4. Something Suspicious dan School

"A-Alice... Apa kita benar-benar harus sekolah?" Aven mengeluarkan puppy-eyes yang sangat imut.

Biasanya Alice akan jatuh pada hal semacam puppy-eyes milik Aven, namun kali ini tidak.

Alice menghela nafas. "Tentu, Aven. Kau sudah berkali-kali bertanya seperti itu. Memangnya ada apa dengan sekolah, hm?" Tanya Alice sambil mengelus rambut Aven.

"B-bagaimana kalau misalnya ada yang merebut Alice dariku di sekolah!?"

Alice sweatdrop.

A Second Chance for Life



A Fantasy Story
By fallyndanella04



Enjoy!

Alice PoV

3 tahun sudah berlalu semenjak kejadian penculikanku saat itu.

Aku dan Aven sudah berumur 6 tahun, dan sama seperti sistem di duniaku yang dulu, kami harus bersekolah.

Sekolah yang akan kami masuki bernama Amare Academy. Amare adalah nama negara yang kutinggali sekarang.

Kubaca, Amare Academy adalah adalah akademi untuk anak-anak berumur 6-12 tahun yang paling terkenal di negara ini. Akademi itu dipenuhi anak bangsawan dan kerajaan negara Amare.

Tentu saja rakyat biasa juga bisa memasuki akademi ini jika mereka memiliki tingkat kepintaran yang sesuai dengan standar Amare Academy.

Yah, kalau diibaratkan dengan duniaku sebelumnya, Amare Academy adalah sekolah dasar yang paling terkenal dan populer di negara ini.

Hal yang baru kuketahui adalah sistem untuk memasuki akademi ini.

Amare Academy berfokus dalam pelajaran sihir dan pelajaran umum, namun yang mendominasi di sini adalah 60% pelajaran sihir / fisik dan 40% pelajaran umum yang mencangkup matematika, ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial.

Sekadar pemberitahuan, dunia ini bernama Dunia Dare Dio. Dunia ini terbagi menjadi 5 negara, yaitu: negara Amare, negara Affeto, negara Umanita, negara Giustizia, dan negara Semplicita.

Dari 5 negara ini, yang paling terkenal adalah negara Umanita. Semua karena keramahan penduduknya dan betapa kayanya sumber daya alam di sana.

"Apa kalian sudah membawa kartu penduduk kalian?" Ibu bertanya sambil mengecek kembali koper kami.

Koper kami? Kalian tidak salah baca. Amare Academy memang memiliki sistem asrama. Semua murid yang lulus wajib untuk tinggal di sana.

Aku mengangguk sambil menunjukkan kartu penduduk negara Amare pada Ibu. "Sudah!" Jawabku riang.

Aku sangat semangat untuk memasuki akademi. Berbeda denganku, Aven terlihat sama sekali tidak bersemangat.

Jika kalian bertanya mengapa kami lansung menyiapkan koper, padahal kami belum melakukan tes masuknya, semua karena kami keluarga bangsawan Amare.

Anggota keluarga penting seperti bangsawan, kerajaan, menteri, tabib kerajaan, prajurit kerajaan, dan penasehat raja mendapat keuntungan jika ingin memasuki Amare Academy.

Mereka mendapat keringanan saat tes masuk.

Misalnya saat tes sihir, murid dari kalangan rakyat biasa memiliki standar yang tinggi, sedangkan khusus untuk anggota keluarga penting, standarnya tidak setinggi itu.

Karena keringanan seperti itu, 95% anak dari keluarga penting dapat lulus tes.

Aku juga baru mengetahui soal bahwa aku anggota keluarga bangsawan saat aku berumur 5 tahun.

Ibu adalah penyihir yang sangat berbakat. Ayah adalah swordman yang sangat ahli. Sudah jelas keluarga kami bukan keluarga biasa.

Mereka benar-benar menceritakan semuanya saat kami berumur 5 tahun.

Termasuk tentang kelompok Velnias.

°°°

Normal PoV

~Flashback~

"Mama... Sebenarnya kelompok Velnias itu bertujuan untuk apa?" Alice yang berumur 5 tahun bertanya pada Elicca. Aven yang duduk di sampingnya ikut menoleh saat mendengar saudarinya bertanya.

Elicca membeku di tempat. Ia membulatkan kedua bola matanya terkejut. Terlihat sekali ia bimbang.

"A-Alice? Kenapa bertanya seperti itu? Kau tidak perlu cemas, kok! Kelompok Velnias tidak akan pernah berhasil menculikmu lagi!" Elicca berusaha mengalihkan pembicaraan.

Alice menghela nafas. Sudah ia duga seperti ini reaksinya.

