Chapter 2

Prospek hidupku untuk lima tahun ke depan tidak benar-benar brilian. Setelah lulus SMA aku akan masuk ke universitas lokal dengan jurusan yang biasa-biasa saja, ketika selesai aku akan bekerja setahun di kedai kafe yang selalu ramai lalu bertemu seseorang yang tertarik padaku dan kami akan jatuh cinta. Orang itu adalah jenis pria dengan senyum lembut dan selalu menatapku seolah aku pusat dunianya; apa yang benar-benar dia butuhkan untuk hidup. Dan kami berdua akan hidup bahagia, selamanya.

Pada saat ini ketika aku duduk di meja kafetaria dengan kedua temanku sambil menonton Dustin berciuman dengan Marveline (yang lebih terlihat seperti dia hendak memakan wajah si tikus berdada besar itu dibanding menciumnya), aku tahu aku ingin menambahkan sesuatu dalam prospek hidupku, misalnya memastikan cowok yang kukencani nanti bukan tukang selingkuh dan pembual.

"Ew, terlepas dari kebencianku pada Dustin, aku ingin bertanya, apakah dia menciummu dulu seperti dia mencium Marveline sekarang?" tanya Krissy, wajahnya menunjukkan bahwa dia benar-benar jijik.

Aku meletakkan sisa burgerku untuk menatap D dan M dan mengangkat bahu. "Entahlah, kurasa lebih baik dari itu."

"Itu artinya benar," Katherine berbisik, "kalian tahu Big J?" Sewaktu kami menggeleng, Katherine mendesah lelah. "Big J, sungguh? Jake, yang bekerja jadi penjaga bar?"

"Aku tidak tahu apa yang kau katakan, Kat," aku menegak isi gelas kartonku sampai habis.

"Pokoknya Big J bilang, keahlian berciumanmu ditentukan oleh siapa pasanganmu. Itu artinya Marveline pencium yang buruk."

"Aku tahu apa yang sedang kau coba lakukan," Krissy menatap Katherine seolah cewek itu sudah gila. "Kau mencoba membuat Summer lebih baik, benarkan?"

Aku memutar mata, mencoba mengabaikan perdebatan mereka. Ketika aku melihat ke arah D dan M lagi, mereka masih berciuman, tapi mata Dustin terbuka dan dia sedang menatapku. Aku bisa melihat senyum di matanya, seolah-olah Dustin sedang menertawaiku karena menontonya.

Aku bangkit, membuat perdebatan Katherine dan Krissy terhenti.

"Kau mau ke mana?" Katherine menatapku khawatir.

Aku tersenyum padanya (selebar yang aku bisa dan tanpa menatap Krissy, karena dia akan tahu kalau aku cuman berakting). "Ke toilet, sebentar saja."

Tanpa menunggu Katherine mengangguk atau mendengar komentar protes Krissy, aku pergi ke luar kafetaria, menuju toilet terdekat untuk muntah.

[*]

Aku tidak percaya cinta benar-benar dapat terjadi pada masa SMA. Jika kau jatuh cinta ketika itu, artinya kau sangat naif. SMA hanya pemberhentian sesaat, hidup yang sebenarnya dimulai setelah itu, yang artinya kau mulai berpikir tentang karir, uang yang dihasilkan, hidup sendiri di apartemen atau di salah satu asrama kampus. SMA hanya ada sebagai masa coba-coba dan contoh kecil bagaimana kehidupan dewasa terlihat.

Sisi rasionalku berkata Dustin tidak pantas dipikirkan.

Sisi emosionalku memaksaku untuk balas dendam.

Sisi lain dariku yang entah berada di mana berbisik untuk memaafkan dan lupakan saja apa yang terjadi.

Aku menatap pantulan diriku di cermin, mencoba tersenyum, memberengut, lalu diam. Mataku masih agak bengkak akibat menangis kemarin (yang mulai kusesali), dan aku belum sempat menata rambutku, jadi aku terpaksa mengikatnya menjadi ekor kuda agar tidak mengganggu. Aku mencoba membandingkan diriku dengan Marveline, bagaimanapun juga jika kau diselingkuhi kau pasti secara otomatis membanding-bandingkan dirimu dengan cewek itu. Mencoba melihat apa yang ada padanya yang tidak ada padamu.

Selain fakta aku tidak punya dada sebesar Marveline, aku kelihatan lebih baik. Yah, mungkin aku juga tidak punya mobil sendiri, tidak punya ayah yang bekerja menjadi dosen di Harvard dan tidak punya ibu seorang aktor hebat. Jika semua itu yang membuat Dustin lebih memilih Marveline, berarti cowok itu memang berengsek.

