Chapter 11
Perkiraanku salah besar. Aku tidak bisa tahan berlama-lama dengan Steve karena 1) sewaktu aku kembali dari kamar mandi, dia sedang merayu wanita mabuk yang lipstiknya bahkan mencoreng pipinya (ini sangat menyinggungku, egoku seperti baru saja diinjak-injak, Marveline sudah membuatku merasa tidak berguna dan ketika aku memakai sesuatu yang menurut Levi adalah karya terbaiknya, aku dicampakkan demi wanita mabuk yang bahkan harga lipstiknya barangkali hanya 99 sen. Aku tidak bilang aku peduli, aku hanya bilang bahwa egoku seperti diinjak-injak), 2) saat aku memberikan tatapan tidak percaya, dia malah berteriak padaku dan 3) Spring terus mengatakan kalimat-kalimat jahat.
"Katakan padanya soal bekas bisul sebesar kepalan tangan di bokongnya, yang keras, agar semua orang mendengar," Spring berbisik padaku. Aku bisa merasakan gerakan-gerakan kecil di belakang telingaku, tapi aku tidak mau membayangkan sosok kecoa merayap menginvasi kepalaku saat itu. Aku membayangkan sosok Spring, berpakaian merah dengan banyak pin perhargaan di seragamnya dan kelihatan menyebalkan (kau tahu, hal-hal biasa).
"Aku tidak punya kesabaran sebesar itu menunggumu ke kamar mandi!" Steve mengangkat kedua tangannya ke udara dengan gerakan dramatis, seakan-akan dia benar-benar frustrasi. Kami praktis menjadi tontonan orang-orang yang bosan malam itu.
"Aku hanya pergi lima belas menit!" kataku membela diri. Spring masih meracuni otakku dengan kalimat jahatnya.
"Katakan padanya bahwa dia punya gigi busuk dan obsesi terhadap masturbasi! Katakan padanya bahwa tidak ada yang mencintainya! Bahwa dia idiot dan kenyataannya dia lebih idiot dari pada Katherine! Katakan bahwa dalam sepuluh tahun dia akan menjadi pria menyedihkan yang menghabiskan waktunya di bar kumuh, sendirian, karena tidak ada yang tertarik padanya sebab dia berperut buncit dan berkepala botak. Katakan padanya bahwa dia tidak berguna--"
"Kau tahu, itu lama sekali! Aku tidak punya waktu selamanya untuk menunggumu, OK? Dan apa-apaan malam ini? Ketika aku berkencan dengan seseorang aku mengharapkan dedikasi seratus persen! Aku seharusnya jadi pusat perhatian sepanjang malam!" suara Steve meninggi setiap katanya. Orang-orang di sekitarku menggumamkan kata 'Owh' dan 'Woah, Bung!'.
"Dan itu artinya aku tidak boleh ke kamar mandi?" wajahku sudah merah padam sekarang. Sebagian karena malu, sebagian lagi karena kesal, bagian yang sangat kecil, begitu kecil sampai kau tidak bisa melihatnya, karena tidak tahan mengatakan hal-hal mengerikan yang Spring bisikkan padaku.
"Ukuran kakinya berbeda," bisik Spring. "Kaki kirinya lebih besar dua inci daripada kaki kanannya, apakah itu normal? Tentu saja tidak. Dan lihat hidungnya, bahkan lebah bisa bersarang di sana!"
"Ya!" kali ini Steve berteriak, dan orang-orang yang sebelumnya tidak memperhatikan kami mulai menoleh penasaran. Aku yakin Steve hanya senang perhatian.
"Dan kau pikir itu cukup menjadi alasan kau berbuat berengsek?" kataku. Aku barangkali kelihatan buruk. Dahiku berkerut dan mataku menyipit serta aku berdiri di hadapan Steve yang duduk dengan kepala si wanita mabuk di pangkuannya. Wanita itu sudah tertidur sejak perhatian Steve teralihkan. Walaupun sejujurnya aku ingin bersorak melihat liur yang mengalir (sungguh, aku berkata yang sejujurnya, bukan menetes, mengalir) dari mulut si wanita ke celana Steve, aku menahan diri.
Steve membuat ekspresi terkejut yang dibuat-buat. "Siapa yang berengsek? Aku? Astaga, Summer! Lihat dirimu! Kau tidak bisa menyebut seseorang berengsek ketika kau berpakaian seperti jalang yang siap menjajakan tubuhnya!"
Aku bisa mendengar seseorang berseru, "Bung! Keterlaluan!" dan beberapa gumamam setuju. Hanya saja Steve belum selesai.
