, aku tak terlalu memperhatikan detail kamar ini. Yang kuperhatikan adalah Mas Nugi. Sudah 6 tahun sejak terakhir kami bertatap muka, kulihat perbedaan yang sangat kentara. Giginya sudah tidak ompong seperti dulu, berganti dengan gigi putih yang berderet rapi. Matanya terlihat lebih kecil dari dulu, rambutnya juga terlihat berkilat tersiram cahaya dari lampu kosan. Bagian paling berbeda tentu jakun di lehernya yang tajam seperti batu kali yang mencuat.
Mas Nugi sadar sedang diperhatikan, hanya tertawa renyah.
"Ha ha... nggak nyangka Andini udah besar, ya?" ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala lemah. Mas Nugi lalu mengangkat tangannya setinggi pinggang. "Dulu masih keciiiil. Cuma segini."
"Ih, Mas Nugi... nggak sekecil itu juga kali."
"He he he."
Lagi asyik-asyiknya ngobrol, bapak datang. Masuk ke dalam kamar sambil melihat-lihat ruangan, lalau mengangguk-angguk seakan paham.
"Gimana?" tanya bapak padaku. "Betah?"
"Semoga." jawabku dengan nada datar.
"Harus betah, dong. Kalau enggak betah mesti dibetah-betahin. Udah jauh-jauh pula." sahut Mas Nugi.
"He he. Iya. Iya."
Bertiga kami terkekeh, namun tak lama karena bapak lalu bicara lirih kepada Mas Nugi. Tak cukup lirih sampai aku bisa mendengar pembicaraan mereka.
"Ibumu sehat?" tanya bapak setengah bergumam.
"Sehat. Alhmadulillah."
"Oh, ya syukurlah."
Keduanya lalu diam. Tak ada pertanyaan lanjutan. Mungkin bagi bapak, selama tahu kabar jika ibu sehat wal afiah sudah cukup baginya. Tak menuntut banyak informasi lainnya.
"Ya udah. Andini bapak tinggal sama Nugi, ya? Jangan ngerepotin. Kan sudah besar. Kalau ada apa-apa telpon. Jaga kesehatan. Makan banyak sayur."
"Iya, Pa."
"Andini masih belum doyan sayur nih, Gi." ucap bapak memprovokasi.
Mas Nugi lalu menatapku sambil menggeleng-geleng kepala. "Tsk tsk tsk, sudah mau SMA masa belum doyan sayur. Entar seret pacar!"
"Nugi titip Andini, ya. Maaf merepotkan."
"Nggak papa, Pa. Udah biasa direpotin Andini."
"He he." kekeh bapak memperlihatkan gigi taring bagian atas kanannya yang sudah ompong. "Ya udah. Bapak mau balik."
"Langsung, Pa? Nggak nginep aja?"
"Nggak lah. Entar kantor siapa yang handle?"
"Oh... bentar, biar Nugi anterin."
Buru-buru Mas Nugi masuk ke kamar mandi dalam kamar. Beberapa detik kemudian telah mengganti boxer mininya dengan jeans belel warna biru tua. Dia lalu mengenakan jaket yang tersampir di kursi lalu mengambil helm warna pink dan biru muda yang manis sekali.
"Andini ditinggal sebentar, ya? Aku mau anterin bapak ke stasiun."
"Iya. Hati-hati Mas Nugi anterin bapaknya."
"Okie Dokie." jawab Mas Nugi renyah. "Ayo, Pa."
Keduanya meninggalkanku sendirian di kamar. Kamar yang Mas Nugi tinggali selama dua tahun. Kamar tempat udara yang pernah dihirup dan dihembuskan dari hidungnya. Aku... bahagia. Saking bahagianya sampai berjingkrak-jingkrak. Kuambil bantal guling milik Mas Nugi. Kuhirup aromanya kuat-kuat sampai lupa bernapas. Sebuah perpaduan wangi deterjen dan keringat. Menaruhnya dalam memori sebagai bau paling menyenangkan sedunia. Senang sekali bisa jadi diri sendiri setelah berlama-lama acting sebagai adik perempuan baik-baik di hadapan Mas Nugi.
Aku menggila. Aku ingin Mas Nugi. Malam ini.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top