Cinta Pertama
Yuuna menyipitkan matanya ketika sinar mentari pagi mulai menyapa dan masuk melalui jendela kamarnya. Yuuna bangkit dan memegangi kepalanya. Kemudian dia tersenyum mengingat mimpi tentang masa lalunya dengan Rei.
“Yuuna, sarapan.” Seru ibunya dari luar kamar.
“Iya, Bu.” Sahut Yuuna.
Yuuna segera bergegas mandi sebelum akhirnya dia sarapan sendrian karena ibunya sudah pergi ke toko baju usaha mereka. Hari itu Yuuna memang tidak masuk kerja karena libur. Dia bersyukur akhirnya dia bisa punya waktu untuk bisa menulis dengan tenang. Dia akan menunjukkannya pada Rei dan Rei akan senang membacanya dan mengomentarinya tapi, mendadak Yuuna murung. Dia masih belum mengerti kenapa dia harus menulis untuk Rei, kenapa Rei masih ingin membaca novel-novel karangannya? Yuuna tak tahu alasannya apa bahkan sampai detik ini, bahkan setelah dia mencampakkan Rei pada malam tahun baru empat tahun yang lalu.
Aku baru saja pulang kuliah ketika aku berpisah dari teman-teman seruanganku dan masuk kesebuah toko buku tempat Rei bekerja. Begitu melihat ku dia langsung menghampiriku dan mengabaikan pelanggan-pelanggan remaja SMA yang sedang berbicara padanya. Dan ini membuat para gadis itu menatapku sinis. Ini kali pertamaku masuk ke tempat kerja Rei setelah setahun kami berpacaran dan hari ini adalah hari jadi kami yang pertama.
“Ah, tidak, aku hanya ingin melihat-lihat buku saja. Kau kerjalah Rei. Kalau kau masih lama aku akan menunggu diluar.” Kataku sambil melepaskan tanganku darinya.
“Oh, baiklah. Maaf kalau begitu. “ katanya pelan.
“Maaf, selamat bekerja.” Kataku dan kemudian Rei pergi.
Aku menghela nafas panjang ketika para gadis remaja itu berhenti menatapku sinis dan akupun mulai mencari buku yang menarik. Hingga aku melihat sebuah buku yang berjudul, “Kisah Cinta Pertama Di Dunia,”. Cinta pertama? Batinku. Dan seketika itu pula aku seolah terbawa ke masa lalu, ketika aku SMP kelas satu.
Aku masih melihat latihan basket di ruangan latihan sekolahku ketika itu bersama Miya-chan, teman sebangku ku ketika SD. Suara decit sepatu, suara langkah menggebu, suara bola yang dpantulkan ke lantai bercampur seru dengan suara teriakan para kakak kelas perempuan kami yang heboh menonton pertandingan itu. Itu bahkan hanya pertandingan latihan, fikirku.
“Wah, Mori-senpai benar-benar keren, pantas saja dia populer.” Gumam Miya-chan sambil bertopang dagu.
“Mori-senpai?” tanyaku.
“Are? Kau tak tahu Mori-senpai? Padahal dia itu terkenal dengan ketampanan dan keramahannya. Kau lihat itu, anak laki-laki yang mendrible bola itu,” Miya-chan menunjuk seorang lelaki yang serius mendrible bola, dan kemudian dengan cepat lelaki itu memasukkan bola ke dalam keranjang basket. Aku terperangah melihat permainan anak itu. mendadak aku merasakan sesuatu dalam dadaku berdetak lebih keras. Mori-senpai? Aku mendadak sangat mengaguminya.
Permainan usai, para jagoan lapangan itu pun bubar. Aku dan Miya masih duduk di bangku penonton sambil bertopang dagu dan menghela nafas bersamaan.
“kakkoi ne,” gumam Miya-chan.
“Iya, keren sekali,” imbuhku.
“Tapi, sudah selesai. Ayo kita pulang Yuuna-chan.”
