Pacar Pertama
Hari itu setelah acara perpisahan, aku dan Rei pergi ke danau tempat kami biasa berbagi cerita. Rei berdiri disamping aku yang duduk memandang lurus ke seberang danau, melihat sepasang remaja sedang bergandengan.
“Ne, yuuna-chan?” panggil Rei tanpa melihatku.
“Ya, Rei. Ada apa?”
“Kau akan masuk universitas mana?”
“Umm,Universitas Miyagi , mungkin. Kau sendiri?”
“Aku tidak kuliah. Mungkin aku bekerja dulu.”
“Sou ka?” gumamku. Rei kemudian duduk disampingku.
“Kau akan ambil jurusan apa nanti?” tanya Rei.
“Literatur mungkin,” Rei tersenyum.
“Mungkin?” tanyanya.
“Ya, Mungkin.”
“Sebenarnya apa cita-citamu sih?”
“Aku ingin jadi novelis sih. Kenapa memangnya?”
“Hmm, baiklah, jika nanti kau jadi novelis, aku yang akan jadi editormu.”
“Benarkah?”
“Tentu saja, kalau kau terus menulis aku akan jadi editormu.”
“Baiklah, aku akan terus menulis,”
Rei dan aku saling tersenyum. Kemudian dia duduk menyusul di sampingku. Kami memandang ke arah jembatan di tengah danau kecil itu. Banyak muda-mudi yang melewatinya, saling bergandengan tangan dan tersenyum satu sama lain. Sementara kami masih terus saja diam, tak bersuara. Angin berdesir lirih menggugurkan mahkota bunga sakura yang cukup banyak.
“Yuuna, aku menyukaimu,” ujar Rei kemudian. Membuatku langsung menoleh ke arahnya. dia membenamkan kepalanya di antara lipatan kakinya.
“Hah?” tanyaku mencoba memastikan. Rei mengangkat kepalanya tapi tak berani melihatku. Pipinya bersemu merah.
‘Aku tahu ini agak sedikit konyol, tapi aku menyukaimu. Maaf...” gumamnya.
Saat itu aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Antara bahagia, curiga, dan penasaran. Namun, Rei sepertinya sangat serius dengan kata-katanya. Dia bahkan tak berani menatap ke arah mataku.
“Maaf, membuatmu bingung. Kau tak perlu menjawabnya sekarang.” Kata Rei dan masih terus menyembunyikan pandangannya dariku.
“Sejak kapan?” tanyaku. Rei menoleh kepadaku sedikit bingung.
“maksudmu?” tanyanya.
“Maksudku sejak kapan kau....menyukaiku?”
Lagi, Rei mengalihkan pandangannya dariku. Angin berdesir lagi menggugurkan mahkota bunga sakura. Rei menangkapnya satu, menggenggamnya dan kemudian meniupnya hingga jatuh ke air danau.
“Sejak aku melihatmu di perpustakaan,mungkin...” gumamnya.
Ingatanku kembali ke masa itu, musim semi tiga tahun yang lalu, tahun pertama di Miyagi Prefectural High School. Aku memang tipe yang agak sulit berkomunikasi dengan lingkungan baru dengan orang-orang baru. Tidak heran jika aku hanya berteman dengan beberapa murid yang mengajak berteman denganku di kelas itu. Selebihnya aku sama sekali tak mengenal lainnya karena aku yang tak berani bertanya lebih dahulu.
Aku mengikuti klub menulis bersama tiga teman sekelasku yang lain. Aku memang menyukai menulis sejak SMP hanya saja, aku tak pernah mempublikasikannya dengan orang lain, bahkan teman sebangku ku sendiri saat itu. aku mengikuti klub ini dengan harapan aku bisa lebih mengembangkan bakat menulisku. Tentu saja situasi ketika SMP berbeda dengan situasi di SMA. Mungkin ini adalah awal untuk aku memperkenalkan diriku, mengembangkan bakatku dan menyampaikan cita-citaku. Aku tak boleh takut mencoba.
Sebagai tipe penyendiri, aku memang sering menghabiskan waktuku di perpustakaan sekolah ketika jam mata perlajaran sudah selesai. Aku selalu membaca novel dan kumpulan cerpen serta beberapa buku motivasi diperpustakaan. Sangking seringnya ke perpustakaan, Yuki-san wanita penjaga perpustakaan yang masih kuliah di Universitas Miyagi langsung menandaiku. Tidak heran jika dia selalu merekomendasikan buku yang bagus untuk di baca.
