Bab 6

* * *

November 2019

"Assalamualaikum, Pak Ihsan," sapa Dimas sambil mencolek pria berkumis yang sedang duduk memandang laptopnya.

"Oh. Waalaikumsalam. Silakan duduk, Pak Dimas."

Mereka berdua duduk berhadapan. Dimas kebingungan melihat Pak Ihsan yang berkutat pada laptop miliknya, beserta dokumen-dokumen di sekitarnya.

"Pak Ihsan ngapain?" tanya Dimas linglung.

"Lagi buat soal Matematika. Sudah hampir selesai."

Dimas bermanggut. "Oh ya, pak. Tugas apa yang harus saya kerjakan? Apa berkaitan dengan buat soal juga?" tanyanya penasaran.

"Betul sekali," jawab Pak Ihsan membenarkan. Ia menghentikan aktivitas mengetiknya sejenak. "Mumpung sebentar lagi akan ujian semester. Jadi bapak buat soal Bahasa Indonesia dan Seni Budaya. Untuk Matematika, IPA, dan IPS sudah saya buat. Tinggal bapak yang buat."

Hmm, mudah juga sih.

"Baiklah, pak. Kalau bisa, dikasih deadline, kapan ya?"

"Sebisa mungkin, awal Desember. Karena 'kan waktu segitu sudah ujian. Jadi, bapak harus menyelesaikannya sebelum bulan itu," jelas Pak Ihsan, dibalas anggukan dari Dimas. "Bagaimana? Setuju?"

"Baik. Siap, Pak Ihsan," sahut Dimas semangat. Kemudian mengajak rekan sejawatnya untuk saling jabat tabgan, tanda menyetujui permintaan Pak Ihsan.

"Oke, laptopnya saya langsung serahkan ke bapak. Dan silakan mengerjakan."

Laptop milik Pak Ihsan diputarnya menghadap Dimas untuk melakukan tugasnya.

"Jangan dikembalikan laptopnya sebelum selesai," pinta Pak Ihsan membuat Dimas mengernyit dahi.

"Loh, ini 'kan laptop Pak Ihsan. Kenapa enggak dikembalikan?"

"Biarkan saja. Saya membuat soal di laptop satunya. Jadi jangan panik."

Dengan wibawa, Pak Ihsan berdiri dari tempat duduknya sembari mengangkut tas punggungnya.

"Saya pergi dulu, ya," pamitnya lalu menepuk pundak Dimas sebagai tanda persahabatan.

Sekarang Dimas sendirian. Di tengah-tengah kerumunan orang yang sedang bersantai menyantap makanan dan minuman kesukaan.

Mejanya memang dibentuk kecil, khusus pengunjung yang tidak datang lebih dari dua orang. Maka, Dimas pun meregangkan tangannya juga kepalanya untuk membuat soal.

Sembari mengeluarkan buku-buku referensi, ia memikirkan soal apa yang cocok dikerjakan untuk para siswanya. Bukan soal yang diharuskan mencontek, melainkan bisa dikerjakan sesuai apa yang telah diajarkan.

Setiap akhir tahun, guru-guru memang harus menghadapi pembuatan soal yang bisa dikatakan gampang gampang susah. Dimas juga merasakan hal tersebut.

Dengan ketikan cepat, ia pun bisa menciptakan soal Bahasa Indonesia sebanyak tiga nomor. Dalam hatinya ia bersyukur. Setidaknya ia dapat menggunakan kepintarannya membuat soal. Otaknya kuat dalam Bahasa Indonesia, makanya ia ingin membuat soal yang tidak terlalu susah dan tidak terlalu gampang.

Butuh waktu sejam atau dua jam, Dimas bisa membuat soal Bahasa Indonesia dan Seni Budaya. Itu pun termasuk pilihan ganda dan essay. Jenius.

Baru saja dirinya bernapas lega dan bangkit untuk memesan minuman, tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu yang membuatnya sakit. Tepatnya di bagian dada.

Tangannya meremas sebelah kiri dadanya, sambil meringis kesakitan. Ia merasa ingin menjatuhkan badannya ke lantai, namun ia tak mau mencari perhatian orang-orang dan memilih bertahan dengan menyangga tangan sebelahnya di kursi.

Kondisinya pucat pasi. Tetapi lagi-lagi ia berlagak seolah kuat di depan orang-orang.

Tenang, Dimas. Jangan gampang lengah. Jangan lemah.

Kata-kata yang diucapkan dalam hati mendorongnya untuk tidak pingsan.

Namun sayang, pertahanannya rubuh dan spontan ia ingin menjatuhkan dirinya ke lantai.

"Astaga! Dimas!" teriak seorang wanita berkulit sawo matang, melangkah cepat menolong Dimas yang nyaris saja pingsan.

"Dimas. Kamu kenapa? Kok kamu pucat gini, sih?" tanya wanita itu seraya memposisikan kepala Dimas ke tangannya.

