1. A Beginning Of A New Life

Gadis berambut putih terlihat sedang berdiri di atas atap gedung. Matanya memandang penuh ragu ke bawah gedung. Di mana jalan raya dipenuhi kendaraan.

"Apakah... Ini keputusan yang benar?" Gumam gadis itu putus asa.

Ini harusnya benar, batin gadis itu. Pada akhirnya, tidak ada yang menginginkan kehadiranku lagi di dunia ini.

...iya, kan?

A Second Chance for Life



A Fantasy Story
by fallyndanella04



Enjoy!

Kanata Arisu seharusnya adalah gadis yang ceria. Hanya saja, keceriaan itu tidak bertahan lama, sampai insiden pembunuhan seluruh keluarganya.

Hal itu terjadi saat Arisu masih berumur 9 tahun.

Arisu yang tidak bersalah justru menjadi salah satu tersangka karena para polisi menemukan sidik jari Arisu di pisau yang menjadi barang pembunuhan dan tangan Arisu yang berlumuran darah.

Arisu dilepaskan karena kurangnya bukti lain yang nyata dan karena ia masih di bawah umur.

Namun hal itu tidak mengubah pandangan masyarakat sekitar.

Mereka sudah menganggap Arisu sebagai pembunuhnya. Mereka sudah menganggap Arisu sebagai monster yang melenyapkan nyawa keluarganya sendiri. Mereka sudah menganggap Arisu tidak waras.

...bahkan sahabatnya menjauhi dia karena hal itu.

Arisu tidak bisa berbuat apa-apa. Sebanyak apa pun Arisu membela diri, tidak ada yang mempercayainya. Sampai akhirnya ia sadar satu hal yang kejam di dunia ini.

Ia hanyalah minoritas, dan minoritas tidak akan pernah bisa menyaingi mayoritas. Bahkan meskipun apa yang ia katakan adalah kebenaran, tidak akan ada yang mempercayainya.

Saat kecil, Ibunya sering membacakan dongeng yang berakhiran indah. Dongeng yang selalu menceritakan bahwa kebaikan akan selalu menang dan kejahatan akan selalu kalah.

Saat itu, Arisu yang masih berumur 9 tahun menyadari. Dunia nyata tidak seindah dongeng. Tidak akan pernah.

Tidak ada kata 'Happily Ever After' dalam dunia nyata.

Tidak ada lagi kedamaian dalam hidup Arisu. Kehangatan yang ia terima setiap saat dulu, menghilang dan digantikan oleh hinaan dan bullying.

Hari ulang tahun yang harusnya menjadi hari kebahagiaan Arisu berubah menjadi mimpi terburuk.

°°°

9 tahun Arisu bertahan. 9 tahun Arisu memendam kesedihan. 9 tahun Arisu lalui dengan kesepian.

9 tahun Arisu bertahan dari hinaan dan bullying yang semakin parah. 9 tahun Arisu bertahan di rumah Pamannya sebagai budak.

Kini, Arisu berdiri tepat di tepi gedung.

°°°

Arisu tersenyum miris. "Aku akan mengakhiri hidupku di hari ulang tahunku sendiri, ya...?"

Gadis yang kini genap 18 tahun menatap kosong ke jalan raya di bawah gedung.

'Sungguh hebat aku bisa bertahan selama 9 tahun.'

Arisu perlahan menaiki pembatas gedung tersebut. Pandangannya menatap lurus ke bawah. Tangannya menggenggam pembatas gedung tersebut. Jika dilepaskan, maka Arisu akan sukses mengakhiri hidupnya.

Saat Arisu hendak melepaskan genggamannya, saat itulah secara tiba-tiba sebuah memori menghantam ingatan Arisu.

"Arisu *Nee-chan! Arisu Nee-chan!"

Suara kecil yang lucu sampai di telinga Arisu. Arisu yang baru berumur 8 tahun menoleh ke arah adik perempuannya, Kanata Arisa yang baru berumur 6 tahun.

Arisu memeluk gemas adiknya. "Arisa-*chan!" Balasnya sambil tersenyum lebar.

"Apakah kau tahu!? Arisa akan ikut jalan-jalan bersama Ibu dan teman-teman di sekolah! Arisa sangatt bersemangat! Ah tapi Arisa tidak bisa membawa Nee-chan bersama Arisa!" Oceh Arisa panjang lebar.

Arisu hanya tertawa melihat sikap adiknya. "Lho, memang kenapa? Arisa takut Nee-chan akan melupakan Arisa?"

Arisa mengangguk dan menatap kakaknya dengan khawatir. "Um! Arisu Nee-chan tidak akan melupakan Arisa, kan?" Tanyanya.

Arisu tersenyum lebar dan mencubit pipi Arisa. "Tentu saja! Arisa-chan itu adalah keluarga Nee-chan! Tidak mungkin Nee-chan akan melupakan Arisa-chan! Nee-chan akan selalu bersama Arisa-chan!"

