7| di bawah lampu yang terang

Play song: Pandangan Pertama-RAN🎶

Sulit bagiku untuk bisa berhenti menganggumi dirinya-1:15.

Bagian tujuh.

Harusnya, Bara tidak usah menginjakan kaki ke rumah. Tak apa lelah hingga kaki terasa sangat berat, yang terpenting saat ini ia harus pergi dari rumah. Setelah melihat punggung tegap pria yang sedang mendorong kursi roda, semua rasa lelahnya hilang dan digantikan dengan rasa cemas.

Gadis yang duduk di kursi roda itu menoleh dan tersenyum saat melihat Bara berdiri di depan pintu. "Eh, Mas Bara udah pulang?"

Pria yang sedang mendorong kursi roda itu ikut menoleh.

Kaki Bara benar-benar terasa lemas saat ini. Jika diingat, hari ini adalah ulang tahun Aluna, pantas saja pria itu ada di rumah.

"Mas Bara inget ya, kalo sekarang hari ulang tahun aku?"

Bara bingung harus menggerakkan tubuhnya atau tidak melihat tatapan pria yang berdiri di hadapannya saat ini.

Pria itu menghela napas lalu mendorong kursi roda menuju kamar. "Aluna istirahat ya udah malem," kata pria itu.

"Tapi Bang, itu ada Mas Bara. Ini pertama kali loh Mas Bara dateng di hari ulang tahun aku, biasanya besok-besok nya."

Tetapi pria itu tetap mendorong kursi roda dan memberikannya kepada salah satu suster untuk membawa sang adik masuk ke dalam kamar. Ia kembali berjalan menuju pintu utama di mana Bara masih tetap mematung di posisinya.

"Suruh siapa lo balik hari ini?"

Bara sudah menduga, pria itu pasti akan memakinya.

Pria di hadapan Bara menyisir rambut dengan jemarinya sembari menghela napas kasar. Tatapannya sangat tidak menyenangkan melihat Bara saat ini. "Berapa kali gue bilang ke lo? Buat jangan pernah ada di rumah kalo gue pulang."

Pria itu melangkahkan kakinya menghampiri Bara. "Terserah lo mau nginep di mana asal jangan ke rumah kalo gue pulang," tegasnya.

Saat sampai tepat di depan Bara, telunjuk pria itu mendorong bahu Bara dengan kuat. "Kenapa lo balik hari ini?"

Bara tidak bisa apa-apa sekarang. Membalas ucapan pria di depannya saat ini hanya akan semakin menyakiti perasaannya.

Melihat Bara yang terus terdiam, pria itu berdecih. "Karena gue liat lo di rumah ini, gue yang pergi."

Kedua alis Bara terangkat. Tidak seharusnya begitu.

"Tapi Bang-"

"Jangan panggil gue Bang, gue bukan kakak lo."

Pria itu kemudian berjalan melewati tubuh Bara dengan menabrak bahu secara kuat, yang tentu saja berhasil membuat keseimbangan tubuh Bara goyah.

Bara masih bergeming, enggan menoleh ke belakang untuk menatap punggung tegap pria itu. Ia menatap ke depan, menyapu ruang tamu rumahnya yang sepi, lalu secara tidak sengaja netranya kembali menemukan frame foto berisikan empat orang dan tidak ada dirinya di sana.

Di rumah ini sama sekali tidak memajang fotonya. Bara ingin merasa sakit hati, tetapi orang tuanya saja sangat jarang berada di rumah. Ayahnya yang seorang pilot dan juga ibunya yang seorang pebisnis hebat berhasil menelantarkan ketiga anaknya.

Pada saat seperti inilah Bara selalu menganggap kehidupan sebelumnya yang seorang piatu lebih menyenangkan. Atau kehidupan di mana ia belum tahu bahwa ia masih memiliki seorang ibu adalah hal yang paling berkesan.

Tidak melanjutkan langkah untuk masuk ke dalam rumah, Bara memilih memutar tubuhnya dan kembali berjalan keluar. Ia meninggalkan motornya dan memilih berdiri di depan halte menunggu angkutan umum. Tas gitar yang berada di punggungnya belum sempat ia lepas, dan saat ini sebuah taksi berhenti di depannya.

Ia menaiki mobil itu, menatap ke jalanan kota yang masih ramai walaupun jam sudah menunjukan pukul setengah sepuluh malam. Bara menyuruh supir taksi untuk berhenti dan ia segera keluar. Bara tidak tahu ia berada di mana, ia lebih memilih melangkahkan kaki tanpa arah.

