Delapan
"Lima Berlian?" Mata bulat dengan iris mata berwarna biru sempurna milik Adjani yang saat itu masih berusia enam tahun dan belum cacat karena perbuatan Tuan Baron membelalak dan menatap pada ferret kecil yang mengaku mengenal dia bahkan sebelum mereka bertemu.
"Iya. Kamu adalah seorang Lima Berlian."
Adjani yang saat itu sedang duduk dipinggir kandang Leon sambil mengunyah sebungkah roti keras yang ujungnya sudah jamuran kembali fokus pada roti yang sedang ia kunyah. Tak peduli rasanya tidak enak dan berbau agak tengik, dia tetap memaksakan diri menelannya. Roti keras itu dia temukan saat membersihkan panggung, terjatuh dibawah tumpukan sampah bekas makanan para penonton. Tidak terbayang betapa bahagia hati bocah mungil itu sampai ia langsung menoleh ke arah kiri dan kanan lalu memasukkan ke dalam saku dibalik celemek kotornya.
Sudah dua hari dia belum makan sejak kena hukum Tuan Baron. Padahal dia sudah berada satu tahun di sana. Hukuman seharusnya berkurang karena dia kan sudah naik pangkat, bukan lagi menjadi anak baru.
"Aku tidak tahu apa itu Lima Berlian. Kalau kau tanya tentang tembaga, itu baru aku tahu. Tapi maaf saja, tembaga terakhirku sudah habis membeli roti dua hari yang lalu." Adjani membalas pendek, kali ini disertai gerakan tangan mencuil bagian roti jamuran ke arah kanan mereka berada saat ini. Tidak perlu kuatir tentang aturan buang sampah sembarangan, semut atau serangga akan menghabiskan semua bagian roti itu tidak peduli jamuran atau bulukan sekalian.
Shield mencicit lalu dengan lincah menaiki bahu Adjani dan berbisik amat pelan, seolah takut ada yang mencuri dengan pembicaraan mereka.
"Berlian itu adalah permata yang paling tinggi nilainya di dunia ini. Satu Berlian adalah orang-orang yang menguasai satu kemampuan, jumlahnya cukup banyak di dunia ini. Satu diantara lima ratus orang. Dua untuk yang menguasain dua kemampuan, begitupun dengan t
Tiga berlian. Jumlahnya lebih sedikit dari Satu Berlian. Kemudian ada Empat Berlian, mereka pemimpin para penguasa. Para Empat Berlian ini menguasai lebih dari empat kemampuan, belum lagi ditambah kekuatan mengendalikan, kekuatan bertarung, penyembuh bahkan memanipulasi pikiran juga termasuk kelebihan mereka."
Adjani menggaruk kepala, tidak paham makna berlian yang disebutkan sahabatnya itu. Apalagi saat Empat Berlian disebutkan. Siapa manusia yang bisa melakukan semua hal, seolah-olah merupakan perpanjangan tangan malaikat atau apapun yang mengandung kata ajaib didalamnya.
"Kalau Empat Berlian sudah begitu sempurna, lalu kenapa ada Lima Berlian?" Adjani kembali buka suara, walau tetap dia sendiri tidak paham kenapa menanyakan hal itu pada Shield.
"Well, seperti yang kubilang, Empat Berlian ini adalah pemimpin para penguasa, jumlahnya sangat sedikit. Bahkan kurang dari lima di seluruh dunia. Mereka punya tugas amat penting yang setelah tugas itu selesai baru mereka pahami. Tidak semua dari Empat Berlian itu diberitahu untuk apa mereka hadir ke dunia. Tapi yang pasti, salah satu tugaasmereka memiliki hubungan denganmu."
Adjani menggaruk kepala. Ucapan Shield benar-benar membuat bingung. Ia kembali melanjutkan menggigit roti keras saat Shield kembali menyebutkan Lima Berlian kepadanya. "Dan kamu, satu-satunya di dunia, sang Lima Berlian."
"Dan kamu sebaiknya bicara dengan benar sebelum aku pergi." Adjani mengusap kepala kecil milik Shield penuh kasih sayang sambil memamerkan dua buah gigi susu bagian depannya yang tanggal.
"Nona, ini penting untuk dikatakan. Karena itu jangan pergi dulu." Shield memegangi pipi Adjani yang mulai tirus. Dibandingkan pertemuan mereka satu tahun sebelum ini, Adjani nyaris seperti mayat hidup. Hanya mata biru yang membuatnya terlihat tetap bernyawa, selain itu, keadaannya sangat memprihatinkan.
"Dua ribu tahun sekali, Lima Berlian akan lahir. Kewajiban kami sebagai pelindung secara turun temurun menemukan sosok itu dan bersumpah setia akan selalu bersama sampai Lima Berlian yang kami jaga mengucapkan kata cinta. Kata keramat yang harus kamu hindari sampai kapanpun. Karena jika itu terjadi, aku tidak akan bisa menjagamu lagi. Kecuali kamu yakin tidak dapat terselamatkan, membebaskan aku berarti aku akan melindungi yang lain, kecuali kamu."
Adjani tidak tahan lagi mendengar pembicaraan ngawur ini. Ia hampir saja berdiri saat Shield menahannya lagi.
