2. A New Family
Menjadi bayi itu menyusahkan. Itulah hal pertama yang Alice pikirkan setelah sampai di rumah yang akan ia tinggali.
Alice tidak dapat bergerak dengan bebas. Untuk memenuhi panggilan alam, Alice harus dapat memberi kode kepada Ibunya -Elicca- yang ternyata cukup tidak peka. Alice juga tidak dapat berbicara karena ia masih bayi.
Ia sedikit mengerti apa yang para bayi rasakan saat mereka bertubuh seperti ini.
Alice menghela nafas.
A Second Chance for Life
•
•
•
A Fantasy Story
By fallyndanella04
•
•
•
Enjoy!
Alice PoV
6 bulan berlalu semenjak aku, Alice Refissa, lahir. Banyak hal yang kuketahui tentang keluargaku sekarang dan seperti apa dunia ini.
Hal pertama yang lansung kusadari saat sampai di rumah ini adalah: keluarga ini bukan keluarga biasa.
Tidak ada keluarga biasa yang memiliki rumah sebesar Mansion dengan halaman berisi banyak bunga di dalamnya.
Aku juga menyadari bahwa dunia sekarang aku berada bukanlah dunia biasa seperti tempatku dulu. Ini lebih seperti... Dunia fantasi yang hanya ada di cerita-cerita.
Aku dapat melihat Maid yang bertugas sebagai Babysitterku dan Aven memiliki telinga kucing.
Manusia macam apa yang mempunyai telinga kucing!? Dan itu asli!!
Berbicara soal Aven, adik kembarku yang ternyata laki-laki ini cukup menempel denganku. Jika aku berada entah di gendongan Ayah atau Ibu, Aven akan menangis keras dengan tangannya yang terjulur ke arahku. Seakan-akan ia merasa Ayah atau Ibu akan merebutku darinya.
Saat jam tidur siang, Aven akan selalu memberontak jika tidak tidur denganku. Sehingga dengan terpaksa (baca: senang hati) Ayah membelikan ranjang bayi double size. Untukku dan Aven.
Kembali ke topik semula. Karena di sebelah ranjang bayi kami ada jendela yang cukup besar yang menghadap ke halaman, terkadang aku mengintip ke sana.
Aku dapat melihat Maid sekaligus Babysitter kami yang ternyata bernama Luce sedang membersihkan halaman dengan menerbangkan daun-daun yang berguguran dengan angin topan kecil.
Aku penasaran... Apa aku bisa mengeluarkan sihir seperti itu juga, ya?
°°°
Third PoV
3 days later
"Eh? Luce, ulangi yang kau katakan tadi," perintah Elicca tidak percaya.
"U-um... Nyonya Elicca, Nona Alice baru saja mengeluarkan sihirnya," ulang Luce gugup.
Theo menggeleng tidak percaya. "B-bagaimana bisa? Umur Alice bahkan belum mencapai 1 tahun!"
Luce menggeleng, mengisyaratkan bahwa ia pun juga tidak tahu.
"Saya juga tidak mengetahuinya, Tuan Theo. Tapi saya melihatnya dengan mata sendiri, Nona Alice memainkan sihir elemen angin di sekitar Tuan muda Aven yang tertawa riang," jelas Luce panjang.
Elicca dan Theo hanya bisa membeku di tempat.
"Yah... Aku pernah memeriksa Mana Energy mereka. Memang Mana Energy milik Alice lebih banyak dibanding bayi pada umumnya. Tapi... Aku sama sekali tidak menyangka ia bisa mengeluarkan sihirnya secepat ini," aku Elicca.
[Mana Energy: Energi Sihir]
Theo masih terlihat tidak percaya. "Aku mau melihat mereka terlebih dahulu!" Seru Theo lalu lansung berlari ke arah kamar Alice dan Aven.
"Ah! Theo! Tunggu! Aku juga mau lihat!" Seru Elicca kesal karena didahului.
Saat mereka sampai di depan pintu kamar anak kembar mereka, Theo membuka pintunya sambil bergumam ketidakpercayaan.
"Kya! Kya!"
Theo dan Elicca terkejut saat mendengar suara tawa Aven.
Mereka dapat melihat Alice dan Aven yang masih bermain dengan sihir angin Alice.
Theo membeku di depan. Elicca menutup mulutnya karena terkejut. Namun tak lama kemudian wanita itu tertawa kecil saat menyadari betapa imut kedua anaknya yang bermain.
Alice menoleh saat menyadari keberadaan kedua orang tuanya di depan pintu. Ia perlahan menurunkan Aven yang ia baru saja terbangkan dengan sihir angin. Alice merangkak mendekati mereka dan memeluk kaki mereka.
"Papa! Mama! Aven!" Ujar Alice dengan senyuman lebar yang terlihat bangga.