Sore itu, sinar matahari berpendar teduh di antara pepohonan yang tumbuh disekitar sekolah. Cahayanya masuk melalui jendela keperpustakaan yang gordennya berkibar pelan tertiup angin. Situasi sekolah mulai sunyi. Sebahagian murid ada yang masih berlatih sepak bola dilapangan olahraga. Sementara itu aku masih berkutat dengan buku yang ku baca.
Selesai. Aku bangkit mencari buku lain di rak buku. Aku sudah mengantuk sore itu. tak biasanyanya memang, tapi mungkin aku memang sedikit lelah beberapa hari terakhir ini karena menulis cerita pendek hingga tengah malam. Aku sekali lagi menguap sambil memperhatikan judul buku yang menurutku menarik untuk dibaca. Mungkin tidak di sekolah tapi aku kan bisa membacanya dirumah,batinku saat itu.
Bukk! Aku menoleh ke ujung rak buku yang sedang ku hadapi. Seseorang tengah mengambil buku yang terjatuh lalu memasukkannya kembali ke barisan buku di rak. Tidak ada yang menarik dari orang itu. hanya seorang murid laki-laki biasa dengan wajah murung. Tapi....kenapa tiba-tiba aku sedikit tertarik? Ah,bukan tertarik tapi sedikit terganggu karena selama ini aku berfikir bahwa hanya akulah murid terakhir penghuni perpustakaan sekolah ini.
“Maaf, kak, aku boleh bertanya?” tanyaku ketika aku mengembalikan buku yang kubaca ke pada Yuki-san.
“Ya?”
“Apa kau mengenal anak laki-laki itu?” tanyaku sambil menunjuk diam-diam lelaki yang tengah duduk menyendiri dipojok ruangan. Yuki-san melihatnya.
“Tidak, tapi dia memang sering ke perpustakaan sepertimu. Hanya saja dia memang tidak pernah ngobrol denganku. Dia...sangat pendiam.” Kata Yuki-san.
“Ah? Benarkah?”
“ngomong-ngomong kenapa kau tiba-tiba ingin tahu?”
“Aku sedikit terganggu. Aku kira hanya aku yang pulang paling telat dan menghabiskan waktu diperpustakaan hingga sore, ternyata ada orang lain lagi rupanya.”
“Wah, kau ini tipe pencemburu juga.”
“Tidak sih..hehe”
Memang pada awalnya aku terganggu dengan kehadiran murid laki-laki itu meskipun dia tidak pernah menggangguku, bahkan mungkin dia juga tidak pernah mengakui keberadaanku hingga akupun mulai mengabaikan kehadirannya dan sibuk sendiri dengan buku-buku yang ku baca. Hingga akhirnya baru aku sadari, dia adalah salah satu murid di samping kelas ku.
Aku tak sengaja melihatnya ketika istirahat makan siang dan melintas di depan kelasnya. Dan dia...masih dengan buku di hadapannya. Tak seorangpun yang mendekatinya, tak seorangpun yang bicara padanya. Dia seolah dianggap tak pernah ada dikelas itu. atau mungkin dia yang menganggap teman sekelasnya tak pernah ada? Ah entahlah. Itu sedikit membuat ku penasaran.
Aku dan Rin baru saja hendak menyuapkan makan siang ke mulut ketika anak laki-laki itu datang dan mengambil tempat duduk di pojokan, menyendiri dan kemudian tanpa peduli dia mulai memakan bentonya.
“eh? Kau kenapa, Yuuna-chan?”tanya Rin yang mungkin heran melihatku melamun memandangi ke arah belakangnya, ke arah anak laki-laki itu.
“Ah, tidak apa-apa.” Jawabku sambil mengalihkan pandangan. “itadakimasu,”lanjutku sambil mengunyah bento yang dibuatkan ibuku tadi pagi.
Lagi, ketika aku menatap Rin, entah kenapa bola mataku ini langsung menangkap sosok di belakang Rin itu. Hingga akhirnya Rin ikut menoleh ke belakang.
“Rei Kurayama.” Gumamnya. Aku langsung menatap Rin yang saat itu menatapku.
“Eh?” tanyaku.
“Murid laki-laki yang kau perhatikan itu namanya Rei Kurayama.”
Mendadak pipiku merona. Ah, Rin akhirnya tahu aku sedang memperhatikan siapa. Sedikit memalukan.
“Aku terkejut kau memperhatikan anak itu karena anak itu selalu lolos dari perhatian murid lain.” Imbuh Rin.
“kenapa?”
“Dia yang membuat jarak itu sehingga tak ada yang peduli dengannya. Dia tidak ngomong sih, tapi kau kan bisa lihat sendiri bagaimana sifatnya.”
