Bab 10

Kai ... apapun kekhawatiran cowok tengil itu, tidak seharusnya ia ada di sini. Raika masih sibuk dengan serbuan ingatan dan realitas yang menerpa benaknya bagai air bah.

Hujan di sekitarnya semakin menderas disertai guntur bersahutan. Tak lagi bisa ia bedakan mana air yang berasal dari langit dan mana pula yang keluar dari pelupuk matanya.

Di tengah hujan yang semakin rapat, sesuatu mengarah pada sosok Raika dengan kecepatan penuh. Menghela napas, ia membekukan kepalan tanah sebesar bola basket yang hampir saja terlempar telak ke dadanya. Perasaannya memang kacau, sekacau cuaca di sekitarnya saat ini. Tapi kepekaan dan intuisinya yang terlatih sejak berabad-abad lalu membuatnya tetap 'sadar'.

"Kita belum selesai, Rahaika."

Suara berat yang sedikit serak itu terdengar tak jauh dari tempatnya bersimpuh. Raika bergegas bangkit. Hujan berhenti seketika. Meski mendung masih setia bergelayut.

"Kau sudah merusak garis waktu, Mahesa," ujar Raika sambil menggeleng pelan.

Mahesa menggeram, ia memasang kuda-kuda dengan kokoh. "Aku datang untuk membalaskan dendamku."

Sekelebat nyeri kembali membuat dada Raika sesak. Ia tersenyum sedih menatap lawan bicaranya. "Apa aku, yang mati di tanganmu di masa lalu belum juga cukup, Mahesa? Apa seluruh kerajaanku yang kau pimpin setelahnya juga belum cukup?"

Menghela napas, Raika ikut memasang kuda-kuda bertarung. "Kau sungguh tamak, Mahesa."

Sosok di depannya menyeringai sinis. "Aku tidak membunuhmu dengan tanganku. Setidaknya belum. Kau saja yang begitu bodoh melemparkan diri ke dasar jurang penuh karang itu."

Raika mencoba menatap wajah dengan garis tegas di hadapannya. Sosok itu tidak berubah. Tentu saja, menembus ruang dan waktu untuk sampai ke waktunya sekarang tidak akan berpengaruh apa-apa untuk seseorang sesakti Mahesa. Rasa sakit itu kembali menjalari hatinya. Aliran hangat mengalir membasahi pipi Raika tanpa bisa ia cegah.

"Bukan aku yang membunuh ayahmu ...." kalimat itu keluar dari bibirnya yang gemetar. Masih terasa seperti kemarin. Kekecewaan, kesakitan yang ia rasakan saat melihat gejolak dendam dan tidak percaya dari sorot mata sosok di hadapannya.

"Aku tidak datang jauh-jauh ke sini hanya untuk mendengar omong kosongmu, Ra." Mahesa berkata dengan nada dingin. Sejurus kemudian, bola-bola api meluncur ke arah Raika dengan kecepatan penuh.

Raika menangkis setiap serangan Mahesa tanpa susah payah. Detik berikutnya, ia sudah membalas serangan Mahesa dengan panah-panah es yang disambut sosok itu dengan senyum sinis.

Ya, mereka memang memiliki kemampuan yang setara. Mahesa menguasai sihir elemen api dan tanah, membuatnya mudah sekali terbakar emosi seperti elemen yang ia kuasai. Sedangkan Raika menguasai sihir elemen air dan udara juga kemampuan khusus mengendalikan cuaca. Ia ingat betul, pertunangan mereka ditentang keras oleh para tetua. Mulai dari alasan klasik mengenai tabiat satu sama lain yang bertolak belakang, sampai permusuhan tak terlihat antara kerajaannya dan kerajaan Mahesa.

Lamunannya kembali buyar dengan serangan beruntun yang dilancarkan Mahesa. Mereka terus saling balas menyerang dan bertahan. Meski Raika hanya membalas sekenanya. Ia tahu, kemampuan sihir Mahesa tak semaksimal di masa lalu. Sihir waktu setidaknya menguras seperempat kemampuannya. Belum lagi ia yang melakukan kesalahan dengan membunuh Kai dan mengakibatkan rusaknya garis waktu.

Raika menunggu sampai serangan Mahesa melemah. Sosok yang pernah menjadi kekasihnya itu tampak menghela napas dengan susah payah. Raika memejamkan mata sejenak, menguatkan hatinya agar mampu melakukan apa yang harusnya ia lakukan sedari tadi.

Cuaca di sekitar mereka mulai menggelap. Hujan turun dengan deras dan semakin membuat Mahesa kewalahan. Ia menambahkan kabut di sekitar mereka untuk mengurangi jarak pandang. Memudahkan Raika untuk menghampiri sosok yang kini tampak mulai tak berdaya.

Raika menciptakan pusaran angin yang memaksa Mahesa terbaring. Sosok itu meronta dan melawan, namun mudah saja bagi Raika menaklukkan penyihir yang sudah kehabisan tenaga itu. Dengan lambaian tangan, ia mengurung sosok itu dalam penjara es.

"Kau ...." desis Mahesa saat sadar apa yang telah menimpanya beberapa detik terakhir.

"Berhenti, Mahesa. Cadangan sihirmu tak lagi cukup," bisik Raika khawatir. Jika terus memaksakan diri, sosok itu bisa mati. Dan mati di dimensi waktu yang lain akan menghapuskan seseorang dari sejarah hidupnya yang sebenarnya.

Mahesa terus meronta, melawan. Mencoba mengeluarkan sihir elemennya namun gagal. Raika mengarahkan tangannya ke kepala Mahesa. Mengirimkan sedikit sihir pengobatan untuk membuat Mahesa rileks.

