Bab 3

* * *

Juli 2018

Dimas Putra Abdullah, S.Pd. Ah, rasanya bagaikan mimpi. Gelar itu sudah disematkan pada nama indahnya. Setelah empat tahun lamanya belajar di jurusan PGSD, ia pun sudah bisa melamar pekerjaan sebagai guru di sekolah yang ia inginkan.

Setelah selesai acara, semua wisudawan dan wisudawati masih berkumpul di luar gedung hanya untuk menyapa sanak keluarga mereka. Dimas juga demikian. Ada sang ibunda, juga adik-adiknya, Yahya, Heri, dan Uti. Semuanya datang memberi ucapan selamat.

Senyum merekah tak hilang dari wajah tampan Dimas. Matanya menyipit saat tersenyum. Itulah keistimewaan pria yang sudah menginjak usia 21 tahun tersebut.

Gadis dengan riasan natural tanpa menor berjalan berpapasan dengan Dimas. Membuat fokusnya teralihkan. Gita sedang menuju kantin. Rasanya ingin menyapa gadis itu. Hanya sekadar mengucapkan salam perpisahan sebelum mereka benar-benar tidak bisa bertemu.

"Bu, aku izin ke toilet dulu ya. Sebentar saja," kata Dimas pamit, buru-buru mengikuti jejak Gita yang belum hilang.

Jarak antara gedung utama kampus dengan kantin agak jauh, terlebih harus menembus kerumunan orang-orang. Sehingga Dimas kewalahan mengejar Gita. Mereka sama-sama mengenakan seragam toga.

Kantin berkonsep food court adalah tempat yang disinggahi Gita. Dari beberapa kantin yang tersedia di berbagai fakultas di Unpad, hanya kantin itulah kegemaran para mahasiswa.

Dimas sampai ngos-ngosan saat tiba di kantin tersebut. Demi gadis impiannya, ia sampai rela keluar peluh di sekujur kening, bahkan mungkin sampai di sekitar leher.

"Dimas?" panggil Gita terkejut, sambil membawa bakso dan kerupuk pangsit di atas nampan. "Ngapain kamu ke sini?"

Napasnya terus memendek. Ia berusaha untuk berucap. "Aku mengejarmu sampai sini. Lagipula aku mau makan juga."

"Ya ... ya udah, kamu pesan makanan sana," kata Gita mengerjap lalu mencari tempat duduk.

Rasanya susah menemukan kursi kosong. Semua dipenuhi para keluarga wisudawan maupun wisudawati. Acara wisuda memang sudah menjadi tradisi, bakal penuh dengan sanak keluarga.

Tapi untungnya Gita melihat dua kursi kosong di pojok. Ia duduk di sisi kiri meja, berseberangan dengan satu kursi lainnya di hadapan.

Aroma bakso hangat mengepul saat Gita mengaduk hidangan miliknya. Jadi ingin menyantapnya cepat. Mie kuning dan sayuran hijau serta kuah pekat oleh kecap dan sambal membuat perut Gita keroncongan. Segera, sendoknya beraksi, mengambil mie kuning dengan kuah untuk dicicipinya dulu.

Belum juga sampai di mulutnya, ia terkejut saat nampan menghentak pelan meja yang ditempatinya. Dimas memesan nasi goreng Jakarta plus kerupuk pangsit. Yang berbeda darinya, Dimas langsung melepas seragam toganya dan hanya memakai kemeja putih polos lengan panjang serta celana kain hitam panjang. Toganya dikemas dalam kantong plastik besar.

"Aku boleh duduk di sini, kan?" Dimas meminta izin. Gita tak merespon, namun kursi kosong tadi telah diduduki oleh pria pendek itu.

"Kamu keringetan tuh." Gita memperingatkan. Sedari tadi ia melihat kemeja pria itu basah oleh keringat sehingga singlet yang dipakai Dimas terlihat.

"Nih, tisu buat kamu. Seka tuh yang bagian leher. So disgusting."

Dimas tertawa pelan mendengar ledekan Gita, alih-alih tersinggung. Memang dia baru sadar banyak keringat yang mengganggunya. Hingga, ia mengambil dua lembar tisu kering pemberian Gita, lalu disekanya perlahan.

"Lagipula, kenapa kamu ngikutin aku sampai di sini? Harusnya kita bisa ketemu pas aku udah selesai makan," gerutu Gita memainkan sendoknya, menunjuk Dimas.

Kembali, Dimas tertawa. Seolah malu siapa orang yang berhadapan dengannya.