Kali ini sang Maid yang juga membeku di tempat. Elicca memeluk Alice sambil mengatakan betapa imutnya Alice.
"Wah! Alice sudah dapat memanggil kita, lho! Bahkan umur Alice baru setengah tahun. Hey, Theo, bukankah Alice sangat pintar?" Tanya Elicca pada suaminya yang terdiam.
"Halo? Theo? Haloo?"
Aven yang cemberut karena ditinggalkan Alice lantas merangkak pula menuju Alice. Merebut Alice dari pelukan sang Ibu.
"Alice. Aven." Aven berkata seraya memeluk Alice dengan erat. Seakan mengatakan 'Alice punya Aven'.
Elicca kali ini memeluk Aven dengan erat juga. Ia sedang mode fangirling.
"Anak-anakku sangat manis dan pintar! Ayolah, Theo! Sampai kapan kau mau membeku seperti itu?" Tanya Elicca dengan senyum lebar.
Mereka begitu ribut sampai tidak menyadari bahwa Alice menatap Aven dengan terkejut.
Seakan ia juga tidak menyangka bahwa Aven juga sudah dapat berbicara.
Alice tersenyum maklum.
'Tampaknya aku bisa berbicara di umur 6 bulan karena sudah keturunan, bukan karena aku sudah pernah hidup sebelumnya.'
Theo yang akhirnya sadar dengan kenyataan segera duduk di hadapan kedua anaknya dengan bingung.
"Tetap saja aku terkejut... Bagaimana bisa kalian berdua sudah dapat berbicara di umur 6 bulan? Bahkan, Alice, kau sudah dapat mengeluarkan sihir." Theo berbicara sambil mengelus lembut rambut Alice dan Aven.
Elicca memasang pose berpikir. "Karena mereka jenius!" Terkanya percaya diri.
"Argumenmu itu... Sulit dipercaya," ujar Theo facepalm.
"Alice dan Aven sudah dapat berbicara. Alice sudah dapat mengeluarkan sihir. Sudah jelas mereka jenius! Benar bukan, Luce?" Tanya Elicca pada Luce.
Luce terkejut sejenak. Wanita itu tersenyum lembut. "Anda benar, Nyonya Elicca," jawabnya.
Elicca tertawa riang. "Benar, kan!"
Theo menghela nafas.
"Baiklah. Itu masuk akal. Hanya saja yang pasti, kita harus meningkatkan pengawasan di sekitar rumah karena dapat berbahaya jika ada seseorang yang tahu bahwa Alice dapat mengeluarkan sihir di umur yang begitu muda."
Wajah Elicca menjadi suram. "Ah... Maksudmu... Kelompok 'itu', ya?"
Theo mengangguk.
Aura di sekitar mereka berubah menjadi serius. Terutama pada Elicca.
Alice yang sedari tadi mendengar percakapan Elicca dan Theo menjadi penasaran.
'Siapa kelompok 'itu' yang dimaksud? Kenapa berbahaya jika ada yang mengetahuinya?'
Tampaknya masih banyak misteri di dunia ini yang perlu Alice cari tahu.
°°°
Alice & Aven : 3 years old
"Mama! Mama!" Aven datang berlari ke arah Elicca. Air matanya mengalir deras di wajahnya.
Elicca yang baru saja selesai memasak terkejut saat melihat Aven menangis. Ia mendapat perasaan buruk dengan alasan Aven menangis.
Sangat buruk.
Terutama saat ia tidak melihat putrinya, Alice, di sisi Aven.
Elicca memeluk Aven. Berusaha menenangkan putranya terlebih dahulu. "Aven! Aven! Ada apa? Tenangkan dirimu! Di mana Alice?"
Aven menggelengkan kepalanya berkali-kali. Aven tidak dapat berbicara dengan lancar karena tangisannya. Namun ia tetap berusaha memberitahu Ibunya.
"Mama, Alice! A-ada sekumpulan orang aneh yang mengenakan jubah dengan gambar bulan sabit merebut Alice!"
Mata Elicca membelalak. Firasat buruknya benar.
"A-Aven tidak bisa menolong Alice, Mama! Aven lemah! Karena itu Alice menyuruh Aven memberitahu mama! Mama, tolong Alice! Alice dalam bahaya!" Tangis Aven semakin keras.
Elicca menggigit bibirnya, menahan amarah. Ia memeluk Aven dan mengelus punggungnya lembut. Elicca mengusap air mata Aven.
"Tenang saja, Aven. Mama dan Papa pasti akan menyelamatkan Alice," ujarnya lembut. Elicca menoleh ke arah Luce. "Luce! Hubungi Theo! Aku akan menenangkan Aven terlebih dahulu!"
Luce terlihat panik. "A-apa yang harus saya katakan, Nyonya Elicca!?"
