Tujuh

Ketika dirinya kembali ke kereta, Adjani melihat sais sedang membantu Aire memindahkan beberapa barang ke tanah yang ditutupi oleh rumput. Karena bingung, Adjani yang awalnya ingin bertanya memutuskan untuk mendekati dan menimbang apa yang sebaiknya ia lakukan sebelum benar-benar menawarkan diri untuk membantu. Tidak enak rasanya berdiam diri sementara ada yang sedang bekerja dihadapanmu padahal kamu sedang menumpang.

Adjani tahu diri. Maka setelah paham bahwa sepertinya Aire dan sais sedang merapikan barang bawaan mereka, dia ikut membantu menurunkan satu dua peti berukuran sedang sendirian, sementara Shield yang mengekori dari belakang hanya memandang dalam diam sambil berdiri diantara dua kaki.

Setelah ia sadar bahwa Adjani tidak hanya sekadar melihat, Shield langsung mendekat.

"Kamu belum terlalu pulih, Nona. Jangan melakukan apa yang sebenarnya tidak perlu."

Adjani yang telah menarik sebuah koper dari atas kereta namun belum turun ke atas rumput hanya menoleh sejenak lalu mencoba mengangkat koper sambil terengah-engah.

Berat.

Hanya sekejap karena beban itu langsung hilang, sebuah tangan besar membantu menarik koper itu ke tanah.

Aire yang melakukannya.

Lagi-lagi dia. Adjani merasa sedikit malu. Ia sempat berpikir apakah pria itu, seperti Dean, menganggapnya menjijikkan juga? Bisa jadi dia hanya baik di mulut.

Tapi sejak semalam, Aire terlihat begitu tulus kepadanya. Tidak peduli tangan dan kaki Adjani hitam atau badannya berbau tidak enak, pria itu memperlakukannya dengan baik.

Seharusnya dia mulai membenciku.

"Kopernya berat sekali." Aire buka suara saat satu koper sudah berada di tanah. lengan baju yang ia gunakan sudah tergulung batas siku. Saat Djani memandangi pria itu, ia kemudian menyunggingkan senyum. Tidak ada satu bagian dari wajah Aire cacat dan terluka seperti yang ia miliki. Lengannya pun besar dan kokoh dengan tonjolan otot yang kelihatan jelas. Sinar matahari pagi membiaskan peluh disekujur wajah Aire, membuatnya tampak lebih gagah. Aneh tapi, kulitnya berwarna sedikit terang dari kebanyakan orang. Tidak terpanggang matahari yang membuat kulit terbakar atau berwarna gelap. Seperti Melody dan Lala, Aire tampak tercipta karena kemurahatian milik Tuhan.

Orang-orang beruntung, dianugerahi wajah dan harta yang berlimpah.

Kasih sayang juga.

Adjani menggigit bibir. Ia tidak boleh lagi bersedih. Sejak di tinggal nenek, dirinya tidak ingin lagi berharap akan cinta dan hal semacam itu. Cinta hanya untuk orang yang Tuhan pilih, dan sudah pasti bukan dia. Tuhan sudah memberi satu tempat khusus kepadanya sebagai seorang lima berlian. Satu keistimewaan yang tidak orang lain miliki.

Entah apa istimewanya mengurung begitu banyak racun dalam tubuh, hingga saat orang lain berdekatan dengan Adjani, hawa yang keluar dari tubuh gadis itu mempengaruhi banyak orang untuk berbuat jahat padanya.

Satu-satunya alasan tidak akan ada cinta yang datang.

Shield bahkan menolak saat Adjani mengatakan sayang kepadanya.

"Stop! Hentikan itu. Satu kata cinta darimu akan membuka segelku. Itu berbahaya sekali. Kamu boleh mengucapkan semuanya saat tubuhmu tinggal lima detik lagi dari kematian, Nona. Selebihnya, jangan jatuh cinta atau apa. Cinta darimu untukku adalah kata terlarang."

