Sepuluh
Setting waktu Adjani ini jadul banget ya. Nggak ada tipi, internet apalagi indomie. Jamannya seri hercules ama xena barangkali, tapi jaman segitu masih ada dewa ya? Maju dikit dah kira kira pas dewanya migrasi ke langit . Bajunya renda-renda..uwiuwiiiiwi...
Jaman little missy dan tuan baron araruna masih modern yes..apalagi jaman little house on the prairie. Yaelaaah..ketauan eke generasi taun kapan..
🍁🍁🍁🍁
Ketika waktu makan siang tiba, Aire adalah orang pertama yang menyadari bahwa Adjani tidak berada di dekat mereka untuk ikut bergabung, padahal setengah jam sebelum ini dia tahu, Adjani masih berada di dekat tungku memasak, menunggui api mematangkan sup yang sebelumnya sedang ditunggui oleh Lala. Sekarang, saat semua orang sudah berada di meja makan dan suap menyantap makanan yang telah disajikan, ia merasa bingung karena satu anggota baru_dua termasuk Shield_tidak berada di sana.
"Adjani tidak di sini." Aire menggumam namun dapat didengar oleh semua orang. Lala yang sedang menuang air ke dalam cangkir Aire tampaknya juga baru menyadari bahwa Adjani tidak bersama mereka. Ia melirik Melody yang tampak gusar memperhatikan Dean yang sibuk dengan makanan tanpa peduli teman seperjalanannya kehilangan Adjani yang entah berada di mana.
Ketika melihat bahwa Aire bangkit dan memasukkan beberapa potong roti ke dalam saku jubahnya, Lala, Melody serta Dean tampak waspada.
"Mau ke mana?" Dean bertanya diantara sela-sela mengunyah roti yang ia celupkan dalam sup bawang kental sebelum ini.
"Mencarinya..." Aire membalas pendek dan bersiap berjalan menjauhi tempat makan saat Lala memegang lengannya.
"Ash, makan dulu baru cari dia."
Aire menggeleng. Dia lebih mencemaskan keadaan Adjani yang dia tahu pasti belum mengisi perutnya sama sekali sejak mereka bertemu kemarin malam. Ia teringat tonjolan tulang belakang di punggung Adjani yang penuh bekas cemeti. Membayangkannya saja Aire harus berlomba menekan rasa nyeri dan ngilu di dada.
"Aku akan makan bersama dia." Aire mencoba meyakinkan. Ketika langkahnya mulai menjauh, Dean bersuara setengah keras hingga menyebabkan sang calon raja menoleh.
"Boleh saja kau perhatikan dia, tapi jangan lupa, ada Alamanda menunggu di Suaka."
Aire mengurai senyum tipis, "Aku tidak lupa. Tenang saja, sobat. Adikmu adalah prioritasku selama ini."
Ia melambai lalu berjalan cepat ke arah tepian danau yang dia yakin merupakan tempat persembunyian gadis itu. Sepanjang pagi mereka sempat bersantai di sana dengan Aire menyimak beberapa pengalaman yang Adjani dapatkan saat masih berada dalam sirkus. Walau lebih banyak penderitaan tentu saja biarpun Adjani berusaha mengalihkan beberapa topik setiap lidahnya terpeleset.
Oh, aku pernah jatuh dari ketinggian sepuluh meter.
Oh, aku pernah tertikam pedang.
Satu atau dua kali aku mencoba melakukan akrobat menelan pedang, akhirnya tenggorokanku luka selama berbulan-bulan. Waktu pedangnya masuk tenggorokan, tiba-tiba saja temab sekamarku memukul perutku hingga aku tersedak.
Hingga yang paling mengerikan,
Mulutku pernah terbakar waktu coba-coba menyemburkan api. Ternyata triknya salah, tapi setelah itu aku berhasil dan tidak pernah gagal lagi.
Tidak heran Aire menemukan banyak sekali bekas luka di sekujur tubuh gadis itu. Dia merasa kesal tidak bisa melakukan apapun. Padahal dalam kondisi terbaik, ia yakin, wajah Adjani tidak kalah cantik dibandingkan dengan Melody dan Lala.
Tidak, dia lebih cantik dari mereka semua.
