8| tepukan bahu
Play song: Angin- Dewa 19 🎶
Angin tancapkanlah busur panah cintaku, tancapkanlah cepat tepat di jantung hatinya-1:15.
Bagian delapan.
Aletta melewatkan latihan paginya karena baru terbangun ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia berlari menuju ke sekolah dengan membawa papper bag berisikan seragam olahraga dan juga sepatu hitamnya, ia berangkat ke sekolah dengan mengenakan sepatu olahraga.
Sampai di sekolah pada pukul 07.08 Aletta dihadapkan dengan barisan para siswa yang terlambat sedang diberi omelan pagi. Salah satu guru yang berhasil melihat Aletta tentu saja marah.
"Ini yang rumahnya deket terlambat juga!" Seruan itu berhasil membuat sekitar dua belas siswa yang berbaris memusatkan pandangan kepada Aletta. "Masuk barisan cepat!"
Aletta berlari memasuki barisan menghadap sekitar empat guru BK yang sedang mengomel. Akan tetapi, sepertinya para guru memiliki dendam pribadi kepada Aletta karena terus menyudutkan gadis itu.
"Ini nih, kalo rumahnya deket itu jadi nyepelein. Malu sama yang rumahnya jauh tapi gak pernah datang terlambat. Mentang-mentang rumahnya deket, bangunnya siang!"
Cercaan itu hanya diberikan kepada Aletta saja, sehingga para siswa yang ikut mendengarnya menatap Aletta iba.
Salah satu guru mendekati Aletta seolah ingin memojokkan kembali gadis itu. "Bangun jam berapa kamu?"
Aletta tidak menjawabnya. Gadis itu menatap lurus ke depan tanpa minat sedikitpun untuk menatap guru yang berdiri di depannya.
Sang guru melirik sepatu yang dikenakan Aletta kemudian menginjaknya. "Tuh liat, sepatu aja pakenya sepatu olahraga. Tau aturan gak kamu sebenarnya?!"
Aletta menarik kakinya kemudian sedikit memundurkan langkah untuk menciptakan jarak. Ia masih tetap diam dan tidak berucap sepatah katapun. Guru itu terus mencercanya seolah siswa lain yang saat ini terlambat tidak memiliki kesalahan.
"Sekolah isinya dispen doang, kalo kamu mau fokus main bulutangkis, keluar aja! Jangan mencemari absen yang isinya cuma izin terus."
Aletta mulai hilang kesabaran. Rahangnya mengeras, tangannya pun sudah mengepal kuat hingga kubu-kubu jarinya memutih. Ia berdecih lalu memutar bola matanya malas sampai akhirnya berani menatap pria berusia 50 tahunan yang berdiri di depannya itu.
Sadar Aletta mulai ingin melawan, sang guru hendak kembali mencaci maki hanya saja kericuhan siswa lain terdengar.
"Lho, Bara?"
Kini, fokus seluruh guru beralih pada Bara yang berjalan cepat dan memasuki barisan karena datang terlambat. Aletta tidak melihat siapa yang datang karena mencoba menahan rasa sabarnya takut-takut meledak dan menghabisi semua orang.
Saat itu juga, guru-guru kembali ke tempat mereka dan memarahi seluruh siswa. Kali ini tidak hanya tertuju pada Aletta, tetapi seluruh siswa yang datang terlambat pagi ini. Seolah kedatangan Bara berhasil merubah atmoser sebelumnya.
Aletta memijat pelipisnya. Ia hanya menghela napas kasar sampai sebuah tepukan bahu dari belakang tubuhnya membuatnya menolehkan kepala.
Ia melihat tubuh tinggi Bara yang saat ini berdiri tepat di belakangnya.
Ternyata, Bara juga kesiangan.
Semalam mereka bermain basket hingga pukul dua dini hari. Kemudian mencari makan karena lapar dan berpisah setelah hampir pukul tiga pagi. Rasa lelah yang dirasa keduanya berhasil membuat tidur mereka menjadi lelap dan berujung datang terlambat.
