Bab 8
* * *
Desember 2019
Gita memperhatikan betul penampilannya. Buktinya, ia mengoleksi berbagai macam produk make up. Baik produk lokal maupun high-end. Sebelum bekerja, ia ingin menyempurnakan wajahnya dengan memakai produk lokal.
Wanita berkulit tan itu sedang mengambil primer untuk mengawali aktivitas riasannya. Ia memakai produk yang cocok untuk kulitnya. Ia nyaman mengaplikasikannya. Selanjutnya foundation, concealer, eye shadow, dan eyeliner. Semua ia terapkan pada wajah cantiknya.
Selesai dengan wajah, ia ingin memakai lipstick warna merah supaya mencapai kesempurnaan. Gita begitu bangga dengan apa yang dimiliki. Tubuhnya indah bak model. Rambut hitamnya terurai sampai di bahu. Sorot matanya menggoda.
Ia tersenyum di depan cermin, kemudian menampakkan seragam kerja warna merah yang melekat di badannya. Tas diambilnya disusul sepatu hak tinggi.
Ia pun berjalan elegan sampai di depan rumahnya. Lalu menyalakan mobil untuk menyetir sampai sekolah. Benar-benar seorang wanita mandiri. Ia membuka gerbang, mengeluarkan mobil dari garasi, kemudian menutupnya kembali. Tak lupa, wanita berhidung mancung itu mengunci pintunya supaya tidak dimasuki pencuri.
Mobil matic abu-abu miliknya pun siap untuk ia kendarai. Dengan kecepatan pelan, ia mengemudi dengan fokus di hadapan.
Suasana jalan masih lengang. Berhubung belum jam 7 pagi, ia sudah berangkat ke sekolah.
Terbesit pikirannya pada Dimas. Ia mengerutkan keningnya. Kenapa keadaan Dimas semakin memburuk? Beberapa kali masuk rumah sakit. Bahkan, dua hari ia tidak mengajar.
"Ada apa, ya? Sampai segitunya?" tanya Gita pada dirinya.
Aku tahu kalau dia masih sakit. Aku berusaha membantu dia untuk menjadi guru tetap bersama-sama. Kenapa sampai harus memaksakan diri? Dimas, aku enggak suka kalau kamu sakit.
Ia pun kembali fokus di jalanan yang mulai ramai. Sudah menjadi budaya. Jam berangkat kerja justru jalan raya dikerumuni mobil dan motor yang buru-buru ke tempat tujuan, sehingga aktivitas jalan menjadi terhambat. Terciptalah macet.
Gita tidak menyukai macet. Ia akan mengumpat tidak jelas begitu ia terjebak macet. Buktinya, mobil di depannya berjalan lambat, bahkan beberapa motor berusaha menyalip.
"Sialan! Lo coretin mobil gue!" gerutu Gita ketika ada pengendara motor iseng mengenai spion mobilnya saat menyalip.
"Dasar! Kenapa jam segini harus ada macet, sih? Enggak suka, enggak suka!" Tak henti-hentinya ia mengumpat sambil membunyikan klaksonnya beberapa kali, meminta pengemudi mobil di depannya berjalan.
Berdebat dengan diri sendiri cukup melelahkan. Beberapa menit kemudian, ia pun lolos dari macet dan langsung tancap gas membelah jalanan. Mulutnya bersorak seolah mendapat rejeki nomplok. Ia tak akan terbiasa dengan macet. Lagipula bodoh sih, kenapa berangkatnya bukan pagi-pagi buta?
Mobilnya melaju tanpa hambatan hingga sampai di sekolah jam 7.25 pagi. Gita turun dari mobil dengan memakai kacamata hitamnya. Kembali ia berpenampilan elegan. Tak peduli orang-orang di sekitarnya menilai seperti apa, ia sungguh senang karena dirinya lebih cantik dari sebelumnya.
"Selamat pagi, Bu Gita," sapa Fuad saat berpapasan di lorong sekolah.
"Oh, pagi, cantik." Disusul Ihsan menyapa Gita dengan sedikit godaan, dibalas senyuman tipis.
