Momentum
Naskah lama di laptop.
Cerita pendek langsung tamat ya ^^
Silakan baca >_<
###
Aku mengusap lagi keringat yang menetes di keningku, menatap dengan cermat perkamen yang berserakan di atas meja tempatku bekerja. Membaca isinya dengan cermat, dan menelaahnya. Keningku kembali berkerut ketika tiba di penghujung perkamen yang sedang kuhadapi.
"Bukan, bukan seperti ini akhirnya. Ada sesuatu yang hilang." Gumamku pelan seraya meletakan perkamen itu dan memijit keningku pelan.
"Begitu ya? Memang seperti belum selesai sih. Hm..." Gumam sebuah suara tepat di belakangku.
Aku terlonjak kaget dari tempatku duduk, berbalik untuk segera melihat sosok di mana suara itu berasal. "Astaga! Tari. Kau mengagetkanku!"
Gadis itu tersenyum lebar, menampakan gigi gingsulnya yang membuat wajah ovalnya terlihat cantik. "Ups, aku mengagetkanmu ya?" tanyanya tanpa rasa bersalah.
Aku menghela napas. Marah pun hanya akan membuang energiku, "Sejak kapan kau di sini? Aku tidak mendengarmu datang."
Gadis itu lalu memutari meja, membawa bungkusan yang kutahu berisi makanan. Kemudian ia mulai menata meja itu hingga siap untuk digunakan untuk dua orang.
"Aku sudah berada di sini kira-kira 20 menit yang lalu. Aku bahkan sudah mengetuk pintu selama lima menit dan memanggil-manggil namamu sampai suaraku hampir habis. Bisa kau bayangkan tidak?" katanya tanpa menghentikan aktivitasnya. "Yah, tapi tidak ada jawaban, jadi aku menunggu sampai waktu yang tepat untuk menyuruhmu istirahat."
Aku mendengus kesal padanya. Gadis molek di depanku hanya tertawa seolah aku adalah anak kecil yang sedang merajuk karena kesenangan mereka dihentikan. "Aku tahu kapan harus berhenti."
"Aku tahu," katanya santai masih dengan tawa yang berderai, "kau kan, sudah dewasa." Ledeknya kemudian.
Aku menggerutu pelan, menurut ketika gadis itu menarikku hingga duduk di depan meja berisi makanan. "Saatnya makan." Katanya seraya duduk di depanku.
"Enak kan?"
"Lumayan." Jawabku santai.
Gadis itu tersenyum lebar. "Kalau begitu berarti sangat enak."
"Aku bilang lumayan."
"Kau kan, jarang memberi pujian. Lumayan berarti sangat enak." Belanya.
Aku tidak menjawab. Pikiranku masih sibuk dengan perkamen yang lima menit tadi kutinggalkan. Ada bagian yang kurang. Tentu saja. Cerita itu tidak selesai seperti itu. Mungkin aku harus mengulangnya? Ah tidak, mungkin aku hanya perlu mencari di perkamen lainnya? Mungkin ada jawaban di sana. Huruf jawa kuna itu memang terlalu rumit untuk kupahami, tapi bukan berarti aku tidak mengerti.
"Raka, hei Raka, kau mendengarku tidak sih?" seru sebuah suara keras yang membuyarkan pikiranku. Ketika aku sadar, wajah marah Tari berada tepat di depanku.
"Oh, eh... maaf. Aku melamun."
"Apa sih yang kau lamunkan? Pekerjaanmu itu?"
Aku mengangguk.
"Ya ampun Raka! Aku hanya meminta lima belas menit waktumu dalam sehari, apa itu terlalu sulit? Tidak bisakah kau memperhatikanku di lima belas menit waktu itu?" sembur Tari.
"Aku..."
"Aku tahu kau sangat mencintai pekerjaanmu. Aku tahu itu! Tapi tidak bisakah kau sisakan waktu untukku? Sedikit saja?"
Aku membeku. Diam. Aku tidak tahu jawabannya, apakah aku bisa?
Melihatku bungkam, Tari berdiri. Tubuhnya bergetar, seolah menahan amarah yang teramat besar dalam dirinya. Aku menatapnya, berusaha meminta maaf.
"Aku..."
"Berhenti," ucap Tari lirih, "aku mengerti. Aku pulang."
