Empat Belas
Menjelang pukul empat subuh, Adjani yang sejak tadi tidak bisa memejamkan mata hanya membolak-balik tubuh dengan gelisah. Segera setelah Edymar sadar, dia menyadari tabib jelita itu memperlakukannya kelewat sopan, jauh lebih sopan dari beberapa menit sebelum pingsan. Dia jelas curiga, Shield adalah dalang di balik semua itu, akan tetapi, si Ferret yang selalu mahir berpura-pura, bersikap seolah tidak ada hal yang terjadi hingga kemudian ia memutuskan untuk diam dan berusaha memejamkan mata tak lama setelah tiga wanita berhati mulia itu meninggalkannya sendirian di sebuah kamar berlantai pualam yang didisain amat indah.
Adjani bahkan tak henti mengagumi tempat tidur besar tempatnya berbaring saat ini. Penutupnya amat halus dan lembut, entah terbuat dari bahan linen atau sutra, dia tidak paham, berbau harum serta terlihat bersih hingga ia takut meletakkan tubuhnya yang dekil dan penuh luka walau berkali-kali Edymar meyakinkan kalau ia diperbolehkan tidur di sana sesuka hatinya.
Adjani sungguh tidak enak hati. Saat ia menggumam bahwa ia sebaiknya tidur di kamar para pelayan, selain Lala dan Melody, Edymarlah yang menggeleng dan mengatakan, seharusnya ayahnya menyiapkan satu kamar khusus terbaik untuknya, bukan kamar tamu yang berukuran kecil seperti ini.
Jika dia menganggap kamar berukuran dua puluh kaki ini adalah kamar yang amat kecil, Adjani tidak bisa lagi membayangkan, seperti apa besar kamar kehormatan yang keluarga Rodriguez miliki. Barangkali, manusia akan menggelinding bila mereka tidur di sana, karena ukurannya yang amat luar biasa.
Ia masih saja membolak-balik tubuhnya dengan gelisah tidak peduli, kamar gelap itu hanya diterangi temaram cahaya bulan yang tembus lewat lubang jendela. Sesekali, gadis kurus itu melirik Shield yang tampak nyenyak tidur bergelung di sebelahnya, tidak terganggu oleh gerakan lasak Adjani yang seharusnya membuat orang lain ikut gelisah.
Ia merasa tubuhnya bereaksi pada ramuan obat yang diberikan Edymar kepadanya. Sebab itu, Adjani merasa hawa aneh melingkupi tubuhnya, panas dan tidak nyaman. Tidak pedih ataupun nyeri, hanya saja, ia menyadari, uap atau asap sedikit keluar dari luka yang jumlahnya tidak sedikit. Rasanya mirip seperti berendam dalam air yang kelewat hangat, hingga seolah tubuhnya sendiri yang direbus. Ia yakin, sebentar lagi rasa panas itu akan semakin meningkat sampai dirabanya dahi dan lehernya sendiri, benar-benar lain daripada biasanya.
Dia harus bagaimana? Jam segini, sudah pasti orang-orang sedang beristirahat. Apalagi tuan rumah harus berjaga hingga lewat tengah malam demi menunggu rombongan mereka tiba, hingga membuat Adjani tak enak hati jika harus mengganggu mereka lagi.
Tapi badannya benar-benar tidak nyaman. Luka di tubuhnya seperti tertarik-tarik, dan tiap ia menghela napas, perasaan aneh itu menjadi-jadi. Adjani bahkan merasa dari lubang hidung, telinga, dan mulutnya keluar asap yang mengerikan hingga membuat dirinya ketakutan setengah mati.
Apa yang Nona Edymar berikan kepadaku hingga aku jadi seperti ini?
Begitu cemasnya Adjani, hingga ketika ia menyingkap gaun yang menutupi betis yang tulangnya patah, ia terkesiap menemukan bagian itu terlihat merah dan membengkak. Jelas sesuatu sedang terjadi di dalam sana dan ia tidak bisa menghentikan perasaan cemas dalam dada melihat keadaan dirinya seperti itu.
Apakah tubuhku akan meledak? Nona Edymat tidak bilang apa-apa tentang ini dan rasanya amat menakutkan.
Butuh waktu sepuluh menit bagi Adjani untuk bergulat dalam pikiran kemudian ia memutuskan untuk turun dari tempat tidur. Saat kakinya menyentuh lantai yang dingin, uap menguar dari kakinya yang kini bersuhu lebih hangat dari biasanya. Ia sedikit merasa lega saat kakinya yang telanjang merasakan sedikit kesejukan lantai pualam warna gelap tersebut. Ia tahu apa artinya. Suhu tubuhnya yang panas bisa diredakan dengan air.