“Hai,”
Kamipun beranjak pulang dan keluar dari ruangan, tapi baru saja aku hendak melangkahkan kaki ku keluar dari pintu aku terhempas ke dinding ruangan. Aku jatuh bersandar kemudian terduduk di susul bunyi pantulan sebuah bola basket yang kemudian berhenti didekatku. Aku merasakan sakit yang sangat sakit di tangan kiriku. Beberapa langkah berlari mendekatiku.
“Yuuna-chan, kau tak apa-apa?” tanya Miya-chan sangat khawatir. Aku terus saja meringis menahan sakit di lengan ku. Hingga akhirnya aku dikejutkan oleh seseorang yang sudah menggendongku dan melarikanku ke ruangan pengobatan. Jantungku berdetak kencang ketika aku mengetahui bahwa yang menggendongku ini adalah Mori-senpai.
“Maaf ya, aku tak sengaja melempar bola terlalu keras ke arah temanku tadi, tapi dia berhasil mengelak dan kemudian mengenaimu.” Ucap Mori-senpai sambil membalut lengan kiriku yang lebam. Untuk pertama kalinya aku bisa menatap wajahnya dari dekat dan dia benar-benar keren.
“Ah, tak apa, aku hanya sedikit terkejut tadi.” Ucapku sambil mengalihkan pandanganku dan mencoba untuk tidak menatapnya tapi tak bisa. Bola mataku ini terus bergerak ke arahnya.
“Ngomong-ngomong, namamu Yuuna bukan?” tanyanya setelah selesai membalut tanganku. Aku hanya menunduk dan mengangguk pelan. “Aku tadi dengar dari temanmu yang bersamamu tadi.” Lanjutnya sambil tersenyum.
“Yuuna-chan!” panggil sebuah suara dipintu ruang kesehatan. Aku melihat Miya-chan disana, kemudian dengan langkah malu dia masuk dan mendekati ku. “Kau sudah tidak apa-apa?”tanyanya kemudian.
Aku menggeleng lalu dia memelukku sambil berkata, “Syukurlah”
“Baiklah, aku pamit sekarang. Semoga cepat sembuh Yuuna-chan.” Kata mori-senpai sambil menepuk kepalaku pelan lalu berlalu.
“Whooaaa, Mori-senpai memanggilmu Yuuna-chan?” seru Miya-chan bahagia.
‘Ah, itukan karena kau tadi yang memanggilku dengan nama itu.”
“Ah ya, benar juga ya...tapi, kau beruntung bisa sampai sedekat itu dengan Mori-senpai.”
“Mungkin,” ucapku lirih sambil memandang kosong ke arah jendela disampingku.
Sejak saat itu perasaanku makin tumbuh kian besar terhadap Mori-senpai. Aku diam-diam ingin mencari tahu tentangnya, ingin tahu alamatnya, apa kesukaannya, gimana tipe cewek yang disukainya, makanan favoritnya apa zodiaknya. Namun, Mori-senpai tak pernah tahu soal itu, soal perasaanku. Aku hanya memendamnya dalam hatiku sampai Mori-senpai lebih dahulu meninggalkan SMP, dan sampai aku tak pernah melihatnya lagi hingga sekarang.
“Yuuna-chan? Hey, Yuu-na-chan!” panggil Rei yang langsung mengembalikanku pada dimana aku berdiri sekarang. Aku melihat Rei yang sudah berganti baju.
‘Maaf aku melamun,” ucapku.
“Ah tak apa.” Rei lalu melihat buku yang ada ditanganku. “Kau..membaca buku ini?” lanjutnya bertanya.
“Tidak, baru melihat judulnya saja tapi sudah membawaku ke masa lalu. aku jadi tidak terlalu tertarik membaca isinya.” Kataku sambil meletakkan buku bersampul warna pink itu ke rak asalnya.
“Oh begitu, baiklah ayo kita pulang.” Ajaknya. Aku mengangguk setuju.
Sepanjang jalan menuju pulang aku sedikit terganggu dengan lamunanku tadi. Tapi, ah aku tidak bisa. Rei akan menyadari ketidaknyamananku jika aku bertingkah seperti ini.
“Anoo,” suara Rei tiba-tiba mengingatkanku pada hadiah hari jadi yang ku bawa. Astaga aku bahkan hampir lupa. Aku segera merogoh tasku dan mengeluarkan hadiah itu.