Aku mengangkat bahu, baru saja membuka keran air ketika pintu bilik di belakangku terbuka dan yang kutahu selanjutnya adalah pakaianku dilumuri saus. Bahkan bukan pakaianku saja, tapi nyaris seluruh tubuhku. Aku mengerjap. Menahan umpatanku.

"Oh sial, kau bukan Maddy."

Aku berbalik untuk menatap wajah familier yang selama ini kuhindari. Levi Adams berdiri dengan ember di tangan, menatapku ngeri. Seharusnya aku yang menatapnya ngeri, demi Tuhan.

"Kalau kau mencoba kabur dan meninggalkanku di sini dalam kekacauan, aku akan menggorok lehermu, menghantui hidupmu dan memastikan kau dikuburkan di bawah tumpukan kotoran."

Levi mengangkat tangannya ke udara. "Whoa, santai!"

"Santai?!" Aku memekik.

"Aku tidak bermaksud menyirammu dengan saus busuk--"

"Saus busuk!" Pekikanku semakin tinggi.

"Aku kira kau Maddy! Sumpah!"

Aku memelototi Levi. "Dan apa yang kaulakukan di toilet cewek? Mengintip?"

"Aku hendak menyiram Maddy dengan saus, aku tidak tahu kaulah yang datang," seolah penjelasannya sudah cukup dapat diterima, dia tersenyum. "Maafkan aku, oke? Damai?"

Aku menatap Levi tak percaya. Sejak kami memiliki skandal kecil karena terlibat dalam salah satu peledakan lab Kimia tahun lalu, aku tak pernah mau lagi berada satu ruangan dengannya. Dia pembuat onar. Aku lebih suka jadi biasa-biasa aja (terlepas dari protesku kemarin soal jadi tidak biasa-biasa saja, kau tidak bisa menganggap serius apa yang dikatakan seseorang yang emosional). Dekat dengannya membuat segalanya jadi kelihatan mencolok. Seperti kaus merah muda terang yang dia pakai, celana super ketat berantai-rantai dan telinga bertindik lima serta maskara di bawah matanya.

"Kau mengajak berdamai, kau harus membantuku membersihkan ini," aku bahkan tidak berani melihat pantulan diriku di cermin. Pasti buruk. Mom akan menatapku ngeri ketika tahu rambutku dilumuri saus busuk saat ini. Aku melangkah maju mendekati Levi, membuatnya kembali mundur ke bilik kamar mandi.

"Stop di sana, berhenti, Summer, aku serius, berhenti di sana dan jangan melangkah lagi—oh sial!" aku menyentuh kausnya dengan tanganku yang berlumur saus. Levi menatap kausnya seolah dia sedang menatap kematiannya sendiri.

"Kau bawa ponsel?" tanyaku. Butuh beberapa saat sampai Levi mengangkat kepalanya dan mengangguk. Dia merogoh saku celananya, saku jaketnya, sisi sepatunya, lalu menggeleng.

"Tidak."

Pintu menuju toilet terbuka, aku dapat mendengar kikikan Marveline bahkan sebelum dia benar-benar masuk ke dalam, dengan sekali gerakan cepat, aku menutup bilik toilet dan menyuruh Levi diam.

Suara Marveline kedengaran dibuat-buat. "Dustin dan aku akan pergi ke Paris bulan depan," kedua temannya terkikik.

"Benarkah? Kau beruntung banget. OMG."

"OMG, katakan padaku dia akan melamarmu di sana."

Marveline terkikik lagi. "Aku tahu kan? Dia memang benar-benar hot, sebuah keputusan yang tepat baginya memutuskan si jelek Summer."

Aku memelototi Levi yang menaikkan alisnya padaku, ketika dia tersenyum mengejek, aku melukiskan noda baru di kausnya, hal itu terbukti efektif membuatnya diam.

"Sungguh, apa sih yang Dustin lihat dari cewek itu? Jika aku tidak merayunya, Dustin pasti akan terjebak selamanya bersama cewek kumal tak menarik itu," Marveline mendesah. "Lihat, apa kalian pikir warna ini cocok dengan bibirku? Dustin menciumku terlalu bernafsu, aku butuh lipstik yang tahan lama."

"OMG sempurna. Kau kelihatan cantik," salah satu temannya memuji.

Aku memutar mata. Levi meniru gerakanku. Kuoleskan lagi saus busuk itu ke kausnya, tapi kali ini dia menghindar.

"Dengar guys, aku pernah kenal Summer, dan percaya padaku dia menyebalkan," kata Marveline.

"Aku pernah dengar dia punya obsesi khusus pada DVD dan tisu-tisu," suara centil nomor satu berkata, nadanya penuh pertimbangan. "Apakah kalian berpikir dia semacam, kau tahu kan? Memiliki kegilaan yang tidak kita ketahui."

