Dreaming
Angin semilir sore itu seolah membawa Yuuna ke masa lalu ketika ia masih bisa tertawa dan berbagi rasa dengan Rei. Lelaki yang menjadi bagian penting dari hidupnya itu kini hanya menjadi sosok sahabat saja seperti waktu SMA. Tak ada perhatian lebih yang Rei berikan padanya seperti waktu dulu, waktu mereka mengikat hati untuk bersama. Namun, entah kenapa Rei selalu ada ketika Yuuna membutuhkannya.
Daun-daun momiji yang mulai menguning bergoyang sendu menyentuh danau tenang di hadapan Yuuna. Cahaya mentari sore itu bersinar lembut disela daun pohon-pohon momiji di tepi danau itu, danau tempat favorit Yuuna dan Rei ketika SMA, pacaran hingga setelah mereka putus.
“Bagian konfliknya sedikit membosankan,” komentar Rei sambil membalik novel karangan Yuuna.
“Memang sih, aku kurang serius dibagian konfliknya. Agak kurang konsentrasi beberapa hari ini,” jawab Yuuna sambil melipat kakinya.
“Carilah waktu yang tenang untuk menulisnya lagi, ini.” Rei memberikan Naskah novel itu kearah Yuuna. Yuuna meraihnya.
“Kalau begini aku mungkin tak kan jadi novelis.” Keluh Yuuna tak bersemangat. Rei melirik Yuuna.
“Kalau kau kau putus asa begitu, aku juga tidak ingin membaca novelmu lagi, dan aku juga tidak ingin menjadi editormu,” balas Rei.
“Eh, jangan begitu dong, kau kan sudah berjanji, ketika aku menjadi novelis nanti kau yang akan jadi editorku” kata Yuuna.
“Ya kalau begitu kamu juga jangan putus asa begitu.” Kata Rei.
Yuuna terdiam berfikir, “bahkan sampai sekarangpun dia masih memintaku untuk tidak menyerah, dia masih memintaku untuk menulis. “
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini?” Tanya Rei.
“Ummh, seperti biasa sedikit membuat stress, tapi tak masalah. Kau sendiri bagaimana kuliahmu tadi?”
“Tadi aku ketinggalan kelas,” kata Rei sambil merebahkan diri diantara daun momiji yang menutupi pinggir danau. “Tugas akhir juga sangat membuatku stress, manalagi setiap malam aku harus bekerja paruh waktu.” Lanjutnya sendu sambil memandang lurus ke pohon momijiyang daunnya bergerak pelan tertiup angin.
Yuuna tertunduk. Kemudian menoleh ke arah Rei yang menatap tenang. Yuuna seakan memahami Rei. Ya, dia tau, Rei selama ini bahkan bekerja keras untuk bisa kuliah. Tidak heran Jika Rei masuk ke universitas setelah Yuuna menjadi seniornya. Lagipula bukankah Rei sahabatnya sejak SMA, sejak saat pertemuan mereka diperpustakaan ketika kelas satu SMA.Rei mendadak bangkit, mengejutkan Yuuna.
“Ayo kita pulang, sudah sore. Aku harus bersiap-siap untuk bekerja nanti malam. Dan kau juga butuh istirahatkan,” ucap Rei sambil menatap Yuuna yang masih duduk melipat lutut. Yuuna mengangguk kemudian bangkit memakai sepatu high heelsnya dan membawa naskah novelnya.
Rei dan Yuuna berjalan beriringan menuju rumah. Tak ada cerita lagi, tak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut keduanya. Rei dan Yuuna larut dalam fikiran masing-masing. Sinar mentari tampak menyinari punggung mereka sehingga terlihat jelas bayangan mereka yang bergerak di depan mereka. Yuuna memperhatikan bayangan Rei yang tampak lebih tinggi dari bayangannya sendiri. Dan dalam bayangan itu, tangan mereka terlihat saling menggenggam. Ah, apapun bisa terjadi dalam bayangan, fikir Yuuna, tapi kenyataannya sama sekali tidak.
“Bye”, kata Rei yang lebih dahulu sampai.
“Bye...,” balas Yuuna sambil melanjutkan langkahnya menuju apartemennya.
Kembali Yuuna larut dalam lamunanya tentang Rei yang begitu baik, yang selalu ada ketika Yuuna membutuhkannya. Yuuna tak bisa bersembunyi, tak pernah bisa, bahkan setelah apa yang dia lakukan kepada Rei tiga tahun silam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top