21. Welcome Back, Alice & The Conclusion
"Tuan muda Aven, Tuan muda Viel, kalian sudah mau kembali ke kamar lagi?" Luce bertanya saat melihat Aven dan Viel yang beranjak ke kamar Alice dan Aven. "Apa ada yang kalian inginkan? Minuman, makanan ringan?"
Aven tersenyum. "Tidak perlu, Luce. Kau sudah bertanya hal yang sama 5 hari berturut-turut ini," balasnya.
Luce mengangguk patuh. "Baiklah."
A Second Chance For Life
.
.
.
A Fantasy Story
BY fallyndanella04
.
.
.
Enjoy!
Aven PoV
Setelah selesai makan siang, aku dan Viel kembali ke kamar tempatku dan Alice.
Alice sudah dalam koma selama 5 hari berturut-turut.
Selama 5 hari ini, aku, Viel, Ayah, Ibu, serta Luce selalu berusaha agar setidaknya Alice mendapat air setiap hari, karena makanan sangat susah untuk dimasukkan ke orang yang sedang koma.
Karena tidak makan selama 5 hari ini, tubuh Alice sedikit mengurus dan aku sangat mencemaskannya.
Selama 5 hari ini pula, Viel menginap di mansion Reffisa dan membantu kami merawat dan menemani Alice.
Aku juga semakin susah tidur karena Alice tidak bangun juga.
Meskipun aku tahu Alice sudah tidak berada dalam bahaya, instingku sebagai saudara kembarnya tetap membuatku khawatir, dan itu berimbas kepada waktu tidurku.
Jika aku sudah tidak bisa tidur, maka Viel yang akan menemaniku dan berusaha membuatku tidur.
Ah, meskipun Viel seumuran denganku dan Alice, ia selalu berusaha bertindak sebagai kakak laki-laki bagi kami.
Karena kekurangan sedikit tidur itulah, mataku dan mata Viel memilih kantung mata kecil.
"Hoam...."
Uh, hari ini aku sedikit mengantuk dari biasanya.
"Aven, kalau kamu mengantuk, kamu bisa tidur saja setelah sampai di kamar nanti." Viel menatapku dengan cemas.
Aku mengusap mataku yang sedikit berair karena menguap tadi, dan tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku hanya sedikit mengantuk. Aku ingin selalu melihat dan menunggu Alice hingga bangun."
Viel masih menatapku dengan cemas sebelum menghela nafas dan mengangguk. "Baiklah. Jangan paksakan dirimu, Aven."
Aku terkekeh kecil. "Kau juga jangan memaksakan diri, Viel."
Viel tersentak kecil sebelum tersenyum. "Kurasa kita berdua sama saja, huh?"
"Begitulah," balasku.
Setelah sampai di kamar, aku langsung membuka pintunya. Aku tidak akan menyangka pemandangan pertama yang akan kulihat adalah...
"... Alice?"
... Alice yang sudah terbangun.
Rasanya, otakku segera kosong. Aku tidak sanggup bergerak sedikit pun dan mataku tidak berpindah dari sosok Alice. Jantungku berdegup keras dan mataku terasa panas.
"Aven... Viel...." Suara Alice terdengar sangat lemah, dan hal itulah yang membuatku kembali sadar.
Aku dan Viel berlari, merentangkan tangan kami dan memeluk Alice dengan lembut. Mataku yang terasa panas mulai berair, dan air mataku menetes begitu saja.
Alice tidak berbicara apa pun, tapi ia membalas pelukan kami dan mengelus punggung kami dengan lembut.
Elusan yang lembut ini membuatku ingin menangis semakin keras.
Tenggoranku terasa kering, tapi aku harus menyambut Alice.
"A-Alice... U-uhu... S-selamat datang kembali...." Aku berbicara sambil terisak. Sial, bisakah aku memberikan sambutan yang lebih lancar. Kenapa suaraku juga lemah sekali....
"Selamat datang kembali, Alice." Di sisi lain, Viel bahkan lebih tegar dariku! Ah, meskipun tangannya bergetar, sih....