"Dan tahu tidak? Kau sama buruknya seperti Katty dan Krissy dan semua gadis-gadis di luar sana yang berpikiran bahwa mereka dapat mendapatkan apa pun yang mereka mau tanpa usaha selain make up tebal untuk menutupi kebusukanmu! Kau bahkan tidak punya masalah! Kau cewek manja yang mementingkan kebahagiaanmu sendiri selagi orang lain di luar sana kesulitan! Kau pikir kau kau bisa membeli semuanya dengan wajah cantik dan sikap manis? Tidak! Biar kuberitahu padamu, selagi kau berusaha merayuku, Luke sedang sekarat! Dan ya! Kau pikir aku tidak tahu itu, huh? Luke sekarat dan orangtuamu barangkali sedang kesusahan dan lihat apa yang kaulakukan? Mencari pacar! Untuk kepentinganmu pribadi! Dan kau berkata bahwa aku berengsek? Hebat! Hebat sekali! Seharusnya kau lihat dirimu sendiri!"
Aku mendengar Spring mendengus. "Summer, kau tidak akan melakukannya. Kau tidak akan terlihat lemah di hadapan dia! Jangan lakukan itu!"
Tapi terlambat, pandanganku sudah buram dan air mata sudah mengalir keluar. Aku bisa merasakan keheningan yang menggantung di sekitarku dan tatapan semua orang padaku, tapi aku tidak peduli. Pandanganku tertuju pada Steve, pada senyum licik yang muncul di sudut bibirnya dan tatapan menantangnya padaku. Barangkali dia sedang menebak apa yang hendak kukatakan selanjutnya. Atau barangkali dia berpikir aku sudah kalah argumen dan tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Aku menarik napas-yang disertai isakan, dan berusaha mengumpulkan harga diriku yang terinjak-injak. "Kau bahkan tidak mengerti," suaraku gemetar. "Kau bahkan tidak mengerti apa yang terjadi, tidak, bukan, kau tidak tahu, kau tidak tahu sama sekali. Dan kau pikir aku peduli dengan pendapatmu? Tidak," aku tertawa, "Fuck you, Steve!"
Aku berbalik, pergi meninggalkannya, melewati orang-orang yang memberiku tatapan kasihan. Aku mendengar seseorang berkata pada Steve, "Dude, itu kacau sekali. Kau berengsek." Aku terus berjalan sampai melihat tempat kosong, mengusap air mata di pipiku dan menatap ke luar, pada pantulan bayanganku sendiri di kaca. Aku benar-benar terlihat kacau plus mengerikan plus menyedihkan. Tambahkan payah dan lemah di atas itu semua dan kau sudah dapat deksripsi tentang Summer yang sebenarnya.
"Kau tahu, Summer," Spring kembali berkata di telingaku. "Sebenarnya kau tidak seburuk itu," dia berdeham. "Yah, kau memang payah, tapi Steve jauh lebih payah. Jika kau berada dalam level payah yang kelima, Steve payah level satu. Artinya dia sangat payah."
Aku tahu apa yang sedang Spring lakukan. Sambil memutar mata, aku berbisik padanya. "Spring, diam."
"Yah, jika kau memaksaku. Aku tidak keberatan," lima detik kemudian, dia kembali berkata. "Seharusnya kau mengatakan hal-hal yang kukatakan padamu soal Steve. Semuanya benar, jika itu membuatmu lebih baik."
Itu memang membuatku lebih baik. Sedikit.
[*]
Sewaktu Levi menghampiriku dengan dua cup kopi di tangannya, dahinya berkerut. "Summer! Kau kelihatan ... kacau."
"Yah, dia memang kelihatan kacau, trims sudah menjelaskan itu," Spring duduk di bahuku. Kami baru keluar beberapa menit yang lalu dan sedang duduk di bawah papan jadwal keberangkatan, dekat dengan pria tua yang tidak bisa manahan kantuknya.
Mata Levi membelalak ketika melihat Spring. "Uh, hai Spring. Aku tidak tahu kau menemani Summer."
"Tentu saja aku harus menemaninya, kau pikir penjaga macam apa aku ini? Ketika aku sudah diberikan tugas oleh Dewan Keadilan Starsfall, aku akan benar-benar melakukannya, dengan serius dan penuh dedikasi."
Aku bisa saja mengoreksinya mengenail beberapa hal yang kelihatan tidak serius dan tidak berdedikasi sama sekali sejak dia berkata bahwa dia adalah penjagaku, tapi aku tidak mengungkitnya (kau tahu, merepotkan dan membuat lelah, serta aku sedang tidak ingin berdebat). Kutunjuk kopi di salah satu tangan Levi dan bertanya, "Apa itu untukku?"
