Bab 2: ABDI NEGARA

"Dipecat?" Serempak, Jatu dan Raven memekik, membuat beberapa masang mata di cafe itu sempat melirik.

Farah mengangguk sambil menatap dua sahabatnya bergantian. Jatu dan Raven adalah teman sekelasnya saat kuliah. Dulu mereka tidak dekat. Namun dua tahun belakangan, mereka sering menongkrong bersama dan mulai akrab. 

"Farah udah laporan ke pihak sekolah kalo Farah enggak lolos tes ASN?" tanya Raven.

Lagi-lagi Farah hanya mengangguk.

"Terus, kenapa masih dipecat?"

"They have rules. Siapa saja yang ketahuan ikut tes ASN, dia akan dipecat."

"Emang lo bikin pengumuman ke sekolah, kalo lo mau ikut tes?" Kali ini Jatu yang bertanya.

Farah menggeleng, lalu berkata, "Ada yang ngaduin aku. But I don't know who they are."

Raven segera mengelus punggung Farah, mencoba menghibur sahabatnya.

"Lagian calon mertua lo, sih! Udah bener calon mantunya ngajar di international school yang gajinya enggak beda jauh dari ASN, eh, masih juga disuruh tes ASN yang masih belum pasti." Jatu mendecak.

"Karena dia, suaminya, anak-anaknya, bahkan dua menantunya, mereka semua ASN. Mungkin dia pengen semua keluarga besarnya jadi abdi negara."

"Masih aja dibela!" Jatu mendengkus, lalu berpaling ke arah Raven. "Emang soal ASN susah banget, ya, Ven?"

Raven berpikir sejenak. Setelah lulus kuliah, dia memang pernah mengikuti tes ASN untuk salah satu kementerian. Namun karena tersiar kabar bahwa kementerian tersebut akan dipindahkan keluar pulau, Raven tidak melanjutkan ke tahap seleksi akhir. Tentu saja. Tidak ada pernikahan jarak jauh dalam kamusnya.

"Soal-soal intelegensinya, sih, mudah," sambar Farah. "Yang sulit justru soal karakteristik pribadi. Soal-soalnya enggak masuk akal. Aku gagal di situ. Kalian bayangin, ya, aku dapat soal begini: jika ibu anda sakit, apakah anda akan tetap bekerja atau merawat ibu anda di rumah? Secara logika, aku pasti bakal stay di rumah untuk ngerawat ibuku. Apalagi kalo ibuku sakit keras. Kalo ibu kenapa-napa, memang pemerintah mau tanggung jawab?"

"Tapi, harusnya ASN emang terikat peraturan seperti itu karena dibayar pake duit rakyat. Mereka abdi negara. Lo mau jadi ASN, ya, lo harus siap untuk menjadikan urusan rakyat sebagai prioritas."

"Tapi ASN bukan robot. Mereka juga punya keluarga yang dalam beberapa kasus membutuhkan kehadiran mereka."

"Ya, paling enggak, lo pura-pura aja, bahwa lo bakal memberikan seluruh jiwa dan raga lo hanya buat negara. Yang penting kan lolos tes dulu. Persoalan besok ada kasus darurat di keluarga, lo kan tinggal cincay sama atasan."

Mendengar ceramah Jatu, Farah menunduk lesu. Harusnya ia mendapatkan tips ini sebelum menjalani tes sehingga bisa menjawab soal sesuai norma dan harapan panitia seleksi. Bukan sesuai hati nuraninya.

"Farah kan sekarang jadi pengangguran. Terus, rencana Farah gimana?" Tak ingin berlama-lama membahas hal yang sudah terjadi, Raven mengubah topik pembicaraan.

"Ngelamar di bank tempat Raven aja, Far. Mungkin lo bisa langsung lolos kalo pake jalur orang dalem."

Farah sontak mendelik ke arah Jatu. "Aku jungkir balik kuliah di Jurusan Pendidikan Matematika bukan buat kerja di bank, ya!"