Ia berjalan membelakangiku, menampakkan punggung mungilnya, berlalu pergi meninggalkanku yang bahkan hanya mampu melihatnya. Tanpa bisa mencegahnya.
Hari-hari berikutnya, Tari tidak datang ke tempatku seperti biasanya. Mungkin itu yang terbaik untuk kami. Tapi, kenapa seperti ada yang kurang? Sama seperti perkamen yang sedang kuhadapi, seperti ada bagian yang hilang.
Aku mengacak rambutku yang sudah kusut. Meletakkan perkamen yang entah sudah berapa puluh kali aku kaji dalam seminggu ini. Apakah benar seminggu? Rasanya sudah lama sekali. Dengan malas, aku berjalan terhuyung ke wastafel untuk mencuci muka. Cermin di atas wastafel kemudian memantulkan parasku. Seorang pria pengecut yang untuk mengakui perasaannya sendiri saja tidak berani. Seorang pria kurus dengan rambut yang mulai memanjang dan kantung mata menyedihkan. Seorang pria yang seharusnya bersyukur karena dicintai oleh gadis paling manis di dunia.
"Kau, bukan seorang pria, kau hanya laki-laki yang menyedihkan." Gumamku.
Aku baru akan beranjak dari tempatku ketika aku melihat cahaya putih yang berpendar-pendar dari dalam cermin. Aku mengerjap, cahaya itu masih ada. Kemudian cahaya putih itu seakan keluar dari cermin, mengerubungiku dan melebur denganku. Dalam keterkejutanku, aku tak kuasa menghindar ketika aku merasa cahaya yang telah melebur bersamaku menghilang bersama dengan bagian tubuhku.
Aku perlahan-lahan menghilang.
Aku kembali merasa tubuhku utuh tak lama kemudian. Aku menatap sekelilingku dan mengerjap untuk beberapa kali. Di mana aku? Tempat ini seperti sebuah alun-alun mungil yang eksotik, kental budaya jawa dengan desain yang rumit. Aku menoleh ke samping dan mendapati seorang lelaki dengan busana seperti seorang kesatria. Siapakan dia? Di sisi lain aku mendengar tangisan seorang wanita, kemudian aku menoleh ke arahnya dan mendapati dua orang wanita dengan kebaya kerajaan sedang berpelukan dengan penuh rasa haru. Siapa mereka?
Aku baru saja akan membuka suara ketika suara lain memanggil namaku. Aku menoleh ke arah sumber suara yang berada di atasku. Di sana, seorang laki-laki tua berdiri dengan pakaian putih. Ia menatap ke arahku dengan ekspresi malas.
"Kau siapa?" tanyaku takjub melihat laki-laki yang melayang itu.
Ia mencebik muram ke arahku dan menunjukku dengan jemarinya. "Kau, gantikan dia untuk sementara."
"Dia?" tanyaku heran. Aku menunjuk diriku, menyadari bahwa tubuh yang kugunakan bukanlah tubuh milikku. "Apa yang terjadi?"
"Kau hanya perlu menggantikan tempatnya di beberapa situasi saja, itu tidak akan sulit karena kau sudah hafal bagaimana seharusnya kau bersikap."
Aku mengerutkan keningku, tidak mengerti.
Laki-laki tua itu menghela napas tidak sabar, "Tubuh yang kau pakai itu milik Arjuna, atau siapapun namanya. Kau mengenalnya dengan baik. Laki-laki di sampingnya bernama Baladewa, atau siapapun namanya. Dua orang wanita itu bernama Dewi Erawati dan Banowati, atau siapapun namanya, siapa yang peduli." Laki-laki tua itu kembali mencebik.
Aku tercengang mendengarnya, sementara laki-laki di depanku masih mencebik ke arahku. "Itu... apa berarti aku ada di masa lalu?" tanyaku takjub.
"Siapa yang tahu? Aku hanya menjalankan perintah, dan berhentilah bertanya," laki-laki tua itu melotot marah padaku. "Ah, sudahlah. Aku akan datang lagi untuk membawamu ke tempat yang lain. Hah, siapa yang tahu?" laki-laki tua itu mengangkat bahunya dan dalam sekejap, ia menghilang.
"Terima kasih kau sudah membantuku menemukan istriku. Aku sangat bahagia," Baladewa menjabat tanganku –tangan Arjuna- erat, seolah ingin memberikan seisi dunia padaku.