Memikirkan kejadian saat di rumah membuat Bara merasa sedih sekaligus marah. Pria tadi adalah kakak tirinya.

Langkah Bara terhenti ketika sampai di lapangan basket yang berada di area jalan menuju sekolahnya. Lapangan basket untuk umum itu sepi, tidak ada yang bermain di sana. Melihat ada bola juga di sana, Bara memilih memasuki lapangan basket itu.

Ia melepas tas gitar dan juga jaket kulitnya. Ponselnya berdering memperlihatkan pesan dari sang ibu.

Mama: kamu ketemu kakak kamu?
Mama: kamu sekarang di mana?
Mama: bara, kamu di rumah elang?
Mama: nak, sebelum jam 12 pulang ya

Papa: Aluna ulang tahun, kasih ucapan sama kado ya.
Papa: Tapi kasih setelah kakak kamu balik ke pelatnas.

Bara menghela napas. Kedua orang tuanya saja tidak bisa mengendalikan sang kakak.

Cowok itu meletakan ponsel di atas jaket lalu memasuki lapangan dan mengambil bola. Ia mulai mendribel nya dan berlari sebelum melompat dan memasukan bola berwarna oranye itu masuk ke dalam ring.

Bara tidak seharusnya berharap memiliki ibu.

Lelaki itu berlari yang kemudian melompat untuk memasukan bola ke dalam ring. Lalu ia mulai mendribble bola dengan kekuatan penuh sehingga memunculkan suara gema yang keras.

"Gak seharusnya gue ada di sini."

Bara mendengar telepon genggam nya berdering. Ia tahu, itu pasti sang ibu.

Sebuah kenyataan di mana Bara tidak bisa menyalahkan keadaan semakin membuatnya merasa marah. Ia memukul bola dengan keras lalu melemparkannya ke dalam ring. Ia sudah kehilangan akal dan terus saja bermain basket seolah tidak ada lagi hari esok.

"PUNTEN A HP NYA BUNYI!" Teriakkan itu terdengar Bara hanya saja ia mengabaikannya.

Sampai kemudian, "A PUNTEN INI MAMANYA TELPON!" Teriakkan itu kembali terdengar.

Bara melempar bola secara asal karena gangguan tidak jelas dari orang asing. Bara kembali ke arah tempat jaket dan gitarnya berada dan berniat men-silent ponselnya.

Hanya saja-

"Bara?"

-seseorang mengenalinya.

Bara mendongak dan melihat gadis yang mengenakan pakaian bulutangkis, serta tas raket yang berada di punggung gadis itu, saat ini berdiri tepat di bawah lampu sehingga wajahnya terlihat begitu jelas. Sempat hilang ingatan, sebelum akhirnya Bara mengenali siapa gadis di depannya saat ini.

Ini jam sepuluh malam, mengapa ada Aletta di sini?

"Ngapain lo di sini?" tanya Bara tetapi ekspresi wajahnya tetap datar.

"Harusnya gue yang nanya, rumah gue di perumahan sebelah," kata Aletta sembari menunjuk sebuah gapura perumahan yang berjarak hanya sekitar sepuluh meter dari lapangan basket. "Lo main basket jauh amat," lanjutnya.

Tidak melanjutkan topik pembicaraan, Bara teralihkan oleh tas raket dan juga pakaian yang dikenakan Aletta saat ini. Apa gadis itu baru saja selesai latihan?

"Napa lo liatin gue?" hardik Aletta.

Dengan ekspresi datarnya, Bara menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Lo atlet kan? Ayo lawan basket."

Aletta terkejut, gadis itu cengo mendengar ajakan Bara. "Yakin lo ngajak atlet bulutangkis buat tanding basket?"

"Kenapa? Takut?"

"HAH!" Aletta melepaskan tas raketnya lalu mulai meregangkan otot tangannya, ia berjalan melewati tubuh Bara dengan menabrak bahu cowok itu. Setelah berdiri tepat di tengah lapangan, Aletta menatap Bara yang masih berada di tepi lapangan. "Kalo gue menang, lo harus beliin gue Komik Naruto yang Vol.72!"

"Deal!"

Aletta mengambil bola lebih dulu, ia mendribel nya lalu mencoba memasukkannya ke dalam ring. Tetapi, meleset. Tentu saja hal itu ditanggapi oleh Bara dengan lelucon.

Sial, ia tidak boleh melewatkan kesempatan untuk mendapatkan komik Naruto secara gratis.

Bara mengizinkan Aletta untuk mendribble nya lebih dulu. Akan tetapi, saat Aletta melompat hendak memasukkan bola ke dalam ring, Bara justru merebut bola darinya dan memasukkannya ke dalam ring. Tentu saja poin menjadi milik Bara.