Aire jarang menemukan gadis berambut merah dengan iris mata biru dengan sedikit semburat hijau dan keemasan seperti milik Adjani. Biasanya warna iris adalah hanya biru, cokelat, tapi milik Adjani tampak berbeda dan ketika melihat untuk pertama kali, Aire merasa pernah menatap mata seperti itu namun ia tidak yakin siapakah sang pemilik itu. Lagipula, Adjani tidak pernah mengeluh untuk setiap penderitaan yang ia alami, membuat rasa penasaran Aire selalu meningkat.
Setiap ia tahu hal baru, semakin ia ingin tahu lebih banyak lagi.
Lebih dari lima menit ia habiskan untuk menyusuri jalan setapak yang sebelum ini digunakan untuk menemui gadis itu. Ketika sudah mencapai ujung jalan, ia tersenyum menemukan Adjani duduk sambil mengelus kepala Shield yang bertengger di bahunya yang kurus. Aire mempercepat langkah dan kemudian saat menyadari bahwa Adjani sedang bicara pada Shield, ia memasang telinga.
"Jangan menyusahkan mereka, Shield. Kita harus tahu diri. Aku tidak merasa susah mendengar omelan Dean. Dia sedang berduka karena adiknya hilang."
"Tapi kau membantu mereka masak, Nona. Sudah dua hari perutmu belum berisi makanan." Suara Shield meninggi tidak terima Adjani menganggap enteng masalah mengisi perut. Padahal Aire yang mendengarnya pun sama tidak setuju. Ia tanpa ragu bergegas maju saat di dengarnya Adjani bicara lagi.
"Jangan jadi pengemis meskipun kamu lima detik lagi dari kematian, Shield. Aku sudah terbiasa, lagipula berry liar yang kita petik tadi cukup berguna."
Shield mendengus, "Itu tidak akan banyak membantu. Kau perlu makan banyak, tubuhmu kekurangan banyak gizi."
Adjani membalas omelan hewan pengerat itu dengan tawa renyah, "Aku tidak apa-apa, Shield. Sungguh."
Ujung hidung Shield yang berwarna merah jambu berkedut-kedut saat ia menatap wajah nona yang paling ia sayangi itu. Adjani selalu mencoba terlihat kuat biarpun orang yang melihatnya tahu, ia sebenarnya nyaris menyerah. Adjani kerap mengatakan bahwa ia baik-baik saja karena ia khawatir akan membuat orang jadi susah. Ia tahu, ketika orang mulai terganggu melihat dirinya merengek, saat itulah kesabaran mereka habis.
Jika sudah begitu, ia bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Setidaknya, saat rombongan Dean bersikap begitu baik kepada mereka berdua, ia sebisa mungkin berusaha tidak menyusahkan. Tujuan mereka semula sudah jelas, hanya menumpang hingga sampai ke Suaka. Masalah makan dan urusan lain, Adjani tidak ingin bergantung juga kepada mereka.
"Tapi kalau makanan itu sendiri yang datang, aku harap kalian berdua tidak akan menolak."
Suara riang dan ramah milik Aire membuat kedua orang sahabat itu menoleh. Dalam hati Adjani bersyukur dirinya dan Shield tidak membahas hal rumit seperti masalah lima berlian saat pria tampan itu tiba. Adjani hanya beringsut, mencoba menjauh saat Aire melarang.
"Aku sampai berjalan ke sini dengan harapan kamu mau makan. Jika di sana ada Dean yang membuatmu jadi canggung, di sini cuma ada kita dan yang aku inginkan adalah melihat kalian berdua makan dengan layak, bukannya..."
Mata Aire tertumbuk pada biji-biji berry yang berserak diatas gaun milik Adjani. Gadis kurus kering itu menampung setengah genggam buah-buahan liar dengan harapan bisa mengisi perutnya. Itupun barangkali harus dibagi dua dengan Shield. Ia tertegun menyadari betapa ucapan Dean memberi pengaruh amat besar pada Adjani hingga ia takut bergabung dengan mereka semua.
Satu porsi tambahan tidak akan memberi pengaruh banyak. Lala selalu memasak lebih dan kadang ia sering membagikan separuh makanan milik mereka kepada warga yang lewat, mengajak mereka ikut makan dan Dean tidak pernah keberatan. Hanya karena Adjani tidak sempurna lalu sahabat karibnya itu tega mengusirnya.
Aire merasa amat bersalah, terutama karena tidak bisa berbuat banyak. Ia amat menyayangi Dean sebagai sahabat dan kakak dari tunangannya, di satu sisi, melihat Adjani yang terlantar harus rela mengisi perut dengan buah liar sungguh mengganggu pikirannya. Tidak seharusnya Adjani makan benda seperti itu sementara saat ini ada roti serta sup hangat dan lezat tersedia untuknya.
