Bab 1
* * *
Maret 2018
Hujan membasahi sebagian wilayah Jatinangor, Sumedang. Memang beberapa hari belakangan ini, hujan masih terus mengguyur. Sebagian orang memakai payung untuk melindungi diri. Sebagian yang menggunakan motor, memakai jas hujan.
Namun tidak bagi pria berkulit kuning langsat itu. Ia lebih memilih menembus hujan dengan tidak memakai apa-apa, baik payung maupun jas hujan. Padahal baru saja pulang kuliah. Semua pakaiannya basah kuyup oleh derasnya hujan.
Menurutnya, hujan adalah doa. Entah apa yang membuatnya berpikir demikian. Ia sedang berkutat pada tugas besar yang dialami setiap mahasiswa tingkat akhir. Ya, skripsi buatannya selalu mendapat revisi. Makanya pada beberapa bulan sebelum diwisuda, ia harus berjuang supaya skripsinya di-ACC oleh dosen pembimbing.
Pria tinggi 171 cm itu langsung masuk ke sebuah minimarket yang terkenal dengan maskot lebah ceria berseragam biru, seolah menyambut pelanggan. Tak peduli kemeja dan celana jinsnya menetes karena hujan, ia tetap melangkah memilih minuman dan makanan sebagai pengganjal lapar.
Keripik tempe dan minuman soda menjadi pilihannya. Walau cuaca tidak bersahabat, tapi baginya minuman soda adalah pembangkit mood-nya.
Rambut klimisnya basah. Agak terganggu memang. Ia mencoba memperbaiki supaya lebih tampan lagi. Tak sadar ia melakukannya di depan kasir perempuan berperawakan mungil. Sehingga kasir tersebut tersipu malu.
Aduh, padahal dia tidak tampan-tampan amat. Lebay banget sih.
"Kenapa, mbak?" tanya pria itu.
"Enggak, mas," jawab kasir bernama Irma menyangkal. "Saya pindai ya, mas."
Irma langsung memindai kode barang yang dibeli pria tadi.
"Total 14,200."
Ia langsung memberikan uang hijau pada Irma. Namun lagi-lagi, Irma mencoba modus pada pria di hadapannya.
"Aduh, sepertinya tidak ada uang kecil nih, mas. Sisa 6.800. Ambil aja lagi yang mas mau. Kalau lebih, gak apa-apa, mas. Itung-itung, sedekah," kata Irma genit. Namun ditolak halus oleh pria itu.
"Maaf, mbak. Saya butuh kembalian. Juga, saya enggak mau belanja apa-apa lagi. Jadi, saya mau 6.800 ada di tangan saya."
Si kasir berpenampilan menor mengerucutkan bibirnya. "Mas jahat!"
Dia tidak marah, melainkan dibuat-buat. Lebih tepatnya ngambek.
"Nih, pak, kembaliannya." Irma pun menyodorkan sisa kembalian tadi, masih ngambek.
"Makasih, ya," ucap pria itu ramah, kemudian melangkah keluar dari minimarket.
Belanjaannya dimasukkan dalam tas punggung hitamnya. Hujan masih turun dengan derasnya. Ia tak mau menembus hujan, sebab harus memperhatikan kesehatan. Ia menarik kata-katanya tadi. Trauma dengan penyakit bawaannya.
"Anda ... Dimas Putra Abdullah ya? Dari jurusan PGSD?" sahut seorang wanita muda berkacamata. Dari penampilannya pasti wanita karir.
"Benar, mbak. Saya Dimas," jawabnya singkat.
"Kebetulan. Saya dari Yayasan Gunabakti, ingin memberikan lowongan sebagai guru SD di sekolah kami. Kalau berkenan, Anda boleh datang langsung ke sekolah kami dengan membawa ijazah terakhir dan CV."
Dimas terkesiap. Belum juga masalah revisi, ia justru mendapat tawaran jadi guru SD. Di sekolah orang kaya lagi.
"Ijazah terakhir? Maksudnya?" tanya Dimas bingung.
"Anda mahasiswa tingkat akhir, kan? Berarti Anda sudah mau dapat gelar S.Pd. Jadi kalau mau, saya langsung kasih kartu nama saya."
Wanita itu memberikan kartu warna hitam gold mewah. Memang yang dia duga, sekolah tersebut berisi orang-orang kaya.
"Bagaimana? Anda mau?"
"Ehh, saya coba pikir-pikir dulu ya. Kalau keputusan saya bulat, saya akan telepon mbak lagi."
"Baiklah. Saya cuma bilang, semoga lulus dan diwisuda ya, Mas Dimas."
