21| ceritanya

Play song : Separuh Nafas-Dewa19🎶

Kau hancurkan diriku, bila kau tinggalkan aku-1:26.

Bagian dua puluh satu.

Getaran setelah mengucapkan keinginannya di hadapan Aletta masih terasa hingga Bara tidak kunjung terlelap. Ia menatap langit-langit kamarnya, lemari kaca, jendela, lalu mengulangnya lagi.

Debaran jantungnya terdengar bersamaan dengan suara jarum jam yang terus berdetak. Seolah seirama, suara itu kian lantang, sehingga semakin tidak bisa menutup mata.

Jujur saja, Bara ingin menangis saat berkata ingin memajang foto dirinya di ruang tamu. Entah mengapa kalimat itu terasa sangat sakit diucapkan, tetapi Aletta mengerti dengan keadaannya sehingga gadis itu terus tersenyum sampai ia mengantarkannya pulang.

Lebih lagi dengan percakapannya dan Aletta beberapa jam yang lalu sebelum berpisah.

Mereka berdua duduk bersebelahan di lapangan sembari meminum susu kotak. Aletta susu kotak perasa stroberi dan milik Bara perasa vanila. Sembari menatap langit yang terang akibat cahaya bintang dan bulan, keduanya seolah menikmati semilir angin malam.

"Kenapa lo dulu sampai diskors sekolah? Apa beneran cuma gara-gara bulutangkis?" tanya Bara.

"Em..." balas gadis itu. "Gue ikut event gede dan bawa nama sekolah, karena gue menang ngalahin atlet PB besar yang terkenal, gue dicari sama salah satu PB," ucapnya. "Sekolah kan benci banget sama bulutangkis, pas pihak PB datang ke sekolah dan nanya keberadaan gue, sekolah ngelak, lebih lagi orang tua gue juga gak setuju. Ya jadi, gitu, gue ketahuan ikut turnamen pake nama sekolah."

"Sebenci itu sekolah sama bulutangkis?"

Aletta menoleh, menatap sisi wajah Bara yang tegas. "Iya, dan sekolah sesayang itu sama band," balasnya.

Bara ikut menoleh. Wajahnya bertatapan dengan Aletta yang kini sama-sama menatapnya. "Lo pasti merasa ini gak adil."

Aletta mengangguk lalu menyedot susu kotak di tangannya. "Tapi diliat dari itu semua, band emang paling banyak berkontribusi dana ke sekolah. Band lo aja seminggu manggung bisa sampai lebih dari sepuluh kali."

Kepala Aletta kembali mendongak, menatap langit yang belum berkurang cantiknya. "Pihak sekolah bilang, bulutangkis peminatnya banyak, saingannya banyak, terlalu banyak kasih dana sama aja lakuin investasi bodong. Gue gak ngerti apa maksudnya, tapi emang benar, orang tua gue juga beranggapan seperti itu."

Bara terus saja memandangi wajah Aletta yang menurutnya lebih cantik dari langit penuh bintang malam ini. Semilir angin menyapu wajah gadis itu sehingga beberapa anak rambutnya berterbangan.

"Buat apa mengejar satu titik di mana kamu menjadi pelari terbelakang di antara ribuan orang yang sudah di depan, buat apa membuang uang hanya untuk harapan yang sangat mudah dipatahkan," ujar gadis itu. "Gue selalu mendengar kalimat itu setiap ngomongin soal mimpi gue ke orang lain. Dan anehnya, lo enggak begitu. Sekalipun temen-temen gue marah karena gue lebih memilih turnamen daripada camping, ataupun memilih seleknas daripada ikut tour, lo justru seolah ikut lari bareng gue di barisan terbelakang," lanjutnya.

"Karena gue iri lo punya mimpi," balas Bara. "Sejak gue di sini, hidup gue cuma berjalan sesuai alur, cukup belajar yang rajin, dapat nilai besar, dan masuk peringkat tertinggi. Tanpa tahu gue layak di sisi mana, ahli dalam bidang apa, ataupun punya satu titik yang bisa dikejar."

"Setiap gue liat muka lo yang selalu ceria, dengar seruan lo, kata-kata yang lo ucapin saat marah, dan semangat tinggi itu, gue jadi ingin melindungi mimpi lo. Lo jangan sampai jatuh kayak gue yang akhirnya tidak bisa ketemu mimpi yang baru, lo berharga, karena itu semua hal yang lo lakuin gue suka," lanjutnya.

Bara menarik kedua sudut bibirnya. Hatinya menghangat mendengar cerita dari Aletta, kepalanya juga jadi lebih dingin setelah menuturkan kata yang entah sejak kapan sudah ia siapkan.

Aletta menepuk bahu Bara, menampilkan senyumannya yang lebar hingga kedua sudut matanya ikut tertarik. "Lo juga berharga, keinginan kecil lo itu hebat banget tau."

Entah bagaimana Bara mengerti tentang alur hidupnya. Bertemu dengan Aletta adalah sebuah keajaiban, tidak peduli orang-orang berkata apa, Bara benar-benar merasa senang akan hidupnya untuk pertama kali setelah tiga tahun.

"Gue liat pemutar kaset pita punya lo waktu itu," tukas Bara.

"Oh, walkman?"

Bara mengangguk. "Lo dapet dari mana?"

Aletta merogoh tas raketnya dan meraih walkman lalu mengganti headphone dengan earphone. "Ini hadiah ulang tahun dari Papa," jawabnya.

Gadis itu sibuk memasang sebuah kaset pita. "Papa gue kolektor kaset lama, band-band dulu, penyanyi-penyanyi tahun delapan puluh sama sembilan puluhan. Album-album lama yang sekarang susah didapetin, Papa punya banyak, dan gue diperbolehkan ambil."

ceklek!