"Selamanya?"

"Selamanya!"

Mata Arisu membulat. Kenangan masa kecilnya terlintas di ingatannya secara tiba-tiba.

"'Nee-chan akan selalu bersama dengan Arisa-chan'...?" Bisik Arisu pelan.

Arisu dapat merasakan sesuatu yang basah mengenai tangannya. Ia dengan cepat lansung mengusap matanya. Namun air mata itu tidak dapat berhenti mengalir. Dadanya terasa sesak jika mengingat memori itu lagi.

"...nee-chan tidak akan melupakan Arisa-chan!"

"...Nee-chan akan selalu bersama dengan Arisa-chan!"

"... Nee-chan..--"

"A-aku...."

"--...akan selalu bahagia selama masih bisa mengingat Arisa-chan, Ibu, dan Ayah!"

Tangisnya pecah. Memori bersama keluarganya tersayang tampil silih berganti di ingatannya. Arisu kembali terduduk di belakang pembatas gedung. Berusaha keras untuk menahan sesak di dadanya, namun gagal. Berusaha menahan isakan yang ia keluarkan, namun gagal.

"A-aku bodoh...," bisiknya dengan air mata yang mengalir deras. "Aku bodoh dapat melupakan Arisa, Ayah, dan Ibu. Aku akan bahagia selama aku masih bisa mengingat mereka. Itu benar. Dan dengan bodohnya aku melupakan mereka...."

"M-mereka tidak mungkin senang jika aku mengakhiri hidupku seperti ini. Aku juga tidak akan lagi bisa mengingat mereka jika aku mati. Arisu, kau bodoh..."

Air mata masih mengalir deras dari matanya. Namun kali ini, itu adalah air mata penuh kelegaan.

'Aku bahagia masih dapat menemukan alasan untuk terus hidup di dunia ini...'

°°°

Arisu berdiri dengan senyuman menghiasi wajahnya. Dalam hati, ia bersumpah tidak akan melakukan perbuatan sebodoh tadi lagi.

Ketika Arisu hendak beranjak turun, saat itulah langkahnya kembali terhenti karena melihat seorang laki-laki berdiri di depan pintu atap dengan pandangan bosan. Arisu membulatkan kedua bola matanya. Tubuhnya mulai gemetar.

Laki-laki itu adalah salah satu pembully-nya

Ia menguap. "Ahh... Membosankan," ujarnya tiba-tiba.

Bahu Arisu menegang. Perasaannya tidak enak. Ia ingin segera pergi dari sini. Tapi lelaki itu menghalangi pintu dan memiliki tenaga jauh lebih kuat dari Arisu dengan tubuh besarnya.

Arisu menunduk sejenak dan berjalan mengabaikannya.

Lelaki itu menahan bahu Arisu. "Hei, pembunuh. Jangan diam saja. Hibur aku," ujarnya.

Arisu tersentak dan menghempaskan tangannya. Matanya menatap nyalang ke arah lelaki itu. "Aku bukan pembunuh!"

Lelaki itu menyeringai. "Sepertinya kau sudah mulai berani, pembunuh."

Ia mencengkeram pergelangan tangan Arisu kuat. Arisu meringis karena merasakan perih di pergelangan tangannya.

"Kau tahu. Kami, sudah mulai lelah melakukan hal yang sama setiap hari. Hanya menghina dan mengganggumu." Ia berjalan ke arah pembatas gedung dengan tetap mencengkeram pergelangan tangan Arisu.

Arisu melebarkan kedua bola matanya saat menyadari tindakan yang akan dilakukan lelaki itu. Ia berusaha melepaskan cengkeramannya, namun hal itu hanya membuat ia menguatkan pegangannya. Arisu dapat merasakan lengannya akan memerah.

"Lepaskan! Apa yang kau lakukan!?" Jerit Arisu. Ia berusaha menendang kaki lelaki itu, namun ia dapat menghindarinya dengan baik.

"Apa yang kupikirkan?" Ulangnya. "Aku pikir tidak ada yang membutuhkan pembunuh sepertimu di sini."

"Jadi, kenapa kau tidak mati saja?"

Saat itulah, Arisu dapat merasakan tubuhnya yang dilempar ke luar pembatas gedung.

Arisu dapat melihat seringaian dari lelaki itu yang semakin lama semakin tidak terlihat seiring tubuhnya mengikuti gaya gravitasi.

Arisu takut, di saat yang bersamaan, ia lega.

Ia lega dapat mengakhiri penderitaannya setiap hari tanpa ia sendiri yang bertindak bodoh.

°°°

Arisu membuka matanya lemah. Ia dapat merasakan nyeri luar biasa di seluruh tubuhnya. Ia dapat merasakan tubuhnya seperti dikelilingi air. Dengan pandangannya yang semakin lama semakin buram, Arisu masih dapat melihat bahwa air yang mengelilinginya itu berwarna merah.