Shield bahkan menyuruhnya mati baru bisa mengatakan cinta. Lagipula bagaimana caranya tahu lima detik kemudian kamu akan mati? Ketika sudah dekat dengan kematian, orang tidak akan ingat lagi mengucapkan cinta, begitulah Adjani memprotes saat dia tidak terima dengan jawaban Shield. Toh dia juga paham, binatang jejadian seperti Shield juga pemilih. Masih mending dia tidak ikut tertular racun seperti yang lain dan tetap setia sejak bertahun-tahun lalu.

"Sebentar lagi Melody dan Lala kembali. Kita bisa sarapan bersama. Lala ahli memasak, salah satu alasan dia memaksa ikut." Aire menerangkan sambil menyebutkan beberapa jenis masakan yang menjadi keahlian wanita itu.

Lala, Adjani mengingat wanita cantik itu seperti ibu para peri. Kaki jenjang yang ia miliki bahkan membuat Adjani berpikir, saat melangkah dia bukan menjejak ke tanah melainkan melayang.

Memikirkan Lala malah semakin membuatnya malu.

"Mandi membuatmu tampak lebih baik." Aire bicara lagi saat dia tidak mendapatkan respon dari Adjani. Gadis muda itu lebih banyak diam dan mencoba nenutupi matanya yang cacat daripada memilih menatap balik pada Aire dan membalas perkataannya. Untunglah ketika kata mandi disebutkan, Adjani buka suara.

"Di sirkus air hanya untuk hewan dan para artis. Kami budak memanfaatkan air cuma untuk minum. Kami lebih sanggup tidak mandi daripada kehausan."

Rahang kokoh milik Aire mengeras, salah satu hal baru yang bisa ditangkap oleh Adjani setelah beberapa saat. Mereka belum banyak mengenal. Tapi apakah dia boleh mengenal pria itu? Lancang sekali rasanya.

"Aku sepertinya akan butuh banyak pemeriksaan terhadap tempat itu sepulang dari Suaka nanti. Korban mereka pasti tidak hanya kamu seorang, bukan? Aku yakin masih ada anak-anak lain yang mengalami penyiksaan tak kalah kejam.

Adjani menggeleng.

"Cuma aku. Yang lain tidak mengalami seperti yang aku rasakan."

Mereka kemudian memilih duduk di bawah kereta sambil memandangi danau. Aire menggigit ujung rumput kering yang ia cabut paksa kemudian melemparkan bagian daunnya ke arah danau. Sayang, karena sudah kering, bagian rumput tersebut hanya melayang sejauh kaki.

"Bagaimana kamu bisa berada di sana, Adjani? Keluargamu ada di mana?" Aire menatap nanar ke arah danau.

Adjani memeluk lututnya sendiri yang tertekuk. Ia mencoba menunduk agar Aire tidak bertambah jijik saat melihat luka keropeng yang masih sedikit terbuka dibagian leher.

"Nenek menjual saya kepada tuan Baron. Barangkali karena cucunya ini terlalu nakal."

Aier memejamkan mata.

"Awal-awal berada di sana, saya selalu memikirkan cara agar bisa kabur dan menemui nenek untuk minta maaf kalau ternyata benar saya menyusahkan. Nenek boleh menghukum saya melakukan apapun, saya ikhlas dipukul dan disiksa tapi tidak dengan cara menjual. Saya cuma punya nenek saat itu."

"Saat Tuan Baron memukul, saya selalu berpikir, apa saja kesalahan yang diperbuat pada hari itu. Sampai hanya duduk diam pun membuatnya begitu marah. Ketika dia melakukannya, saya membayangkan nenek. Nenek sering menggunakan sabuk besi untuk memukul bila sudah terlalu marah."

Aire tidak tahan lagi. Ia menghela napas dengan keras lalu menoleh pada Adjani. Gadis malang itu menyeka air mata dengan ujung gaun pemberian Melody. Ia melakukannya begitu pelan, hati-hati seakan tidak ingin Aire tahu kalau ia menitikkan air mata.

Padahal tidak usah diberi tahu, hanya dengan melihat luka fisik, semua orang tahu, dia dianiaya habis-habisan.

