Part 31 - Janji

"Udah pulang Nak? Yuk kita pergi," ajak Thalia saat mendapati Marco sudah tiba di rumah. 

Ibu dan anak itu segera melaju menuju spesialis Psikologi. Setelah menyetetujui kesepakatan bersama Dokter Hefriyadi, hari ini Marco akan memulai terapi pertamanya.

"Kamu udah yakin beneran kan, Sayang?" Pertanyaan Thalia memecah keheningan.

Pria itu menoleh, memberikan senyuman untuk membuat maminya percaya. "Iya, Mi. Marco yakin seratus persen. Mungkin dengan cara ini Syifa bakal maafin Marco."

Sepintas ucapan Marco terdengar lirih saat menyebut nama Syifa. Hal itu spontan terjadi, apalagi jika diingat semua yang ia usahakan selama ini tampak menuai hasil nihil.

"Syukurlah kalau begitu. Mami cuma takut kamu terpaksa ngelakuinnya. Karena dokter bilang, terapi akan gagal jika pasiennya gak serius," ucap Thalia kembali mengingatkan kepada Marco.

"Tenang aja, Mi. Marco udah yakin seratus persen."

Mendengar pernyataan yang dilontarkan putranya, Thalia pun tersenyum. Diusapnya pelan tangan putra tunggalnya itu sembari terus memfokuskan pandangannya pada jalanan di depannya.

Berselang beberapa menit keduanya tiba di tujuan. Meski ada perasaan yang mengganjal, tetapi Marco kembali meyakinkan diri untuk melakukan terapi. Langkahnya tegap melaju ke depan untuk menemukan ruang terapi yang sudah menanti kedatangannya.

Thalia membuka pintu dan meloloskan diri masuk ke dalam. Dan sebuah suara pun menyambut kedatangan mereka.

"Akhirnya yang ditunggu datang juga." Suara itu tak lain dak tak bukan berasal dari pria dengan setelan baju berwarna putih, Dokter Hefriyadi.

Marco membalas senyum kepadanya begitu pun dengan Thalia.

"Silakan berbaring di sana. Saya akan cek kamu terlebih dahulu sebelum memulai terapi."

Titah Dokter Hefriyadi lekas dilakukan Marco. Pria itu berbaring di atas kasur dan segera dicek oleh dokter.

"Semuanya normal. Kalau begitu terapi kita mulai."

Marco meneguk salivanya. Kemudian mengangguk, mengiyakan apa yang dibincangkan Dokter Hefriyadi. Sementara itu, Thalia yang duduk dan memperhatikan dua orang itu berusaha tersenyum untuk menyembunyikan kepanikan di dalam dirinya.

****

"Tadi di sekolah kok gue gak lihat Marco. Tumben banget." Syifa terus memutar otaknya, mengingat kejadian saat pulang sekolah. Biasanya Marco selalu berkumpul dengan Sammy, Fachri, dan Febrian di depan gerbang, tetapi tadi tidak terlihat. Hanya mereka bertiga tanpa Marco.

"Apa jangan-jangan Marco sengaja ngehindarin gue?" terka Syifa sembari menatap langit-langit kamarnya. "Nggak! Nggak mungkin!" Syifa menggeleng menolak argumennya sendiri.

Tangannya meraih ponsel di atas nakas. Ia mengecek pesan yang masuk. Sesaat kemudian bibir tipis gadis itu maju ke depan.

"Kok gak ada?" rengeknya berharap pria itu menghubunginya. Tapi sepertinya harapan itu jelas tidak terwujud.

Syifa mengernyitkan alisnya. Menatapi layar ponsel yang hanya menampakkan foto dirinya. Beberapa detik kemudian gadis itu melemparkan ponsel tadi ke kasur.

"Marco, loe ke mana sih?" Suara gadis itu terdengar seperti memekik memecahkan kamar tidurnya yang sedari tadi hening.

****

"Loe kenapa Fa? Mata loe cekung banget?" tanya Eva memerhatian setiap jengkal sudut wajah sahabatnya. "Nih juga, kok kayak pucet gitu," tunjuk Eva tepat di bibir tipis Syifa.

"Gak pa-pa kok," dusta Syifa kepada Eva.

"Coba liat, mananya yang pucet Fa?" Meisya lantas menarik bahu Syifa untuk memaksanya menoleh ke belakang. "Iya nih. Kok loe pucet gitu sih?" tanya Meisya setelahnya.

Aira memperhatikan tiap sudut wajah Syifa yang sedari tadi dibicarakan oleh Eva dan Meisya. Gadis itu memang terlihat sedikit pucat dengan mata cekung dan hitam di bagian bawahnya.

"Syifa, loe semalem tidur jam berapa?" tanya Aira.

Syifa menarik bola matanya ke atas, mencoba mengingat kapan ia memejamkan matanya semalam.

"Jam berapa ya, hm ... kalo gak salah sih antara jam dua atau jam tiga gitu deh. Gue lupa pastinya," jawab Syifa.

"Apaaaa?" Sontak Eva, Meisya, dan Aira kaget mendengar pengakuan sahabatnya.

Tidak bisa dipungkiri semalaman Syifa terus-terusan memikirkan Marco. Mencoba mencari alasan tanpa tahu jawaban. Hal itu akhirnya membuat Syifa tidak bisa memejamkan matanya hinggal pukul tiga dini hari.

Sepertinya gadis itu benar-benar merasa ada hal yang aneh dengan Marco. Bahkan menerka jika pria itu sengaja menghindar darinya.

"Ya, sekitar jam itulah kira-kira. Gue juga lupa," tutur Syifa menjelaskan kepada sahabatnya.

Sementara Syifa sibuk membicarakan tentang wajahnya yang pucat, sahabatnya Marco sedang memperhatikan gadis itu dari tempat duduknya secara sembunyi.

Gue janji demi loe Syifa. Gue akan berubah dan menjadi sosok yang bisa loe andalkan. Bukan sosok yang selalu loe takutin seperti kemarin-kemarin. Gue janji.

****

Bersambung.

Pembaca yang baik hati, jangan lupa kasih tanda bintang di bawah ya. Jangan lupa juga komentar, kritik dan sarannya. Aku tunggu.😉

Selamat membaca. Aku sayang kalian. 😍

elinaqueera 😊😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top