Alice belum berbicara apa pun, tapi ia mengeratkan pelukannya pada kami. Lalu, aku mendengar suara lembutnya setelah sekian lama.
"Um. Aku pulang, Aven, Viel."
Aku akan berlatih terus dan terus. Aku akan bertambah kuat. Aku akan meningkatkan kemampuanku pada pedang dan sihir, agar suatu saat aku dapat melindungimu.
Aku akan melindungimu, agar suatu saat kamu tidak perlu lagi terluka.
Selamat datang kembali, saudariku.
°°°
Normal PoV
Aven melepaskan pelukannya dan segera berkata pada Alice. "Alice, kau lapar, kan? Sebentar, aku akan memberitahu Luce untuk segera menyiapkan makanan!"
Setelah itu, ia langsung berlari ke luar kamar dengan cepat.
Kini hanya ada Alice dan Viel di dalam kamar.
Viel juga melepaskan pelukannya.
"Sebentar, aku akan mengambilkan minuman," ujarnya dengan lembut.
Aven berdiri dan mengambil gelas minuman yang ada di samping ranjang. Ia memberikannya pada Alice.
Alice mengambil gelas itu dan meminumnya pelan.
Setelah minum, Viel mendorong Alice dengan lembut agar kembali berbaring di ranjang.
"Jangan sampai tubuhmu lelah, Alice. Berbaring saja terlebih dahulu," saran Viel.
Setelah membaringkan Alice, Viel menarik selimut Alice kembali.
"Bagaimana tubuhmu? Ada bagian yang tidak nyaman? Ada hal lain yang kamu inginkan?" Tanya Viel.
Alice menggeleng. "Tubuhku... Baik-baik saja. Tidak ada yang tidak nyaman dan aku tidak butuh apa-apa lagi," balasnya dengan suara yang sudah normal.
"Bagaimana dengan kalian? Apa kalian baik-baik saja? Ayah dan Ibu?" Tanya Alice.
Viel mengangguk. "Kami baik-baik saja. Begitu pula dengan Nyonya Elicca dan Tuan Theo. Kau tidak perlu cemas, Alice."
Alice menghela nafas lega.
Tidak lama kemudian, pintu kamar dibuka dengan cepat.
Di depan pintu tersebut, terlihat Aven dan Luce yang sedang membawa nampan makanan.
Luce yang melihat Alice yang sadar tersenyum lega. "Nona Alice, selamat datang kembali. Anda pasti lapar setelah sekian hari tidak makan apa pun. Saya sudah membawakan makanan yang mudah anda cerna," ujarnya sambil menaruh nampan makanan tersebut di sebelah ranjang Alice.
Alice kembali mengambil posisi duduk dan mengangguk kepada Luce. "Um. Terima kasih, Luce."
Luce tersenyum lembut. "Saya akan menghubungi Nyonya Elicca dan Tuan Theo. Selama menunggu mereka, Nona Alice dapat menikmati makanan tersebut. Saya permisi."
Setelah Luce pergi, Aven segera mengambil mangkuk yang ada di atas nampan dan duduk di sebelah Alice.
"Aku akan menyuapimu, Alice!" Ujar Aven tegas.
Alice terlihat bingung. "Ah? Aku bisa makan sendiri...."
Aven menggeleng keras. "Tidak. Alice baru saja bangun dari koma. Alice tidak boleh melakukan banyak hal dulu!"
Melihat Aven yang bersikeras, Alice pun menyerah dan membiarkan dirinya disuapi.
°°°
Setelah selesai makan, Alice, Aven, dan Viel hanya berbaring bersama di ranjang sambil berbincang ringan.
Alice sangat shock saat mengetahui dirinya sudah koma selama 5 hari. Ia hanya menghabiskan waktu selama kurang lebih 10 menit di alam bawah sadarnya dan 5 hari sudah berlalu.
Selain itu, Aven dan Viel juga menceritakan keadaan saat ini.
Keadaan kerajaan Amare selama 5 hari ini cukup gloomy di kalangan atas. Itu karena Alice, sebagai putri dari salah satu bangsawan berposisi tertinggi di dunia, sedang koma karena diserang organisasi Velnias.