Alice menutup buku yang ia baca dan menatap Elicca. "Mama, Aku ingin tahu semuanya. Mama tahu bahwa kita akan memasuki sekolah tahun depan, dan aku dengan Aven masih belum mengetahui maksud kelompok Velnias. Bagaimana kami melindungi diri jika kami tidak tahu seperti apa musuh kami?"

Aven yang daritadi tidak ikut berbicara mulai membuka suara. "Kurasa aku setuju dengan Alice. Kita perlu tahu segalanya tentang mereka."

Elicca terlihat sedikit bimbang sebelum akhirnya mengangguk pelan. Ia duduk di samping kedua anaknya.

"Kelompok itu terbentuk 11 tahun yang lalu, atau lebih tepatnya saat aku dan Theo berumur 16 tahun."

"Mereka menamakan diri mereka sebagai 'Velnias', dan hampir menghancurkan negara Semplicita saat itu. Keadaan semakin kacau saat kelompok itu muncul di semua negara, termasuk negara Giustizia yang memiliki keamanan tertinggi di dunia."

"Semuanya.... Berarti negara ini juga termasuk?" Aven bertanya sedangkan Alice tetap diam dan mendengarkan dengan serius.

Elicca mengangguk.

"Kulanjutkan. Walau kelompok mereka muncul secara tiba-tiba, namun mereka memiliki kekuatan yang sangat hebat. Anggota mereka tidak sangat banyak jika dibandingkan dengan jumlah prajurit kerajaan, namun mereka sangat kuat. Jadi kami berpikir kalau kelompok Velnias sudah lama terbentuk. Mereka hanya baru memunculkan diri mereka 11 tahun yang lalu."

"Saat itu, semua negara hampir menyerah terhadap Velnias. Tapi itu terselamatkan karena Theo."

Alice dan Aven membulatkan mata mereka terkejut. "Papa?" Ujar mereka bersamaan.

Elicca tersenyum lebar. Matanya penuh dengan rasa nostalgia. "Ya. Saat itu, aku dan Theo sudah menjadi sepasang kekasih. Saat aku hampir putus asa, Theo selalu menyemangatiku."

Alice dan Aven saling berpandangan. "Tipikal Papa." Aven berujar dengan Alice yang mengangguk.

Senyum Elicca melebar mendengarnya.

"Singkat cerita, Theo yang sebenarnya hanya rakyat biasa menghadap raja kerajaan Amare secara lansung. Mengungkapkan apa yang harus kita lakukan. Theo juga menciptakan sesuatu yang dapat membantu mengalahkan kelompok Velnias."

"Senjata?" Tanya Alice.

Elicca berdiri dan berjalan ke luar kamar. Tak lama kemudian, ia kembali dengan dua buah kotak panjang di tangannya.

Saat Elicca membuka kotak tersebut, mata Alice melebar.

"Senjata ini dibuat oleh Theo. Theo menyebutnya sebagai 'pistol' dan 'senapan', kalau aku tidak salah ingat. Ia bilang senjata ini sangat berguna untuk pertarungan jarak jauh. Dan yang ia katakan benar, kami setidaknya berhasil membuat kelompok Velnias mundur. Sejak saat itu, Theo diangkat sebagai bangsawan negara Amare."

"Terkadang mereka muncul beberapa kali dalam setahun dan menculik anak-anak, namun kami belum mengetahui maksud sebenarnya dari mereka."

Elicca menutup kotak tersebut. "Itulah akhir dari cerita. Baiklah, anak-anak! Jam makan siang akan tiba, cepatlah kalian menuju meja makan!" Elicca tersenyum.

Aven tersadar dan segera beranjak menuju ruang makan. Tak lupa sebelumnya menarik Alice.

"Alice?" Aven memanggil Alice dengan bingung.

Alice membeku di tempat.

Jika ia tidak salah lihat, itu benar-benar pistol dan senapan. Pistol dan senapan yang sama persis dengan di dunianya sebelumnya.

'Apakah Papa...,' pikir Alice tidak percaya.

"Alice!"

Alice tersentak dari pikirannya. Ia menoleh ke arah Aven yang terlihat cemas. "Kau melamun. Alice, apa kau baik-baik saja?" Tanya Aven.

Alice tersenyum dan mengangguk. "Un. Aku... Baik-baik saja. Terima kasih sudah mencemaskanku."

Alice terdiam saat mengingat kembali memori setahun yang lalu.

Ia ingin sekali menanyakan hal itu pada Theo, namun setiap ia berhadapan dengan Theo, Alice selalu tidak sanggup bertanya.

Pada akhirnya, Alice memutuskan untuk menunggu waktu yang lebih tepat.

"Alice! Ayo! Kereta kudanya sudah sampai!" Theo berseru dari pintu depan.

Alice mengangguk dan menyusul Elicca, Theo, dan Aven yang sudah menaiki kereta kuda. Sebelumnya, ia menatap mansion tempat tinggalnya.

"Kurasa sudah saatnya mengatakan sampai jumpa lagi untuk mansion ini." Alice berguman.

