Bab 7

* * *

Tidak akan bisa menggantikan seorang wanita yang baik dan peduli padanya. Gita, satu-satunya sahabat Dimas, selalu memberikan kepeduliannya pada guru honorer itu.

Maka tak heran pula, Gita mati-matian membuat pesta ulang tahun sederhana untuk Dimas. Beruntung, sepulangnya dari rumah sakit dua hari lalu, kondisi Dimas baik-baik saja. Sehat seperti sedia kala. Gita pun lega mendengarnya.

Pesta kecil-kecilan diselenggarakan di rumah minimalis Gita. Tepat di hari ulang tahunnya, Dimas diperlakukan layaknya anak-anak yang merayakan ulang tahun dengan kue dan hadiah.

"Yeay, selamat ulang tahun, Dimas!" seru Gita dari muka dapur, kemudian membawa kue ulang tahun serba cokelat, dihiasi lilin nomor 2 dan 3 yang tertancap bersamaan, dan ada kue makaron kecil yang menghiasi. Sungguh merupakan pesta terbaik buat Dimas.

"Cokelat. Darimana kamu tahu kalau aku suka cokelat?" celetuk Dimas, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.

"Ya pas kuliah, kamu sering beli cokelat. Apa-apa cokelat. Makanya ulang tahun kali ini, aku beli kue cokelat. Apa salahnya?" kata Gita bangga, mengangkat bahunya percaya diri.

"Bisa aja kamu."

"Udah ah cepetan tiup lilinnya."

Gita memegang pundak Dimas intens, mendorongnya untuk meniup lilin di hadapan.

"Eh, eh. Ucapin make a wish dulu napa!" seru Gita kembali, memukuli pundak pria itu. "Aku lupa soalnya."

Dimas mengiyakan. Sembari memperbaiki topi ulang tahun di kepalanya, ia memejamkan mata lalu berharap dalam hati.

Entah apa yang ia harapkan. Bahkan Gita saja tidak tahu harapan Dimas.

Lima detik kemudian, ia langsung meniup lilin dan tepukan tangan bersorak dari Gita.

"Harusnya kamu enggak perlu buat yang ginian. Merepotkan kamu lagi," kata Dimas tidak enak.

"Enggak apa-apa. Sesekali," jawab Gita enteng, sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan Dimas.

"Ngomong-ngomong, cuma kue aja? Makanan atau minuman, gimana?" tanya Dimas menyadari ada kekosongan di meja sebesar arena bilyard.

"Aku tadi udah Gofood sembari menyiapkan kue."

Kemudian Gita menyeret kue cokelat milik Dimas dan mengambil pisau plastik di samping.

"Biar kupotong kuenya. Supaya bisa kita makan sama-sama." Gita menawarkan. Dimas mengangguk tersenyum.

Dengan pelan, Gita memotong kue seharga 100 ribu itu menjadi beberapa bagian.

Dimas menyimak wanita pemilik kulit sawo matang yang sedang membagi-bagi kue dengan pisau. Rasanya membuat hati tenang. Ia banyak berutang budi pada Gita. Berharap saja ia bisa membayarnya dengan menikahi seorang Gita.

"Oh iya, kamu tahu 'kan kalau dua hari lalu, pendaftaran CPNS dibuka?" Gita tak berhenti mengingatkan. "Aku udah WA kamu loh tentang teknis pendaftarannya."

"Sepertinya hapeku lowbatt saat itu. Padahal aku enggak tahu kalau CPNS sudah dibuka," kata Dimas kikuk.

"Aku banyak berusaha supaya kamu menjadi guru tetap. Supaya kita bisa sama-sama sebagai rekan sejawat." Ucapan Gita seolah berisyarat supaya Dimas tak lepas darinya. Sepertinya Gita benar-benar membutuhkan sosok Dimas dalam hidupnya.

Dimas sendiri tersenyum mendengarnya. "Iya deh, iya. Aku tinggal cari-cari berkasku dulu, baru aku susun-susun supaya bisa menyerahkan dokumen untuk diunggah."

"Gitu dong. Baru semangat berjuang." Kemudian Gita pun memberikan sepotong kue cokelat pada Dimas. "Makanlah dahulu. Tahu aja kamu suka."