"Nah, selesai!" Gadis itu memasangkan salah satu earphone ke telinga kanan Bara, dan satu earphone yang bebas berada di telinga kirinya.

Alunan musik mulai terdengar, pelan, hingga bait pertama lirik yang Bara ketahui.

"Separuh nafasku, terbang bersama dirimu..." senandung Aletta.

Benar, ini lagu milik Dewa 19 yang berjudul separuh nafas. Memang album ini berbentuk CD, tapi entah bagaimana Aletta bisa memiliki album versi kaset pita nya.

Bara tidak tahu ternyata Aletta menyukai musik, ia pikir Aletta hanya menyukai bulutangkis, anime, dan bermain hal lain. Tetapi, gadis itu juga mendengarkan musik yang sering Bara dengar sehari-hari juga rupanya. Untuk pertama kali, Bara memiliki kesamaan dengan gadis di sampingnya ini.

AB+

"Kenapa lo yang diskors paling lama?" tanya Bara sembari menusukkan sedotan pada sekotak susu untuk Aletta yang kini sedang duduk di sampingnya setelah mengganti pakaian untuk latihan.

Mereka berdua memutuskan tidak langsung pulang dan memilih duduk di dekat lapangan basket umum biasa. Karena kali ini hari masih sore, alhasil banyak anak-anak yang sedang bermain di lapangan. Keduanya hanya duduk di kursi tepi sembari menonton tanpa berniat ikut bermain.

Aletta menerima sekotak susu dari Bara. "Kan PB luar nyarinya gue, kalo bukan karena gue, PB itu gak akan ke sekolah," jawabnya lalu meminum susu favoritnya.

Bara membuka kaleng berisi kopi lalu menenggaknya. Cowok itu sengaja tidak memberikan kopi kepada gadis di sampingnya, karena ia tahu, Aletta tidak bisa meminum kopi. Katanya, degup jantungnya akan lebih cepat dan tubuhnya akan gemetar. Alhasil, Bara membelikan susu yang lebih sehat.

"Tapi, asal lo tau Bar." Gadis itu beringsut mendekat dan menatap Bara dengan tatapan serius. "Ternyata, yang nyari gue ke sekolah itu, dulu pernah nyari gue juga pas gue masih di Bogor."

Kening Bara mengernyit heran, tetapi tatapannya ikut penasaran mengenai cerita Aletta.

"PB gue juga ternyata anak PB besar sekelas Savior. Mereka bilang, mereka udah lama nyari gue. Karena gue sering pindah-pindah PB dan beberapa kali berhenti ikut turnamen besar, mereka sempet kesusahan. Sampai akhirnya gue ikut event besar dan ngalahin atlet kebanggaan Savior, barulah PB itu ngejar gue sampe nyari ke sekolah. Jadi, sekolah tau kalo gue main bulutangkis," kata gadis itu.

"Sebenernya kenapa sekolah sebenci itu sama bulutangkis?" tanya Bara.

"Ya itu, yang semalem gue bilang. Karena peminatnya banyak, susah buat nyari kesempatan menang," balas Aletta.

"Tapi lo menang. Buang pikiran banyak peminatnya, lo berhasil menang sendirian ngalahin atlet PB besar," sungut Bara. Emosinya mulai naik karena cerita gadis itu. Menurutnya, sangat tidak masuk akal meng-anak tirikan anak emas seperti Aletta hanya karena jumlah pesaing sebagai alasan.

Aletta mendesah pelan, bahunya meluruh sembari tersenyum tegar. "Kata A Gibran, klub bulutangkis Smaltra pas delapan tahun sebelum gue masuk, nyuri dana sekolah sampe tiga puluh juta buat ikut turnamen yang berakhir gagal. Rugi besar sekolah, mana nyuri, padahal katanya pihak sekolah udah ngelarang, tapi mereka nyali. Ya alhasil sekolah marah, diblacklist lah bulutangkis dari sekolah, semua anggotanya di D.O, diharamkan adanya klub bulutangkis lagi sampe sekarang."

Kali ini bahu Bara yang meluruh. "Karena kesalahan alumni, imbasnya ke elo."

"Gak papa, justru gue seneng karena akhirnya gue masuk PB yang aktif banget ikut turnamen. Makanya peringkat nasional gue naik terus," kata gadis itu.

"Sebesar apa harapan lo buat masuk timnas?" tanya Bara.

Gadis itu mengedikkan bahunya. "Entahlah, gue sampai gak bisa membandingkan sebesar apa harapan yang gue punya. Ini satu-satunya cara, supaya orang tua gue beralih perhatian ke gue, sekolah juga gak akan jadiin gue pusat permasalahan lagi nantinya. Gimana pun caranya, gue harus jadi juara pertama!"

Bara tersenyum mendengarnya. Semangat Aletta yang tidak pernah redup memang hal yang paling ia sukai. Senyum cerianya, binar matanya, nada antusias saat berbicara, menjadi tempat ternyaman Bara untuk mengungkapkan semua ekspresi.

To be continued....
Bagaimana perasaan kalian setelah membaca bagian ini?

Aku berpikiran update 2 kali seminggu, tapi sering kali stuck dan justru menyelesaikan cerita yang lain huhu T_T

Jadi, siapa tau aku bisa kebut, bisa jawab di sini untuk update ke dua enaknya di hari apa. Jangan senin sama kamis ya pokoknya😭🙏

Oke, kita jumpa lagi di bagian berikutnya, see yaaaa!><❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top