"Itu sudah kewajibanku, saudaraku," balasku lancar.
Aku melirik ke arah dua orang wanita yang sudah berhenti berpelukan. Seorang wanita yang tampak telah berhenti menangis mengucapkan rasa terima kasihnya, dan wanita lainnya tersenyum lembut ke arahku. Membuat jantung yang berada dalam tubuh semu ini berdetak lebih cepat daripada biasanya. Tatapan kami bertemu dan kami berdua tertunduk malu, sama-sama tersipu. Ah, aku mengerti. Wanita dengan pipi kemerah-merahan itulah Banowati. Satu-satunya wanita yang sanggup menjerat hati Arjuna.
Dengan jantung berdebar, aku memberanikan diri untuk menatap wajah gadis itu lagi. Cantik. Ah tidak, mungkin eksotis. Tatapan kami kembali bertemu dan wajah gadis itu kembali tersipu malu. Ah, manisnya.
Aku tersenyum padanya dan dengan malu-malu, ia pun membalas senyumku. Saat itulah serasa seisi dunia berada di genggamanku. Aku tak peduli lagi dengan yang lainnya, bukankah asalkan gadis itu tersenyum padaku rasanya sudah cukup?
Aku terjerat, tak bisa keluar dari benang-benang tak kasat mata di antara kami. Hingga sekelebat bayangan hitam memenuhi udara dan jiwaku terbang, meninggalkan raga yang masih bergerak di depanku. Aku melayang, tiba-tiba saja berdiri di samping laki-laki tua yang sebelumnya kutemui.
"Cinta remaja, selalu saja tampak begitu indah, bukan?"
Aku mengangguk, masih mengamati keadaan itu. Kini ketika aku sudah tidak berada dalam tubuh semu Arjuna, tak ada perasaan memabukkan itu, tidak ada jantung yang berdebar lebih cepat dari biasanya.
"Bukan kau yang jatuh cinta pada gadis itu," laki-laki tua itu mencibir rendah ketika aku meraba tempat jantungku bermukim. Tidak ada debaran berlebihan.
Laki-laki tua itu mengangkat tangannya dan seketika kami berada di tempat berbeda. Aku kembali menggunakan tubuh Arjuna dan bisa merasakan emosinya saat itu. Tubuh ini resah, teramat resah. Aku menatap ke sekililingku. Tidak ada siapa-siapa. Hanya tumbuhan yang tumbuh lebat hingga menutupi tinggi tubuhku. Tempat yang cocok untuk pertemuan rahasia, ataukah memang aku sedang menunggu seseorang?
Aku mendongak ke atas, berharap menemukan sosok laki-laki tua berwajah masam itu. Percuma. Tidak ada sosoknya dimanapun.
Terdengar suara gemerisik daun. Indra-indra tubuh ini langung siaga dan baru kembali relaks setelah melihat sosok gadis cantik itu. Banowati.
"Syukurlah," gadis itu menghambur ke arahku. Memelukku dengan erat dan menggumamkan puji-pujian kepada para dewa.
"Banowati, ada apa?" suara berat Arjuna terdengar. Ia melepaskan pelukan itu dan menatap Banowati dengan raut wajah serius. Ditatapnya wajah ayu itu hingga ia mengangkat wajahnya. Tatapan kami kembali bertemu. Ah, rasa itu lagi. Kemudian, air mata turun perlahan di pipi molek itu. "Ada apa?" tanyaku dengan berat.
"Aku, aku akan menikah dengan saudaramu. Duryodhana," katanya di tengah isakannya.
"Kenapa?"
"Itu perintah Ayah. Karena itulah, kita tidak boleh bertemu lagi," Isak tangis gadis itu bertambah keras.
Seakan ada petir yang menyambar, tubuh gagah ini serasa tak berarti apa-apa. Perasaan sakit apa ini? Seperti diperintah, tubuh gagah Arjuna berusaha memeluk Banowati, namun ditahan oleh gadis itu.
"Tidak Arjuna, kita tidak boleh bertemu lagi," katanya dengan suara parau. "Tapi, tapi berjanjilah padaku. Akankah kau tetap mencintaiku?" mata bening gadis itu menatapku, penuh harap.