‘Kau mengenalnya?”
“Bagaimana mungkin aku mengenalnya, sedangkan dia tidak pernah bicara dengan orang lain, meskipun dia memang teman sekelasku waktu SMP.”
“Hah? Dia teman SMP mu dan kau tidak pernah mengenalnya?”
“Bukan tidak mengenalnya. Hanya saja...ah sulit menjelaskannya. Pada awal semester, kami sekelas terkejut karena dialah peringkat pertama, bahkan se-SMP waktu itu, tapi dia kelihatan tak senang dengan peringkat itu meski tahun-tahun berikutnya dia tetap memegang prestasi itu. Dia penyendiri, pintar, tapi tak populer. Dia membatasi diri dari pergaulan. Dengar-dengar sih itu karena dia ada masalah dengan keluarganya.”
Aku tertegun mendengar itu. sedikit mengejutkan memang. Bahkan Rin yang notabene adalah teman sekelasnya selama tiga tahun di SMP pun juga tidak mengetahui si anak laki-laki yang bernama Rei itu. Dan anehnya, dia adalah murid terpintar, tapi tak populer. Agak sedikit membingungkan.
“Kenapa tiba-tiba kau ingin tahu?” tanya Rin. Diiringi bunyi bel yang panjang menandakan waktu istirahat sudah berakhir.
“Ah, tak apa. Hey, ayo kita kembali.” Ujarku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku bersyukur pertanyaan itu muncul diakhir waktu makan siang, jadi setidaknya aku tak perlu menjawabnya dengan serius.
Dua hari kemudian, aku tak melihat Rei hadir disekolah. Tidak dikelas, juga tidak diperpustakaan. Sedikit kesepian hari itu aku diperpustakaan. Bahkan untuk melanjutkan cerita pendek yang aku tulis di buku tulis spesialku aku jadi tidak konsentrasi. Dan akhirnya, aku memutuskan pulang saja.
“Eh? Cepat sekali hari ini pulang?” tanya Yuki-san penasaran.
“Ya, agak capek.” Jawabku pelan.
“Bukan karena kesepian karena anak itu tidak datangkan?” goda Yuki-san yang sontak membuatku merona.
“Ah, kau ini ada-ada saja Yuki-san. Mengenalnyapun aku tak pernah.” Kilahku.
“Ya, terserahlah. Hati-hati di jalan.”
“ya...”
Aku keluar dari perpustakaan dengan sedikit bertanya-tanya, mengapa aku merasa merona jika digoda seperti itu. apa memang benar aku sedikit kesepian karena anak itu tak ada. Apa aku merindukannya? Hey, aku bahkan tidak pernah bicara sepatah katapun dengannya. Tidak,tidak mungkin aku merindukannya.
Mendadak hari itu hujan. Aku kelimpungan karena tak bisa menemukan tempat berteduh,hingga akhirnya aku menemukan taman dan masuk kesana. Bajuku basah, dan sukurlah aku masih bisa menyelamatkan buku-buku pelajaran dan cerita pendekku. Aku berteduh di bawah sebuah pohon momiji besar. Aku mengambil sapu tangan dan mengelap wajah serta tanganku.
“Astaga, padahal tadi pagi cerah. Apa ini? Anomali cuaca yang mengejutkan.” Keluhku.
Srrrekkk! Aku langsung menoleh ke samping, kesisi sebelah pohon momiji lainnya ketika aku mendengar suara langkah yang bergesek dengan tanah. Sedetik kemudian aku tertegun, aku bertubruk pandang dengan sosok itu. sosok yang katanya aku rindukan. Untuk pertama kalinya, aku menatapnya dengan jelas dan dia juga menatapku dengan matanya yang teduh dan sedikit bengkak. Dan dia masih berpakaian sekolah. Membuatku sedikit bertanya-tanya.
“Kau?” ucapku tanpa sadar. Lalu aku menutup mulutku dan mengalihkan pandanganku. Apa maksudku mengatakan,’kau?’ itu padanya, batinku.
“Kau yang sering diperpustakaan sekolah kan?” tanyanya. Ini pertama kalinya aku mendengar suaranya. Eh, tapi....hey dia bertanya seperti itu, bukankah berarti dia menyadari keberadaanku di perpustakaan selama ini?
“Y-Ya,” jawabku singkat diantara keterkejutanku.
