ʻ rain | a. keiji

Langit kelabu dengan awan bergulung. Gumpalan di langit itu sebentar lagi akan menumpahruahkan guyuran air menghujam bumi.

Gerimis kecil mulai menyambut. Para siswa yang sedang berjalan kaki berbondong-bondong mempercepat langkah dan membuka payung yang dibawa.

[Name] memilih untuk berhenti di halte bus, meski ia hanya perlu berjalan kaki untuk pulang ke rumah. Benar dugaannya, hanya perlu waktu beberapa detik bagi sang gerimis menjadi hujan yang cukup deras.

Karena seperti biasa, gadis itu tak pernah membawa payungnya, meski perkiraan cuaca selalu menyatakan bahwa beberapa hari ini langit Tokyo akan diguyur hujan.

[Name] bukan terus-menerus lupa akan cuaca hujan. Dia hanya saja terlalu menyukai limpahan air yang ditumpahkan sang langit.

Hujan terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Udaranya, embusan anginnya, suara gemericik meneduhkan. [Name] menyukai itu semua.

Tapi, gadis itu tidak akan menerobos hujan yang deras. Baik itu menggunakan maupun tanpa payung.

Dia hanya akan berdiam di tempat teduhan, menyaksikan alam bermandikan air langit anugerah Tuhan. Hingga hujan berkala mereda, menyisakan gerimis-gerimis kecil sebagai teman berjalan pulangnya.

Akaashi Keiji menghela napas.

Beberapa hari ini, ketika jam pulang sekolah sore, hujan lagi-lagi turun. Parahnya, tadi pagi dia lupa membawa payung.

Jadi, ketika dia baru menyadari kelupaannya itu saat sudah keluar dari gerbang sekolah, kepalanya celingukan mencari tempat yang bisa digunakan untuk berteduh sejenak.

Di halte bus, netra Akaashi menangkap sosok yang tak asing baginya. Sosok gadis yang sama, yang selalu bergeming menanti redanya hujan.

Sang teman kelas yang tidak mencolok. Bahkan hawa kehadiran gadis itu selalu minim dirasakan oleh teman sekelas. Akaashi Keiji hanya pernah berbincang dengan gadis itu beberapa kali.

"Apa kau selalu lupa membawa payung?" Suara rendah Akaashi memecahkan lamunan [Name].

"Akaashi-san?"

[Name] mendongak pada sosok yang berdiri di samping tak jauh dari tempatnya duduk. Dia kenal pemuda ituーteman kelasnya.

[Name] hapal teman-teman kelasnya, meski ia tidak terlalu bisa akrab dengan mereka.

"Selama beberapa hari ini, ketika aku berjalan pulang, aku melihatmu selalu duduk di sini menunggu hujan. Apa kau memang tak pernah membawa payung?"

Gadis yang ditanya menggeleng pelan. Akaashi mengernyitkan kening heran.

"Aku lebih suka menyaksikan hujan mereda, daripada harus menerobos mereka," ujar [Name]. Irisnya menatap jalanan aspal kosong di depannya.

"Kau ini aneh."

[Name] terkekeh. "Tidak hanya kau yang heran, Akaashi-san. Aku pun juga."

"Ketika hujan datang saat aku sedang berada di rumah, aku selalu membuka jendela kamar. Terdiam mengamati, menikmati, bergelut dengan berbagai pemikiran yang tak kalah berkecamuknya dengan hujan. Itu ... seakan sudah menjadi kebiasaanku," lanjut gadis itu menerangkan.

"Aku lebih memilih bergelung di kasur dengan selimut kalau hujan seperti ini datang." Kali ini, Akaashi mencoba bergantian berbagi sekelumit hal tentang dirinya. Menegaskan kekontrasan pilihan keduanya akan aktivitas yang mereka lakukan di kala hujan.

[Name] tersenyum sebagai tanggapan. Pandangannya kembali ditengadahkan ke langit.

"Ini sudah bulan April di musim semi, tapi udaranya masih cukup dingin, ya?"

Akaashi mengangguk setuju, ia menggosok-gosok telapak tangannya. "Kapan hujan ini reda? Aku tidak sabar segera sampai rumah."

"Tenang, ini bukan karena awan cumulonimbus yang menyebabkan hujan lebat, juga bukan nimbostratus yang membuat hujan awet. Tidak lama lagi, mungkin akan reda."

Pemuda berambut sekelam langit malam menyipitkan mata. "Kau tahu banyak, ya."

"Bukan apa-apa, hanya sudah terbiasa mungkin?"

Beberapa menit kemudian, keduanya hanya saling terdiam. Hanya suara guyuran hujan yang terdengar dan memecahkan keheningan mereka.