Levi mengerjap sewaktu mengalihkan tatapannya dari Spring padaku, dia tersenyum gugup. "Oh ya! Kupikir kau butuh ini, karena aku sedang butuh ini."
Aku tersenyum menerima kopi itu. "Trims, Levi. Aku memang butuh."
"Jadi, bagaimana Steve?" tanya Levi.
Spring menjawab dengan berapi-api. "Bajingan keparat penghisap daki. Kau tidak akan bisa membayangkannya. Aku punya keinginan kuat merubahnya jadi sapu lidi dan mengirimnya ke Hogwarts agar Voldemort dapat mematahkannya menjadi ribuan keping kecil," dia mengangkat bahunya tidak peduli. "Hanya ingin, semesta tahu aku tidak bisa melakukannya tanpa bayaran mahal dan penjara yang menantiku."
"Kau sudah pernah ke sana? Ke Hogwarts?" aku menyesap kopi itu perlahan, melirik Spring yang melipat tangannya di depan dada. Walaupun dia berwujud kecil dia tetap terlihat mengintimidasi jika dia mau. Seperti sekarang ini.
Spring menoleh ke arahku, matanya menyipit. "Tentu saja! Aku pernah bekerja di sana. Itu pengalaman yang menyenangkan," dia berdeham, kelihatan sangat ragu, Spring bolak-balik menatapku dan Levi dan melirik sepatunya (dia bahkan merubah warnanya beberapa kali sebelum memutuskan pelangi terlihat pas untuknya), "Jadi kau sudah baik-baik saja sekarang?" tanyanya. Aku terlalu terkejut Spring menanyakan itu sampai tak bisa menjawab dengan cepat (responsku lambat, kalau kau belum menaruh perhatian).
"Maksudku, aku punya pekerjaan super penting. Kau tahu, aku sudah diterima di Sekolah Besar Kecoa dan kami akan mempelajari bagaimana caranya meramal keadaan dengan Bola Dunia, jadi aku hanya memastikan supaya kau tidak mengangguku lagi, itu saja."
Aku tersenyum. "Tentu saja, Spring. Kau boleh pergi."
Spring mendesah lega. "Syukurlah, aku tidak sabar. Terlalu lama di dunia ini membuat sayap kecoaku kering, dan biar kuberitahu, itu menyebalkan. Belum lagi udara di sini tercium seperti makanan sampah dan kentut kepedihan," dia menatapku sekali lagi. "Sampaikan salamku pada Luke. Terakhir kali kami bertemu dia hendak membunuhku," dan sebelum aku sempat mengatakan sesuatu, Spring menghilang.
Levi terkekeh. "Dia berbeda."
"Ya," aku tersenyum lebar. "Dia memang berbeda."
Levi menyesap kopinya. "Dia mengingatkanku dengan seseorang."
Alisku terangkat. "Sungguh?"
"Ya, seseorang yang kutemukan di internet. Gadis lima belas tahun yang senang mengumpat, kau akan lihat mereka berdua punya selera umpatan yang sama."
"Dengan Spring?" aku tertawa.
Levi mengangguk. "Aku sudah jarang mengikuti apa yang terjadi dengan gadis itu lagi, tapi ya. Kau akan terkejut ketika melihatnya," Levi mengangkat alisnya. "Aku sudah gatal ingin melakukan sesuatu dengan wajahmu yang terlihat kacau, ayo."
"Ke tempat Luke?" aku mengikuti Levi menuju pintu keluar.
"Hmm, setelah itu kau harus menemaniku ke konser musik band lokal, sebagai bayaran karena aku sudah membuatmu terlihat cantik, meskipun sekarang aku mulai bertanya-tanya dengan skill-ku."
"Steve hanya berengsek, tidak ada yang salah dengan skill-mu."
Levi berbalik untuk mengedip padaku. "Oh percayalah, aku tahu itu."
[*]
Luke memelototiku saat aku melangkah memasuki ruangannya yang berorama lavender. "Hai, orang asing."
"Aku baru tahu kau sudah bertemu dengan Spring," aku duduk di sisi ranjangnya, mencoba mengabaikan selang di hidung Luke dan betapa dia kelihatan pucat. Rambut Luke sudah habis, jadi kuasumsikan dia sedang menjalani kemoterapi.
"Yah, dia satu-satunya orang yang peduli padaku," Luke memutar mata, saat Levi masuk beberapa detik kemudian, matanya membelalak. "Levi? Kau berteman dengan Levi lagi?"
"Hai, Luke," Levi menyapa. "Kau tetap terlihat keren tanpa rambut."
