Tiga
"Nenek, kita mau ke mana?"
Di usianya yang ke lima tahun, Adjani tidak pernah mengerti alasan kenapa nenek yang selama ini mengasuhnya membawa dirinya ke suatu tempat paling menyenangkan yang pernah ia datangi. Adjani tahu, bahwa umurnya akan bertambah satu beberapa lagi tapi tidak pernah banyak bertanya karena ia tahu nenek tidak pernah suka.
Ya, nenek tidak pernah suka kalau dia tersenyum terlalu banyak. Nenek akan menyuruhnya mencuci piring, menyikat lantai atau memberi makan ternak mereka, termasuk juga mencari rumput di padang yang jauh dari rumah nenek.
Ia khawatir bertanya terlalu banyak akan membuat nenek marah. Meskipun begitu, untuk pertama kalinya nenek menjawab dengan suara yang lembut, tidak seperti biasanya. Pada hari itu nenek menyuruh Adjani memakai pakaian terbaik, mengikat rambutnya yang panjang tergerai dengan pita cantik berwarna biru dan sepatu kesayangannya.
Sebelum ini nenek selalu marah dan tidak jarang memukulinya jika ia tidak mengerjakan sesuatu dengan sempurna. Adjani hanya bisa menangis.
Dia hanya bisa menangis. Seperti yang selalu ia lakukan.
Memangnya apa lagi yang dirinya bisa?
Menangis juga menjadi satu-satunya cara baginya agar nenek mau kembali menjemput, setelah mengatakan akan ke membeli gula-gula yang dijual di kios dekat kandang kelinci dan menyuruh Adjani menunggu sambil memegang sebuah balon berwarna biru.
Adjani terus menunggu hingga malam menjelang Hingga kakinya keram karena terlalu banyak berdiri. Hingga semua orang meninggalkan sirkus dan hanya dirinya sendiri yang tersisa.
Hanya dirinya sendirian di sana.
Lalu pemilik sirkus melihatnya dan membawanya masuk ke tempat di mana sebagian besar anak-anak sirkus sedang berlatih. Sebagian lagi menurut penglihatannya sedang membersihkan bagian dalam tenda yang dipenuhi sampah bekas pengunjung yang menonton pertunjukan sebelum ini.
Adjani memperhatikan mereka semua dengan bibir bergetar.
Ia menoleh sambil ketakutan pada pemimpin sirkus yang tidak dikenalnya sama sekali.
"Anda bilang, nenekku ada di sini?"
Pria itu menggeleng sambil mengelus kumis tebalnya yang bergulung-gulung.
"Wanita yang kau sebut nenek itu menjualmu dengan harga amat murah padaku." Ia menyeringai.
Adjani menatapnya tidak percaya.
"Bohong! Nenek tidak akan meninggalkan aku." Pekiknya sambil menangis. Dengan cepat ia berlari menjauhi pria itu dan berusaha mencari pintu keluar sambil menangis.
"Nenek! Tolong aku. Aku mau pulang, Nek. Djani janji tidak akan nakal lagi. Suruh aku menyikat lantai, mencuci baju. Aku akan menurut, Nek. Jangan tinggalkan aku." Ratapnya dengan frustasi sambil menggedor-gedor pintu pertama yang ia lihat.
Pintu itu terkunci dan beberapa pria berbadan kekar mendekatinya.
Salah seorang diantara mereka menarik keras rambutnya hingga Adjani yakin, ada beberapa helaiannya yang tercerabut. Ia memekik dengan amat kencang dan hal berikutnya yang ia tahu adalah ia merasa melambung tinggi.
Lalu tubuhnya membentur lantai.
Dirinya baru saja dilemparkan dengan kasar.
Pria pemilik sirkus itu mendekat, dan kakinya yang memakai sepatu kulit mengkilap tanpa rasa iba menginjak jemari mungil Adjani sekuat tenaga hingga gadis itu menjerit dengan suara paling mengerikan yang pernah ia buat.
Air matanya jatuh berderai-derai.
"Nenek, selamatkan aku." Isaknya.