'Apakah mustahil untuk mendapatkan kesempatan kedua? Aku ingin merasakan kembali kehangatan saat keluargaku masih ada...'

'Aku harap.... Seandainya aku mendapat kehidupan yang lebih baik, aku ingin dapat melindungi keluargaku tanpa menjadi lemah seperti dulu....'

'Ia benar. Tidak ada yang memerlukan kehadiranku di dunia ini. Orang yang menyayangiku sudah tidak ada lagi di dunia ini...'

Arisu dapat merasakan pandangannya yang semakin memburam, sampai akhirnya pandangannya gelap seluruhnya.

Sebelumnya kesadarannya hilang sepenuhnya, Arisu dapat mendengarkan sebuah bisikan lembut.

"Mungkin di dunia ini memang tidak ada yang membutuhkanmu lagi, jadi, bagaimana jika di dunia lain?"

"...huh?"

°°°

"... ... Lagi!"

".... Siapkan .... .... Pernafasan!"

".... Beritahu orangtuanya! ...!"

Suara apa itu?

"Benarkah!?"

"Ya! Anak anda sudah kembali bernafas! Selamat!"

"Syukurlah... Syukurlah...!"

"Apa anda ingin menggendongnya?"

"Ya... Ya! Tentu saja! Terima kasih!"

Sebenarnya... Apa yang terjadi? Apa yang kudengar? Siapa yang sudah kembali bernafas?

Hal pertama yang Arisu lihat saat membuka matanya adalah sosok wanita bermata merah yang tengah menangis dengan senyuman bahagia di wajahnya. Arisu sangat terkejut saat wanita tersebut memeluknya dengan ucapan 'syukurlah' dan 'anakku' berkali-kali.

'T-tunggu.... Kenapa....'

"Selamat datang di dunia, bayiku tersayang."

'Kenapa aku menjadi bayi!?'

°°°

Brak!

"Elicca! Aku dengar putri kita sudah baik-baik saja!?"

Sesosok pria dewasa berambut putih mendobrak masuk ke kamar di mana wanita yang ia panggil 'Elicca' itu.

Elicca menoleh dengan terkejut. "Theo! Bukankah kau harusnya menjaga Aven?" Tanyanya.

'Aven?' Arisu tidak tahu siapa itu.

'Theo' memperlihatkan sebuah bayi di tangannya. "Y-ya. Karena itu aku juga membawa Aven," ujarnya sambil berjalan mendekati istrinya dengan menggendong bayi itu.

Theo tersenyum senang saat melihat tubuh bayi Arisu. "Lihat. Dia mempunyai mata merah yang besar juga, sama seperti Aven."

Arisu tersentak saat tahu bahwa penampilannya masih sama seperti dulu. Mata merah. 'Jangan bilang... Aku bereinkarnasi?' Ia menoleh ke Aven. 'Dia saudara kembarku?'

Elicca mengangguk senang. "Aku ingin menamainya Alice!"

Theo mengangguk. "Aku sudah menamai yang ini Aven, jadi kau dapat menamainya Alice, Elicca."

Elicca mengangguk. Ia menggendong Arisu yang sekarang Alice dan Aven ke pangkuannya. "Sekali lagi, selamat datang di dunia, Alice dan Aven Reffisa!"

Saat itulah, Arisu--'Alice' kembali menangis, membuat Elicca dan Theo panik dan berusaha menenangkannya.

Aku tidak menyangka benar-benar akan diberi kesempatan kedua.

Tuhan, Dewa, Dewi, siapa pun. Terima kasih. Terima kasih.

Ini adalah hadiah terindah yang pernah aku terima.

"Yosh-yosh. Jangan menangis, Alice."

"W-wah. Alice tersenyum! Elicca, lihat!"

Aven memandang Alice penuh rasa penasaran. Ia menggenggam tangan Alice. Alice tersenyum ke arah Aven dan membalas genggamannya.

Terima kasih telah memberikanku kesempatan kedua untuk hidup.

°°°

Note:
Nee-chan: Kakak (Perempuan) dalam Bahasa Jepang.
-chan: Akhiran untuk anak perempuan di Jepang.

Yey~ Chapter 1 selesai~! 1600 words tembus~

Kalau dari kubaca, cara mereka reinkarnasi ini banyak yang karena ditabrak Truck-san ;) karena menyelamatkan seseorang. Jadi aku sengaja membuatnya sedikit berbeda. Yah, mungkin bagi beberapa dari kalian tidak asing dengan cara Alice bereinkarnasi.

Waah, senangnya sudah dapat menyelesaikan chapter pertama~

Okay. Thank you for reading~
See you in the chapter 2~
If you like this story, you can appreciate me with like and comment~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top