“Gomen ne, aku hampir lupa. Selamat hari jadi.” Ucapku sambil memberikan kado kepadanya.
“EH? Tak apa, tak apa. Well...terimakasih, Yuuna-chan. Ngomong-ngomong ini apa?” tanyanya.
“Hora!” aku menunjukkan sebuah cincin perak di jari tengah tangan kiriku ke hadapannya. “sebuah cincin couple. Aku membelinya saat festival kampus kemarin. Di cincin ini sudah ku ukir namamu, dan di dalam kotak ini juga ada cincin yang sama tapi dengan ukiran namaku.” Lanjutku.
“benarkah?” kata rei bersemangat. Aku mengangguk senang. Rei lalu membuka kado kecil itu dan menemukan sebuah cincin perak yang berukir namaku lalu memakainya.
“Whoaa, pas sekali.” Kata Rei setelah memakai cincin itu.
“Yokatta!” responku.
Setelah sampai dirumah, aku langsung merebahkan diri ditempat tidur dan memandangi jari tengahku yang sudah dihiasi cincin perak berukir nama Rei. Kemudian aku bangkit dan mencari sesuatu di laci meja belajarku paling bawah. Sebuah diary ketika aku masih SMP. Aku ingin membacanya lagi malam itu. Dalam diary itu adalah semua tentang Mori-senpai dan semua ungkapanku padanya. Aku merasa sangat bodoh ketika membaca kembali apa yang aku tulis disana. Membayangkan betapa polosnya aku dulu. Hmm, lagian kenapa aku harus membuka lembaran usang ini? Bukankah seharusnya ini aku buang? Rei bisa cemburu jika dia menemukan ini. Lagipula Mori-senpai tidak mungkin mengingatku, sedangkan kami tidak pernah lagi bertegur sapa sejak hari itu. bukan karena dia yang sombong, tapi aku yang terus menghindar karena malu. Ah sudah lah, sudahlah. Toh semua sudah berlalu. Yang disisiku sekarang adalah Rei dan aku tak boleh membayangkan lelaki lain.
Keesokan harinya setelah pulang kuliah aku sangat merasa ngantuk dan lelah sekali. Aku berhenti di zebra cross menunggu lampu hijau untuk pejalan kaki berbunyi dengan pejalan kaki lainnya. Sekali lagi aku menguap. Lampu sudah menunjukkan hijau, kamipun mulai berjalan menyeberang jalan, tapi kemudian karena jalanku lambat sekali dikarenakan mengantuk lampu kembali merah tepat ketika aku ditengah-tengah zebra cross. Yabai! Aku bisa mati kalau begini. Namun, tiba-tiba seseorang menarikku untuk menyeberang lebih cepat ketika mobil mulai melintas.
Aku dan laki-laki ini ngos-ngosan mengatur nafas. Aku hanya bisa melihat punggungnya. Kemudian dia menoleh.
“Kau tahu itu bahaya tadi!” semburnya. Aku kaget. Kaget bukan karena bentakannya tapi karena aku melihat wajah yang ku kenal.
“Mori-senpai?” gumamku pelan lalu buru-buru menutup mulutku.
“Haaah? Tahu dari mana kau namaku, tapi....” katanya. Dia lalu mendekatiku. “Sepertinya aku pernah melihatmu.” Lanjutnya kemudian membuat jantungku berdetak lebih keras.
“Kau tidak mengingatku, Mori-senpai?” tanyaku. Sedetik kemudian aku menerima sebuah pukulan di bahuku disusul dengan sebuah tawa renyah.
“Tentu saja aku mengingatmu, Yuuna-chan! Ahaha, tak kusangka ternyata kau disini.” Katanya mendadak sangat ramah. Sedikit mengejutkan ku memang.
“Ya, aku kuliah di Miyagi University. Mori-senpai sekarang dimana?”
“Ah, jangan panggil aku dengan panggilan senpai lagi. Kita sudah tidak dikelas yang sama sekarang. Hey, lebih baik kita mencari cafe dan ngobrol disana . oke?” usulnya.