Pria itu menunduk, tanpa memindahkan kakinya, lalu menatap Adjani dengan mata sipitnya. Pipinya yang gembul berwarna kemerahan. Dari mulutnya menguar bau minuman keras bercampur bau yang membuat Adjani ingin muntah.
"Lakukan semua itu di tempat ini. Nenekmu sudah menyerahkanmu padaku. Artinya, sampai kapanpun tempat ini adalah rumahmu. Sampai kamu mati dan busuk. Jangan pernah berharap bisa kabur. Anak buahku tersebar di seluruh penjuru sirkus, dan mereka tidak akan segan-segan menyiksamu sampai mati."
Kali ini, pria itu menarik rambut Adjani hingga ia menjerit lagi.
"Jangan macam-macam, mengerti?"
Adjani tidak bisa menjawab. Rasa sakit yang mendera tidak bisa ditanggung oleh tubuhnya yang mungil. Ia hanya bisa menangis.
"Mengerti, tidak?" Desak pria itu lagi menjambak rambut Adjani lebih kasar lagi hingga gadis kecil itu kembali menjerit. Suara memilukan keluar dari mulutnya disertai isakan sedih yang tak putus menggumamkan nama neneknya.
"Kamu adalah budakku, mulai sekarang dan selamanya. Nenekmu tidak ada lagi sejak dia meninggalkanmu."
Pria yang pada akhirnya ia kenal dengan panggilan Tuan Baron itu menyeringai lalu menghempaskan rambut Adjani yang ia renggut sebelumnya. Dengan cepat ia berbalik dan pergi menjauh dari gadis kecil itu, meninggalkan beberapa pasang mata yang menatap Adjani penuh rasa ingin tahu namun tidak ada yang berani mendekatinya. Tidak ada yang berani menolong walaupun mereka ingin. Semua tahu, apabila ada yang berani, maka mereka akan mendapatkan hukuman yang sangat berat.
Adjani menangis sambil berusaha bangkit. Dengan perasaan hati yang hancur ia memandangi jemari mungilnya yang terluka. Bagaimanapun juga ja hanya seorang gadis kecil dan tenaga Tuan Baron yang menginjak jari-jari itu terlalu besar dan tanpa belas kasihan.
Sakit.
Sakit sekali.
Tapi tidak ada yang mengalahkan rasa sakit saat tahu kamu tidak pernah diharapkan sama sekali.
Butuh berbulan-bulan bagi Adjani untuk percaya bahwa ia benar-benar diserahkan oleh sang nenek kepada Tuan Baron untuk menjadi budak di sirkus "De Barbarian". Sebelum itu, yang ia lakukan hanyalah memandangi pintu masuk sirkus dari balik kandang monyet ataupun anjing yang langsung menghadap pintu masuk selama berjam-jam dengan harapan wanita tua akan datang dan menjemputnya kembali sambil meminta maaf karena ia telah melupakan sang cucu.
Namun Adjani tahu ia hanya berkhayal, mencoba membesarkan hatinya yang telah hancur porak-poranda.
Nenek tidak pernah datang menjemput atau sekadar melihatnya barang satu kalipun.
Ia tidak pernah diharapkan hadir ke dunia ini.
Air mata Adjani selalu jatuh kalau mengingatnya. Mengingat betapa kejamnya ia ditinggalkan sendirian hanya demi beberapa koin perak.
Apakah aku se tak berharga itu, Nenek?
Apakah semua hal yang kulakukan untuk nenek tidak ada artinya untukmu?
Kalau aku ditinggal di sini, siapa yang akan memijat kakimu yang lelah? Siapa yang akan membuatkan teh panas untukmu? Siapa yang akan memijat punggungmu?
"Djani"
"Djani, bangunlah."
"Ash, aku rasa dia pingsan karena kehilangan banyak darah. Apa kamu benar sudah mengobatinya?"
"Aku yakin begitu, Lala. Tapi anehnya, kekuatanku seperti tidak berpengaruh padanya. Lihat, luka itu bahkan tidak menutup sama sekali."