°°°

Gentilezza City
The Capital City of Amare

"Aven, kau terlihat lesu. Ada apa?" Tanya Alice menatap Aven khawatir. Aven benar-benar terlihat pucat.

"Tidak... Aku... Hanya... Sedikit mual. Aku baik-baik saja... Tidak perlu khawatir." Aven menggeleng, berusaha membuat kekhawatiran Alice berkurang.

Elicca tertawa kecil. "Beberapa orang pernah mengalaminya setelah menaiki kereta kuda. Hanya saja belum ada yang mengerti kenapa," ujar Elicca.

'Itu namanya mabuk darat...,' batin Alice. Tentu saja ia tidak mengucapkannya dengan terang-terangan.

"Aven sepertinya mudah mabuk darat, ya?" Tanya Theo.

Aven dan Elicca menatap Theo bingung, sedangkan Alice menatap dengan terkejut tergambar di wajahnya.

"Mabuk darat? Ayah, apa maksudnya itu?" Tanya Aven.

Theo terlihat sedikit panik. "Oh! Maksudku kau merasa mual setelah turun dari kereta kuda, kan. Aku menyebutnya mabuk darat karena sama seperti setelah seseorang mabuk, ia akan mual. Dan aku mengatakannya darat karena kita menggunakan kereta kuda yang bergerak di daratan!" Theo berkata cepat.

Elicca mengangguk mengerti. Aven tertawa. "Ayah, kau terlalu kreatif dalam memilih nama!"

Berbeda dengan Aven, Alice hanya memasang senyum. Dalam pikiran Alice, gadis kecil itu sudah membuat berbagai macam kemungkinan.

Kemungkinan bahwa Theo juga adalah reinkarnasi dari dunianya yang dulu.

°°°

At Amare Academy's Front Gate

Alice dan Aven menatap gedung Amare Academy dengan mata berbinar penuh kekaguman.

"Gedungnya besar!" Aven berujar. Alice mengangguk penuh semangat.

"Aven! Alice!"

Sepasang anak kembar tersebut menghadap Ayah mereka saat Theo memanggil nama mereka.

"Jangan lupa untuk menghubungi kami, ya! Jaga kesehatan kalian nanti." Theo menyampaikan pesan pada Alice dan Aven sambil menepuk dan mengacak rambut mereka.

"Aku akan sangat merindukan kalian...!" Elicca hampir menangis sambil memeluk erat kedua anaknya. Alice dan Aven hampir panik.

Panik karena khawatir akan kehabisan nafas yang disebabkan oleh eratnya pelukan Elicca.

Theo hanya tertawa melihatnya.

Setelah beberapa saat, mereka berdua berhasil bebas dari pelukan maut Ibu mereka.

Alice dan Aven tersenyum bersamaan dan memeluk kedua orangtua mereka.

"Kami tidak akan lupa menghubungi Ayah dan Ibu!" Aven tersenyum lebar.

"Jaga kesehatan kalian juga, ya. Kami juga akan sangat merindukan Ayah dan Ibu." Alice tersenyum manis.

Theo dan Elicca tersenyum lebar mendengarnya.

"Untuk para calon murid baru Amare Academy, diharapkan untuk segera memasuki gedung, tes masuk akan diadakan 20 menit lagi." Sebuah suara muncul dan memberi pemberitahuan.

Elicca sekali lagi memeluk Alice dan Aven. Kali ini lebih lembut.

Ia tersenyum lembut. "Tuh, kalian sudah harus masuk. Cepatlah. Jangan sampai telat."

Alice dan Aven mengangguk bersamaan. Mereka segera berlari memasuki gerbang depan Amare Academy sambil melambaikan tangan kepada orangtua mereka.

Theo dan Elicca membalas lambaian tangan mereka.

Saat Theo hendak kembali ke kereta kuda, Elicca tiba-tiba menunduk. "Aku... Khawatir dengan mereka. Kuharap mereka selalu baik-baik sana di sana dan tidak ada masalah serius."

Theo tersenyum lembut. Ia mengelus pelan rambut pirang indah milih Elicca. "Tidak perlu khawatir. Walaupun mereka dapat masalah, kita harus yakin bahwa mereka akan baik-baik saja. Kedua anak kita kuat, kau tahu, kan?"

Elicca tersenyum. "Ya. Kau benar. Mereka akan baik-baik saja!"

°°°

Fyuuh... Akhirnya selesai! Chapter 4 A Second Chance for Life!

Totalnya ada 1612 words. Saat aku bikin chapter yang ini lumayan lama juga. Karena sempat sedikit malas menulis. Hehe.

Chapter selanjutnya saat Aven dan Alice melakukan tes masuk!

Okay, thank you for reading! See you in the chapter 5!
If you like this story, you can appreciated me with like or comment!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top