Bab 7
Mahesa. Lelaki itu selalu datang tiba-tiba. Raika semakin penasaran akan sosok lelaki itu. Ditatapnya mata cokelat terang Mahesa. Dalam ... lebih dalam lagi, seolah Raika tertarik masuk ke dalam mata tersebut.
"Kamu harus bertanggung jawab Raika!"
"Tidak! Bukan aku yang melakukannya, Mahesa. Bukan!" Raika menangis pilu. Dituduh sebagai pembunuh oleh tunangannya sendiri sangatlah sakit. "Sungguh bukan aku yang membunuh ayahmu."
Suara tawa Mahesa menggelegar. Terdengar sangat menyeramkan. Aura panas dalam diri Mahesa semakin terasa. "Kau harus mati! Nyawa harus dibalas oleh nyawa. Sekali pun kau adalah tunanganku!"
Raika menghindari bola api yang diberikan oleh Mahesa. Hatinya perih karena pria yang ia cintai tidak mempercayainya dan justru akan membunuh dirinya. Hujan lebat turun begitu saja. Memadamkan kobaran api yang berada di sekujur tubuh Mahesa.
"Sial!" Mahesa kembali berusaha mengeluarkan kekuatannya. Raika pun demikian. Ia mengendalikan emosinya agar hujan turun lebih deras.
Saat petir mulai berkilat mewarnai langit, para prajurit Raika dan Mahesa datang. Mereka saling tempur berusaha melindungi para puteri dan pangeran masing-masing.
Banyak prajurit yang sudah terkapar. Namun Mahesa dan Raika masih saling beradu kekuatan. Lelaki itu tidak menyerah walau kekuatan dirinya selalu gagal dikeluarkan karena kekuatan Raika. Peperangan semakin terasa menegangkan saat Raika mulai merasa lelah. Hujan perlahan mereda, tidak ada lagi sambaran petir. Senyap.
Mahesa semakin berusaha membunuh Raika dengan Raika yang berusa melindungi dirinya sendiri tanpa menyakiti Mahesa. Namun, tubuhnya sudah semakin kehabisan energi. Ia memilih untuk berlari menghindar dari Mahesa.
"Tunggu! Kau mau ke mana, Raika!" teriakan Mahesa semakin membuat Raika panik. Ia terus berlari tanpa tahu jika jurang lembah hitam berada di hadapannya.
Raika memejamkan mata. Menggeleng kuat-kuat. Bayangan aneh itu kembali muncul. Wajah Mahesa sangat jelas terekam. Hanya saja, pakaiannya aneh.
"Kamu baik-baik saja?" Mahesa menyentuh bahu Raika. Tersenyum manis saat gadis itu membuka matanya kembali.
Raika menepis tangan Mahesa. Perasaanya menjadi tak karuan. Sejak ia menatap mata lelaki itu, bayangan aneh muncul begitu saja. Terasa nyata, sangat nyata. Bahkan Raika merasakan perasaan yang tidak ia mengerti. Seperti rasa sayang tetapi merasa terkhianati?
Raika menggeleng. Ia menatap Rakai yang masih terdiam. Lalu menariknya begitu saja. Meninggalkan Mahesa yang kini tersenyum sinis.
"Mari kita mulai kembali pembalasan dendam yang sempat tertunda, Raika!"
*
Peluh bercucuran di dahi Raika. Kedua kakinya tak henti-henti mengayuh sepeda agar cepat sampai tujuan. Sinar matahari yang menyengat membuatnya mudah merasa lelah. Namun, ia ingat jika ada seseorang yang sedang menunggunya.
Sejam yang lalu sebelum makan siang, Raika mendapatkan pesan dari nomor yang tak dikenal. Isi pesan tersebut memerintahkan Raika untuk datang ke sebuah bangunan yang di dekat taman kompleknya. Dan yang membuat gadis itu mau datang karena pesan tersebut tertanda nama Rakai.
Raika tidak mengerti bagaimana jelasnya. Isi pesan itu mampu membuatnya panik tanpa bisa memikir panjang.
Raika, tolong jemput aku di bangunan dekat taman. Kakiku tergelincir dan tidak bisa berjalan.
Hanya itu, tetapi mampu membuat rasa cemah Raika muncul.
Gadis itu turun dari sepeda pink-nya. Ia segera berlari memutari taman untuk menemukan bangunan yang dimaksud oleh Rakai.
Tangan mungilnya langsung menarik kenop pintu. Raika berteriak memanggil nama Rakai. Gadis itu ragu untuk terus melangkah masuk karena keadaan yang sangat gelap. Sebelum sebuah cahaya terlihat samar. Namun, lambat laut, cahaya itu semakin terlihat jelas.
Raika berteriak histeris sambil menghindar dari bola api yang hampir saja mengenai dirinya. "Rakai!" Suara Raika terdengar gemetar. "Kamu di mana? Jangan buat aku takut!"
Raika menoleh ke sana ke mari. Ia tidak menemukan apa pun, yang ada justru keheningan. Belum sempat Raika kembali memanggil nama Rakai, bola api kembali datang. Raika terjatuh saat menghindarinya.
Air mata gadis itu turun begitu saja. Tubuh mungilnya bergetar karena ketakutan. "Rakai ... kamu di mana?"
Bola api ketiga kembali datang. Raika bangkit dan berlari menuju pintu. Namun sayang, pintu terkunci begitu saja. Ia berbalik badan kembali, bola api justru semakin banyak menyerang. Semampunya Raika terus menghindar.
Suara gemuruh bersahutan dengan teriakan Raika yang penug dengan ketakutan. Derasnya hujan menghancurkan keheningan. Namun, bola api itu tetap terus menyerang Raika.
"Argh!" Raika berteriak kencang ketika bola api hampir mengenai lengannya. Ia memejamkan mata, menunggu rasa panas yang menjalar ke dalam tubuhnya.
Namun, lima detik setelahnya, Raika tak merasakan apa pun. Ia kembali membuka mata. Bola api itu hilang dan ada genangan air di dekat kaki Raika. Gadis itu diam kebingungan.
"Gunakan kekuatanmu, Raika!"
Bisikan itu terdengar sangat jelas. Raika menoleh mencari sumber suaranya. Namun tak ada. "Siapa? Kamu siapa?" Napas Raika sudah tidak beraturan. "Kekuatan apa yang kamu maksud?"
"Air! Kendalikan emosimu. Buat hujan semakin deras dan keluarkan air dari tanganmu."
Raika menggeleng. Ini terdengar sangat konyol. Namun, tiba-tiba bola api kembali datang. Raika mengangkat tangannya secara refleks untuk menutupi wajah. Lagi-lagi bola api itu mati karena air yang ia keluarkan melalui tangannya.
Raika tidak percaya dengan semua ini. Namun, gadis itu tetap mencobanya. Menghalau setiap serangan bola api. Ia mengatur napasnya agar bisa mengendalikan ketakutannya. Hingga air yang ia keluarkan semakin banyak. Hujan dan gemuruh pun semakin kencang.
Sebuah bola api besar datang. Raika berusaha sekuat tenaga menghalaunya dengan kekuatan yang ia punya. Api itu sulit untuk padam hingga peluh bercucuran di sekujur tubuh Raika karena hawa panas dan tenaganya yang hampir habis.
Gadis itu terduduk lemas ketika sudah berhasil memadamkan bola api raksasa. Pandangannya mulai mengabur, napasnya memburu kelelahan. Wajah gadis itu terlihat sangat pucat. Raika sempat mendengar teriakan yang memanggil namanya sebelum tubuhnya tumbang dan kehilangan kesadaran. (Maulida)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top