"Git ... Gita?" panggil Dimas lemah, memanggil nama wanita yang menolongnya.

"Ini aku. Gita." Wanita itu mengkonfirmasi. "Kamu kenapa sebenarnya, Dimas? Kondisi kamu lemah."

Dimas hanya menyeringai pelan, seolah mendapat ketenangan. Bertemu seorang Gita, hidupnya bahagia.

Beberapa detik ia tertawa pelan, sekejap kemudian ia pun memejamkan mata. Tak tahan dengan rasa sakit yang mendera di bagian dadanya.

* * *

Dimas mendapat perawatan intensif di rumah sakit. Gita membawa Dimas sendiri ke rumah sakit. Sehingga saat Dimas bangun, ia heran dengan bau obat-obatan di sekitarnya. Infus di bagian tangan tertancap dengan baik. Ia merasa pusing ketika membangkitkan kepalanya dari bantal yang ditidurinya.

"Jantung kamu melemah," sahut seorang wanita yang membuka pintu ruang VIP. "Aku susah payah membawamu ke RS. Memangnya kamu punya penyakit bawaan?"

Dimas menoleh, memandang Gita yang membawa bubur dan teh hangat untuknya.

"Jangan diam. Jawab dong pertanyaanku," kata Gita mendesak, lalu duduk di kursi bulat samping ranjang brankar.

"Aku memang punya penyakit bawaan. Dari ayahku. Sejak umurku 19 tahun, jantungku hampir saja drop dan nyaris meninggal. Akhirnya jalan satu-satunya ya dioperasi. Entah mengapa, penyakit jantungku kambuh lagi. Apa karena aku teringat mendiang ayah ya?"

Gita memperhatikan cerita Dimas, sembari menggenggam punggung tangan pria itu. "Untung saja aku ada di situ, ya, Dimas. Kalau enggak, bisa-bisa kamu sekarat lagi."

Dimas hanya tertawa pelan mendengar ucapan Gita.

"Makanya, jaga kesehatan. Kalau bisa, jangan paksa untuk bekerja. Memangnya kamu suka kerja beginian? Kerja soal seperti itu, kamu suka?" Gita seolah memarahi Dimas karena kasihan melihat sahabatnya terus dipaksa bekerja.

"Tapi, aku suka karena aku ingin soal buatanku dikerjakan mudah oleh anak-anak. Tanpa pakai contekan lagi," ujar Dimas jujur.

"Kamu juga harus tahu penyakitmu sendiri. Apa sebelumnya kamu periksa ke dokter?"

Dimas menggeleng. "Belum. Aku yakin kalau aku sehat. Saat aku dioperasi empat tahun lalu, aku merasa baik-baik saja."

"Tapi kita tidak tahu suatu saat nanti. Aku enggak bisa kamu cepat menyusul."

"Maksudnya mati?"

"Ish, Dimas! Kamu takut-takutin aja!" Gita langsung mendaratkan pukulannya ke lengan Dimas. Khawatir dengan kondisi sang sahabat.

"Segitu cemasnya kamu sama aku?" tanya Dimas penasaran.

"Iya. Kita ini rekan sejawat, Dimas. Aku saja enggak buat soal sebanyak itu. Paling Matematika doang, untuk kelas 1. Habis itu disalin berapa rangkap sesuai jumlah anak-anak muridku."

"Kamu mah mudah. Statusmu tetap di sekolah. Sementara aku ..."

"Husssttt!" Gita menyodorkan telunjuknya ke mulut Dimas, mengisyaratkan untuk diam. "Kamu enggak usah bilang begitu. Kalau kita usaha sama-sama, maka pasti kamu bisa seperti aku."

Gita melanjutkan ucapannya sembari mengaduk-aduk bubur milik Dimas. "Makanya, kenapa kamu lost contact setelah kita wisuda? Memangnya enak kamu berjuang sendiri? Tanpa lihat-lihat siapa yang membantu kamu saat kuliah?" ujarnya menyudutkan dirinya.

"Nih, makan dulu sesuap."

Dimas membuka mulutnya begitu Gita menyuap bubur plain itu. Sebenarnya Dimas merindukan onigiri yang pernah ia makan, namun karena kondisi dan hanya ada makanan rumah sakit, jadi ia makan seadanya saja. Lagipula demi kesembuhannya juga.

"Enak," puji Dimas.

"Enak darimananya? Bubur biasa ini kamu bilang enak?" ucap Gita terkekeh.

"Maksudnya kalau disuap Gita, terasa enak." Dimas mengungkap, membuat Gita mengerjap beberapa kali.

Apa Gita salah dengar? Dimas bilang begitu ke dia? Tanpa basa-basi?

"Ya iyalah. Kalau aku yang suap, enak rasanya. Biar kukasih lalapan pun, akan terasa enak di mulutmu begitu kusuap," oceh Gita membuat Dimas sukses tertawa tanpa membuka mulut.

