30 :: Kembali ke Medan ::
Jika tahu pasti akan membuat banyak urusan serta menguras pikiran, bagi ku lebih baik di tinggalkan.
...
Setelah mendapatkan telpon dari Bapaknya, ke-esokan paginya dia langsung buru-buru ke pasar. Menemui pemilik lapak yang dia sudah sewa, Arinda bermaksud ingin membatalkan sewa dan meminta kembali uangnya namun sayang si pemilik bersedia mengembalikan uang Arinda hanya setengah dari yang sudah dia berikan.
Arinda rasanya ingin menangis karena hal itu, tapi jika tidak dia ambil maka dia tidak lagi memiliki uang. Tidak mungkin dia kembali hanya dengan tangan kosong, di tambah dengan kondisi ibunya yang sedang sakit tidak mungkin dia tidak memegang uang untuk jaga-jaga. Dengan berat hati Arinda menyetujui uangnya di kembalikan hanya setengah saja.
Dia langsung pergi membeli tiket dengan mengayuh sepeda kembali, ponselnya bergetar hingga Arinda terpaksa untuk menepi. Saat melihat nama si penelpon Arinda hanya bisa menghembuskan napas lelah.
"Ada apa bang Anton ?" tanya Arinda langsung dengan sangat malas, pikirannya lagi penuh dan Anton malah menelpon.
["Arinda sa- saya ingin minta maaf atas kejadian semalam, tidak sepantasnya orang tua saya berbicara seperti itu kepada kamu. Bisa kita bertemu ?"]
"Bang Anton saya sibuk, kita juga tidak perlu bertemu lagi."
["Tapi Arinda, bagaimana hubungan kita ?"] Anton terdengar panik.
"Kenapa masih bertanya masalah hubungan ? jelas-jelas orang tua lo gak suka sama gue," ucap Arinda kesal dan dia tahu kalau dia sudah kelewatan saat ini. Bukan salah Anton jika orang tua pria itu menilainya begitu rendah, tapi kenapa Anton hanya diam saja saat itu. Sungguh sangat terlambat pikirnya.
"Maaf bang Anton saya sedang buru-buru. Kita putus, itu adalah kejelasan hubungan kita." Arinda mematikan sepihak sambungan telpon itu lalu kembali melanjutkan mengayuh sepedanya. Tidak perduli dengan Anton yang masih terus menelponnya, dia tidak perduli.
Tidak ada yang lebih dia pikirkan saat ini daripada kesehatan ibunya dan juga masalah biaya yang pasti akan dia keluarkan nanti. Arinda kembali berpikir, sudah bertahun-tahun dia pergi tapi belum juga bisa menghasilkan apapun, setidaknya ada yang bisa dia jual jika dalam keadaan sulit seperti ini. Tapi dia tidak punya apa-apa selain tubuhnya yang sehat, tidak mungkin dia jual diri kan ? Arinda menggelengkan kepalanya meski saat berpikir menjual diri wajah Ed terlintas dalam pikirannya.
"Arinda gila ! gila ! gila !" gerutunya di dalam hati.
...
Arinda sedang di Bandara, dia diantar oleh Nindy dengan motor ke sana. Hanya membawa satu koper kecil Arinda hari itu akan pulang ke kampung halamannya, Nindy memberikan sedikit uang yang dia punya untuk Arinda. Begitu juga Yinela dan Reina, mereka mengumpulkan uang mereka jadi satu dan memberikannya kepada Arinda.
"Makasih ya bilang sama yang lain, nanti kalau gue udah ada duit gue balikin."
"Gak perlu di balikin ! kita ikhlas kok. Lo hati-hati ya, nanti kalau udah sampai sana kabarin."
"Siap !" kata Arinda lalu mereka berpisah. Arinda masuk ke dalam ruang keberangkatan seorang diri. Ponselnya bergetar namun Arinda tidak ingin mengangkatnya karena tidak tahu jika yang menelpon adalah Ed. Arinda berpikir itu adalah Anton, dia juga sudah menyimpan ponsel ke dalam laci yang ada di dalam tas.