“Aku sering melihatmu diperpustakaan, hanya saja aku takut menyapamu karena aku lihat kau – selalu serius dengan buku yang kau baca.” Akunya sambil mengalihkan pandangannya dariku. Lagi-lagi pengakuan ini membuatku terkejut. Dasar bodoh, aku juga ingin menyapamu sudah beberapa kali hanya saja kau sendiri yang terlalu serius dengan buku yang kau baca, batinku kesal. Apa aku harus mengatakan hal yang sama? Ah, tidak-tidak-tidak. Aku harus menjaga gengsiku.
“Oh, benarkah?” responku datar. “tapi tadi aku tak melihatmu,”
Anak itu terdiam menunduk. Aku juga jadinya tertunduk, memainkan sepatuku ke tanah yang basah. Aku melempar pandanganku ke danau yang dihadapanku. Jembatannya bahkan tidak kelihatan karena hujan yang cukup deras ini. Aku melirik jam tangan. Ah, sudah jam 5. Mau sampai jam berapa lagi aku bertahan ditempat ini?
“Aku membolos tadi. Aku, sedang tidak dalam moodku untuk ke sekolah. Jadinya aku kemari dan membaca buku.” Ujarnya kemudian. Aku tak langsung merespon, hanya sedikit bingung.
“hachoooh!” ah, yabai, sepertinya aku bakalan demam.mendadak hidungku gatal sekali dan kepalaku mulai pusing. Cuaca seperti ini memang seringkali menurunkan daya tahan tubuhku.
“Ini, pakailah,” kata Rei sambil menyodorkan blezer sekolah yang dipakainya sambil menunduk malu.
“Tapi, kau nanti pulang...”
“Aku mungkin tidak pulang,” gumamnya.
“EH? Kenapa?”
“Aku tidak ingin banyak pertanyaan lagi. Sudah pakailah dulu. Nanti kau sakit.” Ujarnya serius. Aku pun mengambil blezer sekolahnya sambil menahan beribu pertanyaan dalam benakku. Ah, untuk penasaran sajapun aku rasanya tak berhak. Aku sama sekali tak mengenalnya.
Sepuluh menit kemudian, tak ada lagi percakapan yang berarti tapi hujan perlahan reda dan mentari bersinar teduh di akhir cahayanya. Aku menatap ke seberang danau. Ada sebuah lingkaran cahaya indah di ujung senja ini. Aku tersenyum memandangnya.
“Pelangi,” gumamku.
“Indah sekali,’ tambah suara disampingku. Meski tidak berdampingan secara langsung karena di halangi oleh pohon momiji ini, aku dapat melihat anak itu juga memandang ke arah yang sama dan dia...tersenyum...
“Hujan sudah reda, kau pulanglah.” Katanya menyadarkan ku yang sempat terbengong karena senyumnya. Aku langsung menundukkan pandanganku darinya. Mendadak aku merasa pipiku merona.
‘Iya,” jawabku kemudian tanpa berani menatapnya. “Arigatou,” lanjutku sambil meninggalkan pohon itu.
“Siapa namamu?” tanyanya tiba-tiba dan itu membuat langkahku mendadak berhenti meski tanpa menoleh ke arahnya.
“Yuuna,” jawabku singkat.
“Ki o tsukete,” katanya. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Aku langsung meninggalkan Rei tanpa menoleh lagi ke arahnya.
Ini sudah empat hari sejak dia meminjamkan blezer sekolahnya padaku, tapi aku tidak bisa menemukan sosoknya dimanapun. Tidak di kelasnya, diperpustakaan atau di bawah pohon momiji di taman waktu itu. alhasil, blezer ini selalu ku bawa-bawa setiap hari. Rin sempat bertanya tentang blezer siapa yang aku bawa-bawa ini. Aku hanya mengatakannya itu punya temanku dan, hey bukannya Rin teman sekelas Rei. Mungkin Rin setidaknya tau dimana alamat rumah Rei. Tapi,...ah tidak-tidak-tidak. Jika aku bertanya pada Rin, bisa dipastikan Rin akan bertanya lebih jauh tentang itu. aku tak bisa bertanya pada siapapun tentang Rei. Anak ini benar-benar mengesalkan! Baiklah, aku akan cari tahu sendiri.
Akhirnya aku ke ruangan tata usaha dan bertanya tentang Rei. Iwaki-sensei sempat heran kenapa tiba-tiba aku bertanya tentang Rei selain itu dia juga heran kenapa Rei tidak masuk selama empat hari berturut turut. Yokatta, akhirnya aku bisa menemukan data diri Rei dan alamat rumahnya. Dengan begini aku bisa mengembalikan blezernya dan memintanya untuk masuk kesekolah, bukan karena aku merindukannya tapi ini permintaan Iwaki-sensei.