Elicca mengerutkan keningnya. Marah. "Katakan ini keadaan darurat. Alice diculik kelompok Velnias."
***
"Aku mau ikut! Papa! Mama!"
Elicca menggeleng tegas. "Tidak boleh."
Aven tetap berdiri di tempat. "Aven harus melihat keadaan Alice dengan mata sendiri! Papa dan Mama akan pergi menyelamatkan Alice, Aven tidak mungkin hanya diam di sini bersama Luce!"
Theo menunduk menatap Aven. "Aven, dengar. Ini lebih berbahaya dibanding yang kau pikirkan. Kami tidak mau kau terluka. Alice juga pasti berpikir seperti itu."
Aven menggeleng membantah. "Aven gagal melindungi Alice karena sihir Aven lemah!"
"Papa pernah bilang bahwa laki-laki harus melindungi perempuan, tapi Aven gagal melakukannya tadi! Karena itu Aven akan menyelamatkan Alice kali ini!"
Hening.
"Kumohon."
Aven menunduk. Tangannya gemetar. Matanya terasa panas.
Ia begitu depresi karena ingin melindungi saudarinya.
Theo dan Elicca saling berpandangan dengan tatapan yang sulit dibaca sebelum menghela nafas bersamaan.
"Baiklah."
Aven menatap Theo dan Elicca seakan mereka adalah malaikat yang baru turun ke dunia.
"Tapi ingat." Theo menegaskan. "Jangan pernah berjauhan dengan kami."
"Ya!"
°°°
"Alice! Syukurlah kau baik-baik saja...." Aven berguman berkali-kali sambil memeluk Alice.
Alice membalas pelukan Aven dengan lemah. Ia diberi sihir yang membuatnya tubuhnya kaku sehingga tidak bisa bergerak sebebasnya. Ia tersenyum lembut. "Aku tidak apa-apa, Aven. Tenang saja."
Aven melepas pelukannya dan menatap Alice dengan mata berkaca-kaca. Namun ia tersenyum dengan penuh kelegaan.
"Bagaimana bisa kau baik-baik saja? Lihat, kau punya luka lebar di punggungmu. Ini... Pasti hasil saat kau bertarung dengan mereka tadi." Aven berucap sambil melihat luka sayatan lebar yang tampak cukup dalam di punggung Alice.
Aven berucap sedih. "Ini pasti akan berbekas," bisiknya.
Alice yang mendengar bisikan tersebut hanya terkekeh kecil. "Ini bukan apa-apa, kok. Aku akan lebih cemas jika Aven yang mendapat luka ini."
Aven tersenyum mendengarnya. Ia berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Alice.
"Ayo ke luar! Papa dan Mama akan segera menyusul kita nanti. Sekarang kita harus ke luar terlebih dahulu."
Alice mengangguk. Ia menyambut uluran tangan Aven. "Hn! Ayo."
Tidak lama mereka berjalan, Aven menoleh saat mendengar suara tapak kaki yang menuju ke arah mereka.
"Alice!! Aven!! Menyingkir dari jalan itu!!" Suara teriakan Theo dapat mereka dengar.
"Eh?" Alice menoleh lemah.
Aven membelalakkan matanya.
"Alice!!"
"Menyingkir kau, bocah!"
Yang dapat Alice lihat setelah itu hanyalah darah.
Dari tubuh saudara kembarnya.
"AVEN!!"
°°°
"Bagaimana keadaan kedua anak kami?" Tanya Theo saat seorang dokter baru saja ke luar dari kamar Alice dan Aven.
"Nona Alice baik-baik saja. Lukanya memang dalam dan akan meninggalkan bekas, tapi selain itu ia baik-baik saja," jawabnya.
"L-lalu, Aven?" Elicca berusaha menahan air matanya.
"Tuan Aven... Maaf, saya bisa katakan bahwa saya tidak tahu apakah putra anda dapat bertahan. Luka itu lebih dalam dibanding milik Nona Alice, ditambah dengan Tuan Aven yang masih sangat muda membuatnya memiliki kemungkinan bahwa Tuan Aven tidak dapat bertahan dengan luka separah itu." Dokter tersebut menunduk.
Theo dan Elicca sangat terkejut mendengarnya. Theo mengepalkan kedua telapak tangannya dan Elicca menangis.
Melihat keadaan yang tidak memungkinkan, dokter tersebut mengundurkan diri dari ruangan.
Di dalam kamar, Alice menunduk menatap Aven yang berbaring di sampingnya. Matanya tertutup. Satu-satunya hal yang membuat Aven masih terlihat hidup hanyalah nafasnya yang pelan. Sangat pelan.
Melihat keadaan Aven yang mengenaskan membuat Alice diserang ingatan-ingatan buruk.
Ingatan saat keluarganya tergeletak bersimbah darah di depannya.
