Bab 4 :: Dia Datang
Kejadian tadi jelas membuat Hana dan Renata bergidik. Sebelum Handojo datang, mereka sepakat untuk tidur di kamar utama. Walaupun terkesan bukan kejadian apa-apa, tetap saja suara gedoran tadi membuat mereka merinding sekujur badan.
Hana segera membawa anaknya ke kamar, diikuti oleh Renata. Sembari menunggu kepulangan Handojo yang katanya sebentar lagi, Renata tidak berani memisahkan diri sendiri. Apalagi ia sendiri yang mengalami kejadiannya.
Kejadian aneh tadi memang tidak masuk dalam logikanya. Mana ada suara gedoran pintu sekencang itu dilakukan orang iseng? Padahal jelas jarak antara suara dengan Renata yang hendak membuka pintu begitu sebentar, kalaupun itu orang iseng tidak mungkin orang itu tidak terlihat. Tadi itu, Renata benar-benar sendiri.
"Wes, sudah. Tidur aja, nanti kalau mas Han dateng biar dia tidur di luar aja. Kamu tidur di sini malem ini, nggak papa." Hana berusaha menenangkan. Walaupun nyatanya ia juga takut.
Kejadian tadi jelas aneh. Tidak mungkin Hana tidak takut. Ia butuh Handojo sebagai seorang laki-laki yang tidak percaya pada hal-hal seperti ini untuk penguat. Jika tidak ada Handojo, Hana pun tidak bisa mengatasi rasa takutnya.
Renata pun hanya mengangguk. Ia tidak bisa tidur karena takut. Bulu kuduknya sejak tadi tidak berhenti merinding, setiap kali ada angin lewat, ia selalu merasa waspada. Namun, sebisa mungkin ia memejamkan mata saat melihat Hana juga telah memejamkan matanya.
Tidak menunggu waktu lama, suara pintu utama kembali terbuka. Kali ini lengkap dengan suara kunci berputar. Hana yang juga belum tidur, bangkit dari tidurnya. Pasti orang itu adalah Handojo. Berbeda dari kejadian sebelumnya, Handojo memang membawa kunci. Tidak lain pasti itu Handojo, suaminya.
Hana melangkah pelan, tapi pasti. Lampu kamar ia biarkan gelap. Tidak ingin mengganggu anak-anak dan adik iparnya yang sedang tertidur. Setelah menutup pintu kamar, Hana berjalan menuju ruang tamu, pasalnya sampai saat ini ia belum menemukan kehadiran Handojo.
Walaupun sedikit was-was, Hana tetap berjalan. Ia butuh segera bertemu Handojo dan menceritakan segala macam yang terjadi sebelum laki-laki itu pulang. Tidak peduli apakah Handojo percaya atau tidak, yang jelas ia butuh penguat untuk tidak takut berada di rumah sebesar ini.
"Mas..." Hana memanggil Handojo dengan suara sedikit nyaring. Sembari melangkah perlahan, ia menghidupkan sakelar lampu ruang tamu yang mati.
Begitu menghidupkan lampu, Hana melihat seseorang tengah berdiri menghadap jendela, tidak jelas itu siapa tapi Hana jelas menganggap orang itu adalah Handojo. "Mas, kok nggak masuk-masuk? Aku nungguin loh."
Kalau boleh jujur, Hana takut. Ia merinding dan tidak ingin melangkah lebih jauh. Tapi entah mengapa badannya menyuruhnya untuk tetap melangkah maju, menghampiri seseorang yang dari belakang memanglah Handojo.
Tapi anehnya, Handojo tidak lekas menoleh. Harusnya laki-laki itu menghampirinya bukan? Seperti yang biasa laki-laki itu lakukan setiap harinya. Namun kali ini tidak, Handojo hanya diam berdiri dan menghadap ke jendela, sejak tadi.
"Mas, kenapa?"
Langkah Hana terhenti. Entah kenapa ia tidak bisa melangkah lagi. Kakinya seolah-olah tertahan sesuatu. Ia tidak mengerti apa yang terjadi saat ini, tapi badannya benar-benar tidak bisa digerakkan. Ada apa ini?
Namun belum sempat ia bertanya-tanya lebih jauh, orang yang ia anggap sebagai Handojo di depannya menoleh. Kali ini berbeda. Hana tidak melihat yang seperti ini sebelumnya. Orang itu tiba-tiba berubah menjadi perempuan. Bagaimana bisa? Apa yang terjadi? Bagaimana ini?