Setelah sekolah mulai sunyi, akupun pulang dan bermaksud sekalian mengembalikan blezer ini. Dengan perasaan tak menentu akupun mulai berjalan menuju rumah Rei. Aku gugup. Aku tak tahu kalimat apa yang harus aku ucapkan ketika bertemu dengan Rei nanti. Selain itu, apa yang akan ku jawab sekiranya ia bertanya dari mana aku mengetahui alamat rumahnya. Arrrgh...
Tiba-tiba aku melihat biasan lampu mobil polisi di depan sebuah rumah yang terlihat ramai sekali. Aku penasaran dan berlari ke arah kerumunan itu, tapi lima meter sebelum aku sampai ke kerumunan itu, aku menghentikan langkahku ketika aku melihat seorang polisi memborgol seorang lelaki paruh baya yang sudah kelihatan lesu dengan lebam di pipi kirinya. Polisi itu memasukkan lelaki itu ke dalam mobil dan serentak kemudian aku melihat seorang lelaki seumuranku datang dan membuka mobil, menyeret keluar lelaki didalamnya lalu meninjunya. Rei? Semuanya panik melihat itu. polisi mencoba melerai tapi percuma. Kemudian datang seorang wanita menarik tubuh lelaki itu.
“Sudah, Rei, sudah....! hentikan!” teriak wanita itu.
“Sampai kapanpun aku tidak memafkan lelaki brengsek itu! kau paham itu, sialan!” teriak Rei ke arah lelaki yang tampak tertunduk lesu di depan pintu mobil. Kemudian lelaki itu di giring masuk kembali ke mobil kemudian pergi dari rumah itu. orang-orang mulai menjauhi tempat itu, dan aku bertanya pada seseorang yang menuju berlawanan ke arahku.
“Ehm, permisi. Apa yang terjadi barusan?” tanyaku.
“Oh, sepertinya kekerasan dalam rumah tangga. Lelaki yang ditangkap tadi adalah ayah kandung anak laki-laki yang meninjunya tadi. Lelaki itu memukuli ibunya, setiap kali pulang. Sudah beberapa kali sih ku dengar ada keributan, tapi tadi sepertinya kesabaran anak laki-laki itu sudah habis untuk menghadapi kelakuan ayahnya selama ini. Kau pasti tidak akan tahan jika melihat ibumu dipukuli oleh ayamu sendiri, kan? jadi, yah...begitulah ceritanya.” Cerita ibu-ibu yang aku tanya itu.
“Oh, begitu,” gumamku.
“Ngomong-ngomong, apakah kau teman sekolahnya Rei? Kau mau ke rumah Rei ya? Aku lihat seragam sekolah kalian sama.”
Aku tidak bisa langsung menjawab pertanyaan itu. Aku bahkan tidak bisa mendefenisikan rei itu temanku atau tidak. Kami baru sekali berbincang-bincang, tapi...
“Iya,” jawabku untuk menghindari pertanyaan lain.
“Ah, yokatta, aku senang jika Rei memiliki teman. Soalnya dia sangat tertutup dengan lingkungannya sejak dia pindah ke daerah sini, tepatnya ketika dia SMP kalau tidak salah. Tapi, syukurlah, dia sudah mulai membuka diri.” Cerita ibu itu dengan sebuah senyum harapan.
“Ah, terima kasih atas waktunya, bibi. Maaf, jika saya bertanya terlalu banyak,” kataku mencoba mengakhri percakapan ini.
“Tidak, tidak, justru aku yang cerita terlalu banyak.”
Akhirnya ibu tadi pergi. Aku menatap kembali ke arah rumah Rei yang sudah sunyi. Aku tertunduk dalam mengingat semua yang dikatakan ibu tadi dan semua yang aku lihat didepan mataku tadi. Aku...mendadak takut untuk ke rumah Rei. Apa besok saja? Tapi ah, apa mungkin besok dia masuk? Tiba-tiba aku mendengar suara derap langkah menuju pagar rumah yang ingin ku tuju. Sejenak kemudian, aku melihat Rei ke luar dan berlari ke arahku yang berjarak lima meter dari rumahnya. Dia kaget, meski kemudian dia meneruskan langkahnya berlari. Aku bisa melihat jelas pipi kirinya yang lebam, serta sisa air mata itu ketika berpapasan didepanku tadi. Anak itu? mau kemana?
Entah kenapa aku merasa badan ku digerakkan sendiri. Setelah melihat Rei berlari dan mulai hilang di balik tikungan aku langsung mengejarnya. Namun, sayangnya, aku kehilangan jejak Rei. Tiba-tiba aku teringat tempat pertama kali aku bertemu denga Rei. Baiklah, aku akan ke sana sekarang!Dan benar saja, aku melihat punggung kurus yang dibaluti kaos putih itu tengah duduk dibawah pohon momiji. Aku mendengar sebuah isakan. Rei menangis?