"Bisa aja kamu."

Tangan Gita meraih tas punggung milik Dimas yang sudah diangkut laptop Pak Ihsan. Kemudian ia keluarkan dan menaruhnya di kedua pahanya.

"Kamu mau ngapain?" tanya Dimas heran.

"Sebagai gantinya, aku akan kerjakan soal untukmu. Kamu enggak usah kerja dulu. Serahkan saja sama yang ahli," ujar Gita memasang ekspresi layaknya seseorang yang hebat. "Ingat 'kan, aku bisa membantumu kapan-kapan. Aku juga akan membantu untuk belajar CPNS. Dan berjuang."

Dimas mengangguk paham. Ia serahkan saja semuanya pada Gita, daripada takut pekerjaannya semakin mendekati deadline.

"Ngomong-ngomong, aku buat soalnya sembarangan, boleh? Aku cari-cari referensi di buku cetak yang kamu punya." Gita meminta izin.

"Silakan. Kalau kamu mau. Nanti pas aku sudah sembuh, aku bisa ubah lagi. Toh, kamu 'kan hebat."

Gita tersenyum tipis mendengar pujian sang sahabat. Kemudian mulai bekerja dalam posisi laptop ditaruh di paha. Tidak masalah buatnya. Meja tidak dibutuhkannya. Ia fokus mengerjakan soal di laptop.

"Ngomong-ngomong, pekan depan ulang tahun aku. Kamu ingat 'kan?"

Tampaknya Dimas menginginkan Gita di hari spesialnya. Makanya ia mengucapkannya tanpa malu di hadapan wanita itu.

"Aku ingat dong. Masa enggak ingat?" ujar Gita membuat Dimas bernapas lega. Setidaknya Gita ingat dengan hari ulang tahunnya.

"Mau bawa kado apa nanti?" tanya Dimas seolah memberikan kode.

"Ah, bawel banget sih. Pekan depan juga nanti kamu tahu. Aku enggak perlu bocorin sekarang. Takutnya bukan kejutan lagi," ucap Gita bersungguh-sungguh, tidak sedang dalam mode bercanda.

Dimas bermanggut. "Benar juga. Kamu benar."

Obrolan mereka terhenti saat perawat wanita masuk untuk mengganti infus Dimas yang segera habis. Tahu juga perawat itu. Padahal Dimas hampir saja menyuruh Gita memanggil perawat untuk mengganti infusnya.

Dimas mendadak pesimis. Apakah nanti di hari ulang tahunnya, ia akan merayakannya di rumah sakit lagi? Takutnya ia bakal dirawat selama seminggu atau dua minggu.

Namun ia harus menyingkirkan pikiran negatifnya. Ia harus berpikir positif. Ia adalah orang yang sehat. Tidak sakit-sakitan.

"Oh iya, Dimas. Aku boleh bawa pulang laptop ini? Soalnya lebih enak kalau dikerjakan di rumah," ucap Gita kembali meminta izin.

"Tapi, laptop itu bukan punyaku. Punya Pak Ihsan."

"Enggak apa-apa. Mau punya siapa kek, punya adek kamu kek, enggak masalah."

Jujur, Gita sangat berpotensi untuk menjadi pendamping hidup Dimas. Buktinya, dia sangat terbuka bila dimintai bantuan. Bahkan, dia tidak mempermasalahkan hal yang membuat Dimas khawatir.

"Boleh, kan?"

Dimas berdeham sebentar, menimbang. Kalau ditolak, pasti Gita tetap akan mengerjakan soal untuknya, tidak peduli tempat atau situasi.

"Boleh. Tapi jangan dirusak ya. Soalnya bukan punyaku," kata Dimas memperingatkan.

"Jangan berpikir seperti itu. Masa mau kurusakin? Pak Ihsan teman aku juga," ujar Gita yakin. Dimas hanya mengangguk.

Pria itu kembali merasakan jantungnya sakit. Namun hanya sakit ringan saja, sehingga bisa ia tahan.

Sekejap sakit itu kembali reda. Ia bernapas lega. Setidaknya sakitnya bukan seperti tadi. Yang membuatnya nyaris meninggal.

"Gita. Kamu pulanglah. Jam besuk sudah mau habis," pinta Dimas sembari memperbaiki selimutnya supaya menutupi tubuhnya dengan baik.

"Aku tahu. Ini baru mau beres-beres," ujar Gita tergesa, sambil memasukkan laptop Pak Ihsan ke tas punggung milik Dimas.

"Sekalian kubawa ini. Enggak apa-apa, kan?" Gita menunjuk tas punggung abu-abu kesayangan yang selalu dibawa Dimas mengajar.

"Silakan. Enggak apa-apa. Bawa saja."

Gita tersenyum lalu melangkah maju, mendekati Dimas.

"Semoga cepat sembuh, ya, Dimas."

* * *

6 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top