Rhodes
Ada seorang gadis yang duduk di atas tilam yang sama denganku pagi ini. Ia membawakanku makanan. Piring berisi roti dan keju rempah diletakkan bersandingan dengan segelas susu pada meja samping dipan. Entah sudah berapa lama aku berbaring di ruangan ini. Ruangan yang tak begitu besar. Ada jendela dengan tirai putih yang digulung naik agar udara dan sinar mentari bisa masuk.
Gadis itu menyentuh dahiku, jemari halusnya terasa seperti salju. Atau memang demamku saja yang tak kunjung turun sedari kemarin. Semenjak aku lolos dari maut dan diungsikan ke tempat ini. Lagi. Aku mencium segar air laut menyeruak dari tubuhnya. Di jarak yang sedekat ini, bahkan hidungku yang tengah mampat pun tergelitik oleh aroma itu.
Matanya berkilat keemasan. Dia tak terlihat seperti manusia bagiku. Yah, siapa juga manusia yang mampu membujuk Helios untuk terbang dengan kereta emasnya. Membelah langit dari ufuk timur ke barat. Dari mana aku tahu kalau itu Helios? Ayahku melihatnya hadir di pernikahan Minos dan Pasiphae. Dia menceritakannya padaku di malam-malam sebelum aku tidur. Pahlawan, dewa dan dewi.
"Demammu sudah tak setinggi kemarin."
Gadis itu berucap dengan suaranya yang menenangkan. Seperti angin sepoi yang kurasakan saat melihat Putri Ariadne menari di taman Istana Knossos-yang juga anak didik ayahku. Ah, Ariadne yang malang. Lantas kualihkan pandanganku pada roti di atas piring. Aku masih enggan bicara, setiap aku mencoba bicara suaraku selalu tersendat dan terdengar jelek sekali.
Aku kembali teringat pada bulu-bulu sayapku yang berguguran, bagaikan remah roti yang jatuh ke lantai pualam saat gadis itu membelahnya menjadi dua. Menyobeknya kecil hingga serat-seratnya yang seperti kapas terlihat. Kemudian sobekan kecil dari roti itu dibawanya menuju mulutku. Aku mengunyahnya perlahan, gigi-gigiku menggilasnya menjadi bubur.
Asin.
Aku teringat tangan keriput ayahku yang menyuapiku ketika aku masih di Kreta. Ketika aku lemah tak berdaya di atas dipan. "Makan dan lekaslah sembuh, anakku." Begitu katanya.
Aku teringat pada ciuman di puncak kepala yang ayahku berikan sebelum kami mengudara di langit Kreta. Nasihatnya adalah untuk terbang tak terlalu rendah dan juga tak terlalu tinggi. Teriakannya ketika aku menembus awan-awan dan menggapai tahta sang matahari. Aku bukan anak yang baik. Aku mengabaikannya, aku tak mengindahkannya.
Lagi. Suapan kedua roti itu terasa lebih asin dari sebelumnya.
"Oh, Icarus...."
Aku tak sadar kalau aku menangis. Pedih di dada serasa memelukku semakin erat. Aku tak tahu siapa ibuku. Ayahku adalah satu-satunya yang kupunya di dunia ini. Dan kini aku kehilangannya.
.....
Aku mengusap pelan punggungku yang berbalut chiton. Aku masih bisa merasakan bagaimana lilin meleleh, mengalir melewati pundak dan turun menuju garis punggung lalu lekas mengering oleh angin yang seakan melecutku saat kujatuh. Di koridor itu aku kembali mendengar debur dari ombak yang datang susul-menyusul.
Di depanku berjalan seseorang yang selama ini merawatku sewaktu demam. Rambutnya jatuh seperti tirai di punggungnya yang lebih kecil dariku. Sulit kupercaya kalau gadis inilah yang menangkapku beberapa hari yang lalu. Lengan-lengan lembutnya tampak bisa kupatahkan kapan saja kalau kumau. Seperti ranting-ranting kecil yang bergelantungan rendah. Namun siapa yang tahu kuasa apa yang tersembunyi di balik tangan-tangan halus itu?
"Dewi."
Dan dia menoleh, "Jangan panggil aku dewi."
Tapi kau memang seorang dewi. Lalu harus kupanggil apa? Aku bahkan tak tahu siapa namanya. Gadis itu berhenti melangkah dan membalikkan badan. Ujung gaunnya yang semerah anggur bergesekan menyeret lantai pualam pucat. "Panggil aku y/n."
"Y/n."
Nama itu terasa asing di lidahku. Aku tak pernah dengar nama yang seperti itu sebelumnya. Gadis itu mengangguk, mengiyakan caraku menyebut namanya. Aku menatapnya, lamat-lamat kudengar bisik-bisik pelayan dari belakang. Gadis itu menyadarinya. Ia melirik, dan pelayan-pelayan itu menjauh dengan langkah tergesa.
"Jangan hiraukan mereka," ucapnya lugas.
Aku mengangguk. "Kita mau kemana?"
Gadis itu tertawa kecil, begitu segar di telingaku yang akhir-akhir ini jarang mendengar suara tawa.
"Bertemu dengan penguasa pulau ini. Kau sedang berada di Rhodes. Dan kakakkulah rajanya."
Rhodes. Rhodes. Pikiranku secepat gasing. Aku mencoba mengingat kisah tentang nama itu. Ah. Pulau milik Helios. Kabarnya ketika para dewata membagi bumi, Helios tak hadir. Jadi ia tak dapat banyak tanah. Pulau ini muncul begitu ia hendak mengeluh pada Zeus. Sedang nama pulau ini berasal dari Rhodos, istri Helios. Hanya sebatas itu yang ku ketahui. Aku tak tahu banyak tentang anak-anaknya.
Mungkin gadis di depanku ini adalah salah satu dari sekian banyak putra-putrinya. Mata gadis itu bersinar keemasan. Warna Helios.
Aku berlutut di lantai pualam dan mengucap salam. Tapestri-tapestri dan tirai-tirai ungu bergelantungan di dinding ruang singgasana. Seorang pria duduk di kursi tahta. Tepi jubah ungunya berukir emas. Sekali lihat akupun tahu kalau ia penguasa di negeri ini.
"Jarang-jarang adikku membawa masuk orang asing ke istana ini. Icarus, bukan?"
Gadis itu berdiri di sisiku, tak lebih jauh dari sepetak ubin. Aku lekas menjawab, "Benar, Yang Mulia."
Aku melihat seorang lagi berdiri di antara sekumpulan pria, mungkin para penasihat raja. Matanya berpendar keemasan, sama seperti mata si gadis dan pemilik tahta. Anak Helios yang lain, ucapku dalam hati.
"Selamat datang di Rhodes, Icarus."
Namaku kembali bergaung di penjuru ruangan. Aku menangkap kelebatan di mata sang raja. Ochimus. Gadis itu memberitahuku sebelum kami melewati pintu ganda. Dia pasti telah menceritakan kisahku pada saudara-saudaranya. Seorang anak yang cukup pongah untuk terbang setinggi matahari. Ayah mereka.
Bagus, rasanya sekarang aku ingin menggali lubang dan mengubur kepalaku di dalamnya.
......
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top