Dengan takut akupun melangkahkan kakiku pelan-pelan menuju sisi pohon momiji lainnya. Pohon momiji ini seperti sebuah batas antara kami. Rei masih terisak meski tak sekuat tadi. Dia menyembunyikan wajahnya dalam lipatan kakinya. Sementara aku masih berdiri memandanginya kasihan. Angin berdesir perlahan. Cahaya mentari senja mulai memudar. Hari mulai gelap. ku lihat Rei memeluk kakinya lebih kuat.
Aku teringat blezer yang aku bawa kemudian aku mendekati Rei dan menyelimuti tubuhnya dengan blezer tersebut. Rei mengangkat wajahnya dan menatap aku yang telah berdiri tepat disampingnya. Tak ada lagi batas antara kami. Kini aku dapat melihat jelas wajah lesu dan lebam Rei serta matanya yang bengkak dan basah. Sedetik kemudian, dia mengalihkan pandangannya dariku dan kemudian, hening.
“Kau sudah melihatnya, kan?” Begitulah pertanyaan Rei setelah sepuluh menit hening. Aku menelan ludah. Menatap puncak kepalanya.
“Maaf....” bisikku.
“Aku lega dia sudah tidak akan berkeliaran lagi dirumah ibuku,” lanjutnya.
Sebenarnya aku tak ingin membahas ini lagi. Aku sudah cukup tahu alasan kenapa rei sangat tertutup, dan kenapa dia tidak masuk selama ini. Aku tidak ingin dia bicara lagi. Kemudian aku duduk disampingnya, tanpa merespon ucapannya barusan. Dia bergeming dan sedikit agak bergeser dariku dan mengalihkan pandangannya.
“Aku tidak ingin kau membahasnya lagi.” Ucapku.
“Seolah kau mengerti saja.” Kritiknya.
“Aku memang tidak tahu apa-apa tentangmu, karena kau memang bukan temanku!” balasku kasar.
“jadi, kenapa kau kemari.?”
“Karena aku melihat kau!”
“Kenapa kau melihatku?”
“karena kau menyebalkan!”
Rei terdiam. Aku menghela nafas panjang untuk menenangkan diriku yang mendadak emosi. Suara jangkrik mulai ramai. Aku melirik jam, sudah jam setengah 7.
“kau pulanglah,” ucap Rei datar menyadari bahwa aku melirik jam.
“Kau juga,” balasku.
“Memangnya kau siapa?”
“Kau juga, memangnya kau siapa?” balasku cuek. Rei membuang muka dariku. Mungkin dia cukup kesal dengan responku barusan. Peduli amat, fikirku. Aku mengambil sisa plester dari tasku, dan kemudian memancing Rei bicara.
“Kalau kau kesal katakan saja.’ Ucapku.
“Kau.....” Benar saja, dia berbalik ke arahku dengan wajah kesal. Serentak itu aku menempelkan plester itu ke sudut bibirnya yang mulai membiru. ‘Aww..”teriaknya pelan tapi segera dia diam.
“Nah,,sudah...” ucapku setelah menempelkan plester itu. Rei masih diam menatapku heran. Aku tersenyum. “Ayo pulang,”ajakku. “Besok kau harus masuk sekolah, Iwaki-sensei mencarimu. Yuki-san juga heran kenapa kau tak masuk beberapa hari ini. Terlebih dari itu, aku merasa kesepian ketika diperpustakaan.”lanjutku. Mata Rei mendadak berbinar, ku lihat ada air bening yang mulai menggenang dipelupuk matanya. Dia tidak sedih tapi terharu.
“Aku tidak percaya jika masih ada orang yang menginginkan kehadiran ku.” Isaknya parau sambil mengusap matanya dengan punggung tangannya. Aku menatap kasihan padanya. Polos sekali anak ini. Dia mengatakan hal itu karena dia merasa diabaikan oleh orang-orang sekitar.
“Kau berfikir dengan melarikan diri seperti ini, orang-orang tidak akan menyadari keberadaanmu yang tiba-tiba menghilang?”
“itu karena aku tak pernah di anggap.”
“Kau salah! Justru kaulah yang tak menganggap mereka ada!” omelku membuat Rei berhenti terisak.
“Aku?” ulangnya.