Aku mengangguk setuju dan kemudian mengikuti langkah lelaki yang hampir tujuh tahun tidak pernah aku lihat lagi dan sekarang dia tiba-tiba muncul di hadapanku setelah tadi malam aku teringat tentangnya. Ini seperti mimpi, ah tidak, mungkin ini yang disebut takdir.
Akhirnya sampailah kami di sebuah cafe. Aku duduk dengan kaku di depannya. Hey, kenapa aku harus kaku, bukankah perasaan ku untuknya sudah lama mati dan lebih dari itu aku sudah mencintai Rei, batinku. Tapi, Mori-senpai sendiri apa sekarang sudah punya kekasih? Atau apakah dia sudah menikah?
“jadi, Yuuna-chan? Bagaimana kabarmu?” tanyanya.
“Baik, senpai.” Ucapku keceplosan, “Mori----san, maksudku,” ralatku kaku.
“Kau tidak berubah. Masih saja kaku.” Gumamnya.
“Eh?” ulangku mencoba memastikan apa yang dikatakannya barusan.
“bahkan saat perpisahan kau tidak menyapaku,’lanjutnya.
“maksudmu?”
“Kau sangat sulit aku dekati. Selalu saja menghindariku. Padahal aku kira aku sudah minta maaf dan kau tidak marah kepadaku karena aku melemparkan bola basket hingga melukaimu waktu itu.”
Mendadak aku teringat momen itu. “Go-gomen, bukan maksudku menghindarimu hanya saja itu sangat memalukan. Lagipula, banyak sekali kakak kelas yang mendekatimu. Kau kan dulu sangat populer.” Ucapku.
“Ahahah, populer dari mana sih.? Mereka saja itu yang melebih-lebihkannya.” Katanya sambil tertawa konyol, “tapi, ngomong-ngomong, kenapa kau harus malu sehingga menghindariku?”
Aku mengangkat wajah menatapnya. Tak masalah kan jika aku memberitahukan perasaanku tujuh tahun yang lalu. toh, aku sudah mencintai Rei. Apa yang aku takutkan?
“Karena aku menyukaimu,” ucapku dan membuat Mori terkejut, “tapi itu dulu, tujuh tahun yang lalu,” lanjutku sambil tertawa ringan untuk membawa santai suasana ini.
“Benarkah? Syukurlah, aku kira cintaku bertepuk sebelah tangan dulu.” Kata Mori tersenyum malu. Aku menatapnya. Jadi, dia juga menyukaiku dulu? Batinku. Mendadak ada sekuntum bunga mekar muncul dihatiku.
“Ngomong-ngomong, kau kerja dimana sekarang, Mo-mori-san?” tanyaku.
“Aku mengelola sebuah restoran tradisional Jepang tak jauh dari sini kok. Kau bisa sesekali mampir kalau sempat.” Jawabnya.
“Benarkah? Aku kira selama ini kau tak ada di sini. Aku kira kau kuliah dan bekerja diluar negeri.”
“Ah tidak, aku memang sempat kuliah di Fukuoka, tapi aku kembali ke Miyagi setahun yang lalu dan membuka usaha di sini.” Ceritanya.
“oh, begitu.” Responku.
“jadi, Yuuna-chan, kau sudah memiliki pacar sekarang?”
“Ya, kau sendiri?”
“Belum, aku tidak pernah serius ingin menjalin hubungan karena masih mencarimu selama ini.” Ucapnya pelan sambil memandangku serius. Mendadak darahku berdesir. Apa maksud Mori?batinku. “Tapi, karena kau sudah memiliki kekasih, baiklah aku akan menunggumu saja, sampai ada celah dan kau akan berlari kepadaku.”lanjutnya. Jantungku mendadak seperti dihantam batu seberat ratusan kilo. Mori-san? Apa dia serius? Hey, apa maksudnya?
“Maaf, mori-san. Aku pamit lebih dahulu. Terima kasih atas bincang-bincangnya. Aku akan bayar ke kasir. Bye,” kataku kemudian mencoba menghindar sambil bangkit meninggalkan Mori-san.
