Chapter 14

Kami berdiri di bawah pancuran besar (tapi sepertinya kata besar terlalu merendahkan) dengan Mom dan Dad yang sibuk memandangi ikan-ikan berbentuk babi yang berenang-renang di udara (benar, aku tidak salah sebut. Ikannya berenang di udara, tunggu, apakah itu artinya mereka terbang?). Kami sudah berada di tempat asing ini (yang katanya adalah Starsfall, sebagaimana Spring menjelaskan dengan tidak jelas) selama tiga jam, ditelantarkan begitu saja tanpa pemandu jalan atau buku manual mengenai apa yang harus kami lakukan di tengah kota yang sangat ramai.

Setidaknya tidak ada yang menganggap kami aneh. Aku sudah berkali-kali mengerjap tak percaya ketika sepasang belatung raksasa bercakap-cakap mengenai produk susu yang bagus untuk bayi belatung berumur lima puluh tahun. Atau sewaktu keluarga laba-laba beraktraksi dengan jaring-jaring sebagai alat musik. Selama hampir sepuluh menit aku berharap semua ini hanya mimpi, atau imajinasiku mengambil alih dan aku terjebak dalam ilusi.

Tapi mengingat bahwa empat jam sebelumnya kami semua sudah bersusah payah memasuki tutup pulpen (iya memasuki tutup pulpen tidak semudah kelihatannya), dan Levi hampir tidak bisa berhenti menarikku agar memperhatikan apa yang baru saja dia lihat (lihat Summer! Ada gajah di punggung semut itu!), tidak mungkin ini hanya ilusi. Apalagi Spring sudah menegaskan bahwa dia hanya pergi sebentar, memastikan bahwa Luke sudah mendapatkan pil yang dapat memperlambat efek buruk dari penyakit mematikan, dan setelahnya akan kembali pada kami.

Aku tidak terkejut bahwa sebentar dalam kamus Spring adalah berjam-jam.

"Apakah kita boleh mengambil foto? Aku ingin sekali menunjukkan ini pada teman-teman bajak lautku," kata Dad. Di sebelahnya Mom menggeleng keras-keras.

"Mungkin maksudmu mantan teman-teman bajak laut, Sayang. Dan tidak, kau tidak boleh, lihat ada plang di sana 'Dilarang mengambil gambar'," Mom menunjuk pada pesan melayang-layang super besar, tepat di samping layar yang menampilkan berita pembunuhan sadis yang memusnahkan sekawanan burung berkepala bokong yang sedang terbang menuju liburan musim kelabu di bagian Utara Starsfall (aku hanya membaca, aku pun tidak tahu apakah itu ada).

Aku bahkan tidak memperhatikan sampai sedetail itu. Anehnya aku merasa hanya aku satu-satunya yang ngeri melihat semua ... ketidakwajaran ini. Mom dan Dad tidak panik sama sekali, bahkan Levi terlihat bersemangat. Dan aku ingin muntah melihat bola-bola kotoran dilemparkan dan meledak menjadi percikan api di langit-langit. Mendadak aku seperti berada di ruangan yang minim oksigen, semua orang menatapku dan seluruh dunia menimpakan bebannya di atas pundakku. Aku merasa tidak berdaya, lemah dan menyedihkan.

"Apakah Mom tidak khawatir?" tanyaku pada Mom, sebenarnya hampir seperti mencicit. Levi kini berjongkok, memandangi aliran cahaya di bawah kaki kami yang menari-nari. Pada kesempatan lain aku akan menganggap semua itu keren, tapi kali ini yang kuinginkan adalah tidur seharian.

Mom menoleh ke arahku. Dahinya berkerut sewaktu menjawab. "Tentu saja aku khawatir, Sayang. Tapi aku diajarkan untuk menjadi peramal berbakat yang dapat menyembunyikan apa yang kurasakan pada keanehan hidup. Lagi pula aku percaya kau dapat mengatasi ini."

"Aku juga!" seru Dad penuh semangat. "Ini hanya masalah mencari pasangan kan? Atau mengeluarkan Winter Blue, semua orang pasti bisa melakukannya!"

Dad memang seorang optimis. Aku memutuskan untuk mengabaikannya.

"Tapi Luke," kataku, yang segera disambut oleh gelengan ala ibu dari Mom.

"Summer, terkadang kau hanya butuh ...," dahi Mom berkerut mencari kata yang pas.

"Kepercayaan padaku!" Dad menyelasaikan kalimat Mom.