"Lho, malah ketawa. Kamu kenapa sih, Dimas?"

"Enggak, cuman ... aku senang aja." Dimas masih tertawa cengengesan. Membuat Gita hanya menggaruk-garuk kepala bingung.

"Senang kenapa?" tanya Gita kembali.

"Senang ... karena habis wisuda. Seolah bebanku lepas semua, tinggal nyari pekerjaan aja," jawab Dimas santai. Padahal sebenarnya bukan itu yang membuatnya senang.

"Hmm, kirain," sahut Gita lega, sambil melahap bakso bulatnya. "Jadi, kamu mau melamar di sekolah mana?" tanyanya lagi. "Jangan bilang, kamu mau mengajar di Polman, kan? Kampung halaman kamu?"

Dimas mengabaikan gadis bertoga di depannya, memilih menyantap nasi gorengnya karena lapar.

Namun tak lama, ia menanggapi. "Sebenarnya sih iya. Tapi, aku berpikir ingin mengajar di sekitar Jatinangor, atau di Bandung mungkin."

"Enggak rindu keluarga? Kalau ngekos, gimana? Nyusahin orang tua kamu lagi."

"Bukannya enggak rindu, Gita. Cuma, aku ingin aja gitu. Bagaimana ngajar di luar kota?"

"Berarti kamu niatnya jauh dari keluarga, dong." Gita berspekulasi. "Mentang-mentang di sini banyak sekolah swasta, kamu jadi ingin melamar di sana."

"Walau demikian, aku mau melamar di sekolah negeri. Siapa tahu saja 'kan, rejeki aku nanti di sana, jadi guru tetap."

"Mau ikut CPNS?"

"Iya, tapi tunggu sampai persiapan aku matang lah." Dimas menutup obrolan, kembali menyantap nasi gorengnya.

Gita juga demikian. Refleks tangannya bergerak mengaduk baksonya kemudian melahap mie kuning yang sudah hampir habis. Ia terus menyeruput kuah bakso miliknya, sangking enaknya.

Mereka berdua makan dengan tenang. Dimas semakin tidak karuan melihat kecantikan Gita. Mungkin karena pengaruh riasan. Aslinya tidak kinclong-kinclong amat.

Tapi sungguh, dari dalam hatinya mengatakan, Gita adalah bidadari cantik. Dewi cinta lebih tepatnya. Bagaimana caranya merebut hati gadis yang setengah baik setengah jutek? Empat tahun jadi sahabat, siapa tahu saja tidak lama lagi dia akan menjadi pacarnya Gita. Bahkan, menjadi istri seorang Gita.

Bayangkan saja, Dimas memiliki beberapa teman di kampus, tapi tidak se-humble Gita. Gadis beranjak dewasa itu selalu menemani Dimas di manapun dan kapanpun. Pantas saja dia sampai jatuh hati.

Namun ia justru penasaran. Apa Gita tahu perasaan Dimas? Apa Gita akan peka pada Dimas?

Tidak perlu dijawab. Ia simpan saja sebagai 'kapsul waktu'. Siapa tahu suatu saat nanti bertemu dengan Gita, ia bisa melemparkan kedua pertanyaan itu.

"Dimas, ayo. Kita pergi," ajak Gita, menutup sajian dengan cola float.

Dimas mempercepat makannya karena sudah hampir setengah.

"Sudahlah, Dimas. Jangan buru-buru. Aku belum pergi beneran, kok," pinta Gita terkekeh, membuat Dimas tersedak memukuli dadanya.

"Minum dulu." Ia memberikan segelas air putih pada Dimas. "Makanya jangan tergesa-gesa. Tuh, kan, jadi tersedak."

Jakunnya bergerak saat cairan alami itu masuk dalam tenggorokannya. Ia merasa segar karena pemberian Gita adalah air mineral dingin.

"Ayo, Git." Dimas berdiri, mengajak Gita minggat dari kantin.

Gita ikut berdiri dan mereka pun berjalan beriringan, entah ke mana.

Dimas tak mau kembali ke keluarganya dulu sebelum membuat momen tak terlupakan bersama Gita. Agak berlebihan memang, tapi dia tidak tahu apa bisa bertemu Gita suatu saat nanti. Apa mungkin dia tak akan bertemu gadis itu lagi, untuk waktu yang lama? Ah, jangan deh.

Ia melihat mataharinya sedang memandang taman kampus. Gita bagaikan matahari karena setiap pertemuan pasti membuat hati dan mood-nya cerah. Berharap suatu saat dia bisa mengisi hati seorang Gita.