Perjalanan yang memakan waktu di dalam burung besi akhirnya mengantarkan Arinda ke salah satu kota terbesar di Indonesia yaitu Medan. Kotanya Durian dan juga Bika Ambon, kota di mana Arinda pernah bermimpi akan memiliki satu rumah di pusat perkotaan dan membawa orang tuanya dari desa ke kota.
Arinda menaiki angkutan umum ke Rumah Sakit untuk lebih menghemat uangnya, saat dia tiba di Rumah Sakit dan ingin bertanya kepada petugas di sana, tapi suara Bapaknya yang memanggil lebih dulu menarik perhatian Arinda.
Arinda memeluk bapaknya, sudah sangat lama dan dia benar-benar merindukan sosok pria yang selalu bekerja keras demi keluarganya itu.
"Bapak rindu sekali sama kau Arinda," ujar Bapaknya dengan aksen Batak yang jelas. Arinda meminta maaf kepada bapaknya karena dia baru bisa pulang, dan Arinda sudah mengatakan jika dia sangat menyesal.
Arinda serta bapaknya kemudian pergi ke ruangan di mana ibunya atau yang biasa Arinda panggil dengan mamak itu di rawat. Di dalam ruangan itu tidak hanya ada ibunya, ada tiga orang lain lagi di sana dan Arinda melihat saat ini sang ibu sedang tidur. "Dia selalu memikirkan kamu, begitu juga dengan opung mu."
"Opung di mana Pak ?" tanya Arinda teringat jika satu anggota keluarganya tidak ada.
"Opung mu sudah sulit bergerak, dia bapak titipkan sama orang di kampung." Arinda menunduk karena merasa bersalah. Samos___sang ayah merangkul bahu Arinda dan mengatakan jika Arinda tidak perlu merasa sedih. "Kau sangat hebat Arinda, selama ini uang yang kau berikan itulah yang kami gunakan sehari-harinya, Bapak sudah tidak mampu untuk pergi ke ladang lagi jadi kami bertahan hanya dengan uang yang kau kasih setiap bulannya. Bapak malah merasa bersalah karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk keluarga kita." Arinda menangis, dia sedih membayangkan keluarganya bertahan setiap harinya dengan uang yang dia kirimkan padahal uang itu juga pasti hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
"Maafkan Bapak ya nak ku, maaf karena Bapak sudah membuat kamu lari. Bapak tahu kamu takut untuk pulang, tapi melihat kamu sekarang Bapak janji tidak akan meminta kamu menikah lagi."
"Iya Pak. Maafkan Arinda juga tidak pernah pulang selama ini, maaf Arinda tidak banyak bertanya kepada bapak selama ini."
Mendengar suara dari dekatnya mata ibu Arinda terbuka, dia terlihat sangat bahagia karena melihat Putrinya ada di dekatnya. "Arinda. Kamu pulang nak ?" Arinda mendekat dan memeluk ibunya itu.
"Iya mak, Arinda sudah pulang jadi mamak harus sembuh ya."
"Mamak rindu kali sama kau nak ku," kata Linda nama sang ibu.
"Arinda sudah di sini jadi mamak jangan sedih dan memikirkan Arinda lagi," kata Arinda dan ibunya tersenyum bahagia. Tidak lama ada perawat yang datang memeriksa apa yang di butuhkan para pasien. Arinda kemudian melihat bapaknya, dia belum bertanya masalah uang untuk biaya pengobatan ibunya.
Melihat Sang ibu sedang berbicara dengan perawat Arinda mengajak ayahnya untuk sedikit menjauh "Pak biaya Rumah Sakit ini bagaimana ?"