Hal itu diperburuk dengan mood gelap dari Theo dan Elicca. Karena itu para bangsawan sedang was-was agar tidak menyinggung anggota keluarga Reffisa saat-saat ini.
Selain itu, di sisi Velnias, nasib mereka sudah ditentukan sejak hari pertama mereka ditangkap.
Seluruh anggota Velnias dipenjara seumur hidup, dan Gin, pemimpin organisasi Velnias, dihukum mati.
Meskipun hukuman Gin terasa kejam, namun Alice tidak lupa bahwa Gin juga telah dan tidak akan ragu membunuh anak kecil, jadi ia tidak menyuarakan protes maupun simpati.
Yang ia khawatirkan hanyalah Drien.
"Um... Bagaimana dengan Drien? Ia tidak mungkin ikut dipenjara, kan? Drien yang telah menyelamatkanku dan ia tidak tahu apa pun soal apa yang Velnias lakukan," ujar Alice dengan cemas.
Viel tersenyum. "Tidak perlu cemas soal Drien, Alice."
Elicca membela Drien, dan setelah menceritakan apa yang terjadi pada Theo, Theo juga ikut membela.
Karena Orangtua dari korban itu sendiri membelanya, kerajaan pun melepaskan Drien dengan berat hati. Sebagai gantinya, Drien tidak diberi kebebasan. Drien akan terikat dengan keluarga bangsawan Reffisa sebagai pelayan dan yang dapat memutuskan ikatan itu hanyalah keluarga Reffisa.
"Syukurlah...." Alice menghela nafas lega setelah mendengar itu.
Tiba-tiba, pintu kamar kembali terbuka dengan keras. Ketiga anak yang sedang berbaring tersebut otomatis menoleh.
Elicca dan Theo terlihat berdiri di depan pintu. Mereka berdua terengah-engah seperti setelah berlari.
Tanpa mengatakan apa pun, mereka mendekati Alice dan mengecek tubuhnya. Setelah memastikan bahwa Alice benar-benar baik-baik saja, Elicca dan Theo segera memeluk Alice dengan lembut.
Alice yang awalnya sedikit terkejut, segera tersenyum. Ia membalas pelukan kedua Orangtuanya.
"Selamat datang kembali, Alice." Elicca dan Theo berbicara dengan sangat lembut bersamaan.
Alice mengangguk. "Um. Aku pulang, Ayah, Ibu."
°°°
A day after...
"Alice. Syukurlah kau sudah sadar. Bagaimana kabarmu?"
Alice yang sedang membaca buku menolehkan kepalanya. Sosok yang familiar terlihat.
Alice mengangguk. "Mister Froste. Terima kasih, saya baik-baik saja."
Alice menoleh dan melihat wanita dewasa tidak dikenal yang berdiri di samping Froste. "Um..."
Wanita itu berjalan mendekati Alice. "Salam kenal. Aku Arshane Wyn, kepala sekolah Amare Academy."
Alice sedikit terkejut saat mendengarnya. Ia penasaran dengan alasan mengapa beliau datang.
"Salam kenal, Miss Arshane. Saya Alice Reffisa." Alice berdiri dan memperkenalkan dirinya dengan sesopan mungkin sambil membungkukkan badannya sedikit.
Arshane tersenyum. "Tidak perlu sampai sebegitunya. Kau baru saja bangun, lebih baik istirahat sebanyak mungkin."
Alice mengangguk menurut dan kembali ke ranjangnya, namun ia menghela nafas dalam hati.
'... Aku belum pernah beranjak bangun dari kasur sejak kemarin....'
Arshane datang mendekati Alice dan berdiri di depannya. Alice menatap bingung Arshane.
Posisi tubuh Arshane yang tegap mendadak membungkuk.
"Atas nama Amare Academy, aku minta maaf karena telah gagal melindungimu."
Froste yang sedari tadi tidak berkata apa-apa ikut menunduk.
...
Alice speechless seketika.