"Rasanya manis." Adjani menawarkan satu atau dua butir yang tanpa ragu diterima Aire tidak peduli saat itu Shield mencicit seolah saat ia memasukkan berry itu ke dalam mulut, jatah makan Shield akan berkurang banyak. Setelah tahu memang rasa buah liar itu tidak buruk, Aire mengangguk lalu ia ikut duduk di sebelah mereka berdua.
"Aku tadi berpikir kalau kalian belum makan dan saat ini ada roti dan sup hangat untuk kalian." Aire membuka bungkusan kain yang tadi berada dalam genggaman, memamerkan tiga batang roti berbau ragi serta menuangkan sup hangat dari wadah kulit ke dalam sebuah wadah cembung terbuat dari tembikar untuk mereka berdua. Ketika selesai, perbuatannya itu membuat Adjani dan Shield saling pandang.
"Ayo, tunggu apa lagi? Ini sup bawang buatanmu kan, Djani? Rasanya sangat enak." Aire memuji lalu menyodorkan sebantal roti untuk gadis itu, sekerat kecil untuk Shield dan sebuah lagi untuk dirinya sendiri.
Kenapa Aire malah ikut makan bersama mereka? Adjani mengerutkan dahi, merasa tidak paham dengan keanehan ini saat Aire kemudian makan dengan lahap mengabaikan dua mahluk yang menatapnya dengan penuh kebingungan.
"Tunggu apa lagi? Cepatlah kalian makan, setelah ini kereta kita akan berangkat lalu setelah tengah malam, baru kita akan berhenti di Distrik Lima Belas. Di sana kita akan tinggal selama dua hari. Aku ada sedikit keperluan sebelum kita melanjutkan perjalanan ke suaka. Tapi tidak mengapa, Distrik Lima Belas cukup besar dari Distrik Delapan Belas dan punya sebuah pasar yang amat ramai, kamu akan suka begitu kita berada di sana.
Mendengar Aire menyebutkan kata pasar, sesuatu dalam kepala Adjani memerintahkan dirinya untuk melakukan sesuatu. Aire yang baik tidak mungkin terus-terusan berpura-pura muncul dan membawa roti agar mereka bisa makan. Dua hari di Distrik Lima Belas bisa dia manfaatkan untuk mencari uang. Dia tahu sedikit trik sulap dan barangkali akan sangat berguna untuk mereka. Paling tidak, ketika Aire melarang mereka makan buah liar, Adjani bisa memamerkan sedikit uang yang dia punya untuk membeli makanan.
Seperti biasa, Adjani mengemukakan idenya melealui telepati kepada Shield agar Aire yang sedang menikmati makan siang tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Namun bukannya setuju, Shield menolak mentah-mentah ide gila itu.
"Mereka akan membaui seorang Lima Berlian dengan mudah kalau kau berani-berani muncul ke depan umum, Nona."
Peringatan itu sepertinya tidak mendapat tanggapan dari Adjani. Ia sudah terlalu sibuk dengan pikiran pundi-pundi uang yang akan mereka dapat jika ia berhasil melakukan atraksi.
"Aku tidak setuju." Shield kembali protes sambil mencicit keras dan menaiki tubuh Adjani dengan mudah. Tapi Adjani hanya membalas dengan senyuman sebelum ia membawa roti lezat pemberian Aire dalam mulutnya.
Kita harus mencobanya, Shield dan tentu saja, berusaha jangan sampai ketahuan.
🍁🍁🍁🍁
Olaaah...
Adakah yang suka sama mereka?
Visualisasi jaman dulunya agak susah di cari, tapi ada kok. Cuma masalahnya, yang punya muka tetap kok ga ada, ya?😁😁😁
Masih inget adegan Adjani diinjek ama Tuan Baron? Emak nemu nih..
Mana Dean Mana Aire?
Siapa yang bisa mengendalikan air?
Ini Adjani kalau sudah sembuh dan rambut merahnya sudah panjang.
Ini siapa? Mukanya kayak bidadari kalo Djani bilang, antara Lala atau Melody
Suka nggak sama ceritanya? Beda ya sama yang laen? Hehehe..
Masih mau lanjut?
Mwaaach...💋💋💋💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top