"Trims," Luke tersenyum, kemudian dia bertanya padaku. "Sudah bicara dengan Mom dan Dad?"
Aku mengangguk. "Sebentar, Dad pikir semua ini keren karena dia berkesempatan bertarung dengan nyamuk dan kecoa raksasa. Mom khawatir."
Luke mengangguk. "Spring tidak memperbolehkanku bicara dengan mereka tanpa seizinmu," dia memutar mata pada perkataannya sendiri. "Lucu, kan? Memangnya dia siapa?"
"Yah, dia kadang-kadang menyebalkan," aku mengangkat bahu. "Kau baik-baik saja?"
Luke mendengus. "Sebenarnya tidak. Terkadang aku merasa seperti semua beban di dunia menghimpit dadaku dan aku bisa melihat warna-warna mengalir keluar dari setiap pori-pori di kulitku," ketika aku hanya memandangnya, dia memutar mata lagi. "Tidak usah dipikirkan, hanya hal biasa. Bagaimana denganmu?"
Aku tidak berani menatapnya, jadi aku bermain-main dengan selimut berwarna mengerikan. "Tidak baik, sejauh ini," aku berdeham. "Tapi kau tahu, aku sedang berusaha. Rasanya setiap kali seseorang menyarankan cowok yang cocok untukku, pasti semuanya tidak bekerja seperti seharusnya. Dan aku mulai takut aku tidak akan bisa menyelesaikan ini tepat waktu kemudian aku akan kehilangan semua orang yang kusayangi."
"Yah, kalau begitu jangan berhenti," anehnya Luke kedengaran sangat santai. Aku mengira dia akan berteriak padaku dan memandangku ketus, tetapi sewaktu aku mengangkat kepala dia hanya menatapku iba. "Kalau kau menyerah akan kupastikan kaki-kaki ini menendang bokongmu sebelum aku mati," Luke menunjuk kedua kakinya sambil menyeringai.
Aku mencoba tersenyum, hanya saja pasti Luke tahu aku tidak benar-benar bisa tersenyum dengan candaan itu.
"Jangan terlalu dipikirkan, Summer," dia mengedikkan kepala ke arah pintu. "Cepat, pergi dan cari pasangan hidupmu-walaupun aku masih menganggap misi ini sangat konyol-kau tidak boleh menghabiskan waktumu duduk-duduk denganku terlalu lama."
"Kau yakin kau tidak butuh sesuatu?" Aku berharap Luke mengangguk, menyuruhku membeli cokelat panas di ujung jalan jadi aku akan merasa sedikit berguna.
Bukan itu yang Luke minta. "Tinju Spring dua kali."
"Hanya itu?" tanyaku ragu.
Luke mengangguk. "Hanya itu."
Sewaktu Levi dan aku berjalan keluar, kami tidak mengatakan apa-apa sepanjang koridor rumah sakit. Kepalaku penuh dengan hitungan jam dan bagaimana cara aku menggunakannya dengan tepat. Aku mulai menyesali membayar permohonanku untuk berkencan bersama Steve dengan satu hari penuh. Rasanya pengalamanku tersebut tidak setimpal dengan harga yang kubayar. Tapi setidaknya aku punya sesuatu yang sudah kupelajari; aku harus melakukan riset pada cowok yang hendak kukencani nanti.
Aku mengerjap ketika mengingat perkataan Steve. Apakah aku benar-benar melakukan ini hanya untuk kepentinganku sendiri?
"Summer? Aku yakin aku memarkirkan mobilku di sana, bukan di situ," Levi berseru dari suatu tempat di belakangku. Kami sudah berada di parkiran mobil, aku bahkan tidak ingat aku sudah keluar dari gedung rumah sakit beraroma bunga.
"Oh, OK," aku berbalik, berlari-lari kecil mengikuti Levi.
"Apa yang sedang kaupikirkan?" Levi membukakan pintu mobilnya untukku.
"Beberapa hal."
"Kau tidak sedang merencanakan bagaimana kau berpura-pura punya sesuatu yang harus kaulakukan jadi kau tidak punya kewajiban untuk menghadiri konser band lokal bersamaku, kan?"
Aku memandang Levi. "Apa nama band-nya?"
"The Gays," Levi menyeringai. Aku tidak bergitu menaruh perhatian sebelumnya, tapi matanya terlihat lebih besar dan dia kelihatan berbeda. Barangkali karena Levi memakai tindik di telinganya dan rambutnya dibuat terlihat seperti dia baru saja bangun tidur. Atau barangkali itu karena tidak banyak cahaya di sini. Apa pun itu Levi kelihatan lebih ... bagus?
Aku tersenyum lebar. "Kau yakin kau bukan gay?"