Hari itu, aku mendengar kabar bahwa Rei lulus masuk ke Universitas Miyagi dan menduduki peringkat pertama dalam tes ujian masuk. Tak mudah memang mengalahkan banyak pesaing, tapi, rei kan memang pintar. Sejak saat itu, Reipun menjadi junior ku tapi kami berbeda jurusan. Namun, sejak dia mulai kuliah dibarengi kerja paruh waktu, dia semakin sibuk dan jarang punya waktu untuk ku. Aku paham dia bekerja keras untuk ibunya dan adik perempuannya yang sekarang sudah beranjak SMA, tapi, jujur aku merasa sangat kesepian. Sepulang kerja, biasanya kami sempatkan minum latte sejenak sambil mengobrol, tapi sekarang sepulang bekerja dia langsung belajar meski itu sangat melelahkan.
Berbarengan dengan itu semua, mendadak Mori-san muncul lagi ke hadapanku. Sudah lima bulan sejak kami terakhir berbincang di cafe tempo hari. Kali ini dia bahkan mendatangi rumahku langsung!
“konbanwa Yuuna-chan. Lama tak berjumpa.” Sapanya ketika malam itu.
“Yuu-chan, suruh tamumu masuk,” seru ibu dari dalam. Sedikit mengganggu sebetulnya, tapi ya sudahlah.
“Silakan masuk,”ucapku pelan sambil masuk di ikuti Mori.
Aku menyediakan teh hijau malam itu, dengan kue yang dibuat ibu tadi pagi. Mendadak kami saling diam berhadapan. Aku tak tahu apa difikirkan Mori-san saat ini. Dia...tahu dari mana alamatku?
“Kau tau dari mana alamat rumahku?” tanyaku langsung-langsung saja.
“Aku yang mencari tahu sendiri. Aku sudah lama tau alamat rumahmu, tepatnya ketika perpisahan murid kelas tiga dan kau diam-diam kabur dari sekolah. Aku mengikutimu sehingga aku mengetahui alamat rumahmu.”ujarnya.
Benar-benar mengejutkan, batinku. Jantungku mendadak berdesir aneh saat mengetahui hal itu. benarkah? Benarkah Mori-san selama ini benar-benar ingin mendekatiku?
“maaf, tempo hari aku meninggalkanmu lebih dulu,” ucapku kemudian mendadak merasa bersalah.
“Ah, tak apa. Itu juga karena aku yang sudah membuatmu tak nyaman. Tapi aku memang serius akan hal itu. aku janjikan aku akan selalu ada jika kau membutuhkanku,” ujarnya lagi dan lagi lagi membuatku merinding.
“Arigatou,” gumamku.
Mendadak aku teringat Rei yang memang agak jarang bersama lagi karena kesibukan Rei yang kuliah sekaligus bekerja. Apalagi setelah aku dengar dia menjadi mahasiswa junior yang populer. Itu membuatku sedikit terganggu. Meski banyak yang tau aku sedang menjalin hubungan denga Rei tapi, para mahasiswi sepertinya tidak terganggu dengan hal itu. meskipun aku percaya Rei tidak akan memberikan hatinya pada orang lain selain aku. Hanya saja, aku sangat kesepian beberapa minggu terakhir ini.
“Yuuna-chan,” Tiba-tiba saja tangan Mori sudah menggenggam tanganku yang tengah memegang erat gelas yang berisi teh hijau. “Aku akan selalu ada untukmu,” bisik Mori.
Serentak dengan itu aku menepis tangannya sampai gelas itu terguling dan isinya tumpah.
“Gomen,” ucapku lirih menahan sesak. Aku marah.
Namun, kemudian, Mori menyodorkan kartu namanya ke hadapanku.
“Kalau kau butuh teman, hubungi saja aku. Aku tak peduli kau terima atau tidak, tapi aku akan menunggu. Maaf sudah mengganggu waktumu. Selamat malam,” katanya sambil pamit meninggalkanku yang masih duduk mematung dengan gelas tumpah di hadapanku.
Rei, tolonglah...beri aku waktumu, batinku saat itu sambil menangis.
