Bab 5
* * *
Rumah minimalis berlantai dua adalah tempat tinggal Gita di Sumedang. Jaraknya agak jauh memang dari SDN 003, tapi karena berbekal skill mengemudi yang cukup hebat membuat mobil matic abu-abunya menjadi transportasinya sehari-hari.
Sekarang Gita harus memarkirkan mobil miliknya ke garasi rumah.
Dimas sendiri takjub melihat seisi rumah yang serba hitam dominan putih. Sekitar teras dikelilingi tumbuhan hijau yang menarik. Terlebih saat melihat eksterior depan pintu, ada tangga kecil yang menuntunnya masuk ke dalam rumah Gita.
"Yuk, kita masuk," ajaknya kemudian mereka berdua menaiki tangga kecil, memasuki rumah cantik miliknya.
Dimas pun menjatuhkan bokongnya ke sofa panjang berwarna abu-abu.
"Mau kuambilkan apa?" tawar Gita.
"Emm ... terserah. Aku 'kan hanya ingin mengobrol sambil melepas rindu," ujar Dimas.
"Baiklah. Tunggu dulu ya. Kamu duduklah dengan nyaman."
Dimas masih melihat Gita yang sedang mengikat rambutnya. Apa jangan-jangan, dia akan memasak?
Jujur, kedatangan Dimas ke rumah Gita bukan semata-mata berkunjung, melainkan ingin mengungkapkan perasaan yang sudah lama tertahan. Ia tak mau membohongi hatinya lagi. Sudah saatnya mengatakan kebenaran, bahwa ia menyukai Gita.
Entah mengapa saat Dimas meminta izin ke rumahnya, Gita mau-mau saja. Belum pernah sebelumnya ia menerima tamu. Ia diamanahkan kedua orang tuanya untuk menjaga rumah dengan baik. Gita punya dua rumah, dan yang ditempatinya sekarang adalah rumah pemberian kedua orang tua saat kuliah dulu.
"Silakan dimakan."
Sosok Gita pun muncul dari balik gorden yang menutupi. Ia membawa nasi goreng sawi putih beserta es teh. Kesukaan Dimas tentunya.
"Aku campurkan enam sendok makan sambal tumis, khusus buat kamu." Gita menjelaskan sembari duduk di sofa single setelah menyajikan masakan buatanya.
"Tidak perlu repot-repot, Git," ucap Dimas merasa tak enak.
"Jangan begitu, Dimas. Kamu baru sembuh dari sakit, makanya aku buatin nasi goreng enak. Lagipula, kamu baru pertama berkunjung ke sini."
"Benar juga ya. Rumah orang tua kamu bagus. Tapi, kok hening ya di sini? Orang tuamu mana?"
"Emm ..." Gita berdeham sebentar sebelum melanjutkan ucapannya. "Orang tuaku sudah balik ke kampung halaman. Tadinya sih ini rumah bakal dikunci dan disuruh pulang, tapi aku enggak tega dan telanjur diterima di SDN 003 juga. Alhasil, aku disuruh menjadi wanita mandiri di sini."
Dimas bermanggut. "Kamu hebat juga ya. Seorang Gita bisa menjadi mandiri, demi meniti karier sebagai guru," ucapnya tersenyum bangga.
"Bisa aja pujiannya. Mendingan makan tuh nasi gorengmu. Jangan serius-serius pandangnya, ini bukan Master Chef."
Gita terkekeh, lalu berlagak seperti menunggu penilaian dari juri, duduk dengan mengangkat satu kakinya menumpu pahanya. Dimas tersenyum kecut, kemudian menyuap nasi goreng itu sesendok.
Dari kelihatannya, sangat merah. Perpaduan antara saus tomat dan sambal tumis menonjol di antara nasi goreng. Tampak biji cabe serta sawi putih melengkapi sajian sejuta umat itu.
"Gimana, Dimas? Enak?"
Mulutnya mengunyah dan menimbang baik rasanya.