Ingatan saat darah memenuhi telapak tangan mungilnya yang dengan naifnya berusaha menghentikan darah yang mengalir dari tubuh keluarganya.
Ingatan saat ia hanya dapat menangis saat melihat keluarganya yang sudah tewas.
Saat ia baru saja terlahir di dunia ini, Alice berjanji pada diri sendiri bahwa ia akan melindungi keluarga ini.
Tapi apa ini?
Apa hasilnya?
Ia bahkan tidak bisa melindungi adik kembarnya sendiri! Di depan matanya! Ia tidak bisa!
Air mata menetes perlahan menuju tubuh Aven. Alice mengepalkan telapak tangannya erat.
Alice frustasi. Sangat frustasi dan sadar betapa lemah dirinya sekarang. Ia berdiri dan duduk di samping tubuh Aven.
Apa? Apa yang bisa ia lakukan?
Adiknya hampir meregang nyawa di depannya!
Apa yang harus ia lakukan?
Saat Alice sedang berpikir keras, saat itulah sebuah suara lembut terdengar di kepalanya.
Apa yang kau inginkan?
Alice menunduk. Suaranya serak karena menangis. Namun ia tetap menjawab.
"Aku hanya ingin Aven selamat."
Apa kau ingin menyelamatkannya?
"Ya."
Bahkan meskipun kau harus membayar dengan biaya yang sangat mahal untuk menyelamatkannya?
Alice menatap nyalang ke depan. Entah terhadap siapa.
"Aku ingin menyelamatkannya, semahal apa pun yang harus kubayar."
Alice dapat merasakan sebuah senyuman diarahkan kepadanya.
Kalau begitu, selamatkanlah dia.
Saat itulah, Alice dapat merasakan tangannya memegang tangan Aven tanpa ia sadari. Mulutnya bergerak tanpa ia pikirkan.
"Support Magic : [Angel's Breath]."
°°°
Elicca tersentak saat merasakan energi sihir yang besar dari dalam kamar kedua anaknya. Ia bergegas membuka pintu dan masuk ke dalam kamar Alice dan Aven. Disusul oleh Theo yang kebingungan.
Elicca membeku di tempat.
Theo mengintip dari balik bahu istrinya. "Elicca, ada apa--"
Mereka dapat melihat. Luka besar Aven yang perlahan menutup dengan tangan Alice menggenggam tangannya. Tubuh mereka berdua diselimuti cahaya emas yang berkilau.
Elicca menatap tidak percaya. "I-itu... Support Magic!? M-mustahil... Sihir itu harusnya sudah punah dari entah berapa ratus tahun yang lalu!"
Saat cahaya emas itu menghilang, luka Aven sudah sembuh sepenuhnya. Nafasnya mulai teratur. Alice ambruk di samping Aven.
"Alice!" Theo dan Elicca menghampiri Alice dengan khawatir. Mereka lansung menghela nafas lega saat Alice hanya tertidur.
Theo mengangkat tubuh kecil Alice dan membaringkannya di samping Aven. Elicca mengambil selimut dan menyelimuti mereka berdua.
Sepasang Orangtua tersebut duduk di samping anak-anaknya.
Elicca memandang wajah kedua anaknya yang terlihat sangat damai saat tertidur. Seakan kejadian hari ini hanya berupa mimpi belaka.
"Mereka terlihat sangat lelah," ujar Elicca mengelus rambut kedua anaknya.
Theo tersenyum lembut. "Tentu saja mereka lelah. Mereka sudah mengalami banyak kejadian buruk hari ini. Alice diculik, dan Aven hampir tidak selamat."
Elicca menunduk. "Aku tidak percaya kalau Alice memiliki Support Magic. B-bagaimana kalau orang-orang itu datang lagi?" Elicca menatap tangannya yang gemetar. Ketakutan menyerangnya.
Theo memeluk tubuh Elicca. "Tidak perlu khawatir. Kita akan melindungi Alice dan Aven dengan hidup kita. Kalau semisalnya ada saat di mana kita tidak ada di samping mereka...." Theo menjeda ucapannya sambil tersenyum melihat kedua anaknya.
"Mereka akan saling melindungi satu sama lain."
°°°
W-woah... 2200+ words... Banyak banget... Di luar dugaan.
Yak! Inilah chapter kedua! Aku benar-benar tidak menyangka akan menulis sampai 2200+ words... Ahaha.
Ini hanyalah awal mula kisah Alice di dunia barunya! Silakan menunggu chapter berikutnya untuk petualangan Alice di dunianya yang sekarang!
Maaf kalau semisalnya ini ada kurang menarik ya. Selanjutnya aku usahakan agar menjadi lebih menarik dan menjadi cerita yang pantas dibaca!
Okay! Thank you for reading! See you in the chapter 3!
If you like this story, you can appreciate me with like and comment!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top