"Dengarkan aku, Nona. Seorang Lima Berlian, jika jatuh ditangan yang salah akan dimanfaatkan untuk menghancurkan dunia. Satu kedipan mata saat seluruh kekuatannya bangkit bisa menghancurkan sebuah gunung berapi. Bisa dibayangkan bila kamu mengeluarkan seluruh tenaga."
Adjani tertawa.
"Tidak mungkin dunia akan musnah. Kita akan tinggal dimana kalau begitu."
Shield tidak menjawab. Ia membiarkan saja Adjani mencerna sendiri jawaban atas pertanyaan itu.
"Kita tidak akan selamat kalau begitu?"
Tebakan Adjani membuat Shield mengangguk.
Adjani menghela napas.
"Aku tidak akan berbuat aneh-aneh kalau begitu. Jangan punya pikiran macam-macam, Shield. Kalau aku punya kekuatan menghancurkan gunung seperti yang kamu bilang, aku bakal menggunakannya buat kabur dari sini."
Adjaninya tidak percaya. Entah karena Shield mengatakan fakta itu saat usianya memang sangat muda atau karena Adjani menyangkal dan tidak terima karena jika benar ia sekuat itu, melarikan diri tentu menjadi hal yang mudah, bukannya malah membusuk sebagai budak dalam sirkus keji yang memeras keringat, air mata bahkan darah Nona kecilnya yang malang itu.
Bertahanlah Nona.
Lukamu tidak akan lama lagi sembuh.
Sakitmu akan usai.
Nyatanya, selama dua belas tahun Adjani menjalani siksaan tanpa henti dan tak jarang membuatnya mencucurkan air mata. Tidak ada lagi mata biru miliknya. Sebelah mata Adjani telah hancur, begitupun wajah, punggung, tangan dan kakinya. Ia bahkan menganggap cerita Shield tentang kekuatan tanpa batas yang tersembunyi dalam dirinya hanyalah pepesan kosong, begitupun dengan kalimat-kalimat tambahan seperti para pemburu Berlian, bagaimana mahal harga mereka di pasar budak.
Adjani merasa semua itu hanyalah hal lucu. Jika kamu menguasai suatu kemampuan, bukankah bisa dimanfaatkan untuk menyelamatkan diri.
Dia tidak pernah mempercayai semua itu.
Hanya kadang, dia sedikit ngeri apabila harus membayangkan akan diculik. Berada dalam sirkus saja rasanya sangat mengerikan, apalagi berada dalam cengkraman para penjahat.
Untunglah mereka bertemu Dean dan rombongan. Mereka begitu baik, memperlakukan Adjani seperti manusia normal meskipun tahu ia tidak sempurna.
Barangkali minus Dean dan Adjani herannya menerima saja sikap pria tampan itu. Masa lalunya cukup buruk. Melihat Adjani bisa saja mengingatkan Dean pada penjahat atau nenek sihir, siapa tahu dia pernah melihat adiknya diculik oleh orang-orang semacam itu dan dia tidak meyalahkannya.
Mana bisa menyalahkan seseorang yang wajahnya terlalu tampan seperti Dean. Buktinya, meski pria itu berkali-kali mengerenyit dan meludah ke tanah, Adjani masih saja tersipu dan salah tingkah. Ia bahkan tidak malu memamerkan satu mata birunya yang masih utuh lalu menutupi bagian yang lain. Dia juga sudah mandi, meski rambutnya tidak sehalus dan selembut milik Lala atau Melody. Paling tidak, bagian hitam di jari tangan dan kakinya mulai memudar.
Darah dan koreng juga berkurang banyak.
Yah, keadaan Adjani tidak seburuk tadi malam. Seharusnya Dean tidak perlu seperti itu kepadanya.
Toh, tidak peduli dia suka atau tidak, Adjani telah memutuskan untuk menyukai Dean.
Bahkan ia sama sekali tidak menggubris panggilan Aire yang menyarankan untuk tidak terlalu memikirkan ucapan Dean yang kasar.
Aire tidak tahu kalau Adjani tidak pernah memikirkan hal itu sama sekali.
Dalam hatinya kini telah tumbuh benih-benih kecil yang bertumbuh cepat tiap kali melihat pria itu. Dean, sang penguasa Api.
***
Mata Djani itu mirip mata joon go, eh bener nggak namanya? Di film train to Busan, pas ngeliat, nih mata Djani. Bedanya Djani cuma rusak satu, separuh mukanya juga parut.
Ada ilustrasi di pinterest mirip mirip, tapi dia masih terlalu cantik dan rambutnya panjang. Djani rambutnya pendek kayak ilustrasi di bab awal.
Terima kasih sudah banyak yang suka. Bagian awal agak ekstrim, ya. Tapi semua cuma flashback kok. Semoga bab depan udah nggak serem lagi.
Sudah mulai banyak spekulasi, tapi cara yang asyik tetap menikmati semuanya. Apakah Djani Alamanda,apakah adik Dean, ceritanya masih panjang.
Kalian tim mana?
Terima kasih vote dan komennya.
Mwaach..💋💋💋💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top