Tapi gadis muda itu tidak hanya mengalami luka fisik, batinnya pasti lebih hancur lagi.

Entah apa yang mendorong Aire namun ia ingin sekali mengelus kepala gadis itu. Berusaha memberikan semangat. Ini benar-benar aneh, padahal mereka baru bertama kali bertemu.

Saat tangan Aire nyaris mengenai puncak kepala Adjani, gadis itu dengan cepat menoleh. Air mata sudah terlihat menyusut dari matanya yang cacat.

"Kenapa anda ingin pergi ke Suaka? Karena setia kawan?"

Aire menggeleng sambil menarik tangan menjauh dari atas kepala Adjani. Mungkin gadis itu sudah tidak butuh semangat lagi karena dengan cepat ia menyunggingkan senyum. Bibirnya yang sedikit parut tidak mengganggu sama sekali.

"Mandy adalah calon istriku."

Adjani dengan cepat langsung paham. Kalau begitu tidak heran pria tampan di hadapannya mau ikut menemani Dean. Selalu ada maksud terselubung, bukan. Padahal Adjani sempat mengira kalau diantara Lala dan Melody adalah kekasih pria itu tapi kenyataan berkata lain.

"Bukankah semua orang bilang dia hilang saat bayi? Apakah pertunangan itu bisa terjadi saat kecil?" Adjani bertanya dengan wajah polos. Ia benar-benar tidak tahu. Teori tentang cinta, pertunangan bahkan pernikahan tidak pernah jadi topik dalam sirkus, kecuali kamu adalah Jannaero, yang setiap malam tidak pernah absen membawa wanita-wanita cantik ke dalam kamar.

"Perjodohan orang tua, sesuatu yang hanya orang dewasa pahami. Aku terlahir karena memenuhi takdir itu. Mencari dan menjadikan dia istri. Ingatan tentang dia sangat sedikit. Saat dia hilang, aku berumur sembilan atau sepuluh tahun, belum terlalu paham tentang cinta. Hanya saja semua orang terus mengatakan bahwa Mandy akan membantu kami melewati semua masalah. Dia adalah kuncinya."

Adjani melayangkan pandangan ke arah danau. Masih banyak hal yang tidak ia ketahui.

"Kenapa orang tuanya bisa meninggal?"

Aire mengedikkan bahu.

"Sampai sekarang jadi misteri. Keduanya tewas begitu saja. Seolah-olah sedang tidur. Anehnya Dean seperti tidak kena pengaruh. Dia punya kemampuan khusus, barangkali itu yang menjaganya tetap hidup, tapi tidak orang tua mereka."

Adjani menggigit bibir, merasa ikut memahami penderitaan Dean tidak peduli pria itu tidak senang akan keberadaannya.

"Dia kakak yang baik. Pastilah dia sangat kesepian tanpa ada keluarga yang menemani selama bertahun-tahun. Kalau aku, pasti cuma bisa menangis."

Lagi-lagi ucapan Adjani membuat Aire merasa pilu. Dia begitu prihatin dengan keadaan Dean tanpa menyadari bahwa dirinya sendiri lebih parah.

"Kalau semua orang berkata bahwa adiknya berada di Suaka, aku yakin, dia memang berada disana menunggu kalian untuk menjemput." Adjani berkata dan berdoa dengan tulus. Sesuatu yang ada dalam kata-kata gadis itu membuat satu bagian dalam hati Aire terenyuh dan tidak paham kenapa anak sebaik dia mesti mendapat banyak siksaan.

Aire tersenyum.

"Terima kasih. Dean pasti akan senang ada seseorang yang berdoa dengan tulus untuknya..."

Adjani baru akan menjawab saat suara familiar terdengar dari arah belakang mereka. Saat menoleh, Dean menatapnya dengan tatapan jijik dan muak seakan-akan Adjani adalah bangkai mengerikan yang membuat orang muntah-muntah.

"Kalau doa itu dari bibirnya, aku tidak yakin mau menerima, Ash."

***

Aire Ash dibaca aer es..🙂🙂🙂🙂

Terima kasih sudah mampir.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top