"OMG itu pasti benar! Dia akan merebut Dustin darimu, Marvel," suara centil nomor dua memekik ngeri. Aku punya dorongan kuat untuk berteriak bahwa Marveline-lah yang merebut Dustin dariku, tapi tidak kulakukan, aku tidak ingin Dustin kembali, percuma saja mengatakan itu.

"Jika itu terjadi aku sudah punya rencana," bahkan aku bisa membayangkan Marveline tersenyum sewaktu mengatakan itu. "Ayo, aku tidak mau berlama-lama meninggalkan Dustin."

Mereka terkikik lagi. Aku mendengarkan sampai pintu membuka dan kembali menutup sebelum membiarkan Levi berbicara.

"Kau mengotori kausku," dia memelototiku galak. Aku memutar mata.

"Lucu, kau marah padaku padahal yang kaulakukan lebih buruk dari itu," aku memandang cap tanganku di kausnya dan mendengus. "Itu hanya noda kecil dibandingkan apa yang kualami sekarang."

"Jika kau tidak berada di luar kau tidak akan dilumuri saus."

Aku memandang Levi tak percaya. "Kau menyalahkanku? Terakhir kali kucek ini toilet umum, semua orang bisa masuk kapan saja dan bebas menggunakannya kapan saja. Yang lebih tepatnya adalah jika kau punya mata kau tidak akan salah melihatku sebagai Maddy."

Aku mencoba mengingat-ingat Maddy. Rambut merah, bercakamata, dan punya suara yang indah. Jika Maddy yang dimaksud adalah Madeline sepupunya Marveline.

"Maddy selalu datang ke toilet ini pada jam istirahat makan siang. Yang akan berakhir sebentar lagi," Levi mengecek jam tangannya. Dia berusaha berjalan melewatiku. "Aku harus pergi."

"Apakah kau tolol? Kau harus bertanggung jawab!" aku memekik lagi.

Levi menatapku seolah aku setan. "Pantas saja Dustin mencampakkanmu demi cewek konyol seperti Marveline," dia mendengus. Aku berusaha tidak menunjukkan bahwa aku sakit hati karena perkataannya dengan menginjak kakinya. Levi menyumpah.

"Tidak ada hubungannya denganmu," kataku tajam. "Aku tidak peduli bagaimana tapi kalau kau hendak keluar dari tempat ini kita harus melakukannya bersama-sama dan kau harus sama berantakannya denganku."

Lalu bau itu mulai tercium. Bau busuk mengerikan yang membuat perutmu bergejolak ingin muntah.

Levi mendesah. Dia meraih kenop pintu, yang kucoba halangi. "Aku akan membantumu! Tapi pertama-tama kita harus mencuci rambutmu."

Dalam dua juta tahun aku tidak akan pernah menyangka kejadian di mana rambutku dicuci di wastafel oleh cowok seperti Levi benar-benar terjadi. Sepanjang waktu itu Levi menyumpah tentang Maddy sialan dan aku yang keparat, tapi dia mencuci rambutku dengan lembut. Mendadak saja aku ingin menangis. Aku tidak akan mau masuk kelas lagi, padahal setelah ini ada kuis Fisika. Baunya benar-benar buruk, dan kausku sudah tidak akan bisa lagi diselamatkan. Aku melawan air mata yang hendak keluar dengan berdeham, tidak ingin kesunyian melingkupiku. Bukannya aku cengeng, tapi coba saja kau rasakan kejadian ini, mau tidak mau kau pasti ingin menangis juga.

"Jadi, mengapa kau ingin menyiram Maddy dengan saus busuk?" tanyaku. Aku tidak mengira Levi akan menjawab, kami tidak dekat, tidak lagi, sejak kejadian ledakan lab itu dia menjauh, atau barangkali aku. Sebelum itu kadang-kadang Levi duduk di meja kami di kafetaria, bercanda dengan Katherine dan Krissy. Levi tipe yang berteman dengan siapa saja, dia akan selalu diterima di setiap meja, tapi tidak pernah menetap terlalu lama.

"Dia merebut pacarku," kata Levi setelah beberapa saat.

Aku mengerjap. "Maksudmu dia membuat kau dan pacarmu putus?"

"Seperti itu, ceritanya agak rumit," dia berdeham. "Bagaimana denganmu? Kau putus dari Dustin, huh?"

"Dia memutuskanku, lewat pesan suara," mengingatnya lagi membuatku tertawa. "Menyedihkan kan?"

"Coba kutebak, dia mengatakan bahwa kau sempurna dan dia tak pantas untukmu?"

Aku mencoba kedengaran terkejut. "Bagaimana kau tahu?"