Gita tetap berjalan lurus setelah menyapa dua rekannya. Namun tiba-tiba saja, langkah Gita terhenti ketika mendengar sayup-sayup suara Fuad dan Ihsan sedang mengobrol di belakangnya.
"Bapak tahu tidak? Pak Dimas kembali dirawat di rumah sakit secara intensif. Sungguh kasihan ya. Kita baru tahu kalau Pak Dimas punya riwayat penyakit jantung. Sebelumnya dia tidak kasih tahu ke kita. Apa mungkin, cuma akal-akalannya saja supaya dia terus mangkir dari rapat guru?" Fuad berceloteh, curiga dengan temannya sendiri.
"Makanya, kita jadi bertanya-tanya. Padahal aku sudah memberinya banyak pekerjaan untuknya. Entah aku yang salah lihat atau apa, tapi tampaknya dia sehat-sehat saja. Jangan-jangan, dia mau pansos di sekolah ini." Ucapan sarkas Ihsan mengundang Gita bergabung di antara kedua lelaki itu.
"Apa maksudnya?" Tiba-tiba Gita bergabung dan menanyakan maksud perkataan Ihsan.
"Bu Gita, kok ikut ngerumpi di sini?" tanya Ihsan balik, membuat Gita menaruh telunjuk di mulut Ihsan supaya diam.
"Aku bukannya membela siapa-siapa. Dimas itu banyak berjuang. Dia menginginkan posisi menjadi guru tetap. Kalian yang bekerja lama di sini, harusnya mendukung kek, apa kek. Kayak enggak ada kerjaan ngomel orang."
Ihsan dan Fuad kompak menghela napas, mendengar celotehan Gita yang menurut mereka tak berguna.
"Mana rasa setia kawannya? Hah?" Gita meluapkan amarahnya pada mereka, lalu menunjuk Ihsan secara intens. "Terus Anda. Katanya mau peduli sama Pak Dimas. Ngapain coba Anda meremehkannya? Apa karena dia satu-satunya honorer di sini?"
Ihsan seolah tak tahan melihat sikap anarkis Gita. "Hei, memangnya kamu pacarnya apa? Jujur, Dimas cuma beralasan saja. Dia bilang jantungnya sakit, tapi masih saja ketawa-ketiwi seperti orang gila."
"Jangan bilang begitu!" Gita mulai menyemprot Ihsan. "Sejak kuliah, aku kenal betul dia. Dia adalah orang pintar yang ingin mendedikasikan dirinya menjadi pengajar, khususnya anak-anak SD. Sebaiknya Anda tidak perlu meledek orang yang kerjanya lebih bagus. Ngaca dulu sana. Bilang aja Anda iri sama Pak Dimas."
Ihsan berkacak pinggang sembari memperbaiki kacamatanya. "Iri? Siapa bilang aku iri? Aku juga coba kasihan kok sama dia. Cuma dia memang keterlaluan. Kehadiran dia di sekolah ini, membuat reputasiku sebagai guru terbaik hancur. Lihat saja betapa uletnya dia saat bekerja dan mengajar. Membuatku enggak suka."
Diam-diam berkhianat. Gita menganggap Ihsan seperti itu. Dari luarnya saja baik, tapi dari dalam dia tidak menerima kondisi apa pun. Termasuk melihat Dimas disukai para guru-guru. Pantas saja Ihsan selalu berubah sikap.
"Anda manusia, bukan?" tanya Gita serius, sesekali terisak. "Kenapa Anda harus bersikap seperti itu? Harusnya baik 'kan kalau Dimas suka membantu orang-orang?"
"Kamu suka ya sama Dimas?" Ihsan menantang Gita dengan mata tajamnya. "Peduli amat sih."
Pertanyaan yang berat dijawab Gita. Beberapa banyak salah kaprah. Wanita yang peduli dengan sahabat prianya, berarti saling suka. Gita mencoba memperbaiki mindset orang-orang bahwa ia hanya sahabat dengan Dimas. Bukan apa-apa.