"Lo kesiangan juga?" bisik Aletta.
Bara menunduk menatap Aletta yang mendongak padanya. "Hmm..." balasnya.
"Gue baru bisa tidur setelah subuh," kata Aletta masih dengan berbisik.
Bara sedikit menarik sudut bibirnya mencoba menahan senyum yang ingin merekah. "Sama."
Tanpa keduanya sadari, beberapa siswa tidak mendengarkan ucapan guru melainkan menatap Bara dan Aletta yang terus saja saling berbisik.
Ya, benar, bahan berita yang akan masuk ke base sekolah lagi.
Aletta berlari memutari lapangan dengan deru napas yang teratur di barisan belakang dengan Bara, keduanya berlari beriringan. Bahkan, Bara mulai mengatur deru napasnya saat berlari pada putaran ke dua puluh delapan.
"Keluarin napasnya dari mulut," kata Aletta sembari menepuk bahu Bara.
Bara menoleh ke arah Aletta yang masih bisa bicara kala seluruh siswa yang saat ini tengah mengitari lapangan, sudah kehilangan setengah nyawa.
Gadis itu masih bisa banyak bicara, tertawa, bahkan raut wajahnya tidak terlihat kelelahan sama sekali. Hingga pada putaran terakhir selesai, seluruh siswa tumbang dan langsung terduduk di lapangan.
Deru napas mereka sangat tidak teratur juga beberapa langsung mencari air minum. Terlihat dari raut wajah mereka seolah mengatakan, mereka menyesal datang terlambat.
Sedangkan Aletta masih berdiri tanpa keluhan sedikitpun. Deru napas gadis itu normal, tidak memegangi lutut seolah kelelahan, ataupun mencari air minum karena kehilangan banyak cairan.
Bara yang berada di sampingnya saja sudah berjongkok sembari menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba untuk terus sadar. Suara napas lelaki itu menderu dan keringatnya bercucuran pada pelipis.
"Capek lo?" tanya Aletta.
Bara mendongak menatap Aletta yang justru melakukan peregangan pada kedua tangannya. Sekarang Bara percaya, bahwa Aletta memang seorang atlet.
AB+
"Yang kalah traktir siomay, oke?" kata Inara.
"OKE!" Aletta, Cecil, Layla, Inara, dan Pevita menyembunyikan tangan kanan mereka di belakang tubuh.
"Batu, gunting, kertas!" seru mereka sembari mengeluarkan tangan yang sebelumnya disembunyikan.
Pevita dan Layla berhasil mengeluarkan kertas sedangkan yang lain mengeluarkan batu. Kedua gadis itu bersorak karena sudah dipastikan tidak akan mengeluarkan uang sepeserpun.
Jantung Aletta berdegup kencang, firasatnya akan mentraktir keempat orang gila di depannya saat ini sangatlah besar.
"Batu, gunting, kertas!"
✊✌️✊
"YEAY!" Cecil dan Inara bersorak karena berhasil menang.
Aletta tersenyum kecut menatap tangannya yang mengeluarkan dua jari saat ini. Keempat temannya sudah duduk sedangkan Aletta masih berdiri.
"Cing, punya gue pedes," kata Cecil.
"Gue juga," sahut Pevita.
"Gue jangan," balas Layla.
"Punya gue jangan pake kentang," sambung Inara.
Aletta mengepalkan tangannya berancang-ancang untuk memukul teman-temannya itu. "Yeee, banyak mau!"
Aletta pun keluar dari tempat duduknya lalu mulai mengantre untuk memesan. Antrian siomay siang ini cukup ramai sampai Aletta membaca seluruh merek saus dan kecap yang bertengger di dalam gerobak.