Hanya saja, bagaimana caranya mencari air di saat seperti ini? Ia tidak tahu di mana letak sumber air keluarga Rodriguez dan tidak ingin mengambil resiko merepotkan orang banyak.
Dengan mengendap-endap, Adjani berusaha membuka jendela kamar yang tertutup tirai tebal dan tinggi, berharap benda itu tidak terkunci hingga mudah baginya untuk keluar. Rasanya benar-benar tidak nyaman dan ia bersyukur, gaun tidurnya yang tipis membuatnya sedikit bisa bernapas. Walau merasa sedikit aneh, saat tubuhnya dalam kondisi suhu yang tinggi, ia tidak berkeringat sama sekali.
Ketika menyadari bahwa gerendel daun jendela tidak terkunci dengan gembok, Adjani tersenyum bahagia. Menggunakan jari-jari kurus miliknya, ia dengan cekatan menarik engsel dan berseru dalam hati ketika jendela itu terbuka, tidak jauh dari kastil, tampak danau yang lumayan luas.
Bunyi gerendel yang terbuka itu membuat Shield terbangun dan ia panik mendapati Adjani sudah siap melompat dari ambang jendela.
"Nona? Apa kau gila?" Dia berseru, mencicit ketakutan sambil mengejar Nona Lima Berliannya.
"Aku kepanasan, Shield. Rasanya seperti terbakar dan aku tidak tahan lagi."
Adjani sudah mengangkat kedua kaki dan setengah bergantung di kusen jendela saat Shield menggigit ujung gaunnya, "Jangan gila. Mereka akan mengira kita kabur karena mencuri."
Adjani menggeleng. Kali ini, sinar rembulan berhasil menampakkan wajahnya yang cacat. Hampir seluruh bagian wajahnya memerah bagai kepiting rebus. Melihatnya, rasa panik ferret seputih salju itu meningkat beberapa kali lipat.
"Nona, apa yang terjadi padamu?" Ia mencicit dan menghentikan gigitan pada gaun tidur Adjani. Sebagai ganti, ia memanjat bahu nonanya yang kini berusaha merayap turun sambil berharap tidak ada penjaga yang memperhatikan. Apa karena pengaruh obat yang diberikan oleh Edymar? Adjani hanya mengedikkan bahu dan ia tetap diam walau kini kakinya telah menjejak tanah yang tertutup dedaunan kering. Bersyukur tidak ada penjaga yang lewat atau mengawasi karena kamar tempat ia beristirahat terletak di bagian belakang, atau karena Senor Rodriguez memang tidak begitu ketat dalam hal penjagaan rumah.
"Aku kepanasan, Shield. Tubuhku berasap, lihatlah ."
Shield tidak ingin mendebat karena dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan nonanya seperti sedang menderita. Gadis itu bahkan sudah membuka kancing dan tali gaun saat mata ferretnya membulat, "Jangan bilang kau mau telanjang, Nona."
Adjani menggeleng. Langkahnya makin cepat saat menyusuri jalan setapak yang nampak karena bantuan cahaya bulan. Embun yang menempel di dedaunan langsung menguap begitu tersentuh tubuhnya dan hal itu tak luput dari perhatian hewan unik itu. Ia masih bertengger di bahu sang nona saat dirinya mulai merasa bahwa tubuh Adjani nyaris sepanas api dan ia otomatis melompat turun ke tanah, lalu menaiki ranting pohon yang dilewati oleh Adjani. Berusaha mengejarnya walau tidak berani lagi naik di tubuh gadis itu seperti biasanya.
"Tubuhmu mendidih." Ia bergumam penuh kengerian. Adjani tidak menjawab dan memilih terus berlari. Wajahnya makin merah padam walau embun makin banyak menerpa tubuhnya. Danau yang akan mereka datangi letaknya tidak jauh lagi. Dia bahkan bisa melihat pantulan rembulan dari kejauhan, membuatnya seolah menjadi dua.