"Buat apa kamu tahu?" kata Gita menantang balik sembari menyilangkan dada. "Kalau aku suka sama Dimas kenapa? Mau gosipin aku lagi?"
"Siapa takut?"
"Aku mencoba untuk formal sama Anda. Kalau memang Anda tidak mau formal, aku enggak mau sopan sama Anda."
"Coba saja, silakan."
Fuad sebagai penengah mencoba melerai mereka yang terus adu mulut.
"Pak Ihsan. Bu Gita. Sudah deh. Jangan bertengkar mulu. Ini sekolah. Kalau dilihat anak-anak gimana? Sama saja kita mencontoh yang buruk pada mereka," ujar Fuad.
"Oke, anggap saja kamu beruntung hari ini. Lihat saja. Kalau sampai kamu menyebut nama Dimas di hadapanku, aku enggak peduli di sekolah atau apa, aku habisi kamu sampai mampus!"
"Sudah, pak. Jangan ladeni dia. Aish ..." Fuad tampak kewalahan menarik lengan Ihsan yang emosional.
Gita sampai jijik melihat mereka berdua. Ia mengatur napas sejenak, lalu berjalan dengan elegan kembali ke ruang guru.
"Gedek banget lihat mereka berdua. Katanya sahabat dekat. Masa mereka nusuk Dimas dari belakang?" gumam Gita terus terbawa emosi.
* * *
Selesai mengajar di kelas I-A, ia mencoba untuk menelepon Dimas. Baru seminggu lalu ia ketemu dan membantunya menyelesaikan proses pendaftaran CPNS, tahu-tahu Dimas masuk rumah sakit lagi. Ia hanya memastikan keadaan sang sahabat saja.
Wanita itu mencari tempat aman untuk menelepon, tepatnya di bawah pohon mangga dekat lapangan bola. Sembari teleponnya didekatkan ke telinga, ia menjatuhkan bokongnya ke tempat duduk yang disediakan.
"Halo ... Dimas?" Ia mulai berucap begitu mendengar sumber suara di telepon.
"Ya ... kenapa?"
"Kondisi kamu lemah ya? Kok suara kamu serak gitu?" tanya Gita sedikit panik.
"Aku enggak apa-apa, kok. Cuma dirawat biasa aja." Suara Dimas lembut. Tidak seperti biasanya.
"Aku khawatir sama keadaan kamu. Kenapa jadi gini? Masuk rumah sakit?"
"Jantungku."
"Aku tahu. Aku tahu itu. Tapi ini sudah akhir tahun. Penerimaan rapor sebentar lagi. Dan kamu masih mengerjakan rapor dari Pak Ihsan."
"Aku sudah mengerjakannya, Gita. Jangan khawatir."
"Dimas. Kamu diledekin sama Pak Ihsan, loh. Kamu enggak sadar bahwa dia sudah menusukmu dari belakang? Kamu sadar enggak, sih?"
"..."
"Dimas. Kalau kamu tahu orang-orang baik itu berkhianat, bisa-bisa kamu tumbang. Dan lebih parah, kamu bisa mati kalau mengetahui itu."
"Gita ... tolong kamu tidak usah ledekin orang seperti dia. Aku juga tahu sifatnya. Aku menerima semuanya."
"Bodoh. Kamu itu bodoh, Dimas. Kalau aku jadi kamu, lebih baik aku pindah sekolah saja. Atau, berharap saja aku ditempatkan di sekolah lain saat lulus CPNS."
"..."
"Dimas. Aku banyak bicara ya? Maaf kalau begitu. Aku akan menjengukmu setelah selesai ngajar. Cepat sembuh ya."
Gita menjauhkan ponselnya dari telinga. Terdengar sayup-sayup suara lemah Dimas saat tak menyadari belum mematikan teleponnya.
"Aku ... cinta sama kamu, Gita."
Namun sayang, suara itu tak didengar Gita dan langsung menutup teleponnya.
"Bu Gita. Ayo kita makan siang!" seru Lani memanggil dirinya.
"Iya, aku ikut!"
* * *
8 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top