Levi mematikan keran, lalu memeras rambutku sebelum menjawab. "Tipikal. Sering terjadi, jika cowok melakukan itu sebenarnya dia tidak benar-benar serius mengatakan bahwa kau sempurna."

Aku mengangkat kepalaku, mulai memeras rambutku sendiri. "Aku tahu. Jika aku sempurna dia tidak akan minta putus. Kau tahu tidak, pacaran masa SMA itu tidak berharga."

"Aku tahu. Tidak penting kan?" sudut bibir Levi terangkat.

"Benar. Tidak penting."

Levi melepas jaketnya dan memakaikannya padaku. "Aku minta maaf," katanya. "Dan asal kau tahu saja, Marveline lebih menyebalkan daripada kau."

Itu membuatku tersenyum. "Aku akan memaafkanmu kalau kau mengantarku pulang," kataku.

"OK, itu bisa diatur."

[*]

Aku menemukan Dad sedang berdiri di teras sambil menelepon ketika sampai di rumah. Biasanya Dad tidak akan pulang sampai sore, pekerjaannya mengawasi ikan ternyata merupakan pekerjaan penting karena membuatnya harus duduk di depan aquarium seharian. Tapi hari ini Dad berdiri di teras pada tengah hari, kelihatan cemas dan resah.

Aku mengucapkan trims pada Levi sebelum turun, baru menyadari jaketnya masih kupakai ketika mobil Levi sudah berbalik pergi. Dad menyadari kehadiranku dan berderap ke arahku.

"Summer, kau tidak apa-apa? Kenapa kau bau?"

Aku memutar mata. "Tidak apa-apa. Ini kecelakaan. Kenapa Dad sudah pulang?"

Dad kelihatan berpikir (atau mencoba kelihatan berpikir, dia sering melakukan itu agar terlihat cerdas saja). "Ini antara kabar bagus dan kabar jelek, kau mau dengar yang mana?"

"Dua-duanya, kalau kau tidak keberatan."

Dad tertawa terbahak-bahak. Dia meremas bahuku. "Nyonya Lavender memecatku, dia berkata bahwa aku tidak cocok lagi menjaga ikan, itu kabar bagus. Kabar jeleknya Luke sakit. Aku harus membawanya ke rumah sakit."

"Luke sakit?" dahiku berkerut, mencoba mengabaikan fakta bahwa Dad baru saja mengatakan dirinya dipecat adalah kabar bagus, walaupun Dad tidak suka pekerjaan itu, tapi gajinya lumayan. "Kemarin dia kelihatan baik-baik saja."

"Oh kau tahu seperti apa Luke. Aku sedang menunggu Luke turun, maukah kau memanggilnya untuk bergegas? Aku punya audisi yang harus kuhadiri jam dua."

"Jangan bilang Dad berencana untuk terjun ke dunia televisi lagi," kataku ngeri, tapi itu malah membuat Dad tertawa lagi.

"Tidak, Sam, tidak. Ini hanya audisi teater keliling, aku mulai berpiki runtuk bergabung bersama anggota sirkus. Apakah kau pikir aku cocok jadi badut?"

Aku memutar mata. "Terserah Dad saja, aku panggil Luke dulu."

"Bagus-bagus, suruh dia cepat!"

Luke sedang tiduran di ranjangnya ketika aku masuk, dia menatapku bosan, terbatuk dan berguling membelakangiku.

"Dad menunggu di bawah," kataku. "Dia ada audisi, kau harus cepat."

Jawaban yang kudapat hanya suara batuk lagi. Aku berjalan ke kamar mandi, melepas jaket Levi dan memasukkan ke keranjang pakaian kotor.

"Luke!" teriakku. "Dad menunggu!"

"Aku tahu! Sebentar lagi!"

Sewaktu aku keluar dari kamar mandi setengah jam kemudian, Luke sudah tidak ada. Aku berjalan ke sisi ranjangku, mengambil hair dryer  dari atas meja nakas. Sebuah kertas jatuh ke lantai pada proses itu. Aku memungut kertas itu, menemukan tulisan Winter Blue tertulis dengan tinta bergliter di atasnya, tulisan itu dikelilingi simbol-simbol aneh, seperti relif. Ini pasti ulah Mom, lupa menyimpan barang-barang mistisnya. Kuletakkan kembali kertas itu, meraih ponselku yang terletak di sampingnya dan mulai mengirim pesan pada Katherine dan Krissy. []

QOTD: bantuin aku cari cast yang cocok buat Summer, Levi, Krissy, Katherine, Luke, Mom sama Dad dong say. Yang sekiranya cocok sama mereka, :') ngehehe (yang kupake usulannya jadi cast, kukasih follow plus dedikasi di chapter selanjutnya :')) thank u!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top