Suara mengaduh yang keluar dari bibir Adjani membuat Shield menoleh cemas. Ia ingin membantu tapi mendekati gadis itu akan membuat sedikit masalah. Tapak tangannya yang bercakar kecil-kecil hampir mati rasa kena panas dari tubuh Adjani. Ia tidak tahu harus berbuat apa saat lari Adjani makin kencang, sekitar dua puluh meter lagi dari danau yang kini tidak lagi dikelilingi oleh pohon dan semak. Batu-batu besar yang berada di sekitar danau membuat Adjani harus melangkah pelan agar tidak tergelincir. Ia nyaris tersenyum ketika menemukan beberapa puluh bunga padma menghiasi danau tersebut. Hanya saja, ia terlalu sibuk memikirkan kondisi tubuhnya sendiri hingga tidak lama setelah kaki telanjangnya menyentuh air, masih dalam balutan gaun tidur, Adjani menenggelamkan diri sambil melenguh penuh rasa syukur.
"Oh, Tuhan." Ia mendesis. "Kupikir aku akan mati..."
Adjani membenamkan diri ke dalam air selama beberapa kali dan setiap satu menit dia akan berada di bawah permukaan air untuk meredakan rasa terbakar yang dia tahu berasal dari ramuan yang diberikan oleh Edymar kepadanya. Begitu panas efek ramuan itu, hingga butuh sekitar lima belas menit baginya untuk keluar dari air dan membiarkan separuh tubuhnya terendam. Saat itulah, Shield sadar, pada tubuh nonanya terjadi perubahan yang amat drastis.
"Nona, lukamu...lukamu sembuh."
Adjani yang masih sibuk memercikkan air ke seluruh tubuhnya menoleh heran pada Shield yang berenang cepat ke arahnya. Setelah memastikan suhu tubuh sang nona tidak lagi sepanas sebelumnya, ia memeriksa wajah Adjani secara seksama. Parut-parut luka, baik di kepalanya yang terbakar, atau bekas sabetan cambuk di antara mata kanan dan dagu sebelah kiri, yang menimbulkan bekas parut mengerikan, mulai menipis. Tidak semengerikan sebelumnya, namun wajah asli gadis itu, seperti yang awalnya pernah dilihat oleh sang ferret dalam pertemuan pertama kali mereka menjadi lebih jelas.
Adjani tampak amat sangat cantik, tidak peduli seluruh tubuhnya basah kuyub.
Sayang, luka di bola matanya belum sembuh. Ia ingat, Edymar belum sempat memeriksa mata Adjani karena keburu pingsan, tapi itu saja sudah jauh lebih baik. Ketika hewan pengerat itu meloncat ke arah punggung, ia tersentak. Seluruh bekas luka sabetan, pecut cemeti Jannaero dan Tuan Baron yang amat kejam juga lenyap tak berbekas, hanya meninggalkan sisa kurang gizi di tubuh gadis itu, akibat makan tidak pernah sesuai dengan porsi kerja yang ia lakukan selama bertahun-tahun.
"Luar biasa, tabib penyembuh itu. Aku belum pernah lihat yang seperti ini." Shield melonjak girang, membuat Adjani yang mulanya amat terkejut, mengurai seulas senyum.
Hanya saja, senyum mereka tidak bertahan lama. Danau yang mulanya tenang mulai beriak mengerikan dan dari kejauhan, mereka bisa melihat pusaran angin bergerak cepat hingga membuat bola mata Shield membesar. Otaknya segera menghubungkan keanehan tersebut dengan keaadaan Adjani dan sekejap, tanpa pikir panjang lagi, ia berteriak memerintahkan gadis itu untuk berlari secepat mungkin meninggalkan danau.
Lima berlian dalam bahaya.
Ancaman datang tanpa mereka sadari.
Belum jauh gadis itu berlari, sesuatu yang cepat meluncur, menghantam tubuhnya hingga ia tersungkur ke atas permukaan tanah. Adjani baru hendak berbalik saat sebuah tangan besar dan kuat mencekik lehernya hingga ia kesulitan bernapas. Ketika matanya terbuka, saat itulah ia merasa napasnya benar-benar berhenti.
Salah satu pemburu, sedang menyeringai memamerkan deretan gigi emas dibalik topi sombrero berbahan jerami. Tekanan tangannya di leher Adjani tidak berkurang sedikit pun walau gadis itu sudah mencengkeram tanah, mengais-ngais apapun yang bisa ia pakai sebagai alat pertahanan diri.
Sayang, tidak ada yang bisa ia lakukan, kecuali menghirup napas sebanyak mungkin, karena ia tahu, barangkali tarikan napas itu adalah untuk yang terakhir kalinya.
****
Oolaaah..
Recibirás un cuerpo, puede que te guste o no, pero será tuyo mientras estés aqui.
Kalian suka?
Lanjut ga adjaninya?
Nggak?
Alhamdulillah..💋💋💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top