“Ya tentu saja.” Kataku, “Dengar, Rei. Kalau kau terus menutup diri, menjaga jarak dengan teman-teman sekelasmu, bagaimana mungkin mereka mengetahui tentangmu. Kau pikir semua orang itu sama? Apa kau fikir dengan sikap tertutupmu itu teman-temanmu akan mengetahui masalahmu? Apa kau berfikir mereka akan mendekatimu? Kau genius dalam prestasi akademik, tapi kau buruk dalam bersosialisasi. Aku juga tipe orang yang sulit bersosialisasi tapi setidaknya aku mencoba berteman dengan orang lain. Aku mengikuti klub, aku masih bertegur sapa dengan penjaga sekolah, Yuki-san, teman-teman sekelasku...tapi kau?”
“Aku takut....” ucapnya pelan, “Aku hanya takut jika aku ditolak dalam pergaulan. Aku adalah seseorang yang punya masalah dalam keluarga dan itu membuatku takut jika orang lain tau tentang keluargaku. Aku takut teman-teman akan mengejekku.”
“Seorang teman sejati tidak akan mempersulit temannya sendiri,justru mereka akan membantu ketika kau dalam kesulitan. Kalau kau terus membuat jarak, bagaimana mungkin mereka bisa mengenalmu dan menjadi temanmu.”
Rei termenung sesaat. Matanya bening memandang danau yang tak jauh di depan kami. Wajah lugunya semakin teduh, semakin polos.
“Ayo kita pulang,” ajaknya.
“Eh?” responku heran. Rei bangkit dan aku hanya menatapnya heran. Rei mulai beranjak pergi dan aku hanya diam mengikuti. Hingga kamipun sampai didepan rumahnya.
“Arigatou,” ucapnya pelan.
Aku tak menjawab, hanya masih bingung dengan sikapnya. Sungguh misterius sekali. Aku juga tak bisa menduga-duga, yang aku harapkan ialah besok dia hadir ke sekolah. Itu saja.
Aku baru saja masuk ke kelas ketika ku dengan seisi kelas membicarakan tentang Rei. Sedikit menggangguku sebenarnya, tapi aku mencoba tenang sambil meletakkan tasku di meja. Rin mendekatiku dan mulai berbicarakan hal yang sama. Ternyata soal ayah Rei yang ditahan polisi kemarin sudah menyebar luar disekolah, tapi dengan versi yang berbeda. mereka mengatakan bahwa ayah Rei adalah penjahat dan mereka menduga sifat Rei juga akan seperti ayahnya. Astaga ini bahkan sudah terlalu jauh, jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Siapa yang menyebarkan gosip murahan ini? Aku justru makin khawatir sekiranya Rei datang dan mendengar semua ini.
Hingga akhirnya aku mendengar keributan dari kelas sebelah. Aku, Rin dan teman lainnya langsung ke luar, penasaran. kemudian aku melihat Rei keluar dari kelas sambil menangis diikuti ejekan dari Ueda, Hiro, dan Yama.
“Anak seperti itu bisa membahayakan sekolah kita. Ayahnya saja penjahat, dan dia juga bisa jadi bibit penjahat!” kata Ueda dan dibenarkan oleh dua cecunguk disamping kiri-kanannya, Hiro dan Yama. Pernyataan itu benar-benar membuatku marah dan lepas kendali. Aku langsung menghajar ketiga laki-laki sok ini.
“Apa kalian fikir kehidupan kalian lebih baik dari Rei? Aku tak habis fikir kemana otak kalian. Begitu cepat terperangkap dengan gosip murahan ini, tanpa mengenal siapa Rei sebenarnya. Kalian tidak tahu apa-apa tentang Rei, jadi jangan pernah menilai dia sesuka hati kalian. Kalian tak akan pernah tahu luka yang dia rasakan saat ini. Jika kalian berada diposisinya sekarang, mungkin kalian sudah mengakhiri hidup kalian sendiri...” ujarku sambil menahan emosi juga airmata. Orang-orang disekitarku bergumam heran. Rin memegang bahuku.
“Sudah, Yuuna. Kita jadi pusat perhatian disini. Ayo kembali ke kelas.’ Ajak Rin.
“Tidak,” aku menolak ajakan Rin dan langsung berbalik turun menuju ke bawah. Aku harus bicara dengan Rei saat ini.
Aku menemukan Rei ditempat yang sama. Kali ini dia menangis terang-terangan bahkan dia terus menangis walaupun aku sudah berada disampingnya. Aku sangat merasa bersalah jadinya. Aku, kasihan sekali melihat anak ini. Aku bisa merasakan kepedihan dalam hatinya.