Aku mengangguk dengan tubuh ini, merasa menyatu dengan perasaan yang melanda kedua insan ini. Benar-benar menyakitkan. "Aku akan tetap mencintaimu, apapun yang terjadi." Kataku lirih.
"Syukurlah... syukurlah..." gumam gadis itu lirih.
Setelah ucapan perpisahan itu, gadis cantik itu segera berlalu, bersama segala latar suasana yang sebelumnya ada. Meninggalkanku yang sedang termangu dan tiba-tiba berada di sebuah ruangan putih. Aku terduduk dan meraba tempat jantungku berada. Terasa sesak. Terasa sakit. Kenapa rasanya begitu nyata?
Aku terhenyak dan melihat jari-jariku yang kurus. Tidak, tubuh ini bukan lagi tubuh Arjuna yang gagah. Ini tubuh asliku. Tapi kenapa rasanya masih tertinggal?
Langkah kaki yang berat terdengar di depanku. Tanpa kulihat siapa itu, aku sudah tahu. Itu langkah laki-laki tua dengan wajah muram. Ia pasti akan mencelaku lagi. Laki-laki itu tidak pernah bersikap baik padaku, bukan?
Langkah kaki itu semakin mendekat, kemudian ia duduk di sampingku. Menepuk pundakku dengan sikap seorang teman.
"Ini belum berakhir, kau harus melihat akhirnya."
Aku mengangkat wajahku, menatap wajah laki-laki tua itu yang kini tersenyum padaku, tidak seperti biasanya.
"Belum berakhir?" tanyaku dengan suara parau. "Aku ingin pulang." Aku meraba bagian jantungku berada, masih terasa sesak.
Laki-laki tua itu tertawa, bukan tawa yang merendahkan. Tapi tawa yang menyenangkan, seperti tawa Tari. Ah, gadis itu. Tiba-tiba saja aku merindukan tawa gadis itu.
"Kau selalu ingin tahu bagaimana akhirnya, bukan? Sekaranglah saatnya."
Laki-laki tua itu menepuk pundakku. Kembali aku berada di tempat yang berbeda. Hanya saja, aku tidak berada di tubuh Arjuna. Aku tidak lagi menjadi seorang lakon, kali ini aku hanyalah seorang penonton bersama dengan laki-laki tua itu yang juga sedang duduk di sampingku dengan ekspresi yang tidak terbaca.
Di depanku, Banowati duduk dengan perasaan risau sambil menatap dinding putih tak bermakna. Seketika pintu ruangan itu terbuka dan menampakan sosok laki-laki yang sudah pasti ia tunggu kedatangannya. Banowati terlihat sempat menahan napasnya sebelum berlari menyambut Arjuna.
"Syukurlah, kau baik-baik saja. Terima kasih dewa."
Arjuna tersenyum lebar padanya, menatap lekat wajah satu-satunya gadis yang ia cintai, "Tunggulah sebentar lagi. Aku pasti akan membawamu ke istanaku."
Senyum sumringah muncul dari bibir Banowati. Ia mengangguk, menatap lekat laki-laki yang ia cintai hingga akhirnya Arjuna keluar dari ruangan itu, masih dengan senyum yang juga sama sumringahnya seperti Banowati.
"Inikah akhirnya?" tanyaku pada laki-laki di sampingku. Ini akhir yang bagus, jadi kenapa laki-laki tua ini terus berwajah masam?
"Tunggulah beberapa saat lagi."
Aku menurut dan mengamati apa yang ada di depanku. Yang ada hanyalah seorang gadis yang berkali-kali bersyukur kepada para Dewa, ia terlihat sangat bahagia. Melihat hal itu, entah mengapa sedikit mengurangi rasa sesak di dadaku ini.
Gadis itu kemudian tampak bersiap-siap untuk istirahat dan berbaring di tempat tidurnya. Bahkan, dalam keadaan tidur pun gadis itu tampak sangat bahagia. Bibirnya tak henti-hentinya menyunggingkan senyum.
Sekelebat bayangan hitam lalu muncul, membawa benda yang berkilau kala terkena sinar rembulan yang masuk melalui jendela yang terbuka.
"Siapa dia? Apa yang dia lakukan?" tanyaku panik. Ingin rasanya aku berlari ke arah gadis yang sedang tertidur itu, menyuruhnya berlari dari tempat itu.
