Bab 7

"Jadi apa yang akan kau lakukan?" tanya Emily masih tampak tidak memercayai telinganya sendiri. Vampir ini pasti sedang bergurau padanya.

"Aku akan membantu kalian sebisaku," jawab Will menjelaskan. "Aku sudah lama bersama dengan Whitney, aku tahu apa yang mungkin dia lakukan jika kita tidak segera bertindak."

Emily terdiam, dia memandang lekat cowok yang berada di hadapannya itu untuk mencari kebohongan yang mungkin saja tersembunyi dibalik wajah ramahnya. Dia tahu, walaupun cowok ini terlihat masih seumuran dengannya tapi dia sudah hidup lebih dari seabad dan sangat kuat dibalik tubuhnya yang agak kurus.

Aroma tubuhnya yang tidak memuakkan bagi Emily pun menunjukkan bahwa dia memiliki kendali diri yang sangat baik, keunggulan yang menyebabkan jati dirinya yang sebenarnya tidak akan diketahui begitu saja oleh para werewolf dari jauh.

"Apa rencanamu?" tanya Emily pada akhirnya.

Cowok itu tersenyum. "Kita harus memindahkan Allison dari apartemennya."

"Di pindahkan ke mana?" tanya Emily bingung, sorot matanya tiba-tiba menajam ketika dirinya memberi jawaban yang terlintas di benaknya. "Ke rumahmu?"

"Tidak," jawab cowok itu cepat. "Pindahkan dia ke markas kalian."

Emily tampak terkejut mendengar jawaban cowok itu. "Kau tahu di mana markas kami?"

Dia mengangguk. "Aku sempat menyelidikinya," ucapnya pelan. "Whitney sama sekali tidak tahu apa yang kutemukan di tengah hutan kecil perbatasan saat aku sedang berburu."

Emily terdiam.

"Apa kau setuju?"

Emily masih terdiam, dia masih bimbang apakah harus percaya pada vampir cowok itu atau tidak. Dia juga tidak tahu apa yang akan dikatakan teman-temannya mengenai hal ini.

"Kau bisa bertanya pada salah satu temanmu kalau kau mau," ucap cowok itu lagi seakan membaca pikirannya. "Hal ini harus kau dan temanmu putuskan hari ini juga karena tidak ada waktu lagi."

Emily mendesah pelan lalu segera membuka ponselnya, "aku tidak menyangka kalau lintah bisa se-cerewet ini," ucapnya datar sambil menekan nomor Chloe. "Kupikir kalian sangat irit bicara."

Cowok itu terkekeh. "Aku juga tidak menyangka kalau gumpalan bulu sangatlah penurut."

Emily hanya memutar bola matanya, memutuskan untuk mengabaikan balasan dari sindirannya sambil masih menunggu Chloe menjawab panggilannya.

"Halo?" Sapa Chloe mengangkat panggilan. "Ada apa, Em?"

"Hai, Chlo. Ada seseorang yang mau bicara denganmu," ucap Emily dengan cepat menyerahkan ponselnya pada Will.

"Halo, ini Will," jawab cowok itu terdengar santai. "Apa kita bisa bicara?"

Terdengar jeda selama beberapa saat sebelum Will mengembalikan ponselnya ke tangannya. "Dia memutuskan sambungan."

Uh-oh.

Emily tidak akan bohong kalau selama beberapa saat tadi dia sempat merasakan hawa dingin menyengat tengkuknya, kemungkinan besar berasal dari Will.

Cowok itu menghela napas. "Baiklah, sebaiknya kau yang akan membicarakan hal itu nanti malam. Sebelum tengah malam nanti aku akan mendengar keputusan akhir darimu."

Emily mengangguk.

Cowok itu tersenyum sekilas lalu berjalan menjauh darinya.

~°~°~°~°~°~

Aku terbangun dari tidurku secara tiba-tiba. Aku merasa sudah membuka mata tapi aku tidak dapat melihat apapun yang berada di sekitarku. Gelap.

Apa yang terjadi?

Aku mengangkat salah satu tanganku lalu mengusapkannya di mata berulangkali, berharap kalau itu hanyalah akibat dari sesuatu yang mungkin saja menghalangi pandangan mataku.

Tidak berhasil.

Tanganku bergerak untuk meraba tempat tidurku, mencari sesuatu yang mungkin saja membantuku dari penglihatanku yang menghilang secara tidak jelas. Aku dapat merasakan lapisan selimut yang menutupi tubuhku dan sebuah meja kecil disamping tempat tidurku.

Dengan berhati-hati sebisa mungkin aku berusaha untuk berpegangan pada meja itu dan berdiri, tapi gagal. Tubuhku seakan lumpuh dan jatuh telentang di atas lantai yang dingin.

Napasku tercekat dan lidahku terpilin saat menghantam lantai itu, merasakan oksigen yang kuhirup tertarik paksa bersamaan dengan tubuhku yang dijalari rasa panas yang amat sangat.

Berbagai sensasi yang menyerang tubuhku membuatku kebingungan. Diantara sadar dan tidak sadar aku menjerit, merasakan panas ditubuhku menggerakkan secara paksa tulang-tulang yang ada disana mematahkannya dan membentuknya ulang.

Sakit.

"Allison?"

Emily.

Aku hanya bisa menyuarakan nama itu di kepalaku, napasku masih tercekat dan tertahan di tenggorokanku, tidak bisa bersuara dan terus merasakan keretakan-keretakan tulang di dalam tubuhku.

"Allison!"

Kali ini aku dapat melihat bayangan samar mendekat kearahku, Emily.