"Kau seharusnya mengerti. Reinkarnasi yang diberikan padaku adalah bukti valid bahwa aku tidak bersalah. Bukan aku yang membunuh Paduka Raja Ratangga. Aku hanya berada di tempat dan waktu yang salah. Tidakkah sedikit saja kau bisa mempercayaiku?"

"Lalu siapa?"

"Andraya Sasmitha. Aku melihatnya memasukkan beberapa tanaman mencurigakan ke dalam teko minum Ayah. Itulah kenapa aku ada di sana saat ayahmu sekarat, Mahesa."

Andraya adalah salah satu orang kepercayaan Raja Ratangga yang juga menentang pertunangan mereka. Entah apa motif sosok itu, tapi Raika menduga cemburu adalah salah satunya. Andraya tidak rela Pangeran negerinya mempersunting puteri dari kerajaan lain.

Rahang Mahesa kembali mengeras. Aura sihir kembali terasa pekat di sekitar mereka. Membuat Raika panik.

"Hentikan. Kau harus menyimpan cadangan sihirmu untuk kembali ke garis waktu kita. Kumohon, Mahesa. Kumohon!"

Air mata Raika kembali menderas. Ia juga berusaha mentransfer energi agar emosi Mahesa dapat terkendali. Raika agak terkesiap saat mendapati tangan kanan Mahesa sudah mendarat lembut di pipinya. Menghapus air matanya yang mengalir.

"Kenapa kau tak pernah mengatakannya padaku, dulu?"

Raika menggenggam tangan Mahesa yang masih berada di pipinya. "Aku sudah mengatakan yang sejujurnya padamu. Kau saja yang keras kepala tidak mau mendengarkan penjelasanku."

Mahesa menarik napas berat. "Maafkan aku, Ra. Sungguh, maafkan aku."

Raika mengangguk pelan. Ia mulai membebaskan Mahesa dari kurungan es miliknya. Mahesa segera menarik Raika dalam dekapan.

"Kau harus segera kembali ke garis waktu kita. Sebelum jiwamu terkoyak habis di dimensi ini."

"Rasanya aku lebih rela terhapus dari sejarah dibandingkan menyakitimu seperti ini," balas Mahesa lirih.

Raika menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Mahesa, dengar. Seperti apapun kisah kita seharusnya berakhir, aku tetap tidak pernah menyesali kehadiranmu dalam hidupku. Kembalilah, rakyat kita menunggumu."

Mahesa semakin mengeratkan dekapannya, "Kau tahu, penyesalan menghujam hatiku setiap detik setelah kematianmu. Aku mencoba menepis semua dan membiarkan angkara menguasai jiwa dan ragaku. Ah, seharusnya aku mendengarkan ceramahmu untuk mempelajari elemen angin. Mungkin kita tak akan berakhir seperti ini."

Raika mendongak. Mencoba merekam tiap pahatan garis wajah sosok Mahesa dalam benaknya. "Kau sudah siap?"

Mahesa menunduk lantas tersenyum sedih. "Apa kebersamaan kita harus berakhir sekarang?"

Setetes air mata kembali lolos dari netra Raika, ia mengangguk pelan.

"Sungguh maafkan aku, Ra. Maafkan kebodohanku yang tidak mempercayaimu, maafkan aku yang terlalu mudah terbakar emosi, maafkan aku yang sampai sejauh ini pun masih saja berusaha menyakitimu. Aku tak tahu penebusan macam apa yang pantas menjadi permohonan maafku. Dihukum tidak memiliki sihir saja tak cukup rasanya," tutur Mahesa pelan.

Ya, ia tahu risikonya. Jika terbunuh di dimensi ini, ia akan dihilangkan dari sejarah. Jika ia berhasil kembali ke garis waktunya, kemampuan sihirnya akan menurun drastis. Ditambah lagi dengan kecerobohannya membunuh seseorang di garis waktu ini, yang tidak hanya mencabik jiwanya namun juga menyedot habis seluruh energi sihirnya. Jika ia dapat kembali ke garis waktunya dengan selamat, Mahesa tak lagi bisa melakukan sihir.

"Kau harus kembali. Sekarang," bisik Raika tegas. Mahesa melepaskan pelukannya, lalu bergegas berdiri menghadap matahari yang mulai tumbang di kaki langit. Ia mengecup dahi kekasihnya pelan, mencoba menyampaikan rasa bersalah yang menguasai hatinya.

Raika mulai menuliskan mantra sihir waktu di udara. Ia berputar mengelilingi sosok Mahesa. Ia berkonsentrasi penuh untuk mengantarkan kekasihnya ke garis waktu mereka. Begitu tanda titik ia tuliskan, suara Mahesa menjeda benaknya yang terlalu penuh.

"Ra, tatap mataku."

Raika mengangkat wajah. Berusaha menatap sorot mata teduh nan tegas yang sangat ia rindukan. Pagar cahaya mulai menyelimuti sosok Mahesa hingga sebatas dada. Tersenyum tipis khas dirinya, Mahesa mengangguk pelan penuh takzim pada Raika. Gestur hormat yang membuat gadis itu kembali meneteskan air mata. Detik selanjutnya, pagar cahaya itu membungkus keseluruhan tubuh Mahesa dan terurai bersama cahaya senja yang menyoroti tempat ia berdiri.

Raika kembali terduduk bersimpuh. Sore ini, ia kehilangan dua sosok paling berarti di hidupnya. Baik di masa lalu maupun di masa sekarang. Kesempatan keduanya. (Adzkya)

-FIN-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top