"Hei, apa yang akan dia lakukan? Tidak kah kau akan melakukan sesuatu?" tuntutku pada sosok di sampingku yang ternyata sudah tidak ada lagi. Laki-laki tua berwajah masam itu menghilang. Ke mana dia?
"Hei, bangun. Kau harus bangun!" teriakku keras, mencoba membuat gadis yang tertidur lelap itu untuk terbangun. Tapi sia-sia.
Sosok hitam itu mendekati gadis itu dengan gerakan sehalus belaian angin malam. Perlahan namun pasti ia mendekati gadis itu dan akhirnya berhasil ke tempat gadis itu.
Aku tetap berteriak di tempatku berada, sambil berharap akan ada keajaiban datang ke tempat ini. Satu detik ketika pisau itu belum menyentuh gadis itu, mata bening Banowati terbuka. Menampakkan rasa terkejut dan takut.
Dan semuanya berakhir. Mata pisau itu dengan ganas menembus tubuh tepat di mana jantungnya berdetak. Banowati, gadis ayu yang dicintai Arjuna telah mati tanpa sempat merasakan kehidupan indahnya di istana Arjuna.
Aku berdiri membeku. Mataku menatap nanar ke arah tubuh tak bernyawa di depanku. Kemudian semua pemandangan itu lenyap, berganti dengan dinding putih yang mengelilingiku. Tempat itu lagi.
Aku terduduk lemas. Dadaku sesak seolah menolak apa yang telah kusaksikan tadi.
"Kau tidak bisa melakukan apapun. Itu memang akhir dari ceritanya."
Aku menoleh ke sampingku dan mendapati laki-laki tua itu sedang menatap kosong ke depan. Entah apa yang sedang dipikirkannnya. "Bayangan itu telah membunuh Banowati, siapa dia?" tanyaku dengan suara yang masih bergetar.
Laki-laki tua itu menghela napas panjang. "Kau mengenal Aswatama, bukan?"
Aku mengangguk.
"Bayangan itu adalah Aswatama. Pengikut setia Duryodhana." Laki-laki itu kemudian tertawa, "Bisa kau bayangkan tidak? Suami dari wanita itu baru saja mati, dan ia bahkan tidak terlihat sedih. Bahkan cenderung senang karena akhirnya dia akan bersama dengan cinta remajanya."
Aku terdiam mendengar ucapannya. Apa yang laki-laki itu katakan sepenuhnya benar. Tapi tetap saja, cerita cinta mereka benar-benar menyedihkan, lebih menyedihkan daripada apa yang kualami.
"Cih. Bagian mana dari kisah cintamu yang menyedihkan?" laki-laki itu tertawa mengejek, tapi anehnya aku tidak merasa tersinggung ataupun marah. "Kau mendapat cinta dari gadis yang benar-benar tulus mencintaimu. Gadis itu sudah berkorban terlalu banyak untukmu, dan kau bahkan tidak berani untuk berusaha agar pantas dengannya."
Aku membisu. Tidak bisa membantah kata-kata dari laki-laki tua itu.
"Kau pikir, bagaimana kau bisa mendapat jawaban dari pertanyaan yang selama ini menghantuimu?"
Aku terhenyak, menatap tidak mengerti pada laki-laki tua itu.
"Oh Tuhanku..." katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jika saja gadis itu tidak memohon siang dan malam untuk kebahagianmu, mungkin saja aku tidak akan menyeretmu ke sini, melihat cerita masa lalu hingga sampai seperti ini. Yah, kebahagiaan bagi manusia memang bermacam-macam, dan salah satu kebahagianmu adalah mendapat jawaban dari hilangnya satu sisi perkamen yang kau teliti?" laki-laki tua itu memicingkan matanya kepadaku. "Apa kau yakin itu yang kau mau?"
"A-aku...." kataku tersendat. Aku kembali terdiam. Otakku secara otomatis memutar kembali kejadian yang baru saja kulihat.
"Benar, kau tidak dapat merubah cerita mereka. Arjuna dan Banowati, heh? Mereka memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Dan kau," laki-laki itu menunjuk ke arahku, "Ceritamu masih bisa kau ubah jika kau mau."
"A-aku... apa yang harus kulakukan?"