Dengan sedikit panik, Alice segera mengangkat bicara. "T-tidak! Seandainya Mister Froste tidak datang saat itu, mungkin saja aku dan anak-anak kelas 1 lainnya akan dalam bahaya!"
Arshane dan Froste mengangkap kepala mereka, namun eskpresi mereka sangat tegas.
"Tidak. Salah satu tugas terpenting seorang guru adalah melindungi muridnya ketika mereka dalam bahaya, dan kami gagal melakukan hal itu. Bahkan salah satu guru kami tertipu oleh musuh. Untuk itu, kami minta maaf sebesar-besarnya."
'Ah.... Saat Miss Relliana tertipu oleh wanita itu, ya....'
Nada bicara Arshane yang tegas dan pasti membuat Alice tidak dapat berkata apa-apa.
"Lalu...."
'Ada lagi!?'
"... Mengenai Support Magic-mu, apakah kamu masih tetap ingin merahasiakannya?" Tanya Arshane.
Alice mengerjapkan kedua matanya. "Ah... Soal itu...." Ucapannya terputus.
'Apa harus kusembunyikan? Sejak awal, alasan Ayah dan Ibu ingin merahasiakan sihir itu agar tidak diketahui oleh Velnias. Karena Velnias sudah tidak ada, seharunya sekarang sudah aman untuk mengungkapkan sihirku?'
"Kurasa... Aku tidak berniat merahasiakannya." Setelah beberapa menit, Alice memberikan jawabannya. Namun ia segera menambahkan. "Tapi aku tetap tidak terlalu yakin. Mungkin anda dapat meminta pendapat Orangtua saya, Miss Arshane."
Arshane tersenyum. "Orangtuamu akan setuju dengan apa pun jawabanmu."
"Ah?"
"Ya. Mereka berkata bahwa mereka akan mengikuti apa pun keputusanmu."
Alice terdiam, setelah itu, ia mengangguk. "Ya. Kurasa aku tidak ingin merahasiakannya."
Arshane mengangguk. "Baiklah, aku mengerti."
Arshane menoleh ke arah Froste. "Froste. Tidak ada yang ingin kau katakan pada Alice?"
Froste langsung terkejut, namun ia langsung menenangkan dirinya. Ia mendekati Alice.
"Aku... Maafkan aku karena membiarkan mereka menangkapmu, Alice," ujarnya pelan dengan sedikit menunduk.
Alice tersenyum ke arah Froste. "Tidak apa-apa, Mister Froste. Ini bukan salah anda. Jika bukan karena Mister Froste, maka yang akan terluka bukan hanya saya."
Froste masih menunduk. "Mungkin... Tapi aku tetap merasa bersalah...."
Alice tertawa kecil, merasa terhibur. Baginya, Froste yang sekarang terlihat seperti anak kecil. Sejenak, Alice melupakan bahwa ia juga masih kecil.
Suara Arshane menyadarkan Alice. "Baiklah. Aku dan Froste akan permisi dulu untuk sekarang. Jaga dirimu baik-baik, Alice."
Alice tersenyum lembut dan mengangguk. "Saya berencana untuk melalukan hal itu, Miss. Terima kasih."
Arshane membalas senyumannya. "Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa, Alice Reffisa."
Froste melambaikan tangannya. "Sampai jumpa, Alice."
Alice balas melambai. "Um. Sampai jumpa, Miss Arshane, Mister Froste."
Setelah pintu kamar kembali tertutup, Alice langsung menghela nafas kencang dan bersender pada bantal.
Matanya menatap ke arah langit-langit ruangan. Alice menutup matanya.
... Aku harap....
Kedamaian ini terus berlanjut, selamanya.
°°°
Words: 1810
Arc pertama tinggal satu chapter lagi~! Setelah itu, kita akan langsung skip time ke arc kedua, Middle School Arc! Di arc itu, sebagian besar anggota harem Alice akan muncul! Yaay!
So... See you in next chapter!
Akhir kata... Thank you for reading!
If you like this chapter, you can appreciated me with like or comment!
See you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top