Kemudian aku duduk, dia masih terus menangis. Aku benar-benar tidak tahan ingin menangis juga dan aku juga benci sekali kalau melihat laki-laki menangis! Dengan kesal aku menepuk pucak kepalanya, pelan tapi penuh penekanan. Perlahan Rei diam meski terisak. Tak tahan, akupun juga menangis saat itu sambil terus mengusap-ngusap kepalanya.
“Sudah, jangan menangis lagi!. Kau seorang laki-laki, kau harus kuat!” isakku sambil menyembunyikan wajahku dengan terus tertunduk.
“Aku tidak ingin sekolah lagi,” katanya, membuatku terbengong. Tapi kemudian...
“Kau tidak bisa melarikan diri dari kenyataan begitu saja, Kurayama!”
Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan aku dan Rei. Ueda, Hiro, Yama dan Rin sudah berdiri di belakang kami. Rin tersenyum kecut juga bingung. Aku dan Rei buru-buru menghapus air mata. Rei kemudian membuang wajah.
“Kami minta maaf atas kata-kata kami tadi di kelas. Aku tidak tahu cerita sebenarnya, tapi ketika Yuuna menghajar kami tadi aku baru sadar bahwa aku salah dan tak pantas memperlakukanmu seperti itu.” ucap Ueda kalem. Rei bergeming lalu dia menoleh.
“Tak apa,” jawabnya singkat.
“Kurayama, jika memang gosip itu tidak benar, bisakah kau memberitahu apa yang sebenarnya terjadi agar kami tidak salah paham?” tanya Hiro.
Rei sedikit kaget, lalu menatapku. Aku bisa membayangkan kata-kata didalam hatinya sekarang. Seolah, hatinya berkata, ‘inilah kesempatanku untuk bicara’. Aku mengangguk setuju dan akhirnya dengan terbata Rei menjelaskan semuanya.
“dasar bodoh! Kenapa kau tak cerita dari awal!” respon yama sambil meninju pelan lengan Rei.
“Kalau kau lebih terbuka sedikit mungkin kami bisa lebih tahu tentangmu,” imbuh Hiro.
“Maafkan kami ya Kurayama. Kami benar-benar buta tentangmu, tapi sekarang kami bisa melihatmu lebih jelas.” Kata Ueda.
“Aku juga--- minta maaf karena selalu membuat jarak antara kalian.” Kata Rei terbata.
“Ah, sudahlah...sekarang yang penting semua sudah jelas. Lebih baik kita kembali kesekolah, dan menjelaskan pada yang lain secara pelan-pelan.” Kata Rin.
“tapi,...”
“Hey, kami tau kau tak bisa melakukannya sendirian. Kami yang akan menjelaskannya pada mereka.” Ucapku.
“Yup, kami yang akan bicara.” Timpal Hiro.
“Benarkah?” kata Rei mencoba meyakinkan diri.
“Tentu saja bodoh!” kata Ueda gemas sambil mengusap-ngusap geram kepala Rei.
Dan sejak hari itu, Rei perlahan mulai menghancurkan dinding yang ia bangun di hadapannya selama ini. Aku, Rin, Ueda, Hiro dan Yama berhasil membersihkan gosip murahan itu dan mengangkat Rei. Rei lebih kelihatan terbuka dan ceria sejak hari itu. terlebih karena kepintarannya, akhirnya dia menjadi tutor kami dalam mempelajari mata pelajaran yang cukup sulit.
Tahun berlalu dan ketika kami menjadi senior, Rei pun semakin terkenal dikalangan siswa peremuan. Dia sangat ramah dan terbuka serta suka sekali memberi bantuan ketika ada yang kesusahan dalam memahami pelajaran. Aku senang melihat Rei jadi populer, tapi sekaligus cemburu juga. Ah, apa sebenarnya ini. Aku tak berhak menaruh perasaan ini padanya.
“Hey, Yuuna. Kau marah kepadaku?” Suara Rei menggaung ditelingaku dan seolah membawa alam sadarku kembali ke masa sekarang dan meninggalkan masa lalu. serentak dengan itu semua, aku sangat bahagia sehingga aku tersenyum sendiri.
“Aku juga menyukaimu,” jawabku kemudian. Rei tersenyum senang dengan pipi bersemu.
“Syukurlah, aku kira bertepuk sebelah tangan,” ujarnya. Hey, bukankah seharusnya aku yang mengatakan hal itu, batinku.
Dan sejak hari itu kami melewati hari penuh dengan warna dan cinta. Rei adalah pacar pertamaku, yang aku tahu. Waktu itu dia segalanya buatku...waktu itu....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top