Akhirnya semester baru dimulai. Aku naik kesemester 7 dan harus mempersiapkan diri untuk menyusun tugas akhir atau skripsi. Aku harus sudah mulai memikirkan kemana aku akan magang. Namun, berbeda denga Rei. Kini dia sudah memasuki semester ketiganya. Para mahasiswi tahun ajaran baru sangat mengagumi Rei. Dia benar-benar populer meski dia sendiri tidak begitu memikirkan hal itu. dia hanya fokus satu tujuannya, kuliah, bekerja dan berprestasi. Aku cukup lega karena sampai sekarang semuanya baik-baik saja. Meski aku jarang bertemu Rei, tapi kami masih saling berhubungan melalui pesan.
Namun, kemudian aku sedikit terganggu dengan gosip yang menyebar luar seantero kampus bahwa Rei pergi berkencan dengan seorang mahasiswi junior bernama Ami bahkan sebuah foto juga ikut tersebar. Aku sempat kecewa dan marah pada Rei ketika aku berpapasan dengannya di koridor kampus. Aku melarikan diri saat melihatnya.
“Gomen,” ucapnya ngos-ngosan setelah mengejarku dan sampai ke taman, di bawah pohon momiji tempat bersejarah kami. “Yuuna-chan,” Rei memegang pundak ku dan secepat itu pula aku menangkisnya hingga membuat Rei kaget.
“Aku tak melakukan apa-apa dengan Ami. Itu hanya sebuah foto, Yuuna. Kau harus percaya padaku.” Kata Rei. Aku masih mematung menahan tangis.
“Aku tak peduli dengan itu semua, sebetulnya.” Akhirnya air mataku turun juga. “Aku...aku hanya merindukanmu, tapi kau selalu tak punya waktu. Aku sudah mencoba memahami dan mempercayaimu bahwa kau juga sedang fokus pada kuliah dan pekerjaanmu, hanya saja...aku sangat kesepian...” isakku menahan sesak di dadaku. Rei kemudian memelukku.
“Maaf, maafkan aku Yuuna. Aku tak bermaksud mengabaikanmu, dan aku paham kau menahan semuanya sendirian. Tapi aku hanya minta pengertian darimu, dan aku harap kau jangan menyerah sampai aku bisa membahagiakanmu selamanya. Sedikit memang waktu yang bisa ku berikan saat ini tapi, aku mohon mengertilah. Aku bahkan selalu menyempatkan diri untuk membaca novelmu bukan?” kata Rei menenangkanku. Aku mengahpus airmataku dan mencoba menenangkan diri. Aku melepas pelukan Rei dan mengangguk setuju. Tapi sampai kapan, Rei, batinku. Rei kemudian mengecup keningku, ya, setidaknya itu membuatku tenang.
Hingga akhirnya aku mulai bosan dengan keadaan ini terus menerus. Aku bosan dengan semua gosip miring tentang Ami yang menurutku sebagai cewek dia tergolong agresif hanya saja aku tak berani melabraknya karena takut akan jadi masalah yang besar. Ditambah lagi aku juga sudah tidak sanggup bertahan. Mau sampai kapan lagi begini terus. Bahkan sampai aku bekerja nantipun mungkin Rei akan terus sibuk dengan kuliah dan pekerjaannya. Mau sampai kapan? Mau menunggu sampai dua tahun lagi? Aku bosan dengan semua pesan-pesannya. Aku tak butuh pesannya, aku butuh dia ada disisiku dan berbagi cerita seperti waktu itu. arghhh entahlah...
Sampai pada suatu hari, aku mencoba Mori-san sebagai pelampiasan. Kenapa tidak? Toh Mori sudah bekerja, dan posisinya seorang manager. Tentu dia pasti lebih banyak punya waktu dan lebih dari itu, bukankah dia menyukaiku dan dia juga cinta pertamaku? Well, aku pun mendatangi Resto yang dia kelola, dan sambutannya sungguh luar biasa.
“Akhirnya kau menemuiku juga? Apa kau sudah putus?’ tanyanya langsung-langsung saja, meskipun membuatku sedikit mual.
“Belum, aku hanya ingin mampir saja. Bagaimana kabarmu?”tanyaku datar.
