Bab 3 :: Sebuah Pintu
Pagi-pagi sekali Renata sudah rapi. Ia berniat untuk keluar pagi ini sekalian melihat-lihat lingkungan sekitar. Sekaligus membawa keponakan bungsunya yang sedari tadi rewel minta keluar rumah.
Sambil mendorong stroller bayi, Renata berjalan. Benar kata kakaknya, lingkungan sekitar cukup asri. Kebun sayur dan sawah terhampar di mana-mana. Kendati demikian, rumah mereka tidak benar-benar sendiri. Ada beberapa tetangga yang ada di sana. Membuat rumah Belanda yang tadinya kosong itu tidak terlihat menyeramkan, karena diapit rumah-rumah berpenghuni di kanan dan kirinya.
Sembari berjalan, ia menyapa beberapa tetangga yang lewat dan mulai menjalani hari sibuk mereka. Beberapa di antaranya terlihat pergi ke sawah sembari membawa cangkul, beberapa lainnya kembali dengan keranjang penuh hasil panen di punggungnya. Sang ponakan pun terlihat senang dan tidak rewel seperti tadi.
Pagi yang cukup menyenangkan bagi Renata yang jarang keluar rumah sebelumnya.
"Eh, si Eneng. Mau ke mana?" Ada satu ibu-ibu yang datang menghampirinya, sembari menggendong sang buah hati.
"Ehm, mau jalan-jalan, Bu. Lihat-lihat sekitar."
Ibu itu tertawa sambil sesekali menepuk lengan atasnya. "Gimana desanya? Enak kan? Kalau masa liburan orang-orang kota suka main ke sini, Neng. Katanya bagus, enak buat menenangkan pikiran. Syukur, si Eneng sekeluarga pindah ke sini."
"Iya, Bu." Renata tertawa kecil, ia tidak tahu harus menanggapi ibu ini bagaimana. Renata bukan orang yang pandai bersosialisasi.
"Gimana rumahnya? Aman, kan?"
"Syukurnya aman, Bu."
"Alhamdulillah kalau gitu. Tapi bilang ke keluargamu, ya. Jangan lupa ngadain pengajian. Itu rumah jarang di tempati lho. Di tempati juga kalau ada tamu yang nginep kan dulu. Mana pernah kosong tiga tahun juga, kan. Jangan lupa dingajiin Neng, yang kayak begituan mah suka tinggal di tempat-tempat kosong." Ibu itu kembali berbicara sembari menyuapi anaknya yang sepertinya usianya di bawah sang keponakan.
"Oh, iya, Bu. Nanti saya bilang."
"Si Ibuk tuh suka lihat yang aneh-aneh kalau lagi bebersih rumah Eneng. Semoga nggak ada kejadian apa-apa, ya, Neng. Oh, iya. Saya Siti Neng, anaknya Ibu Romlah yang suka bersih-bersih rumah Eneng. Ibu saya dulu deket banget sama almarhum Ibu Eneng. Jangan lupa doakan Ibu juga ya, Neng. Kayaknya nanti Sore juga Ibu dateng ke sana."
Renata benar-benar hanya mengangguk atau mengiyakan perkataan ibu-ibu tadi sebelum kembali ke rumah. Agaknya informasi dari si ibu tadi cukup berguna bagi keluarganya mengingat sang kakak tidak berniat untuk mengadakan pengajian seperti apa yang ibu itu bilang tadi. Kakaknya hanya berniat untuk mereka bertiga dan mengundang Ibu Romlah beserta suaminya untuk mengaji bersama. Alasannya sih Renata tidak paham. Ia hanya mengikuti apa yang kakaknya perintahkan saja. Renata tidak berani melarang, tapi anjuran tadi ibu Siti tadi pasti akan ia sampaikan.
***
Siang berganti malam begitu cepat. Renata tadi tidak jadi pergi ke sekolah karena Handojo ada urusan di kota dan tidak bisa mengantar Renata pergi ke sekolah. Renata hanya mengangguk saja dan memutuskan untuk bermain dengan keponakannya selama Hana, sang kakak ipar masih sibuk memindahkan barang-barang.
Ada gunanya juga kehadiran Renata selama ini. Ia jadi bisa meringankan beban sang kakak Ipar.
"Mbak, pengajiannya jadi kapan? Beneran cuma berlima yang ngaji?" Renata teringat ucapan Ibu Siti tadi.
"Iya, kata Mas Han juga gitu Ren. Padahal Mbak nggak setuju kalau cuma berlima. Katanya sih, nanti aja kalau mau ngadain pengajian."
"Kata anaknya Bu Romlah, rumah ini suka ada yang aneh-aneh, Mbak. Buat pengajian aja."
"Aduh, kamu ini. Nggak usah dipercaya omongan kayak gitu. Emang sih, hal kayak gitu selalu ada. Kita saling menghormati aja. Nggak mungkin ada yang aneh-aneh. Semalem juga nggak ada apa-apa, kan?"