Orang itu benar-benar berubah menjadi perempuan dengan perawakan tinggi kurus, jari-jarinya begitu panjang, rambutnya pun panjang. Tidak, Hana ingin pergi tapi ia tidak bisa ke mana-mana. Orang itu kali ini bergerak. Ia menoleh, perlahan kepalanya bergerak ke samping. Perlahan, lalu sepenuhnya menoleh ke arah Hana dengan tatapan menyeringai.
"Kamu nungguin aku, ya?" katanya dengan suara nyaring nan melengking.
Dengan kepala yang masih menoleh ke arah Hana, sosok itu perlahan mendekat, lalu semakin dekat. Hana masih terdiam terpaku, tidak bisa berbuat apapun selain melihatnya bergerak semakin dekat. Dan semakin pula Hana sadar, wajahnya tidak sempurna. Ada luka borok di sisi kanan wajahnya, lidah menjuntai ke bawah, rambut panjang menutupi sebagian wajah kirinya. Lalu dengan sekejap, sosok itu tepat berada di depan matanya.
"Akhirnya kalian datang. Hihihi" Sosok itu tertawa nyaring. Kemudian menghilang.
Dan Hana yang akhirnya bisa berteriak kencang.
"ALLAHU AKBAR!" Teriakannya menggelegar seantero rumah.
Pintu rumah kembali terbuka dan Handojo muncul dari luar dengan tatapan panik merengkuh istrinya yang tengah terduduk di lantai sembari menangis.
"Kenapa, hei?"
Hana masih menangis. Ia meremat jaket yang Handojo kenakan dengan erat. Sembari terbata-bata Hana berusaha menjelaskan kejadian menyeramkan yang baru saja ia alami.
"Tadi aku kira Mas Han ada di sini. Kupanggil nggak nyaut, ternyata yang tadi aku panggil ternyata Noni, Mas. Aku takut." Handojo memeluk istrinya. Ia jelas tidak ingin percaya, tapi jika Hana sudah begini itu artinya ia tidak berbohong.
Apa yang Hana lihat tadi tak bisa Handojo lihat, tapi ia bisa merasakan betapa takutnya sang istri dari tubuhnya yang tidak berhenti bergetar. Namun belum sempat Handojo menenangkan istrinya lebih lama, suara teriakan Renata terdengar begitu keras.
"AHHH!"
Handojo segera membantu istrinya bangkit kemudian ia berlari ke sumber suara. Ia yakin adiknya sedang tidak baik-baik saja.
"Renata di kamar kita, Mas." Hana berteriak dari belakang kemudian menyusul Handojo berlari.
Handojo yang berada di depan kamar tidak bisa masuk begitu saja. Kamarnya terkunci. Di dalam suara tangisan Renata bercampur suara tangisan anaknya terdengar. Dengan langkah grasak-grusuk, Handojo segera mendobrak pintunya. Sekali percobaan langsung berhasil.
Begitu membuka pintu, Renata sedang menangis sembari memeluk dua keponakannya yang juga menangis. Hana segera mengambil alih anak-anaknya dan membiarkan Handojo memeluk adiknya. Ia tidak mengerti dengan semua yang terjadi tapi sepertinya rumah ini memang tidak baik-baik saja.
"Ada Noni, Mas. Tadi di depan pintu, pas aku buka mata dia udah ada di depan mata. Takut, Mas. Mukanya hancur. Nggak mau di sini lagi." Renata mengadu sembari menangis.
Ah, ternyata Renata juga melihat apa yang Hana tadi lihat. Sepertinya gangguan yang mereka alami sejak awal adalah gangguan dari penguni rumah ini. Mau tidak mau, Handojo harus mengadakan pengajian. Ia tidak bisa membiarkan keluarga kecilnya diperlakukan seperti ini. Mereka manusia, jelas manusia lebih baik daripada setan-setan itu. Hal yang membuat Handojo tidak begitu percaya, karena manusia lebih baik daripada jin-jin pengganggu ini.
"Besok kita ngaji bareng-bareng, ya. Mas Han besok ngundang Ustadz juga biar rumah kita adem. Nggak papa, ini kan faktor rumahnya lama nggak ditempati jadi bisa ajalah kejadian seperti ini. Nggak perlu takut. Kita tidur bareng-bareng malem ini."
"Dia bilang, dia nunggu kita, Mas. Dia siapa?"
"Nggak usah dipikirin. Ini cuma salah satu kejadian aneh karena kita belum pengajian. Udah gitu aja. Sekarang kita tidur bareng-bareng, ya. Mas jagain."
~To be Continued~
1.078 kata
22 Mei 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top