“Tidak pernah sebaik ini sebelumnya.” Jawabnya.
Sejak aku memutuskan untuk menjadikan Mori-san sebagai pelampiasan, aku menemukan kepuasan sendiri. Tujuanku hanyalah untuk mebuat Rei paham bahwa aku sangat membutuhkannya, tapi Rei tak pernah menyadarinya. Hingga aku sendiri terperangkap dalam permainanku. Perlahan, aku mulai masuk dalam kehidupan Mori dan mulai mengabaikan Rei yang selalu perhatian dengan pesan-pesannya. Namun, berbeda dengan Mori yang selalu muncul ketika aku membutuhkannya untuk sekedar ngobrol. Sampai pada hari itu, aku mengambil keputusan yang menyakitkan.
Malam tahun baru yang seharusnya menjadi malam yang romantis untuk seorang yang sedang berpacaran menjadi malam yang paling menyakitkan untuk Rei dan mungkin juga buatku. Kami janji ketemuan di taman biasa di bawah pohon momiji yang sudah tak berdaun. Salju turun menipis menyentuh air danau.
Kami masih terdiam ketika kembang api tahun baru menghujani langit. Aku dan rei mendongak ke atas menyaksikan kembang api itu.
“Akemashite Omedetou,” kata Rei. “Apa harapanmu tahun ini, Yuuna-chan?”
“Aku...” mendadak lidahku kelu. Aku harus mengatakan hal ini pada Rei tapi aku juga takut Rei terluka.
“Eh? Kenapa?” tanya Rei heran.
“Gomenasai, “ isakku.
“Maaf untuk apa?”
“Gomenasai,” isakku lagi.
“Yuuna-chan, apa yang sebenarnya terjadi?” kata Rei sambil memegangi kedua tanganku. Aku masih menunduk.
“Aku sudah tidak sanggup...” ucapku pelan disela isakanku.
“Kenapa? Apa yang mau kau coba katakan?”
“Aku sudah tidak bisa bersamamu lagi, kita berpisah saja.” Ujarku menahan perih dihatiku.
Perlahan genggaman Rei melemah, dan kemudian terlepas. Dia mundur beberapa langkah dariku.
“Kenapa?” tanyanya mencoba tegar.
“Aku bilang aku sudah tidak mampu lagi bertahan. Kau selalu tak punya waktu untukku...kau..”
“Baiklah aku mengerti sekarang,”potong Rei, dingin. Mendadak aku merasa bersalah. Aku menatapnya yang tertunduk.
“Aku minta maaf,’ ucapku.
“tidak, akulah yang minta maaf.” Kilahnya. ‘Baiklah jika itu keputusanmu. Aku mengerti.”
“Syukurlah kalau kau mengerti. Tapi, setelah ini aku harap kita masih bisa berteman seperti biasa.”
“ya,”
“Dan satu hal, aku...tidak akan kembali padamu lagi, meski aku memiliki kekasih lain dan akhirnya putus juga, aku pastikan aku tidak akan kembali lagi padamu, meski kau yang minta sekalipun. Kau tidak perlu menungguku.”
“Ya,” jawab Rei singkat dan itu sedikit membuatku sakit hati dengan respon seperti itu. diam-diam sebenarnya aku menyimpan harapan bahwa Rei akan memohon padaku untuk tak mengatakan itu dan berjanji akan selalu berada disisiku tapi nyatanya dia menerima semua keputusanku.
“Jangan mencariku,” ucapku.
“Ya,”
Kemudian kami terdiam. Syalku berkibar pelan dibelai angin musim dingin yang berhembus dari timur saat itu. aku masih berhadapan dengan Rei yang terdiam kaku menunduk dalam.
“Boleh aku meminta satu hal setelah kita putus?” tanyanya.
“Ya?” responku penasaran.
“tetaplah menulis.” Katanya singkat dan saat itu aku benar-benar merasa bersalah tapi, aku sudah mengucapkan itu semua dan tak akan mungkin ku tarik lagi. Aku mengangguk pelan menyetujui permintaannya. Gomenasai, Rei!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top