Akaashi memainkan ponsel, mendengarkan lagu melalui headset yang ia bawa. Sedangkan [Name], ia hanya bergeming menatapi pemandangan di depannya.

Meskipun gadis itu terdiam seribu bahasa, Akaashi seratus persen yakin ia sedang melalangbuana di kedalaman pemikirannya, yang tak bisa digapai oleh orang-orang sekitar.

[Name] bukan gadis aneh yang kuper atau susah bergaul. Dia hanya unik dalam berbagai hal, yang tak dapat dipahami oleh kebanyakan orang.

"Akaashi-san? Hujannya sudah reda, apa kau tidak ingin segera pulang?"

Akaashi mengejapkan mata. Ia tersadar dari lamunannya lantas menatap iris [Name]. Gadis itu sudah beranjak dari duduknya, berancang pulang.

"Masih agak gerimis, eh? Apa kau yakin akan pulang sekarang?"

[Name] tersenyum simpul sembari mengangguk kecil.

"Kalau tiba-tiba hujan deras turun lagi bagaimana?"

"Justru itu, bergegaslah sebelum hujan kembali turun deras!" kata gadis tersebut.

"Gerimis tidak baik untuk tubuh. Aku tidak mau nanti demam."

[Name] mendengus. "Hey, itu tidak seburuk yang kau pikirkan. Cobalah kemari, rasakan bagaimana sentuhan air-air kecil mendarat di wajahmu."

Gadis itu menarik pergelangan tangan Akaashi, membuat lelaki tersebut mau tak mau beranjak dari duduknya.

Satu hal yang membuat Akaashi tertegun selain apa yang [Name] tengah lakukan sekarang dengan mendongakkan wajah ke atas langit. Tangan gadis itu yang sempat menarik pergelangannya tadi, begitu dingin sedingin es.

"Akaashi-san, terima kasih."

"Untuk apa?"

"Aku selalu berpikir, menikmati hujan yang terbaik adalah seorang diri. Tapi ternyata berbincang ringan dengan seseorang kala menunggu hujan reda menyenangkan juga?"

"Oh Akaashi-san, kau lupa membawa payung lagi?" tanya [Name] sebagai bentuk sapaan akan kedatangan Akaashi Keiji di halte bus saat lagi-lagi hujan mengguyur sore hari Tokyo.

Akaashi mengulas senyum simpul. Alih-alih menjawab, ia malah bertanya balik, "Awan apa sekarang yang menyebabkan hujan, [Surname]-san?"

Gadis itu mendongakkan pandangan. Langit ditatap dengan seksama. "Nimbostratus?"

Ia berganti menolehkan kepala ke arah pemuda di sampingnya. "Kenapa memang?"

"Apa itu artinya hujan akan awet?"

"Mungkin."

Akaashi menyodorkan sebuah payung yang ia genggam di tangannya. "Aku membawa dua payung dari rumah. Kalau memang hujan berlangsung awet, kau tak mungkin berdiam di sini hingga larut malam, 'kan?"

[Name] terkikik geli, menutupi rasa canggung-entah-harus-menanggapi-apa atas perlakuan Akaashi yang ia terima darinya.

Tangan gadis itu terulur meraih payung yang ditawarkan si pemuda.

Akaashi lagi-lagi tertegun, kala melihat telapak tangan [Name] begitu memerah. Refleks, ia mencengkeram pergelangan gadis itu.

"Kau tidak mengenakan baju penghangat? Tanganmu dingin sampai memerah begini, lho?"

[Name] membelalakkan mata kala Akaashi Keiji mencondongkan dan merendahkan tubuhnya. Pemuda itu menggenggam kedua tangan [Name], menggosok-gosok kemudian meniup.

Kali ini, bukan telapak tangan gadis itu yang memerah. Pipi [Name] juga menyemburatkan rona yang senada.

Akaashi menegakkan badan. Ia menatap dengan seksama ke dalam iris gadis di hadapannya.

"Kalau menurutmu terdiam menunggu redanya hujan menyenangkan, cobalah sesekali berjalan di bawah derasnya hujan dengan benda yang menjagamu agar tak basah kuyup. Itu lebih menyenangkan, dan efisien untuk segera membuat langkahmu sampai ke rumah," tutur Akaashi.

Pemuda itu lantas kembali berujar, "Mau pulang bersama sambil berbincang ringan lagi hari ini?"

[Name] menarik sudut bibirnya semringah. Untuk pertama kalinya, gadis itu merasakan hangat menjalar di sekujur tubuh di tengah dinginnya hujan.

Mungkin, gadis itu akan menambah daftar hal-hal yang disukainya. Selain guyuran air hujan, awan, dan dinginnya udara yang berembus, ia akan menambahkan nama Akaashi Keiji di antaranya.[]

[17/04/20]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top