"Pikirkanlah." Katanya dengan suara membahana, membuat sekelilingku bergetar dan lalu, cahaya putih kembali muncul. Mengaburkan pandanganku dan membawaku luluh bersamanya. Aku berputar-putar dan entah bagaimana, aku merasa seseorang memanggil namaku.
"Raka, bangun! Kau tidak boleh tidur di sini. Kau bisa sakit. Hei, bangun."
Aku membuka kelopak mataku dan mendapati wajah gadis yang kukenal dengan baik. Jarak kami begitu dekat hingga aku bisa melihat wajahnya dengan jelas, wajah yang ternyata sangat kurindukan selama ini. "Tari?"
Tari lalu menjauhkan diri dariku sementara aku berusaha bergerak dari tempatku. Aku berada di ruang kerjaku dengan perkamen yang tersebar di atas meja, dan tertidur di antara tebaran perkamen.
"Aku hanya akan mengambil jaketku yang tertinggal. Aku tidak akan lama."
Aku mengangguk, walaupun tubuh Tari yang memunggungiku tidak akan bisa melihatku.
"Kau sebaiknya tidur di kamarmu, jika kau seperti itu terus, kau bisa sakit." Tari berhenti berbicara untuk sesaat, "Aku, aku tidak akan ke sini lagi. Jadi, kau tidak akan kehilangan waktumu yang berharga. Tapi setidaknya, kau harus meluangkan waktumu untuk istirahat."
Sesak. Mendengar apa yang Tari ucapkan tadi entah kenapa membuatku sesak. Tidak, bukan seperti ini. Tidak boleh seperti ini. Aku tidak ingin jika gadis ini tidak ada bersamaku. Aku masih memandangi punggung gadis itu. Aku berdiri dan berjalan ke arah gadis itu, kemudian lenganku mendekapnya erat.
"Tidak, jangan pergi... Kumohon." Aku masih memeluknya dari belakang sambil berdoa agar gadis itu bisa memaafkanku. Memaafkan atas sikap pengecutku selama ini, dan juga memaafkan karena keterlambatanku untuk mengakui perasaanku.
"Beri aku kesempatan. Aku, aku akan memberikan seluruh waktuku untukmu. Tidak ada lima belas menit dalam sehari. Tidak, itu tidak akan cukup."
Gadis itu menarik napas panjang, kemudian ia melepaskan diri dari dekapanku dan berbalik ke arahku.
"Tidak ada lima belas menit?"
Aku mengangguk, "Itu tidak akan cukup. Aku, aku akan memberikan seluruh waktu yang kau minta." Jawabku sambil menatap mata beningnya. "Aku janji."
Tari masih bergeming di tempatnya, matanya menatap lurus ke arahku seolah mencari kepastian. Aku sama sepertinya, tidak bergeming di tempatku. Aku menatapnya lekat, membayangkan hidupku tanpa dirinya benar-benar membuatku merana. Aku sadar kesalahanku selama ini, hingga aku pun sadar jika Tari tidak mau kembali padaku maka memang itu adalah kesalahanku. Tapi, akankah itu terjadi? Akankah aku mampu menjalani kehidupanku tanpanya?
Aku mengangkat tanganku. Jari-jariku yang kurus menyentuh pipinya. "Maafkan aku Tari. Selama ini aku telah menyakitimu, aku tahu itu. Tapi akhirnya aku sadar, hidupku tanpamu tidak akan berarti sama sekali." Aku berhenti sejenak, "Aku tahu, aku akan terdengar sangat egois, tapi maukah kau memulainya lagi bersamaku? Menghabiskan waktu bersamaku hingga napas ini tak lagi ada?"
Mata bulat Tari terbelalak mendengar ucapanku. Dia masih bergeming di tempatnya dan kemudian, seulas senyum merekah di bibirnya. "Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padamu, tapi momentum seperti ini sangat jarang terjadi." Senyum itu semakin merekah, "Jadi...."
Aku menahan napas ketika Tari sengaja membuat jeda panjang untuk meneruskan kalimatnya. Kemudian, seolah mendapat asupan oksigen dari surga aku merasa dadaku yang selama ini sesak menjadi lapang. Sangat lapang. Aku terlonjak gembira dan derai tawa Tari terdengar, mungkin takjub melihat polahku yang sangat kekanak-kanakkan. Jadi, inikah rasanya bahagia?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top