Tangannya nganggur, nih. Batin Dimas melihat ke bawah, tangan putih milik Gita tidak dipegang siapa-siapa. Belum terbesit di pikirannya untuk memegang tangan itu. Namun niatnya mantap.

Secara tak sadar, Dimas menggenggam hangat tangan Gita. Respon gadis rambut hitam tersebut biasa saja. Malah disambut baik oleh Gita sendiri.

Tidak ada ucapan atau obrolan di antara mereka. Hanya menikmati pemandangan indah di sekitar kampus.

Dimas tak lepas dari harapannya pada Gita. Ia sangat ingin bekerja satu tempat dengan gadis itu. Perasaannya tentu masih sangat menggebu-gebu. Ia menyimpan baik-baik hatinya, dan akan diberikan pada Gita suatu saat.

Semoga ada harapan lah. Dimas membatin singkat, sebelum ia melepas genggaman tangan Gita.

"Maaf ya Git. Aku harus pulang, nanti dicari ibuku," kata Dimas begitu sampai di depan gedung.

"Oh, baiklah. Mumpung aku juga ada kesibukan."

Dimas benar-benar melepas tangan Gita darinya dan menjauh.

"Dimas, tunggu." Gita memanggil. Pria itu menoleh ke belakang, melihat gadisnya untuk terakhir kali.

"Semoga sukses ya. Mau di kampung halaman atau di luar kota, semoga kamu bisa hidup lebih baik lagi."

Dimas tersenyum. Benar-benar membuat hatinya berbunga-bunga. Sungguh, ucapan Gita membuatnya terdorong untuk berusaha.

Akan tetapi, berat juga berpisah dengan Gita. Setelah mendapat gelar yang diimpi-impikan, harus melepas sahabatnya menuju dunia kerja. Tentu ia tahu Gita akan menjadi guru, namun sekolahnya saja yang masih samar-samar.

"Dimas, ayo!" Ibunya mulai memanggil. Ia berbalik lalu melangkah pelan.

Seperti drama-drama dengan adegan slow motion, Dimas berjalan perlahan meninggalkan Gita yang juga pergi berlalu.

Bruuuhh!! Lebay banget.

Dimas segera mengkondisikan dirinya dan menyapa ibunya seperti biasa.

Ia membawa seragam toga yang dilepasnya tadi. Di siang hari, matahari sangat terik. Menyinari dirinya juga keluarga.

Membuatnya takut kalau kemeja putih kesayangannya akan bau keringat. Padahal baru ia beli untuk persiapan wisuda.

Sudahlah, yang penting ia bisa beristirahat sejenak. Mengumpulkan tenaga untuk mengirim CV dan ijazahnya ke beberapa sekolah dasar, baik di Sumedang maupun Bandung. Tidak peduli swasta maupun negeri, ia tetap bisa mengajar kepada anak-anak yang membutuhkan.

* * *

Satu tahun kemudian ...

Seorang pria membuka lemari platinumnya. Mencari keberadaan seragam yang akan dipakai hari ini.

Badannya masih tertutupi singlet. Namun ia tergesa-gesa mencarinya. Hingga, ia pun menemukan seragam warna krem lengkap dengan celananya.

Seragamnya sangatlah lengkap. Meski menjabat sebagai guru honorer, pihak sekolah berbaik hati memberikan nametag dan kartu identitas untuk disematkan pada seragam kesayangan.

Ia tinggal menyisir rambut klimisnya yang masih basah. Memakai pomade buat menyempurnakan penampilan. Setelah itu, ia mengambil tas samping sederhananya. Simpel tapi modis. Makna dari penampilannya.

Kos dengan unit 310 masih ditinggalinya sampai sekarang. Ia belum memikirkan ingin pindah kos. Walau rintangannya, harus menempuh 30 menit untuk sampai ke sekolah tempatnya mengajar.

Ia menyalakan motor matic putihnya yang diparkirkan di basement. Kos elit dengan parkiran sungguh membuatnya semakin nyaman tinggal di sana.

Tak lupa, ia memakai helm warna hitamnya kemudian menaikkan gas, mengendarai motor kesayangannya.

Mungkin ia harus menambah kecepatannya lagi, sebab hari ini adalah hari Senin. Upacara bendera akan dimulai sekitar 25 menit lagi. Berharap ia bisa sampai di sekolah tepat waktu. Tidak peduli seberapa kencang motornya, ia harus menghindari semprotan wakepsek bidang kesiswaan.

* * *

3 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top