"Ya! Dan meyakini bahwa semuanya akan baik-baik saja. Lagi pula setelah tahu bahwa Luke tidak akan selamanya sakit dan semua ini hanya karena konspirasi alam semesta aku percaya bahwa kita semua akan baik-baik saja," Mom tersenyum padaku, mencoba menenangkan, kemudian entah bagaimana dia baru menyadari kehadiran Levi dan membelalak.

"Astaga Levi! Aku baru tahu kau ikut dengan kami," matanya menyelidik. "Apakah kau memiliki peran besar juga?"

"Aku hanya membantu Summer," Levi kedengaran kikuk. Pasti itulah yang dirasakan semua orang ketika kehadiranmu baru disadari setelah berjam-jam. Aku tidak mungkin menyalahkannya.

Aku sekali lagi memandang ke sekeliling (setelah menyadari bahwa keluargaku memang aneh), pada gedung-gedung tinggi dengan banyak sekali iklan mengenai produk anti lembap, pengering mata dan gunting rambut serta krim yang berfungsi mempercepat proses ganti kulit. Semuanya ditampilkan dalam bentuk serangga atau manusia setengah serangga. Selain cahaya yang mengalir di balik batu-batu dan seribu keanehan lainnya, langit di sini penuh dengan bintang, dan meskipun cahaya dari gedung dan bebatuan paling memungkinkan memudarkan pendar cahaya di langit, hal tersebut tidak berpengaruh.

Ketika pria tua dengan hidung berbentuk wortel berjalan mendekati kami, aku sedang memikirkan berapa lama lagi kami harus diam menunggu Spring di sini.

"Keluarga Green dan Levi Adams?" tanya pria itu. Dia memakai setelan merah terang dan membawa buku besar yang dia tarik menggunakan gerobak. Rambutnya sewarna dengan wortel segar dan matanya mirip mata kucing. Aku menyadari dia memiliki gigi-gigi super kecil ketika dia bicara.

"Ya! Itu pasti kami!" Dad maju ke depan, membungkuk seperti orang Jepang.

"Tuan Springus Malapangus mengirimku untuk memastikan kalian sampai ke kediamannya di Bawah Tanah. Kalian bisa mengikutiku."

Kami tidak bertanya, kami hanya mengikuti si pria wortel menerobos kerumunan serangga dan hewan-hewan melata.

Itu kebodohan pertama kami.

[*]

Seharusnya aku curiga, atau punya firasat buruk. Atau setidaknya menyadari di tengah jalah bahwa kami dibohongi. Nyatanya sepanjang perjalanan menuruni tangga super dalam di pusat kota BAWAH TANAH DAN TEMPAT-TEMPAT UNTUK ARWAH (sebagaimana plang pintu masuknya berbunyi) yang kami lakukan adalah mengobrol seperti orang normal.

"Aku lupa, bagaimana jika Katherine dan Krissy mencariku? Aku tidak mengabari mereka sama sekali," bisikku pada Levi. Mom dan Dad asik memperhatikan batu-batu menyala. Kami memang seperti berada di dalam gua, tapi banyak orang yang juga sedang menuruni tangga (aku baru menyadari belakangan bahwa mereka bukan orang, melainkan bayangan-bayangan dingin yang dapat ditembus). Si pria wortel menyeret gerobak berisi bukunya dengan santai beberapa meter di depan, sama sekali tidak kelihatan kesulitan.

"Mungkin kau tidak perlu memikirkannya sekarang," kata Levi. "Lihat sekilingmu, ini menakjubkan, kan? Au--" dahi Levi berkerut, dia mengibaskan tangannya, mendadak menjadi murung. "Sudahlah, tidak usah dipikirkan."

Aku tahu pasti dia hendak menyebut soal Autumn yang pernah menceritakan soal Starsfall, lagi pula meskipun aku ragu cowok itu pernah datang ke sini, pasti Spring pernah memberitahunya banyak hal, kemungkinan besar lebih mendetail daripada yang Spring seharusnya beritahukan padaku. Memikirkan ini malah membuatku bertanya-tanya (dan bukannya aku meragukan kebaikan Levi sama sekali untuk membantuku sejak awal), rasanya kemauan Levi ikut denganku hanya agar dia bisa menghindar dari Autumn. Seperti yang dia bilang, untuk menjaga jarak. Bisa diartikan barangkali aku hanya sebagai teman pengganti, atau yang lebih menyebalkannya cuman reborn.