"Darling, aku menyukai cowok sebesar aku menyukai cewek," dia mengayunkan tangannya secara berlebihan. Aku tertawa, kemudian berhenti sewaktu melihat sesuatu.
"Oh, astaga! Kau melakukan ini sendiri?" aku meraih tangan Levi, memperhatikan kuku-kukunya yang dicat dengan pola-pola rumit. Hampir mirip seperti lukisan Van Gogh, tapi dengan warna perak dan merah darah.
"Yep, butuh satu jam. Kau suka?"
Aku menyipitkan mataku, memandang Levi skeptis. "Kau bisa melakukan ini pada dirimu sendiri dan yang kaulakukan pada kukuku adalah memberinya warna merah mudah berkilau?" Levi tertawa. "Tunggu, kau bisa menggunakan kedua tanganmu dengan baik? Maksudku, kau melukis dengan tangan kirimu juga?"
"Well, kau tahu, semua orang juga bisa melakukannya," Levi mengangkat bahu seolah itu bukan apa-apa. Aku meninju lengannya.
"Keparat. Kau mengatakan itu hanya agar kau dapat pujian lebih banyak kan?"
Levi memandangku ngeri sambil membuat suara tarikan napas yang berlebihan. "Owh! Aku ketahuan!"
"Kau harus membuat kukuku lebih keren daripada milikmu," kataku, setengah tertawa. Levi menyalakan mobil, tersenyum sambil melirikku dari sudut matanya.
"Aku dapat melakukannya, kalau kau bersikap baik."
Aku memutar mata, hal tersebut membuat Levi tertawa. Setelah itu kami berkendara dalam diam. Lampu-lampu di sepanjang jalan menarik perhatianku, cahaya putih kekuningan dan kilauan biru yang memelesat meninggalkan kami. Atau kami yang meninggalkan mereka.
"Apakah kaupikir aku melakukan semua ini-mencari cowok untuk menjadi cinta sejatiku, hanya untuk kepentingan pribadiku saja?" tanyaku pada akhirnya.
Levi tidak segera menjawab, dia bolak-balik menatap ke jalan dan memandangku. "Siapa yang berkata begitu?"
"Steve," aku berdeham. "Tapi apakah menurutmu benar?"
"Tidak," Levi terdengar bingung. "Tentu saja tidak. Tunggu, apakah kau melakukan itu untuk kepentinganmu sendiri?"
"Apakah kau bercanda?" kusipitkan mataku ke arahnya. "Aku lebih senang membantu Dad menjaga akuarium Nyonya Lavender dibandingkan mengurusi semua ini. Maksudku, ada hal yang lebih penting dibandingkan terburu-buru mencari cinta sejati," aku menghela napas. "Aku akan mengatakan itu kalau keadaannya normal. Jika Luke tidak sakit dan Mom dan Dad tidak disimpan dalam botol kecil serta diriku yang lain tidak berada dalam lingkaran kesialan. Maksudku, astaga aku bahkan hampir melupakan bahwa ada seseorang bernama Winter di luar sana! Maksudku, sungguhan."
"Yah, dengan Summer, dan Autum dan Spring, menurutku akan lebih wajar jika memang ada Winter."
Aku menatap Levi. "Maksudku, Winter, seperti di kisah Cinder."
Levi menatapku sekilas. "Apa yang kau bicarakan?"
"Cinder? Iko? Thorne? Scarlett? Apakah itu tidak membunyikan bel di otakmu?"
"Aku takut aku tidak tahu."
Aku mendesah. "Yah, jadi ada sebuah seri dan ada Cinder sebagai tokoh utama. Kemudian ada Winter juga, dan Winter di sana terdengar sinting. Maksudku, bagaimana mungkin kau mengatakan, 'istana berdarah'?"
"Itu cukup normal, maksudku, itu akan jadi judul lagu yang bagus. Istana berdarah," Levi melirikku. "Dan kupikir kau tidak terlihat seperti kau hanya mementingkan dirimu sendiri dalam misi ini. Kau peduli dengan Luke, dan Steve tidak tahu itu. Jadi tidak usah dipikirkan."
"Aku masih penasaran mengapa aku harus mencari cinta sejati, aku sangat payah dalam hal ini. Apakah kaupikir aku dapat meminta Spring mengganti misi untukku?"
"Entahlah, Summer. Kau harus bertanya padanya. Untuk sekarang kau bisa mencari seseorang yang mungkin tepat di konser tersebut."
Aku memandang keluar. "Satu jam," bisikku. "Jika aku tidak menemukannya, kita pergi."
"Tentu, seperti yang kau minta, Yang Mulia." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top