Farah tidak berbohong. Ia memang belajar mati-matian untuk bisa masuk ke jurusan tersebut. Saat kuliah pun ia belajar siang dan malam untuk bisa lulus serta meraih gelar sarjana Pendidikan di bidang matematika. Demi impian menjadi guru matematika. Juga pembuktian bahwa dirinya bisa.

"Di bank, ilmu hitung-hitungan lo bakal kepake juga, kok."

"Tapi ngapain aku ambil jurusan pendidikan kalo pada akhirnya, aku kerja di bank?" ketus Farah. Tiba-tiba perempuan itu tersadar. Ia pun berpaling ke arah Raven yang duduk di samping. "Sorry, Ven. I didn't mean to offend you."

"Enggak apa-apa, kok." Raven tersenyum ramah, seperti biasa.

Kerja di bank memang menjadi pilihan Raven setelah dengan berat hati melepas kesempatan untuk berkarir di kementerian. Tidak ada penyesalan untuk itu.

"Kamu juga, nih!" Farah menunjuk ke arah Jatu. "Bukannya jadi guru, malah kerja di TV. Ilmu kamu yang empat tahun jadi enggak guna, kan!"

"Kata siapa ilmu gue selama empat tahun enggak kepake? Lo pikir jadi tim riset di Era TV enggak pake hitung-hitungan?" Jatu mencibir. "Lagi pula, ngapain gue jauh-jauh S2 di Korea, terus balik ke Indonesia untuk jadi guru dengan gaji yang, you know-lah? Mending gue jadi guru di luar negeri."

"Kamu emang sama sekali enggak punya rasa nasionalisme!"

"Hari gini ngomongin nasionalisme." Jatu mencibir.

Dengan gemas, Farah langsung menyerbu Jatu yang duduk di depan. Tanpa ampun, ia mencubit kedua pipi sang sahabat. Jatu memang benar. Namun, ia tetap ingin meluapkan kekesalan.

"Jadi sekarang, rencana Farah apa?" tanya Raven, setelah membiarkan Jatu dan Farah bergumul selama lebih dari sepuluh menit.

"Apply lamaran di sekolah negeri."

"Di sekolah digit?" sambar Jatu.

Farah mengangguk. "Ada info di grup alumni SMA-ku. Di sana ada lowongan untuk guru matematika. Masih honorer, sih. Tapi, aku mau coba."

"Honorer di sekolah digit?" Penuh penekanan, Jatu bertanya.

"I-ya."

"Jangan, deh, Far." Jatu menggeleng. "Gue pernah riset mengenai gaji guru honor di sekolah digit. Jauh banget bedanya dari sekolah swasta apalagi international school. Kalo lo enggak kuat mental, gue jamin lo bakal mental."

"Tapi kata temanku, honorer di sekolah negeri bisa jadi batu loncatan. Nanti kita bisa diajuin jadi karyawan kontrak pemda yang dibayar sesuai UMR, terus bisa dapat nomor pendidik juga. Kalo udah dapat ini, aku bisa lebih mudah buat daftar ASN karena ada golden ticket."

"Info valid?"

"I hope." Farah menggigit bibir. Sejenak ragu, tapi ia tidak punya rencana lain. Ia harus menjadi ASN untuk bisa memperbaiki keadaan.

***

"Farah Satya Negara." Pria yang duduk di sofa membaca berkas yang disodorkan Farah.

"Iya, Pak!" sahut Farah dengan antusias sambil memperbaiki posisi duduk.

"Bagaimana nilai matematika kamu di SMA?"

Sekilas, Farah menangkap pria di hadapannya mengulum senyum. Entah atas alasan apa. Meski bingung, Farah tak urung menjawab, "Tidak begitu bagus, sih, Pak."

"Lalu bagaimana kamu bisa kuliah di jurusan Matematika."