"Enak. Garamnya terasa, sambal tumisnya terasa, sama sawi putihnya lezat kalau dijadikan lalapan. Lebih bagus kalau ada ayam goreng sebagai teman makan. Walau ada kerupuk sih di pinggirnya."
Gita tahu betul kesukaan Dimas. Namun baru mengetahui fakta bahwa Dimas juga suka ayam goreng.
"Baiklah. Kapan-kapan, kalau buat nasi goreng lagi, aku kasih ayam goreng. Jika bisa, tambah nugget biar tambah enak," usul Gita, menyodorkan satu jempolnya.
Dimas menatap Gita sebentar. Sungguh, rambut hitam lebat yang dimiliki gadis itu membuatnya jatuh hati. Apalagi, perawakannya yang seperti wanita kantoran. Padahal pekerjannya mendidik anak-anak gemas berusia 6-7 tahun saja.
Istri idaman, nih. Batin Dimas tak menyadari.
"Oh iya, aku mau ngomong sesuatu sama kamu ..."
"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu ..."
Mereka berdua mengucap kalimat itu bersamaan. Membuat mereka salah tingkah.
"Ladies first. Kamu saja dulu," kata Dimas mempersilakan.
"Dimas. Tahu 'kan, kita berdua bersahabat sejak masuk semester 3 dahulu. Sebelum bertemu kamu, aku tidam punya sahabat akrab. Yah, teman-teman SMA yang ikut sama aku, lebih memilih teman barunya daripada aku. Makanya, kamu ... bisa membuat hariku cerah, bila ada kamu. Bahkan saat aku diterima sebagai guru tetap, kembali lagi aku tidak punya teman. Faktornya bukan karena mereka benci sama aku, tapi aku enggak nyaman aja dengan mereka."
Meski menyimak, hati Dimas tetap membatin.
Apakah dia pendamping hidup yang selama ini kucari?
"Aku baru tahu dari Fuad, kalau kamu jadi guru honorer hampir setahun yang lalu. Pasti berat ya? Mengajar seluruh pelajaran pada anak-anak kelas IV?"
Dimas tersenyum tipis, lalu berkata. "Memang berat. Tapi, kamu 'kan lebih berat juga. Mengajar anak-anak kelas I. Bukan sekadar memberikan materi, tapi membimbing mereka supaya disiplin."
Ucapan Dimas benar. Gita saja sampai kewalahan mendisiplinkan anak-anak muridnya. Bahkan sebelum jam pelajaran, harus berbaris di depan kelas terlebih dulu. Namun Gita bekerja dari niat, makanya ia cepat melupakan kegundahannya di hari pertamanya mengajar.
"Pokoknya sama-sama berat lah. Bukan cuma guru, pekerjaan lain juga," kata Gita menyimpulkan.
"Namun, jika terbiasa, pasti enggak akan terasa berat," tambah Dimas, diikuti anggukan setuju dari Gita.
"Kalau kamu, mau bilang apa?"
Giliran Dimas untuk mengucapkan sesuatu pada Gita. Jujur, ia kehilangan kata-kata sejak meminta Gita bicara duluan. Ia bingung merangkai ucapan.
"Kenapa, Dimas? Katanya ingin bilang sesuatu," tanya Gita menaikkan satu alisnya, penasaran.
Aku suka sama kamu ...
"Ehh, aku sungguh tidak tahu maksud kamu apa barusan. Apa selama ini kamu mencariku? Bahkan di saat kita berpisah, kamu sering mencari keberadaanku?"
"Kamu tahu sendiri ... aku enggak punya siapa-siapa sejak kita berpisah di acara wisuda. Aku berjuang sendirian. Daftar CPNS sendirian, ikut ujian sendirian. Pokoknya aku cuma dapat dukungan dari keluarga saja. Sahabat enggak."
"Tapi kamu lulus CPNS."
"Benar, Dimas. Makanya, aku membutuhkanmu kembali sebagai sahabat. Setidaknya sama saat kita kuliah."