Dia menyentuhkan tangannya ke beberapa bagian tubuhku lalu menyerukan sebuah nama yang tidak bisa kudengar secara jelas. Keretakan-keretakan tulang itu sudah terlalu berat untuk kutahan lagi.

"Allison, kau bisa dengar suaraku?" Sebuah suara lain tiba-tiba terdengar ditelingaku. "Kalau kau bisa mendengarnya, remas tanganku," diantara rasa sakit aku dapat merasakan sebuah tangan menyusup kedalam tanganku.

Aku meremasnya sekuat tenaga. Terlalu pelan, tanganku terasa seperti bukan tanganku.

"Bagus," suara itu kembali berucap. Dia dapat merasakannya? "Sekarang dengarkan ucapanku dengan sebaik mungkin."

Aku kembali meremas pelan. Kali ini aku dapat merasakan tangannya membalas remasanku dengan menggenggam tanganku lebih erat.

"Pusatkan seluruh perhatianmu pada tanganku, Allison. Abaikan rasa sakit yang sekarang kau alami."

Aku menurut. Sebisa mungkin aku mengabaikan rasa sakit itu, menyingkirkannya hingga aku tidak merasa keretakan tulang itu mengganggu konsentrasiku. Butuh waktu yang cukup lama sebelum akhirnya aku berhasil, sekarang aku dapat merasakan tanganku dengan lebih baik.

"Remas tanganku lagi kalau sudah berhasil."

Aku kembali meremas tangannya lebih keras.

"Sekarang aku ingin kau melepasnya," ucapnya lagi, dia melonggarkan genggamannya pada tanganku. "Biarkan dirimu kembali merasakan rasa sakit itu."

Aku terengah, berniat untuk protes padanya, tapi tidak sanggup. Keretakan-keretakan tulang itu kembali menyerangku ketika tangannya terlepas sepenuhnya dari tanganku.

Aku kembali menjerit, terlalu sakit. Terlalu menyakitkan–aku tidak sanggup menahannya.

Entah sudah berapa lama proses itu  berlangsung, secara jelas aku dapat merasakan tulang-tulang bergerak di dalam tubuhku lalu tiba-tiba saja rasa sakit itu berhenti. Lenyap.

Aku membuka mataku dan dengan segera menangkap dua sosok yang duduk di kanan-kiriku. Emily dan seorang cowok yang tidak kuketahui namanya.

"Kau berhasil melaluinya," ucap cowok itu sambil tersenyum menatapku. "Selamat, Allison."

Emily juga tersenyum, lebar dengan mata berbinar. "Selamat bergabung, Ally."

Aku memaksakan diri untuk bangun dan menatap tubuhku yang terasa baik-baik saja seakan tidak pernah terjadi apapun sebelumnya. Aku menatap mereka secara bergantian, bingung dan kalut. Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kualami sebelumnya.

"Apa yang terjadi padaku?" tanyaku pada mereka dengan pandangan menuntut, mengharapkan jawaban. "Apa ini karena aku digigit Whitney?"

Senyum Emily lenyap dan digantikan dengan tatapan terkejut. "Kau ingat?"

"Ya, aku mengingatnya," jawabku linglung. "Kau berbohong padaku, Em."

"Emily memang harus melakukannya demi kebaikanmu," ucap cowok yang tidak kuketahui namanya itu tiba-tiba. "Sebelumnya kami tidak mengira kalau kau bisa mengingatnya."

Aku menggelengkan kepalaku. "Aku bisa mengingatnya, waktu itu aku sempat terbangun. Aku melihat kalian membawaku ke suatu tempat-entah dimana, membalurkan sesuatu di leherku dan samar-samar aku melihat banyak wujud lain yang berkerumun mengelilingiku," jelasku. "Itu memang benar kalian kan?"

Emily dan cowok itu mengangguk, tidak berkata apa-apa.

"Apa yang kalian lakukan padaku saat itu?" tanyaku lagi. "Aku sama sekali tidak mengerti."

"Kami melakukan itu untuk menghentikan racun vampir yang mengaliri pembuluh darahmu saat Whitney menggigitmu, bermaksud untuk menghentikan apapun yang buruk yang bisa saja terjadi," jelas Emily. "Tapi kami tidak tahu kalau racun vampir itu malah mempercepat perubahanmu."

"Perubahanku menjadi apa?" tanyaku nyaris berseru, semua ini membuatku sangat kebingungan dan mereka memperparahnya dengan menjelaskan semua ini secara bertele-tele.

"Menjadi seperti kami, werewolf," jawab cowok itu, menyentuh tanganku. "Kami tahu ini terlalu cepat, tapi kami harus memberitahumu kalau kau mulai saat ini akan menjadi pemimpin kelompok kami. Kami membutuhkanmu untuk memimpin kawanan kami mulai sekarang, Allison. Sebagai seorang alpha."

Aku menyentakkan tanganku menjauh dari sentuhan cowok itu. "Kalian bercanda," ucapku datar. "Tidak ada yang namanya vampir dan werewolf di dunia ini, semua itu hanya ada didalam novel."

"Ally...."

Aku menggelengkan kepalaku dan menutup kedua telingaku. "Jangan berbicara apa-apa, keluar dari sini."

Mereka terdiam lalu saling menukar pandangan selama beberapa saat.

Aku memejamkan mataku. Saat membuka mata, mereka sudah tidak ada lagi.

~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°

Hai lagi~ Chapter ini udah mau sampai pertengahan, aku bakal update setiap 10 hari mulai sekarang.

Makasih buat vote, comment dan semua orang yang masih bersedia membaca cerita ini... sampai jumpa :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top