Ah, iya. Renata lupa kalau keluarganya ini agak skeptis masalah begituan. Yang berimbas pada Renata juga. Ia jadi sedikit tidak percaya akan adanya gangguan-gangguan seperti itu. Apalagi kakaknya Handojo itu, mana mau dia percaya masalah ginian. Kakaknya itu sangat memikirkan sisi logis dan ilmiah. Perkara kesurupan aja kakaknya lebih percaya itu halusinasi orang-orang saja. Memang agak susah jika keluarganya saja seperti ini.
Omongan itu berakhir berakhir begitu saja. Renata, Hana dan dua anaknya berkumpul di ruang keluarga menonton TV. Handojo masih belum pulang dan Hana kini sibuk menidurkan Kirana yang sejak pagi rewel. Renata juga bersama keponakan sulungnya dan membiarkan sang kakak ipar sibuk dengan Kirana.
Suara ketokan pintu membuat fokus mereka teralih. Pasalnya ketukan pintu itu terdengar tidak biasa. Awalnya memang pelan, dan mereka berpikir kalau Handojo sudah pulang dan mengetok pintu. Makanya baik Renata maupun Hana membiarkan ketokan pintu itu, karena memang biasanya Handojo mengetuk pintu sekali lalu masuk ke dalam rumah.
Tapi kali ini tidak. Ketokan itu terdengar terus menerus. Awalnya pelan lalu berubah menjadi semakin kencang dan kencang. Sampai Renata refleks bangun dan segera pergi ke pintu. Ketokan yang tidak biasa itu malah terdengar seperti gedoran. Benar-benar terdengar seperti gedoran pintu orang-orang yang mau menagih hutang.
"Sebentar." Renata yang risih akhirnya sedikit berteriak.
Namun, ketika Renata akhirnya hampir sampai ke pintu. Suara gedoran tadi menghilang. Benar-benar menghilang tanpa jejak. Seperti belum pernah ada seseorang yang mengetok dan menggedor pintunya. Gregetan karena mengira ini hanyalah keisengan sang kakak, Renata segera meraih daun pintu. Belum sempat ia meraihnya, pintu itu tiba-tiba terbuka begitu saja.
Ah, angin. Pikir Renata.
Karena memang begitu pintu terbuka, angin berembus begitu kencang sampai membuat rambut Renata berterbangan. Angin di desa ini memang cukup kencang jika malam. Tidak ada yang aneh dari itu, pikir Renata lagi. Ia kembali berusaha berpikir positif.
Kakinya melangkah keluar. Angin semakin kencang membuat udara sekitar dingin. Renata yang tidak memakai baju panjang segera memeluk dirinya sendiri. Kali ini benar-benar aneh.
Tidak ada mobil Handojo di halaman depan.
Dan juga tidak ada orang.
Renata buru-buru masuk ke dalam rumah lalu menutup pintu, tidak lupa menguncinya. Kemudian melangkah cepat menuju tempat kakak iparnya berada.
"Loh, kenapa Ren? Masmu mana?" Hana yang tengah menggendong putri bungsunya segera bertanya pada Renata yang masuk ke rumah sendirian.
"Mas nggak ada, Mbak. Nggak ada orang di luar. Mobilnya aja nggak ada." Suara Renata bergetar. Ia cukup takut kalau boleh jujur. Ini aneh sekali, lebih aneh dari yang kemarin.
"Ah, masak ah. Tadi Mbak denger langkah kaki ke sini kok, pas kamu kunci pintu." Hana jelas tidak percaya. Orang suara ketokan, gedoran dan langkah kaki itu terasa begitu nyata dan tidak mungkin ia salah dengar.
"Beneran Mbak. Mbak kalau nggak percaya ayo ke depan. Nggak ada Mas Han. Di luar kosong nggak ada orang. Mobil Mas Han nggak ada, ya kali Mas Han pulang nyeker. Lagian aku masuknya sendiri kok Mbak, beneran nggak ada orang." Renata jelas berusaha membela diri. Ia tidak berbohong. Di luar sungguh tidak ada siapa-siapa.
"Ya sudah, ya sudah. Mungkin kita salah denger. Kamu bisa bantu Mbak pindahin Bintang? Kalau Mas Han belum pulang kita tidur bareng aja. Pesan Mbak belum dibales juga soalnya."
Renata jelas setuju. Malam ini ia tidak mau tidur sendiri. Kejadian itu benar-benar aneh dan tidak masuk di logikanya. Dan kalau boleh jujur, Renata mulai merasa takut.
~To be Continued~
A/N
Siapa yang pernah ngalamin hal serupa, nih? Diriku pernah dapet ketokan pintu plus salam, pas dibuka ngga ada orang dan disaksikan seluruh anggota keluarga. Xixixixi.
1.140 kata
21 Mei 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top