Sebuah tepukan bahu berhasil membuat Aletta menolehkan kepala dan kembali mendapati Bara yang berdiri di belakang tubuhnya. Lelaki itu menaikkan kedua alis mencoba menyapa.
Aletta memberi isyarat agar Bara mendekatkan telinga kemudian berbisik. "Bayarin dong, gue dapet jatah traktir tapi gak dikasih duit jajan."
Kening Bara mengernyit. "Berapa?"
Aletta mengangkat ketujuh jarinya dan berhasil membuat Bara semakin bingung. Bara tahu teman-teman Aletta hanya empat orang, jika dihitung bersama Aletta, lima orang jumlahnya. Lalu, dua porsi lagi untuk siapa.
"Gue makan tiga porsi," jawab Aletta masih sembari berbisik.
Bola mata Bara membelak.
"Pesen berapa Neng?" Aletta menoleh ke arah antrian yang rupanya sudah giliran untuknya. Melihat Bara yang tidak memberi respon apa-apa, ditambah uang jajan Aletta yang menipis, Aletta rasa sarapan tadi pagi tidak perlu diganti.
"Bikin lim-"
"Tujuh Bu." Bara memotong ucapan Aletta.
Gadis itu mendongak menatap Bara yang berdiri di belakang tubuhnya. Sedangkan Bara memperjelas ucapannya kepada ibu kantin penjual siomay itu.
"Tujuh buat dia," kata Bara sembari menunjuk Aletta.
Bara sangat gamblang mengatakan tiga kata itu tanpa berpikir setelah ini namanya akan kembali ramai memenuhi base sekolah lagi.
AB+
"Lo bedua, artis," ucap Chiko sembari menunjuk Bara dan Galen yang duduk di barisan paling belakang. "Manggung minggu ini hari apa aja?" lanjutnya.
"Rabu sama jum'at aja sih," jawab Galen.
"Itu jum'at, siang, sore, apa malem?" Chiko kembali melemparkan pertanyaan.
"Malem, jam delapan," balas Galen.
Chiko mengangguk-anggukkan kepala. Lelaki berkulit putih itu kembali menatap timnya. "Oke, karena Bara sama Galen masih bisa ikut, Hito sama Leon cadangan. Sekian rapat hari ini, pulang sekolah kita latihan lagi," tukasnya kemudian bertepuk tangan sebelum sekitar dua belas orang itu keluar dari dalam ruangan.
Bara dan Galen mengikuti rapat anggota basket. Karena jadwal pentas dengan turnamen basket sering bertabrakan, Chiko-kapten basket- selalu mengadakan rapat empat sampai lima hari sebelum hari H. Kemampuan Bara dan Galen sangat bagus, oleh karena itu sang kapten merasa, selagi keduanya memiliki waktu, mereka harus mengikuti turnamen.
Bara dan Galen keluar ruangan beriringan. Jam istirahat ke dua ini, Galen dan Bara hanya ingin berada di kantin.
Bara tidak memperhatikan langkahnya. Lelaki itu berjalan di belakang tubuh Galen sembari memainkan ponselnya tanpa melihat koridor yang ramai atau tidak. Pandangannya tidak teralihkan dari ponsel sekalipun bahunya terus ditabrak beberapa orang yang lewat.
Tetapi, hanya dengan sebuah tepukan di bahu, Bara berhasil mengalihkan perhatian dari benda pipih di tangannya. Lelaki itu mendapati Aletta yang menepuk bahunya sembari tersenyum.
Bara secara tidak sadar tersenyum tipis lalu menolehkan kepala memperhatikan Aletta yang berjalan melewati tubuhnya.
To be continued....
Bagaimana perasaan kalian setelah membaca bagian ini?
Maaf atas keterlambatan update😔 ternyata badanku secapek itu sampai tidurnya pules banget 🥺
Tapi, semoga bagian delapan ini menghibur kalian yaaa!><
Terima kasih sudah membaca, kita bertemu lagi minggu depan, see yaaa 💮🌸💗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top