Wanita itu berjalan lenggak-lenggok sambil membawa payungnya.
Dimas menggaruk belakangnya, bingung. Ada apa dengan dirinya? Padahal dia hanya mahasiswa biasa, tapi dia terus kebanjiran tawaran menjadi guru. Apa karena dia berprestasi sehingga banyak lembaga yang menawarinya?
Lebih baik, merevisi skripsi adalah jalan supaya cepat mendapat gelar sarjana.
* * *
Coretan demi coretan menghiasi kertas skripsi yang belum dijilid. Memang, revisinya terbilang cukup banyak sehingga harus menyelesaikan secepatnya sesuai deadline yang diberikan dosen pembimbing.
Pria tinggi itu sedang duduk di ruang tamu kosnya. Alamat kosnya berada di lantai 3 unit 10. Pandangannya masih berkutat pada laptop di depannya. Seperti workaholic, dia terus berusaha memperbaiki skripsinya sesuai catatan di kertas sebelumnya.
Tak menyangka bakal menguras tenaga. Terbukti keringatnya menetes di keningnya. Dia mencoba mengambil selembar tisu di samping laptop kemudian menyeka keningnya.
Rasanya ia ingin menyerah. Kedua tangannya berkedut karena dipaksa bekerja. Perasaan baru dua jam lalu ia membersihkan diri, setelah hujan membasahi seluruh tubuhnya. Sekarang ia sudah memperbaiki sebagian skripsinya. Masih ada lagi yang masih harus diperbaiki.
Setidaknya jangan membuat tubuhnya terus bekerja. Takut dengan penyakit bawaannya yang suatu saat kambuh.
Akan tetapi ia harus mengumpulkan tenaganya supaya skripsinya bisa selesai.
Refleks ia menenangkan dirinya sembari mendongkak kepalanya ke atas melihat langit-langit balkon.
Bayang-bayang impiannya menjadi guru menghantuinya. Rasanya ingin cepat-cepat mendapatkan pekerjaan. Namun semua butuh proses. Harus menyebar CV dan ijazahnya ke berbagai sekolah, menunggu telepon dari mereka, berharap dapat satu sekolah. Setidaknya sekolah yang bagus dan murid yang ramah.
"Kapan aku bisa, ya?" ucapnya dalam hati.
Hujan masih mengguyur deras hingga sore hari. Jelang malam pun, hujan tak pernah berhenti. Ia kasihan, bagaimana keadaan keluarganya di Polman? Sebagai anak perantauan, kadang ia merasa bersalah jika tidak menelepon sanak keluarga di sana, meski sebentar. Betapa rindunya dia.
"Tapi aku 'kan enggak punya kuota. Gimana mau menelepon mereka?"
Ia menepuk jidatnya sebab lupa membeli paket data di minimarket tadi.
Segalau-galaunya tidak punya kuota, lebih galau lagi jika tidak bertemu sang pujaan hati di kampus. Gita memang belum punya pacar alias jomlo, tapi Dimas harus mendapatkan hati wanita cantik itu sebelum ada yang mengisi.
Andai saja ia tidak lembek, sudah dari dulu ia memacari Gita. Sayangnya, prestasi didahulukan daripada cinta. Meski hatinya mendorong dirinya mendapatkan Gita.
Ah, buang-buang waktu. Skripsinya sudah dari tadi memanggilnya. Ia harus bekerja lagi supaya segera di-ACC oleh dosen pembimbing.
Ia teringat dengan sesuatu. Sebenarnya ia memiliki uang tabungan di rekeningnya. Uang hasil kerja paruh waktunya. Apa dia bisa memakai uang itu untuk mengajak Gita makan?
Gita anak sultan. Biasanya Gita selalu mentraktirnya. Sekarang, ia yang mentraktir Gita. Entah berapa isi di dalam ATM-nya. Terakhir sepuluh bulan lalu mengisi uang di rekeningnya. Dan tidak pernah mengeluarkan isinya.
Baru saja ia berpikir tentang uangnya, tiba-tiba ada SMS berbunyi. Rupanya notifikasi dari operator yang memberitahukan bahwa pulsa 10 ribu sudah masuk. Dimas terkejut.
"Jangan bilang, ibu beliin aku pulsa supaya bisa teleponan?" ucap Dimas dalam hati.
Tentu saja ia pun memakai pulsa itu untuk membeli paket data. Tanpa lama-lama, ia langsung mengirim pesan WA kepada Gita. Alih-alih ibunya.
"Gita ... kapan kita bisa makan di luar? Aku mau mentraktir kamu soalnya."
* * *
1 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top