Dimas mulai mengambil garpu kecil, lalu memotong pelan kue itu untuk disantapnya.

Kue dengan saus cokelat masuk dalam mulutnya. Ia mengangguk seolah paham dengan rasanya.

"Gimana? Enak enggak?" tanya Gita sangat penasaran, setelah melihat ekspresi Dimas yang cukup meyakinkan.

"As always," jawab Dimas singkat dengan logat Inggris-nya yang bukan main.

"Eleh, sok nginggris lu," ledek Gita tercengang. "Lebih baik untuk hari ini kita jangan mikirin soal berkas CPNS. Siapin aja besoknya. Kamu 'kan harus ngerayain ulang tahun," katanya menyarankan.

"Oke."

Dimas kembali menyeret kotak beralaskan kue itu lalu mengambil bagiannya. Gita bangkit dari kursinya lalu menghilang dari balik muka gorden.

Tak lama kemudian, Gita tergesa-gesa menuju pintu keluar sembari membawa dompet. Rupanya ojek daring yang mengantar makanan untuknya telah tiba dari tadi. Sehingga membuat Gita tak menyadari kedatangan bapak ojek daring tersebut.

"Dimas, tolong bantuin angkat sebagian di luar." Gita bersuara di mulut pintu, kewalahan membawa beberapa bungkusan makanan di kedua tangannya.

Dimas segera berdiri dan mengambil sisa pesanan. Banyak juga. Gita dapat uang dari mana, sampai bejibun?

Sesampainya di dalam rumah, Gita tampak sibuk menyusun makanan yang ia beli. Tak perlu mengeluarkan bungkusannya. Ia capek harus menyediakan piring lagi untuk menaruhnya.

"Sebanyak itu. Apa enggak mubazir?" tanya Dimas, ikut membantu Gita.

"Enggak kok. Cuma melengkapi apa yang kosong. Nanti kalau enggak habis, aku akan bungkuskan untukmu. Biar kamu makan di rumah."

Dimas mengangguk lalu kembali menyusun supaya tampak seperti makan besar.

Hidangan nusantara dan oriental menjadi salah satu obyek penting dalam perayaan ulang tahun Dimas. Dua perbedaan sangat mencolok. Gita suka makanan oriental dan Dimas suka makanan nusantara. Gita sengaja membaginya agar seimbang dengan apa yang mereka makan. Masing-masing menjadi kesukaan mereka.

"Selesai." Gita meregangkan tangannya dan berdecak kagum. "Hebat juga ya kita. Meja makan sebesar ini bisa penuh dengan beberapa makanan yang kubeli."

"Benar. Pantas saja, kamu tidak lupa dengan targetmu untuk menabung," ujar Dimas seolah mengorek momen di mana saat kuliah Gita ingin menyisihkan sisa uangnya ke depan. Tentu saja uang yang ditabungnya dipakai buat merayakan ulang tahun Dimas.

Apa Gita sudah mulai menaruh perasaan pada Dimas? Memikirkan hal itu, membuatnya deg-degan. Menunggu jawaban, benar atau tidak?

"Sebelum kita makan besar, aku cuma mau memberitahu kalau aku sudah membuat soal di laptop Pak Ihsan. Setelah ini, kamu bisa cek-cek," kata Gita mengingatkan.

"Baiklah."

Sendok dan garpu pun diambil mereka dan mencoba menyantap beberapa makanan di hadapan. Seolah tahu apa kesukaan masing-masing, Gita mengambil bihun goreng di sisi kirinya sementara Dimas mengambil ketoprak di sisi kanannya. Mereka kompak memakan santapan favoritnya.

Belum selesai, Gita kembali bangkit untuk mengambil sesuatu di kulkas. Botol minuman cola berukuran satu liter dibawanya keluar beserta gelas plastik.

"Butuh yang segar-segar? Minum ini. Aku baru beli kemarin," kata Gita menunjuk, lalu membuka keras tutup botol tersebut. Kemudian menuangkan isinya ke gelas.

"Makasih," sahut Dimas, menenggak minuman berkarbonasi itu. Walau diterpa efek karbo di lehernya, namun ia tetap meminumnya hingga tandas.

"Maaf, aku mau lagi." Dimas pun ketagihan dan meminta tambah. Gelas kedua cepat dihabiskannya. Ia ingin minta sekali lagi, namun ditahan oleh Gita.