Aku menepis pikiran itu jauh-jauh dan mulai berjalan semakin mantap. Kami mulai berbelok menuju lorong yang dipenuhi pendar-pendar biru. Langit-langitnya dipenuhi tentakel-tentakel menyala, dan jika aku mendengarkan dengan saksama, ada alunan yang berbisik-bisik. Tempat ini jelas menakutkan andaikan Dad tidak banyak omong.

"Seharusnya kita mempunyai hal semacam ini, untuk pariwisata, aku jadi ingat pada perjalananku mengarungi padang pasir Sahara, aku bertemu dengan kakek yang berjalan dengan menyeret kepalanya, dan dia berkata padaku, 'Kepala botakmu dapat memberikan kami penerangan saat malam!' kemudian dia memberiku krim yang dapat membuat kulit menyala dalam gelap. Itu pengalaman yang hebat, aku menjadi lampu bagi kelompok itu semalaman!" Dad tertawa terbahak-bahak, tawanya bergema di tempat itu dan jadi terdengar seperti tokoh jahat dalam film kartun. Dad barangkali sengaja memperpanjang tawanya agar dia dapat mendengar efek gema itu lebih lama. "Kalau ada tentakel ini, aku tidak perlu jadi lampu!" Dad kini terpingkal-pingkal, dia bahkan sampai berhenti berjalan.

"Aku baru ingat betapa ayahmu sangat aneh," Levi berbisik di sebelahku, ada tawa dalam suaranya.

"Kau memang melewatkan banyak hal," aku menyenggol bahunya main-main. "Ngomong-ngomong aku ingin tahu mengapa kau menjauhiku dulu."

Levi mengerjap ke arahku, seakan dia tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Akhirnya dia mengangkat jari telunjuknya dan mendorong pipiku. "Kau. Yang. Menjauhiku."

"Aku tahu," aku mengaku. "Tapi mengapa kau juga menjauh, maksudku aku memang tidak suka dapat detensi tapi barangkali jika kau memaksa untuk kembali berteman aku bisa saja tergoda untuk tidak memusuhimu. Kau kan pandai melakukan itu, membuat semua orang menyukaimu."

Levi terkekeh. "Tidak, aku hanya bepura-pura menyukai semua orang jadi mereka otomatis akan berpura-pura menyukaiku juga. Begitulah cara kerjanya. Jangan terlalu dekat, atau kau akan hancur."

Aku dapat membayangkan kata-kata itu ditunjukkan untuk hubungannya dengan Autumn. Tapi aku tidak mengatakan apa-apa.

"Lagi pula," lanjut Levi, "kau sendiri yang bilang padaku kau tidak ingin jadi pusat perhatian sejak kita mendapat detensi karena kebakaran lab. Aku tidak ingin kau membenciku, jadi aku menjauh. Aku tidak suka dibenci."

"Wah mengesankan sekali, mengingat hal yang pertama kaulakukan padaku adalah menyiramku dengan saus busuk."

"Hei," dia tertawa. "Itu kan kecelakaan, apalagi rambutmu sangat mirip dengan gaya rambut Maddy. Tapi serius, aku tidak suka dibenci. Kalau seseorang berkata dia tidak meyukaiku, aku akan menjauh, bisa saja kan, kalau aku tetap memaksanya berusaha menyukaiku, rasa tidak suka itu, yang hanya sekedar tidak suka, akan berubah jadi benci."

"Tapi benci dan cinta hanya dibatasi sekat kecil," aku merenungi kalimatku. Rasanya kedengaran salah.

"Itu konyol. Aku tidak percaya."

Mom berbalik menghadap kami, jelas dari tadi mendengarkan percakapan kami. Aku mencoba menyembunyikan wajahku yang memerah dengan menoleh ke kiri (ke arah berlawanan dari tempat Levi berjalan di sebelahku), tetapi aku malah berhadap-hadapan dengan wajah keriput yang bola matanya nyaris copot.

Aku menjerit sekeras-kerasnya. Membuat Dad langsung memasang kuda-kuda dan berseru. "Apa?! Apa yang terjadi?!"

Aku baru menunjuk, tapi wajah menyeramkan tadi sudah lenyap dalam kepulan asap.

"Tidak ada," kataku pelan. "Bukan apa-apa," tambahku, sewaktu Dad mengangkat alisnya dengan gaya aku-tidak-percaya-denganmu.