"Untuk penginapannya karena kita punya kartu yang kita bayar tiap bulan itu, jadi semua sudah di bebankan ke sana tapi untuk obat ada yang sebagian yang harus kita bayar. Begitu penjelesan Dokter semalam." Arinda mengangguk lega, setidaknya sebagian biaya di bebankan ke tagihan kartu keluaran pemerintah yang tiap bulannya juga mereka bayarkan.
"Kamu tenang saja, kalau kita butuh biaya tambahan untuk mamak mu kita jual saja tanah kita di kampung."
"Kalau bapak jual tanah di kampung terus kita akan tinggal di mana Pak ?"
"Cari rumah sewa saja la, yang penting mamak mu sembuh." Arinda tersenyum mendengarnya dia mengusap tangan bapaknya itu dan kali ini dia berbohong.
"Arinda masih punya sedikit uang tabungan Pak, jadi jangan bapak jual tanah itu ya." Percakapan itu terhenti ketika perawat memanggil mereka.
...
Ed menatap ponselnya dengan kesal sudah satu minggu, Arinda belum membalas pesan serta mengangkat telponnya. Jam kantor belum usai tapi, dia sudah meminta Ali untuk menyiapkan mobil karena dia ingin menemui Arinda.
Dia hanya khawatir terjadi sesuatu kepada Arinda seperti mantan pacarnya yang tidak tahu diri itu menculiknya karena frustasi. Ya, pasti Arinda sudah memutuskan hubungan dengan pria itu kan ? pikir Ed dan dia tersenyum lebar.
Ed tidak lagi ingin menyuruh orang mengikuti Arinda, dia ingin semua berjalan apa adanya dan melihat bagaimana reaksi Arinda terhadapnya. Namun, Arinda bahkan tidak mengangkat atau membalas pesannya. Sehingga dia memutuskan harus bertemu dengan Arinda sekarang juga.
Ali ikut bersama Ed di dalam mobil menuju ke kost dimana Arinda tinggal. Ketika dia tiba di sana dia mengajak Ali untuk ikut bersamanya masuk ke dalam bangunan itu dan naik ke lantai di mana kamar Arinda berada. Ali melihat kalau pintu kamar Arinda terkunci dari luar, itu artinya dia tidak ada di dalam sana.
"Bos, nona Arinda tidak ada." Ali kemudian menunjukkan kunci yang dia lihat tadi kepada Ed.
"Arinda sedang tidak ada," ujar seorang wanita yang Ed tahu adalah pegawai di kantor Raka.
"Ke mana Arinda ? apa kau tahu ?" tanya Ed langsung dan Nindy mengangguk.
"Orang tua Arinda sedang sakit jadi dia kembali ke Medan."
"Baiklah terima kasih Nindy, sampaikan salam ku pada Raka." Ed lalu buru-buru pergi dari sana, Ali sudah tahu sifat Ed jika menyangkut Arinda, pasti pria ini ingin menyusul pujaan hatinya.
"Ali siapkan pesawat. Kita akan ke Medan dan cari tahu di mana Arinda saat ini berada." Lihat benar dugaan Ali bukan, Ed bukan hanya tidak lagi selera makan karena bukan Arinda yang memasaknya tapi juga tidak bisa menjauh sebentar saja dari wanita itu.
Bersambung...
* Kejarrr terus Ed 😎
YANG TIDAK SABAR MENUNGGU UPDATE BAB SELAJUTNYA, BISA KE KARYAKARSA 'NADRA EL MAHYA' YA....SUDAH DI UPDATE SAMPAI TAMAT PLUS EKSTRA PART DI KARYAKARSA
OH YA, KALIAN SUDAH MEMBACA JUDUL CERITA 'MAAF, MEREBUT SUAMIMU' KALAU BELUM CUSS KE CERITA ITU YA. Sudah banyak bab yang nadra update di wattpad. Kalau sudah baca jangan lupa tinggalkan komentar kalian, oke
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top