"Ah, gak adil, kesenjangan tinggi badan nih!" protes Aletta.

Tetapi Bara tidak menanggapi dan justru mendribble bola. Dari jarak tiga meter, cowok itu melemparkan bola dan masuk ke dalam ring. Poin lagi.

Aletta mulai mengerti. Jika terus-menerus bermain mengikuti alur milik Bara, ia akan kalah. Sehingga dengan akalnya yang jarang berjalan, Aletta berseru.

"Bentar, lo denger gak sih? Hp lo bunyi lagi."

Bara mengernyit, ia menatap kursi di tepi lapangan memastikan ponselnya menyala atau tidak. Tetapi, baru saja mengalihkan sedikit perhatiannya, Aletta sudah merebut bola. Aletta melompat dengan membawa bola lalu memasukkannya ke dalam ring. Poin untuk Aletta.

"YEESS!"

"Curang lo!" protes Bara. "Gak boleh alih perhatian kayak tadi," lanjutnya.

"Dih, lo kan gak bilang di awal, ya gak papa lah. Pokoknya gue dapet poin, yeay!"

"Sekarang gak boleh," tegas Bara.

"Gak!" elak Aletta. "Bikin aturan tuh di awal, jangan pas udah main."

Bara menghela napasnya. "Oke kalo itu mau lo."

Aletta mulai mendribble bola dan hendak melompat untuk dimasukkan ke dalam ring. Hanya saja, Bara menarik ikat rambut Aletta sehingga gadis itu menoleh. Bara merebut bola dari pegangan tangan Aletta lalu memasukkannya ke dalam ring.

Lagi, poin untuk Bara.

Rambut Aletta yang tergerai bercampur dengan keringat menempel di setiap kulit lehernya. "Wah, parah, licik lo!"

Bara terkekeh geli melihat Aletta yang mulai emosi. Kini, ikat rambut milik Aletta berada di pergelangan tangannya. Keduanya kembali bermain basket sembari sesekali mengamuk karena Bara terlalu tinggi untuk Aletta. Merebut bola dari tangan Bara sudah sulit, memasukkan bola ke dalam ring dengan Bara yang menjadi lawannya jauh lebih sulit.

Saat bola berada di tangan Aletta dan hendak melompat untuk mencetak poin, dari belakang Bara menutup mata Aletta. Lelaki itu kemudian merebut bola dan memasukkannya ke dalam ring. Poin lagi untuk Bara.

Aletta tertawa karena tidak habis pikir dengan Bara. Lelaki itu terus membuatnya terjatuh, berguling di lapangan, bahkan hampir melakukan roll depan.

Mendengar tawa renyah milik Aletta, Bara ikut tertawa. Tawanya terdengar sangat lepas malam ini, nada suaranya, raut wajahnya, seperti terlihat jelas bahwa Bara tidak pernah merasa sakit sedikitpun.

Lama-kelamaan, permainan justru tidak serius dan hanya berisi candaan. Terkadang Aletta menyembunyikan bola basket dibalik kausnya, kemudian berlari mengitari lapangan. Atau Bara yang sengaja menginjak bagian belakang sandal Aletta sehingga kelima jemari gadis itu melewati batas sandal.

"HAHAHAHA ANJIR KAKI GUE!" Aletta terbahak melihat kakinya yang melewati batas dari sandal selop yang dikenakannya.

Bara ikut terbahak melihat keadaan kaki Aletta. Saking tidak bisa meredakan tawa, mereka terduduk di lapangan sembari memegangi perut yang lama-kelamaan berujung berbaring. Keduanya menghela napas untuk mengatur tawanya. Mereka saling melirik kemudian kembali tertawa hanya dengan saling menatap wajah.

Pandangan keduanya mengarah ke atas, di mana lampu yang menerangi lapangan itu bersinar tepat di hadapan mereka saat ini.

Padahal, Bara tidak menduga bahwa dengan bermain basket bersama Aletta ia bisa tertawa selepas ini. Gadis itu terlalu menyenangkan dan suka melakukan hal aneh yang tentu saja menarik tawanya.

Aletta menatap sinar lampu yang meneranginya saat ini, ia kemudian menoleh ke arah Bara lalu kembali menatap lampu. "Sial, gue kalah."

To be continued....
Apa perasaan kalian setelah membaca bagian ini?

Ayoo ramaikan bab ini, vote, komen, and share ke temen-temen kalian ya! Ketemu lagi minggu depan, love u all ❤️❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top