"Aku jadi lupa apa yang ingin kukatakan," Mom mengangkat bahunya, kembali berjalan. Diam-diam aku menghembuskan napas lega. Mom dapat mengatakan hal-hal yang sangat memalukan.

"Kau melihat hantu ya?" tanya Levi.

"Sepertinya begitu, tapi aku tidak yakin akan menyembutnya hant--" aku tersentak ketika mengingat sesuatu. "Bawah Tanah dan Tempat-tempat untuk Arwah. Seharusnya aku tidak kaget."

Levi terkekeh.

Kami berhenti di depan pintu super kecil yang bahkan aku pun ragu aku dapat masuk ke sana, padahal di antara kami semua akulah yang paling pendek dan kecil. Tapi si pria wortel mendorong masuk gerobaknya tanpa masalah, lalu menoleh ke belakang untuk memastikan kami mengikuti. Dad masuk lebih dulu, kami menyusul di belakang.

Di bagian ini aku harus memberi pesan pada diriku sendiri agar jangan bertindak bodoh suatu saat nanti. Yah, misalnya, besok.

[*]

Ruangan di balik pintu akan kusebut sebagai tong sampah besar seandainya nenek-nenek yang tidak lain dan tidak bukan adalah Madam Petunia sendiri, tidak sedang memolototi kami dengan galak. Tempat itu berantakan, amat berantakan sebenarnya. Kuali raksasa tergeletak miring menumpahkan cairan yang kuduga menyebabkan bau busuk di udara. Ada buku-buku robek, tikus-tikus yang berlarian, dan puluhan lukisan miring yang sobek-sobek. Setiap inci dari karpetnya meneriakkan kata bau dan kotor. Si pria wortel menambahkan kekacauan pada itu semua dengan mendorong gerobak berisi buku ke dalam perapian yang penuh dengan abu, menyebabkan debu berterbangan.

Satu-satunya sofa di ruangan itu bahkan tidak bisa disebut sofa, diduduki oleh Madam Petunia, yang memakai gaun hitam super ketat sampai-sampai badannya terlihat bengkak. Rambut Madam Petunia nyaris botak dan ditambah gigi-giginya yang hijau serta hidung bengkok dan mata menjorok ke dalam, dia terlihat seperti boneka rusak yang telah digigiti anjing galak sampai tak berbentuk.

Sampai pada saat itu aku bahkan tidak mendapatkan firasat buruk, apalagi jika Mom berkata dengan nada ceria.

"Madam Petunia! Sebuah kehormatan! Saya tidak menyangka Anda berada di sini juga," Mom secara harfiah melompat bersemangat. Aku tidak pernah menganggap serius pekerjaan menjadi peramal garis miring ahli tata rias yang Mom geluti, sampai saat ini tentu saja.

"Yah, aku memang berada di mana-mana," Madam Petunia mengatakan itu sambil memelototiku. Aku mencoba mencari ruangan lain, atau pintu menuju ruangan lain. Tapi tidak ada apa-apa selain dinding bolong yang menjadi sarang telur-telur berlendir. "Senang akhirnya aku bisa bertemu denganmu, Anna. Aku sudah menghubungiku ratusan kali, tapi kau di luar jangkauan," Madam Petunia mengangkat salah satu tangannya, dan si pria wortel otomatis bergerak memberikan dia minum.

"Saya sedang sangat sibuk, sebuah kecoa memberikan pesan bahwa saya akan aman berada dalam botol. Saya harap Anda baik-baik saja, Madam," Mom maju beberapa langkah.

"Di mana Spring?" itu Levi, berbisik padaku. "Dan siapa Madam Petunia? Kukira satu-satunya makhluk dari Starsfall yang kita kenal hanya Spring saja."

Aku mengangkak bahu. "Itu guru ramal, Mom. Aku tidak tahu ternyata dia juga tinggal di sini."

"Baik sekali kau menanyakan apakah aku baik-baik saja. Tentu saja aku sedang dalam keadaan luar biasa," Madam Petunia menyesap minuman dari gelasnya, tersenyum miring. "Apalagi sejak kalian semua ada di sini!" dia tertawa, suara tawanya mirip penderita asma.

"Kami juga senang!" Mom menimpali.

Madam Petunia bangkit, menjentikkan jarinya dan tersenyum lebar.

Dari ketiadaan, cacing-cacing raksasa mewujud.

Aku baru mendapat firasat buruk tepat ketika Madam Petunia memerintah. "Sudah cukup basa-basinya. Cacing! Bawa mereka ke penjara!" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top