"Belajar keras. Sepertinya itu kunci keberhasilan--."

Tiba-tiba pintu ruangan dibuka. Sesosok wanita dengan seragam biru dongker bergegas masuk ke ruangan dan langsung menuju meja kerja yang ada di sisi lain ruangan.

"Mohon maaf, Bapak dan Ibu. Tadi saya ada rapat sama kepala-kepala sekolah lain. Semoga saya tidak membuat bapak dan ibu menunggu terlalu lama. Silakan duduk di sini." Wanita itu menunjuk dua kursi yang ada di depan mejanya.

Farah melirik ke arah pria yang sejak tadi mengajaknya berbincang. "Saya pikir-"

"Saya enggak pernah bilang kalo saya kepala sekolah," bisik pria itu sambil menyerahkan berkas milik Farah, lalu bangkit dan menuju kursi yang ditunjuk.

Dengan perasaan dongkol, Farah mengikuti pria tersebut dan duduk di depan kepala sekolah yang asli.

"Perkenalkan, saya Sukma Purnama. Kepala SMA 514 sejak 5 tahun lalu. Belum terlalu lama. Tapi, yah, Di bawah kepemimpinan saya, SMA ini banyak mengalami kemajuan. Itu kata orang-orang." Wanita itu menyunggingkan senyum. "Boleh saya lihat berkas Bapak dan Ibu?"

Tanpa diminta dua kali, berkas milik keduanya telah berpindah tangan. Selama beberapa menit kemudian, hanya terdengar suara lembaran kertas yang dibolak-balik.

"Wow! Kebetulan sekali. Bapak dan Ibu ternyata alumni SMA ini, angkatannya juga sama. Berarti bapak dan ibu saling kenal, ya?"

Farah menoleh ke samping. Ditelisiknya wajah pria tersebut sambil mengingat-ingat. "Sepertinya saya lupa-lupa ingat, Bu. It was a long time ago."

Sukma mengangkat kedua bahu. "It's okay. Enggak masalah. Masa lalu biarkan tertinggal di belakang. Yang terpenting adalah masa depan." Wanita itu tersenyum lalu melanjutkan, "Kalo begitu, langsung saja kita mulai dari Pak Dexandra Abdi Pasha."

Mendengar nama itu, Farah sontak berpaling ke arah pria di samping. Pantas saja pria tersebut seperti tidak asing. Rupanya takdir mempertemukan mereka kembali. Detik itu, Farah memutuskan untuk mengajukan permintaan resign meski belum diterima.

"Master in Changing Education dari University of Helsinki, Finlandia. Tidak banyak lulusan luar negeri yang mau jadi guru. Kenapa anda memilih itu?"

"Saya ingin mengabdi pada negara. Saya ingin pengalaman dan ilmu yang saya dapatkan di luar negeri bisa memberikan sumbangsih untuk pendidikan Indonesia."

Puas dengan jawaban itu, Sukma tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Kalo Bu Farah Satya Negara, kenapa memilih menjadi guru?"

Hening di dalam ruangan.

"Bu Farah? Bu Farah?" Sukma mengulang dengan volume yang lebih keras.

"Ya, Bu!"

"Ada masalah?" Sukma menatap Farah dan Dexa bergantian.

Farah segera menggeleng. Bagaimana mungkin ia berkata jujur bahwa pria di samping adalah masalah terbesarnya?

"Kalo begitu, kita lanjut, ya. Tadi saya sudah dengar dari Pak Dexandra tentang alasannya menjadi guru. Sekarang saya mau dengar alasan Bu Farah memilih profesi ini."

Farah menarik napas panjang. Meski godaan untuk resign begitu besar, ini bukan saatnya. Ia harus terus maju untuk membuktikan sesuatu.

"Saya memilih untuk jadi guru, tepatnya guru matematika, karena seperti matematika yang butuh pembuktian, saya juga mau membuktikan bahwa saya bisa mengajar matematika."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top