Gita kini mendekati Dimas, duduk berdekatan dengannya.
"Aku akan membantumu supaya kamu bisa ikut CPNS tahun ini. Setidaknya kamu juga harus jadi guru tetap. Sama kayak aku," kata Gita tulus memegang punggung tangan Dimas.
Pria itu seketika pangling. Melihat kecantikan Gita dari dekat. Riasan natural tanpa menor. Khas sekali.
Tanpa disadari, Dimas mulai memajukan kepalanya, mempersiapkan bibir miliknya untuk mengecup bibir merona Gita.
Wanita itu justru menerima apa yang Dimas lakukan padanya. Ia memejamkan mata. Demikian juga Dimas.
Perasannya tak dapat ditahannya. Ia harus melakukannya. Setidaknya meresmikan hubungan mereka.
Dimas semakin intens mendekati Gita. Bibir mereka akan bertabrakan.
Sebagai seseorang yang bertepuk sebelah tangan, Dimas langsung beraksi duluan dan mengecup bibir milik Gita. Hanya mengecup.
Dimas tidak ingin melahap bibir merona itu. Kecuali kalau mereka sudah berada di zona halal, pastinya ia bebas melakukan apa pun pada Gita.
"Aku tunggu bantuan kamu," ucap Dimas singkat, menerima tawaran Gita.
"Ba ... baiklah." Gita terbata-bata kemudian mengambil nasi goreng milik Dimas untuk ia bungkus.
"Sebaiknya kamu pulanglah, Dimas. Aku akan bungkuskan ini untukmu supaya bisa kamu makan di rumah."
Dimas mengangguk. Kembali merileksan diri di sofa.
Tindakannya tadi semata-mata hanya meluapkan perasaan. Beruntungnya Gita menerima. Baru pertama bertemu, ia merasa bahwa Gita telah peka padanya. Namun ia belum tahu, apa benar demikian atau tidak.
* * *
Empat bulan kemudian ...
Seperti biasa, Dimas datang ke sekolah dengan pakaian putih hitam. Ia menyapa rekan-rekan sejawatnya saat memasuki ruang guru.
Dimas duduk di meja paling belakang, dekat jendela. Tak jarang ia mendapat sinar matahari pagi karena membelakangi jendela. Bahkan setiap pagi ia harus menarik tirai jendela supaya menutupi dirinya. Bukan karena tidak ingin kena sinar matahari, melainkan cahaya yang terlalu terang menganggu pekerjaannya.
Ia mengeluarkan beberapa buku cetak berbagai pelajaran sebagai referensi materi mengajarnya. Ia masih punya beberapa hari sebelum ujian akhir semester dimulai. Maka, ia berniat untuk memberikan tugas merangkum materi yang telah ia ajar berbulan-bulan lalu. Bukan hanya Bahasa Indonesia, tapi pelajaran lainnya seperti Seni Budaya, IPA, IPS, dan Matematika.
Pria berperawakan tinggi kurus menghampiri Dimas yang sedang menulis sesuatu di kertas. Ia menjentikkan jarinya, membuyarkan konsentrasi Dimas.
"Hei," sahutnya tersenyum.
"Oh, Pak Ihsan? Ada apa, pak?"
"Gini ... saya ada pekerjaan buat bapak. Tapi saya enggak bisa kasih tahu di sini sekarang."
"Pekerjaan apa ya, pak?" tanya Dimas telanjur penasaran.
"Nanti saya kasih tahu. Pokoknya datanglah ke tempat ini. Jam 3 sore kita ketemu."
Dimas disodorkan kertas kecil bertuliskan nama tempat mereka akan ketemu beserta alamat.
Kafe, tentu saja menjadi tempat santai Pak Ihsan sekaligus memberikan pekerjaan untuk Dimas.
Dimas sendiri menebak, pekerjaan apa yang akan ia lakukan? Tentunya ia sudah tahu.
* * *
5 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top