"Sudah kubilang tadi, tinggalkan saja dia. Kamu memang ingin cari masalah, Ash. Dia benar-benar menjijikkan. Jika mau berbuat baik, carilah orang yang lebih layak, bukan dia. Kamu itu calon Raja."
"Diamlah Dean. Kamu kenapa, sih? Dari tadi sikapmu seperti ini? Seperti bukan dirimu yang sebenarnya."
Adjani tertawa dalam hati. Ia tidak tahu siapa saja yang sedang berbicara saat ini. Tapi ia tahu apa yang akan terjadi setelahnya.
Ketika mereka semua berada dalam satu ruangan yang sama, perlahan-lahan emosi lawan bicaranya akan naik dan mereka akan lebih mudah marah. Selalu begitu. Ia tidak heran lagi, Dean menjadi orang pertama dari kelompok ini. Shield sudah mengatakan kepadanya ketika mereka pertama kali bertemu.
Kala itu Adjani sedang membuang setumpuk besar kotoran gajah ke bagian belakang sirkus menggunakan gerobak kayu. Lalu tak sengaja melihatnya.
Shield yang bertemu pandang dengan Adjani tanpa ragu naik ke atas pundak gadis itu dan mencicit seperti kegirangan.
"Aku menemukanmu." Ia bersorak.
"Aku menemukanmu, Nona."
Adjani yang seumur hidupnya melihat seekor ferret berbicara langsung berlari ketakutan.
"Jangan lari. Ini aku, Shield. Aku temanmu."
Langkah Adjani langsung terhenti. Ia membalikkan tubuhnya dan memandangi Shield yang mendekatinya lagi tanpa keraguan sama sekali.
"Aku akan jadi temanmu, selamanya. Kamu tak perlu sedih, sekalipun semua orang membencimu."
"Kenapa?" Dengan mulut bergetar, Adjani mengeluarkan suara. Sesuatu yang lama tidak lakukan lagi sejak tangisannya di hari pertama kedatangannya di sirkus.
"Karena itu tujuan hidupku. Nanti akan banyak orang yang tidak menyukaimu. Semua orang yang awalnya menyukai akan balik membencimu. Tapi tidak usah khawatir, aku akan selalu ada di dekatmu."
Adjani menggeleng tidak mengerti.
"Kenapa semua orang membenciku?"
Shield mencicit lagi.
"Suatu hari kamu akan tahu alasannya, tapi sekarang, cukuplah itu saja yang kamu tahu. Jangan berpikir bahwa kebencian mereka padamu itu abadi. Itu hanya sementara, karena kamu ada di dekat mereka."
Adjani masih tidak mengerti.
"Aku tidak paham. Kenapa aku bisa membuat orang benci?"
Untuk ketiga kalinya, Shield mencicit lagi, lalu mengatakannya dengan suara yang sangat pelan.
"Karena jika mereka mencintaimu, mereka tidak akan melepaskanmu."
Adjani menatap Shield yang kini bergerak memanjati tubuhnya.
"Aku ingin dicintai." Katanya dengan jujur.
"Tidak pernah ada yang mencintaiku."
Shield mengangguk.
"Memang seperti itu. Kamu tidak usah takut."
"Tapi kenapa?" Adjani bertanya lagi.
Pertanyaannya tidak pernah mendapat jawaban walau ia terus mendesak hewan itu. Shield menutup mulutnya dan kemudian bertingkah seperti sewajarnya ferret lain. Ia hanya akan bicara jika penting, selain itu, ia akan diam dan sesekali saja menanggapi pertanyaan Adjani.
Aku tidak bisa mengatakan semuanya.
Perlahan kamu akan tahu, Adjani.
Bahwa kamu bukanlah pemilik takdir, tapi akan menjadi penghancur semua takdir itu.
Sampai saat itu tiba, aku harus memastikan bahwa dirimu tetap baik-baik saja.
Kamu tidak akan apa-apa, selama aku terus berada di sisimu.
Tidak akan ada sesuatu yang buruk terjadi padamu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top