"Segitu doyannya, ya? Aku baru saja segelas. Gimana, sih?" Wanita itu menggerutu. Dimas mengurungkan niat, kembali memakan santapannya.

"Kamu marah?" tanya Gita begitu melihat pria di depannya mengerucutkan bibir.

"Enggak, kok," timpal Dimas.

"Lah terus, kenapa sampai pasang wajah sebal seperti itu? Bilang saja kamu marah."

"Aku enggak bisa banyak minum cola karena jantungku. Jadi dua gelas saja cukup. Sudah? Jangan tanya lagi," ucap Dimas cepat seraya memberi isyarat untuk menghentikan obrolan.

Gita menutup rapat mulutnya kemudian menuangkan cola ke gelasnya hingga botol itu tandas.

Dimas masih melototi Gita. Hadiah yang diberikan belumlah cukup. Ia masih ingin hadiah dari dia.

Walau ingin pun, ia pasti akan kena semprot dari Gita. Ia juga tahu bagaimana sifat Gita yang judes. Makanya ia tak mau macam-macam.

Tangannya masih memegang bagian dada. Hanya ingin memeriksa apa jantungnya sehat setelah meminum cola. Beruntung, jantungnya berdetak dengan baik. Dimas bernapas lega.

"Kamu enggak ke dokter lagi? Buat memeriksa jantungmu?" tanya Gita.

"Enggak perlu. Selama belum parah, aku harus menjaga jantungku. Banyak pantangan yang harus aku hindari."

"Baguslah kalau begitu. Takutnya, kamu drop lagi. Padahal harus daftar CPNS," ujar Gita merasa iba.

"Iya. Aku akan jaga kesehatan. Jangan khawatir."

Raut wajahnya sungguh yakin. Ia ingin terus sehat di mata Gita, juga orang lain. Tak akan mungkin ia rapuh begitu saja. Berbekal usaha saja.

"Ngomong-ngomong, aku ada sesuatu buat kamu. Tunggu sebentar."

Gita buru-buru bangkit dari kursi dan masuk dalam kamarnya untuk mengambil sesuatu. Dimas menerka-nerka. Feeling-nya benar. Ia pasti diberikan hadiah lagi.

Ia menebak bahwa hadiahnya berkaitan dengan pengakuan cinta dari Gita. Ia tahu kalau Gita akan mengungkap perasaannya. Entah itu cincin, bunga, atau lainnya.

Jantungnya kembali bereaksi. Ia tak merasakan sakit, tapi berdetak dengan kencang. Mungkinkah, perjalanan cinta mereka akan segea dimulai?

"Maaf ya, Dimas. Aku kelamaan," ucap Gita cepat sembari merapikan rambutnya.

"Ini ... satu lagi buat kamu." Tangannya menyeret kotak kecil berwarna merah untuk Dimas.

Pria itu mengerjap. "Hadiah apa ini?"

"Aku titipkan padamu. Jangan dibuka sekarang."

Hah? Jangan dibuka? Maksudnya apa?

"Kenapa enggak boleh dibuka?"

"Itu adalah hadiah yang hanya boleh dibuka saat kamu lulus CPNS," jelas Gita membuat Dimas semakin bingung.

"Maksud kamu?"

"Jika kamu bisa lulus berkas, lulus SKD, dan lulus SKB, kamu boleh buka itu. Gimana?"

Dimas mulai meraba kotak kecil yang sudah ia pegang. Kembali membuatnya penasaran. Hadiah apa yang diberikan Gita padanya, sampai harus menunggu waktu untuk membukanya?

"Oke. Kalau itu memang mau kamu, aku akan buka ketika lulus CPNS. Tapi, kamu banyak berdoa. Supaya aku bisa lulus."

"Dengan banyak usaha juga, Dimas," sambung Gita.

Dimas mengangguk pelan, memahami.

Perasaannya kini menggebu-gebu. Apa sebenarnya isi di dalam kotak kecil itu? Mungkin saja kalung, atau jam tangan. Secara ukuran kotak itu tidak besar.

"Makanlah. Nanti dikerumuni lalat lagi," pinta Gita kemudian mengambil sendoknya kembali. Demikian juga Dimas.

* * *

7 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top